Wednesday, October 22, 2014

ZAKAT







MAKALAH FIQIH I
ZAKAT

Dosen pembimbing :
Drs. H. Farid Hasyim, M.Ag







Di susun oleh : MOH. KAMILUS ZAMAN


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ZAKAT”.Makalah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih I.
Melalui kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan ucapan terimakasih kepada pihak – pihak yang telah memberikan bantuan antara lain :
1.      Bapak Drs. H. Farid Hasyim, M.Ag selaku pembimbing dosen Fiqih I dalam pengerjakan tugas Fiqih I ini
2.      Semua pihak yang terlibat didalam pengerjaan tugas dan yang telah mendukung, sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu kami mengharap saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pembaca, agar dalam pembuatan makalah ini selanjutnya akan lebih sempurna dan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amiin.


                                                                       
Malang, 27 September 2011


Penyusun




BAB 1
1.Rumusan masalah
Adapun masalah-masalah yang yang akan di bahas dalam makalah ini adalah :
1.Apa itu yang dinamakan zakat mal ?
2. Apa saja perbedaan-perbedaan, dan macam-macam zakat ?
2.Tujuan
      1. Untuk mengetahui tentang apa yang dinamakan zakat mal.
2. Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan, dan  macam-macam  zakat.















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Zakat Harta Benda (Maal)

Dalam kitab-kitab fikih, untuk menunjukkan harta digunakan istilah al-mal  yang bentuk jamaknya adalah al-amwal. Secara literal al-mal berarti “condong” atau “berpaling“ dari satu posisi kepada posisi – lainya. Ia adalah suatu yang naluri manusia cenderung kepadanya.
Dalam terminology fikih muamalah terdapat beberapa variasi pengertian tentang harta atau al-mal . antara lain adalah difinisi harta yang berkembang di kalangan fuqoha’ Hanafiyah, sebagai berikut :
مايميل أليه طيع الا نسان ويمكن ادخاره إلى وقت الحا جة
“segala sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya dan dapat disimpan batas waktu yang diperlukan”
Dala pengertian di atas, fuqaha’ Hanafiyah menekankan batasan harga pada term iddiikkbar (“dapat disimpan”) yang mengsyaratkan pengecualian aspek manfaat. Menurut pandangan mereka “manfaat” tidak termasuk bagian dari konsep harta, melainkan masuk dalalm konsep milkiyah.
Dari ta’rif  di ats dapat disimpulkan bahwa harta adalah sesuatu selain manusia yang mana manusia mempunyai hajat (keperluan) terhadapnya dapat disimpan untuk ditasharufkan.
Adapun konsep harta yang berkemang di kalangan jumhurul fuqoha’ mazhab Malikiyah, Syafi’yah dan hanabilah adalah:
ما يميل اليه الطبع ويجري فيه البد ل والمنع
“sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya dan dapat diserahkan dan orang lain terhalang mempergunakanya.
Pengertian di atas mengisyaratkan pandangan mereka bahwa harta tidak terbatas pada materi melainkan juga pada manfaat.
Difinisi harta yang disimpulkan oleh fuaha’ mutaabbirin, antara lain disampaikan oleh Musthafa Ahnad al-Zarqa’
المال هو كل عين ذات قيمة مادية متدا ولة بين الناس
“setiap materi (‘ain)yang mempunyai nilai yang berada di kalangan manusia”
Muhammad syalabi menyampaikan pengertian sebagai berikut:
ما يمكن حيازته واحرازه والإ نتفاع به انتفا عا معتا دا
“sesuatu yang dapat dikuasai, dapat disimpan serta dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan”.
Dari beberapa pengertian yang disampaikan di muka dapat disimpulkan bahwa unsure harta ada empat, yaitu :
1.      Bersifat materi (‘aniyab), atau mempunyai wujud nyata.
2.      Dapat disimpan untuk dimiliki (qabilan lit-tamlik)
3.      Dapat dimanfaatkan (qabilan lil-intifa’)
4.      Uruf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta

B.PEMBAGIAN JENIS-JINIS HARTA
1.Mal Mutaqawwim dan Ghairu Mutaqawwim
Ditinjau dari segi pemanfaatanya menurut Syari’at  dibedakan menjadi mal mutaqawwim (halal dimanfaatkan) dan mal ghairul mutaqawwim (harta yang tidak halal dimanfaatkan). Babi, khamr, bangkai dan lain-lain sebagianya tergolong mal ghairu mataqawwim karena syari’at meng haramkan kepada orang mukmin untuk memanfaatkan barang-barang yang sejenis ini.
Pembedaan harta sejenis ini mengakibatkan beberapa konsekuensi hokum.
Pertama , pada prinsipnya umat islam tidak diperkenankan menjadikan harta ghairu mutaqawwim n sebagai objek teransaksi. Prinsip ini tettunya tidak berlaku secara mutlak. Artinya benda gbairu mutaqawwim bias dijadikan sebagai objek transaksi sepanjang terdapat indeksi yang kuat bahwa tujuan transaksi (maudu’ul aqdi)  tidak untuk hal-hal yang dilarang syari’at. misalnya transaksi jual beli anjing herder bukan anjing potong. Pada transaksi jual beli anjing potong atau daging anjing tujuanya adalah untuk dimakan. Tujuan transaksi ini jelas bertentangan dengan syari’ atIslam. Sedang anjing heder ditransaksikan untuk tujuan keamanan. Tujuan transaksi ini tidak bertentangan  dengan syari’at islam sekalipun dilakukan terhadap mal ghairu mutaqawwim
Kedua, perusakan atas harga ghiaru bmutaqawwim tidak mengakibatkan hak menurut ganti rugi. Dalam hal ini ulama mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa Syari’at Islam melindungi pemilikan ablu dzimmab terhadap harta ghairu mutaqawwim, bagi seorang non muslim yang hidup di dalam pemerintahan Islam (ablul zimmab) barang-barang tersebut termasuk harta Mutaqawwim. oleh  karena itu menurut Abu Hanafi orang islam yang merusakkan atau melenyapkan wajib menganti dengan harta, jika yang merusakkan orang dzimmi pemilik berhak menuntut ganti dengan barang yang serupa.
Menurut imam Malik orang yang merusak harta  mutaqawwim  milik orang dzimmah wajib menggantinya dengan harta baik yang merusakan adalah seorang muslim atau dzimmah. Sedang menurut iamam Syafi’I dan imam Ahmad seorang yang merusakkannya tidak wajib membyar ganti rugi baik yang merusakan adalah orang Muslim maupun dzimmi

2.Mal al-‘Uqar dan Mal Ghairul ‘Uqar
Dari segi kemungkinan dapat dipidahkan, harta dibedakan menjadi mal-‘uqar (harta tidak bergerak atau harta tetap), yaitu harta bnda yang tidak mungkin dipindah dari tempat asalnya ke tempat lain seperti tanah dan rumah, dan mal ghairul ‘uqar  ( harta bergerak dari tempat semula kepada tempat lain seperti hewandan perhiasan.
Pembedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa kosekuensi hokum, antara lain:
Pertama,  hubungan ketetanggan terhadap mal’uqar menimbulkan hak syf’ah hak prioritas seseorang tetangga dekat untuk membeli mal-‘uqqar, sebelum pemilik berkehedak mnenjual kepada orang lain. Hak prioritas seperti ini tidak terdapat pada mal ghairul ‘uqar.
Kedua, mal-‘uqar dapat dijadikan sebagai objek wakaf tanpa ada perselisihan di kalangan fuqaha’. Sedang wakaf harta ghairul ‘uqar  ulma’ Hanafiyah mempersyaratkan sifatnya yang tidak dapat dipisah dari harta tidak bergerak. Menurut fuqaha’ jumhur semua jenis benda baik bergerak maupun benda idak bergerak dapat di jadikan sebagai objek wakaf.
Ketiga,  seorang wasi (orang yang kepadanya diberikan wasiat) memelihara harta anak kecil tidak dibenarkan menjual harta tidak bergerak milik anak kecil tersebut kecuali dalam hal-hal yang sangat mendesak, seperti menjualnya untuk kepentingan membayar hutang anak kecil. Hal ini dilakukan harus dengan seizing hakim. Sedang terhadap harta bergarak, seorang wasi boleh menjualnya untuk keperluan pemeliharaan anak kecil ersebut tanpa harus ada izin dari hakim.

3.Mal Misliy dan Mal Qimiy
Dari padanan harta sejenis di pasaran, harta dibedakan menjadi, mal-misliy dan mal Qimiy. Mal mislay  adalah harta yang mempunyai persamaan atau padana dengan tidak mempertimbangkan adanya perbedaan antara satu dengan yang lainya dalam kesatuan jenisnya. Biasanya  mal mislay berupa harta-harta yang dpat ditimbang, ditakar, daukur atau dihitung kuantitasnya. Kebanyakan komoditas barang) tergolong jenis ini seperti buah-buahan, syayur-mayur., garment dan lain sebagainya.
Sedangkan mal-qimiy adalah harta yang tidak mempunyai persamaan atau padanan atau yang memiliki padanan namun terdapat perbedaan kualitas yang sangat diperhutungkan, seperti perhiasan, binatang piaraan, naskah kuno, barang antic, dan lain sebagainya.
Pembedaan harta seperti ini mengakibatkan beberapa kosekuensi hokum, antara lain:
Pertama, system jual beli atas barter atas mal-qimiy tidak mungkinkan terjadi riba fudhuli, karena jenis satuanya tidak sama. Tetapi jual beli bater  terhadap mal- mislay dimungkinkan teransaksi jual beli yang menjurus praktek riba fudhuli.
Kedua, dalam perserikatan harta yang bersifat mislay dapat mengambil bagianya ketika teman atau mitra sekutunya sedang tidak ada ditempat (bil ghaib) . sebaliknya dalam persekutuan harta yang bersifat qimiy, masing-masing pihak yang bersangkutan tidak boleh mengambil bagianya selama pihak lain tdak sedang berada di tempat.
Ketiga,  pengrusakan terhadap harta mislay  pemilik berhak menutut ganti rugi dengan berang yang sejenis, sedang pengrusakan terhadap harta yang berifat qimiy  maka ganti pembayaran ganti ugi dilakukan dengan memperhitungkan harganya.

4.Mal Isti’ mali dan Mal Istihlaki
Dari segi sifat pemanfaatanya, harta dibedakan menjadi mal isti’ mali dan mal istihlaki.  Mal-Isti’li adalah harta benda yang dapat diambil manfaatnya beberapakali dan tidak menimbulkan perubahan dan kerusakan zatnya dan tidak berkurang nilainya, seperti kebun, pakaian, dan perhiasan, dan lainsebagainya.  Sedangkan  mal istihlaki  adalah harta benda yang menuut kebiasaanya hanya dapat dipakai dengan menimbulkan kerusakan zatnya atau berkurang nilainya. Seperti korek api, makanan, minuman, kayu bakar, dan lain sbagainya.
Mal-istihlaki  dibedakan menjadi dua. Pertama, istihlaki haqiqiy yakni harta-benda yang benar-benar habis sekali dipakai seperti kau bakar, korek api, makanan, dal lain sebagainy. Kedua, istihlaki huqqiy yaitu harta benda yang secara hokum bersifat habis sekali dipakai, meskipun bendanya masih utuh, kertas tilis, dan sebagainya.
Pembedaan hartabenda seperti ini menimbulakan kosekuensa hokum dalam hal menjadi objek transaksi.  Pada harta yang bersifat Isti’mali dapat dijadikan objek aka yang mendatangkan keuntungan materi bagi pemiliknya.seperti akad ijarah, yakni akad yang transaksi manfaat suatu harta dengan sejumlah imbalan tertentu. Akad Ijarah seperti ini tidak dilakukan terhadap harta isti’mali. Jenis harta Istikmali hanya memungkingkinkan pemiliknya mentasarufkan manfaat barang untuk tujuan ta’qwun (tolong- menoling), seperti pada akad ‘ariyah,yakni transaksi atas manfaat barang yang tidak disertai imbalan.

5.Mal Mamluk, Mal Mahjur dan Mal Mubah
Dari segi satuanya, harta dibedakan menjadi mal mamluk, mal mahjur dan mal mubah. Mal mamluk  adalah harta benda yang setatusnya berbeda dalam pemilikan seseorang atau benda hokum seperti pemerintahan atau yayasan. Orang lain tidak berhak menguasai barang seperti ini kecuali melalui akad tertentu yang diberikan oleh syara’.
Mal muhjur adalah harta menrurut syara’ tidak dapat dimuliki dan tidak dapat diserahkan pada orang lain lantaran telah diwakafkan atau telah diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti jalan, masjid,tempat pemakaman, dan segala macam barang yang diwakafkan.
Jadi harta mahjur adakalanya harta harta yang dikhusukan utnuk kepentingan umum, seperti jalan, pasar,dan lain sebagaianya. Apabila suatu barang tersebut tidak lagi difungsikan utnuk kepentingan umum, maka hata tersebut dapat diserahkan atau dimilikioleh pihak lain melalui akad tertentu yang dibenarkan oleh syara’. Harta mahjur adakalanya juga berupa harta mana pada perimsipnya syara’ menetapkan tidak dapat diprjual belikan kecuali atas pertimbangan kemanfaatan yang lebih besar yang dibenarakan syara’. Misalnya karena biaya perawatanya yang terlalu mahal melebihi hasil atau nilai manfaat barang.
Mal mubah (benda bebas) adalah segala harta selain yang termasuk kedua katergori benda di atas. Setiap orang dapat menguasai dan memiliki jenis benda ini sesuai kesanggupanya. Orang yang lebih dahulu menguasai ia menjadi pemiliknya. Orang yang lebih dahulu menguasainya ia menjadi pemiliknya. Upaya menguasai benda mubah dalam terminology fikih muamalah disebut ihraz al-mubahat (penguasaan atas harta bebas). Ikan dan laut,rumput dan binatang buruan di hutan adalah sebagian kecil dari mal mubahat.

6.Mal Ashl dan Mal Tsamarah
Yang dimaksud dengan malul-Ashl adalah harta benda yang dapat dihasilkan harta lain. Sedangkan malus tsamarah adalah harta benda yang tumbh atau dihasilkan dari Malul Ashl tanpa menimbulkan kerugian atau kerusakan atasnya. Misalnya sebidang kebunmenghasilkan buah-buahan. Maka kebun merupakan malul-ashl sedang buah-buahan merupakan  malus-tsamarah.Pembedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa konsekuensi hokum sebagaimana berikit ini :Pertama, perselisihan trhadap malul-qismah yang menjadi milik bersama diselesaikan oleh keputusan hakim melalui qismatut tafriq,  yakni membagi benda menjadi bagian-bagian yang terpisah. Jika perselisihan serupa terjadi pada mal ghairul qismah diselesaikan melalui pembaggianatas dasar kerelaan masing-masing pihak.

Kedua, persekutuan terhadap mal ghairul qismah yang belum ditentukan bagian masing-masing, maka pemilk bagian tersebut sah melimpahkan pemilik tersebut kepada orang lain. Terhadap malul qismah, pemberian seperti di atas tidak sah sebelum dilakukan pembagian lebih dahulu.

7.Malul Khas dan Malul ‘Amm
Yang dimaksut dengan malul Khas adalah harta benda yang dimiliki oleh peribadi seseorang dan orang lain tercegah menguasai atau memanfaatkannya tanpa seizing pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan malul ‘amm adalah harta benda yang menjadi milik masyarakat yang sejak semula dimaksudkan untuk ke maslahatan dan kepentingan umum.
Malul Khas dapat berubah menjadi malul ‘amm, demikian pula sebaliknya karena sebab-sebab sebagai berikut:
1.    Karena khendak pemiliknya dan penguasanya, seperti sebidang tana untuk masjit atau seebidang tanah untuk pekuburan, sebelum diperuntukkan bagi kepentingan umum adalah tergolong sebagai malul-‘amm yang dikuasai oleh pemiliknya. Demikian juga pemerintah berhak melelang harta umum sehingga malul ‘amm terseubut berubah menjadai milik pribadi atau malul khas.
2.    Karena ketetapan syara’ atau karena undang-undang seperti pembebasan tanah hak milik utnuk kepentingan umum seperti untuk pasar, jalan dan lain sebagainya.
Dengan demikian malul ‘amm (harta milik masyarakat umum) meliputi:
1.      Harta yang diperuntuhkan bagi bagikemaslahatan bersama, seperti berbagai fasilitas umum.
2.      Harta atau kekayaan Negara yang hanya dapat dieksploitasi umtuk kepentingan Negara atau untuk kepentingan masyarakat umum.
3.      Harta pribadi yang manfaatnya dipruntukkan bagi kepentingan umum.
Pembedaan harta seperti ini menimbulkan beberapa kosekuensi hokum sebagai berikkut
Pertama, malul khas dapat ditasyarufkan oleh pemiliknya secara bebas melalui cara-cara perikatan yang dibenarakan oleh syare’ sedang malul ‘amm tidak dapat ditasharufkan secara bebas.
Kedua, apa nila seseoarang mempergunakan malul ‘amm tanpa kesepakatan pihak-pihak yang berwenang untuk kepentingan pribadi, misalnya untuk tanggungan utang, maka ia dapat dituntut untuk membayar ganti rugi.
Ketiga, malul ‘amm tidak dapat dibebaskan oleh seseorang, meskipun oleh peribadi oleh seseorang penguasa sekalipun dengan ganti rugi, kecuali demi dan atas nama kepentingan umum yang lebih besar.
Harta-harta yang wajib dizakati pada garis besarnya adalah sebagai berikut :
1.      Emas dan perak (mata uang)
2.      Barang-barang perniagaan
3.      Hasil tanaman dan buah-buahan
4.      Hewan ternak
5.      Hasil tambang dan rikaz

Segala macam harta benda tersebut wajib dikeluarkan zakatnya, jika telah memenuhi syarat-syarat wajibnya, yaitu :
a.       Islam, tidak ada wajib zakat atas harta orang non Islam.
b.      Baligh dan berakal sehat, anak-anak yang belum baligh dan orang-orang yang tidak waras akalnya tidak wajib zakat baginya, tetapi harta keduanya wajib dizakati oleh walinya masing-masing.
c.       Sampai senisab . yang di maksud dengan nisab adalah suatu jumlah tertentu bagi setiap jenis harta yang termasuk wajib zakat, selain dari kebutuhan hidup sehari-hari, seperti : sandang, pangan, papan, kendaraan dan alat-alat untuk bekerja.

B.     Zakat Uang Simpanan
Uang merupakan alat tukar menukar di tiap-tiap negara di dunia ini. Uang ini tidak hanya terbuat dari emas dan perak, tetapi juga dari logam lain, seperti : tembaga, alumunium dan kertas. Yang terakhir inilah yang umum dipakai. Nilai berbagai macam uang selalu terikat pada nilai emas. Apabila nilai jumlah uang kertas atau uang logam itu telah sampai senisab emas atau perak, maka wajiblah dikeluarkan zakatnya. Hal ini sesuai dengan pendapat sebagaian besar ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abd. Rahman Al Jaziri, bahwa : “Jumhur Fuqah dari madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa uang kertas itu wajib dizakati, karena ia telah dapat mengganti emas dan perak sebagai alat tukar menukar dan dapat ditukarkan dengan emas atau perak, tanpa kesukaran.”
Apabila seorang muslim memiliki uang logam atau uang kertas yang jumlahnya senilai dengan nisab emas yaitu, 20 mitskal, maka wajiblah dikeluarkan zakatnya : 2 setengah %.
Demikianlah perhitungan nisab dan zakat uang kertas dan uang logam, selalu dibandingkan dengan harga pasaran emas. Maka dengan demikian, nisab dan zakat uang kertas, serta uang logam tidak tetap dan setiap waktu dapat berubah, tergantung pada naik turunnya harga emas dipasaran.

C.    Zakat Pendapatan/Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang keahlian khusus sebagai mata pencaharian, seperti : arsitek, pelukis, dokter, olahragawan, pejabat tinggi negara dan sebagainya. Penghasilan atau gaji yang mereka terima jika sampai senisab dan telah cukup setahun mereka miliki, mereka wajib mengeluarkan zakatnya 2 setengah persen. Demikianlah penghasilan itu, jika diukur dengan syarat nisab emas. Akan tetapi jika diukur dengan hasil tanaman, maka syarat wajib zakatnya tidak setahun lamanya, tetapi pada waktu panen, atau menerima penghasilan itu, dan zakatnya pun tidak 2 setengah persen, tetapi 5 samapai 10 persen. Namun hal ini, belum ada suatu ketentuan yang disepakati bersama.

D.    Zakat Harta Dagangan (perniagaan)
Segala macam jenis harta atau barang yang diperdagangkan orang, baik yang termasuk dalam jenis harta yang wajib dizakati, seperti : bahan makanan dan ternak, maupun harta yang tidak termasuk wajib zakat, seperti : tekstil, hasil kerajinan, kelapa, tebu, pisang, tanah, mebel dan sebaginya. Semuanya itu wajib dizakati, jika telah memenuhi syarat
Adapun syarat-syarat wajib zakat barang-barang dagangan, adalah sebagai berikut :
1)      Adanya niat untuk bisnis dalam berbagai macam barang tersebut.
2)      Nilai barang-barang yang diperdagangkan itu, telah samapai batas nisab pada akhir tahun dagangan itu.
3)      Nisab yang menjadi patokan di dalam barang dagangan adalah, nisab emas dan perak.

Adapun cara menghitung zakat barang dagangan, yaitu :
Setelah sampai setahun perdagangan, dihitung dari tanggal pembukuannya : (Misalnya : dari 14 Mei 2011 sampai dengan 27 Juni 2011), maka seluruh barang-barang dagangan, dibuatkan suatu daftar harga untuk mengetahui apakah nilai atau haga barang-barang itu telah sampai senisab, setelah melunasi semua utang piutang. Adapun peralatan yang dipakai di kantor seperti : mesin-mesin, meja, kursi, almari, kendaraan dan sebagainya, tidak dimasukkan di dalam perhitungan barang-barang dagangan tersebut.
                        Apabila jumlah harga barang-barang itu telah cukup senisab, maka dikeluarkanlah zakat : 1/40 (2 setengah %) dari harga seluruhnya yang merupakan modal dan segala keuntungannya. Barang-barang inventaris tersebut, tidak dimasukkan dalam perhitungan karena “yang dimaksud barang-barang dagangan pada kenyataannya adalah barang-barang yang silih berganti dan dapat ditukar-tukar, karena  diperkirakan akan mendapat keuntungan.”
                        Perhitungan harga barang dagangan harus disesuaikan dengan nilai mata uang negeri tempat usaha dan menurut nilai uang pada akhir tahun perhitungan.

E.     Zakat Saham dan Obligasi
Harta benda yang bersifat tetap seperti : rumah sewa, losmen, hotel, taksi dan sebagainya, semuanya itu tidak wajib dizakati. Tetapi hasilnya jika telah sampai senisab, wajib dizakati. Demikian juga saham yang merupakan bagian dari usaha perniagaan, wajib dizakati sebagai barang perniagaan.

F.     Zakat Hewan Ternak (An’am)
Ternak yang disepakati wajib zakat ada tiga jenisnya yaitu :
a.       Unta
b.      Sapi termasuk kerbau
c.       Kambing termasuk kibas atau domba

Setiap pribadi atau pengusaha ataupun syarikah (koperasi) yang memiliki ternak : unta, sapi atau kambing, ia wajib menunaikan zakatnya, apabila telah memenuhi syarat-syarat wajibnya yaitu :
a.       Digembalakan di padang rumput sepanjang tahun menurut jumhur ulama. Adapun ulama Malikiyah, tidak mensyaratkan seperti tersebut, tetapi mereka mewajibkan zakat pada ternak, baik yang digembalakan di padang bebas, maupun yang diberi makan dikandangnya.
b.      Adanya ternak itu, untuk produksi susu atau daging, bukan untuk dipakai bertani, demikian pendapat jumhur. Akan tetapi ulama malikiyah tidak mensyaratkan hal tersebut, mereka mengatakan bahwa ternak itu wajib dizakati, sama saja bekerja atau tidak.
c.       Jumlahnya telah sampai senisab dan telah cukup setahun dimiliki.

v  Nisab ternak Unta dan Zakatnya
Perincian nisab unta dan zakatnya, dijelaskan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Anas ra, ketika ia diutus oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq ra sebagai amil (pejabat) di Kota Bahrain, ia berikan surat tugas yang isinya antara lain sebagai berikut :
Artinya : “Barang siapa tidak memiliki selain empat ekor unta, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya, kecuali jika pemiliknya rela bersedekah. Apabila telah sampai lima ekor unta, maka wajiblah dizakati dengan seekor anak kambing.”
TABEL NISAB DAN ZAKAT UNTA

Nisabnya
Zakatnya
Umurnya
5-9 ekor
1 ekor kambing
2 tahun
10-14 ekor
2 ekor kambing
2 tahun
15-19 ekor
3 ekor kambing
2 tahun
20-24 ekor
4 ekor kambing
2 tahun
25-35 ekor
1 ekor anak unta
1 tahun lebih
36-45 ekor
1 ekor anak unta
2 tahun lebih
46-60 ekor
1 ekor anak unta
3 tahun lebih
61-75 ekor
1 ekor anak unta
4 tahun lebih
76-90 ekor
2 ekor anak unta
2 tahun lebih
91-120 ekor
2 ekor anak unta
3 tahun lebih
>121 ekor
3 ekor anak unta
2 tahun lebih
Jika lebih dari 121 ekor, ada hitungannya tersendiri.

v  Nisab ternak Sapi dan Zakatnya
Nisab ternak sapi atau kerbau, dijelaskan oleh hadits Mu’az bin Jabal ra ketika diutus oleh Rasulullah saw ke Yaman, sebagai pemerintah daerah, merangkap jabatan amil, ia berkata :
Artinya : ”Rasulullah saw telah memerintahkan aku untuk memungut zakat dari tiap-tiap 30 ekor sapi, dengan seekor anaknya, jantan atau betina yang berumur satu tahun.” (Hadits diriwayatkan lima perawi).

TABEL NISAB DAN ZAKAT SAPI

Nisabnya
Zakatnya
Umurnya
30-39 ekor
1 ekor anak sapi
1 tahun lebih
40-59 ekor
1 ekor anak sapi
2 tahun lebih
60-69 ekor
2 ekor anak sapi
1 tahun lebih
>70 ekor
1 ekor anak sapi
1 tahun lebih
                                            1 ekor anak sapi
2 tahun lebih
Setelah lebih 70 ekor, perhitungannya sebagai berikut :
30 ekor
1 ekor anak sapi
1 tahun lebih
40 ekor
1 ekor anak sapi
2 tahun lebih
80 ekor
2 ekor anak sapi
2 tahun lebih
100 ekor
2 ekor anak sapi
1 tahun lebih
                                            1 ekor anak sapi
2 tahun lebih

v  Nisab ternak Kambing dan Zakatnya
Nisab ternak kambing, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas ra, beriringan dengan keterangan nisab dan zakat unta, yaitu: Artinya : “Dan hisab ternak kambing yang digembalakan, jika telah ada 40 ekor, sampai dengan 120 ekor, zakatnya seekor anak kambing. Jika lebih dari 120 sampai dengan 200 ekor, zakatnya 2 ekor anak kambing. Jika lebih dari 200 atau sampai dengan 300 ekor, maka zakatnya 3 ekor anak kambing. Jika lebih dari 300 ekor, maka tiap-tiap 100 ekor, zakatnya seekor anak kambing.”

TABEL NISAB DAN ZAKAT KAMBING

Nisabnya
Zakatnya
Umurnya
40-120 ekor
1 ekor anak kambing
2 tahun lebih
121-200 ekor
2 ekor anak kambing
2 tahun lebih
201-399 ekor
3 ekor anak kambing
2 tahun lebih
400 ekor
4 ekor anak kambing
2 tahun lebih
Apabila telah lebih dari 400 ekor, maka tiap-tiap 100 ekor, zakatnya satu ekor anak kambing yang telah berumur 1 tahun lebih.


G.  Mustakhik Zakat
1.    Dalil yang Menjelaskan Batasan Orang – Orang Yang Berhak Menerima Zakat




       Sesungguhnya zakat – zakat itu hanyalah untuk orang – orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS 9:60).
       Ayat tersebut menunjukkan bahwa yang berhak menerima zakat ialah delapan kategori manusia.
       Diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibn Abbas bahwasannya Nabi saw. Pernah berkata kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman,


    
…Jika mereka menuruti perintahmu untuk itu  ketetapan atas mereka untuk mengeluarkan zakat  beritahukanlah kepada mereka bahwasannya Allah swt. Mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan lagi kepada orang-orang fakir di antara mereka…
      
            Dalil ini menunjukkan bahwa zakat diambil oleh Imam dari orang-orang Muslim yang kaya, kemudian dibagikan olehnya kepada orang-orang fakir. Pembagian zakat kepada “kaum fakir” dalam riwayat tersebut dijadikan dasar bagi mazhab Maliki bahwasannya zakat boleh dibagikan hanya kepada satu kelompok saja.
            Kelompok penerima zakat (mustahiqq al-zakat) ada sepuluh: orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.[1]
a.  Orang Fakir (al-Fuqara’)
     Al-Fuqara’ adalah kelompok pertama yang menerima zakat. Al-Fuqara’ adalah bentuk jamak dari kata al-faqir. Al-faqir menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Dia tidak memiliki suami, ayah-ibu, dan keturunan yang dapat membiayainya, baik untuk membeli makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
b.  Orang Miskin (al-Masakin)
     Al-Masakin adalah bentuk jamak dari kata al-miskin. Kelompok ini merupakan kelompok kedua zakat. Orang miskin ialah orang yang memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat dipakai untuk memenuhi hajat hidupnya.
  Adapun orang miskin ialah orang yang memiliki pekerjaan atau mampu bekerja, tetapi penghasilannya hanya mampu memenuhi lebih dari sebagian hajat kebutuhannya, tidak mencukupi seluruh hajat hidupnya. Yang dimaksudkan dengan cukup ialah dapat memenuhi lebih dari sebagian hajat kebutuhan sehari-harinya, dari sisa terbesar umurnya, misalnya enam puluh dua tahun.
  Dalil mereka yang menunjukkan bahwa orang fakir lebih sengsara dibandingkan dengan orang miskin ialah bahwasannya Allah swt. Menyebut fakir terlebih dahulu karena biasanya Dia menyebutkan sesuatu yang lebih penting, baru disusul yang berikutnya. Allah swt. Berfirman,


   Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja dilaut…(QS 18:79)


Allah memberitahukan bahwa mereka (orang-orang miskin) itu memiliki perahu yang dipakai untuk bekerja. Nabi saw. Juga pernah memohon kemiskinan kepada Allah swt, tetapi beliau memohon perlindungan-Nya untuk dihindarkan dari kefakiran. Beliau bersabda,




          Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku di hari kiamat nanti bersama orang-orang miskin.[2]

    
c.  Panitia Zakat (Al-‘Amil)
          Panitia zakat adalah orang-orang yang bekerja memungut zakat. Panitia ini disyaratkan harus memiliki sifat kejujuran dan menguasai hukum zakat. Yang boleh dikategorikan sebagai panitia zakat ialah orang yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh (al-‘asyir); penulis (al-katib); pembagi zakat untuk para mustahiqq-nya; penjaga harta yang dikumpulkan; al-hasyir; yaitu orang uang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan/orang-orang yang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan/orang-orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat; al’arif (orang yang ditugasi menaksir orang yang telah memiliki kewajiban untuk zakat); penghitung binatang ternak; penguasa, karena mereka tidak boleh mengambil dari bayt al-mal.
          Bagian yang diberikan kepada para panitia dikategorikan sebagai upah atas kreja yang dilakukannya. Panitia masih tetap diberi bagian zakat, meskipun dia orang kaya. Karena, jika hal itu dikategorikan sebagai zakat atau sedekah, dia tidak boleh mendapatkannya.
          d.  Mu’allaf yang Perlu Ditundukkan Hatinya
          Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain orang-orang yang lemah niatnya untuk memasuki Islam. Mereka diberi bagian dari zakat agar niat mereka memasuki Islam menjadi kuat. Mereka terdiri atas dua macam: Muslim dan Kafir.
          Kelompok kafir terdiri atas dua bagian, yaitu orang-orang yang diharapkan kebaikannya bisa muncul, dan orang-orang yang ditakuti kejelekannya.
          Para ulama berselisih pendapat dalam memberikan bagian zakat kepada mu’allaf ketika mereka belum memeluk Islam. Mazhab Hanbali dan Maliki mengatakan, “Mereka diberi bagian agar tertarik kepada Islam,” karena sesungguhnya Nabi saw. Pernah memberikan kepada mu’allaf yang Muslim dan mu’allaf dari kaum musyrik.
          Adapun mu’allaf yang sudah Muslim boleh diberi bagian zakat, karena kita perlu menarik perhatian mereka, dengan alasan-alasan berikut:
1.  Mereka adalah orang-orang yang lemah niatnya untuk memeluk Islam. Mereka diberi bagian zakat agar kuat niatnya dalam memeluk Islam.
2.  Kepala suku yang Muslim yang dihormati oleh kaumnya. Mereka diberi bagian dari zakat agar mereka tetap memeluk Islam.
3.  Orang-orang Muslim yang bertempat-tinggal di wilayah kaum Muslim yang berbatasan dengan orang-orang kafir, untuk menjaga agar orang-orang kafir tidak memerangi kita.
4.  Orang yang memungut zakat dari suatu kaum yang tidak memungkinkan pengiriman pengambil zakat itu sampai kepada mereka, meskipun pada dasarnya mereka tidak enggan mengeluarkan zakat.
   Para ulama berselisih pendapat mengenai tetapnya bagian orang mu’allaf setelah zaman Nabi saw. Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan, “Hak orang mu’allaf untuk menerima zakat telah gugur dengan menyebarnya Islam ke berbagai daerah dan kemenangan yang diraih oleh Islam karena sesungguhnya Allah swt. Telah memenangkan Islam dan mencukupi kaum Muslim sehingga mereka tidak perlu lagi merayu orang kafir untuk memasuki Islam. Dan oleh karena itu, kelompok yang berhak menerima zakat tinggal tujuh, dan bukan delapan.
e.     Para Budak
       Para budak yang dimaksudkan di sini, menurut jumhur ulama, ialah para budak muslim yang telah membuat perjanjian dengan tuannya (al-mukatabun)[3] untuk dimerdekakan dan tidak memiliki uang untuk membayar tebusan atas diri mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan membanting tulang mati-matian. Mereka tidak mungkin melepaskan diri dari orang yang tidak menginginkan kemerdekaannya kecuali telah membuat perjanjian. Jika ada seorang hamba yang dibeli, uangnya tidak akan diberikan kepadanya melainkan kepada tuannya. Selain itu ditegaskan pula dalam firman Allah swt.


…Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu…(QS 24: 33)
       Mazhab Maliki mengatakan, “Para budak itu hendaknya dibeli dengan bagian zakat yang mereka terima sehingga mereka bisa merdeka setiap kali kata perbudakan disebutkan di dalam Al-Qur’an, di tempat itu juga ada anjuran bahwa mereka hendaknya dimerdekakan.” Dan pembebasan budak tidak akan terjadi kecuali pada hamba sahaya yang betul-betul budak) seperti yang disebutkan dalam ayat kafarat.
     f. Orang yang Memiliki Utang (Al-Gharimin)
Mereka adalah orang-orang yang memiliki utang, baik hutang itu untuk dirinya sendiri maupun bukan, baik utang itu dipergunakan untuk hal-hal yang baik maupun untuk melakukan kemaksiatan. Jika utang itu dilakukannya untuk kepentingannya sendiri, dia tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat kecuali dia adalah seorang yang dianggap fakir. Tetapi, jika utang itu untuk kepentingan orang banyak yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk menebus denda pembunuhan atau menghilangkan barang orang lain, dia boleh diberi bagian zakat, meskipun sebenarnya dia itu kaya, sebab ada sabda Rasulullah saw.,

Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya kecuali bila ada salah satu dari lima sebab di bawah ini. Orang yang berjuang di jalan Allah swt., panitia zakat, berutang, orang yang menebus dirinya, orang yang mempunyai tetangga yang miskin lalu diberikan kepadanya, tetapi orang miskin itu menghadiahkannya kembali kepadanya.[4]
     g. Orang yang Berjuang di Jalan Allah (Fi Sabilillah)
       Yang termasuk dalam kelompok ini ialah para pejuang yang berperang di jalan Allah yang tidak digaji oleh markas komando mereka karena yang mereka lakukan hanyalah berperang. Allah swt. Berfirman,

 




         Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur…(QS 61: 4),
       Dan ayat-ayat yang lain.
       Menurut jumhur ulama, orang-orang yang berperang di jalan Allah diberi bagian zakat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, meskipun mereka itu kaya karena sesungguhnya orang-orang yang berperang itu adalah untuk kepentingan orang banyak. Adapun orang-orang yang digaji oleh markas komando mereka, tidak diberi bagian zakat sebab mereka memiliki gaji tetap yang dapat dipakai untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, dan mereka tidak memerlukan bagian itu.
h.  Orang yang Sedang dalam Perjalanan
       Orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang-orang yang bepergian (musafir) untuk melaksanakan suatu hal yang baik (tha’ah) tidak termasuk maksiat. Dia diperkirakan tidak akan mencapai maksud dan tujuannya jika tidak dibantu. Sesuatu yang termasuk perbuatan baik (tha’ah) ini antara lain, ibadah haji, berperang di jalan Allah, dan ziarah yang dianjurkan.
i. Untuk Keperluan Pembebasan Kaum Tertindas
            Di masa lalu, ketika perbudakan masih berlaku di seluruh dunia, bagian ini disediakan dalam upaya pembebasanpara budak. Adakalanya untuk membeli budak-budak untuk dimerdekakan setelah itu. Dan adakalanya ntuk membantu mereka yang telah mengikat perjanjian dengan majikan-majikan mereka agar dibebaskan dengan imbalan  sejumlah uang tertentu.
            Adapun di zaman sekarang, beberapa tokoh umat berpendapat bahwa bagian ini dari uang zakat, dapat disalurkan kepada umat Islam di seluruh dunia yang masih menderita dibawah tekanan perbudakan bangsa-bangsa asing hampir di seluruh aspek kehidupan budaya, ekonomi, sosial dan lainnya.
j. Ibnu Sabil
            Secar harfiah, arti ibnu sabil adalah anak jalanan yang tidak mempunyai rumah untuk ditinggali. Atau orang yang terpaksa lebih sering dalam perjalanan, jauh dari kota tempat tinggalnya, demi memenuhi nafkah hidupnya.
            Termasuk dalam kategori in, musafir yang kebetulan kehabisan ongkos di tengah perjalanannya, sehingga memerlukan bantuan keuangan. Menurut sebagian ulam, orang seperti itu boleh diberi dari uang zakat, walaupun di negaranya sendiri ia termasuk berkecukupan. Syaratnya, tidak ada orang lain yang bersedia meminjamkan uang kepadanya, untuk biay kepulangannya.
            Diantara persyaratan lainnya adalah bahwa perjalanannya itu untuk  tujuan kebaikan, bukan untuk melakukan maksiat. Maka yang lebih diutamakan adalah para penuntut ilmu yang berada jauh dari dari keluarganya. Atau untuk memberikan beasiswa bagi para pelajar diluar negeri yang sedang mempelajari ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat Muslim secara umum.
            Demikian pula untuk kaum pengungsi yang terusir dari negerinya akibat kekacauan ekonomi atau politik. Atau para tunawisma, atau anak-anak jalanan yang terpaksa tidur di pinggir jalan karena tidak ada tempat yang dapat menaungi mereka dari panas matahari ataupun dinginnya malam. 
2.  Syarat-Syarat Mustahiqq Zakat dan Sifat-Sifatnya
a.    Faqir
       Faqir, kecuali panitia zakat karena tetap diberi bagian zakat meskipun dia orang kaya. Dia mempunyai hak untuk menerima bagian itu sebagai upah atas pekerjaan yang dilakukannya karena telah meluangkan waktunya untuk pekerjaan ini dan memerlukan biaya untuk itu. Orang ini kedudukannya sama dengan orang fakir karena yang sesungguhnya dilihat adalah hajatnya dan ketika sedang dalam perjalanan dia tidak membawa harta kekayaannya, meskipun realitasnya dia adalah orang kaya.
       Kefakiran merupakan syarat umum atas semua zakat wajib dan sedekah yang sunat, seperti zakat sepersepuluh, kafarat (denda), nadzar, dan zakat fitrah karena keumuman firman Allah swt.


       Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir …
Oleh karena itu, zakat dan sedekah tidak boleh diberikan kepada orang kaya.
b.    Penerima Zakat Harus Muslim
       Orang yang menerima zakat dipersyaratkan harus orang Muslim, kecuali orang-orang yang baru masuk Islam. Menurut mazhab Maliki dan Hanbali, zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir, apa pun alasannya; berdasarkan hadis Mu’adz r.a. terdahulu,


         Ambillah zakat dari orang-orang kaya dari mereka (Muslim-Peneri) dan berikan kepada orang-orang fakir dari mereka (muslim).
       Mu’adz diperintahkan untuk memberikan zakat kepada orang – orang fakir diantara mereka (orang – orang Muslim) yang diambilkan dari orang-orang kaya, yaitu orang-orang Muslim. Oleh karena itu, zakat tidak boleh dibayarkan kepada selain orang-orang Muslim.
c.     Penerima Zakat itu Bukan Berasal dari Keturunan Bani Hasyim
       Keturunan Bani Hasyim (Ahl al-Bayt) diharamkan menerima zakat karena zakat adalah kotoran manusia. Mereka diperbolehkan mengambil khumus dari Bait Mal untuk mencukupi kebutuhan mereka berdasarkan sabda Nabi saw.,


       Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah kotoran manusia. Dia tidak dihalalkan untuk Muhammad dan juga tidak dihalalkan untuk keluarga Muhammad.[5]
d.    Penerima Zakat itu Bukan Orang yang Lazim Diberi Nafkah
       Zakat tidak boleh diberikan kepada karib kerabat dan istri walaupun sedang berada dalam masa ‘iddah karena tindakan seperti ini akan menghalangi pemberian kepada orang fakir dari satu segi, dan dari segi yang lain zakat itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
       Zakat tidak boleh dibayarkan kepada ibu-bapak sampai kepada kakek-nenek; kepada anak-anak dan juga keturunan mereka; kepada istri, meskipun dia berada dalam kefakiran dan kemiskinan karena sesungguhnya mereka telah mendapatkan nafkah yang rutin dari suami mereka. Zakat merupakan keperluan yang lain dan oleh karena itu tidak boleh disatukan dengan nafkah karena jika dibayarkan kepada istri, sang istri dianggap telah memakai barang orang lain. Bahkan ada yang berpendapat bahwa zakat tidak boleh dibayarkan kepada orang yang tidak diberi nafkah olehnya karena telah diberi nafkah oleh orang lain, sebab dia sudah tidak memerlukannya, misalnya orang yang bekerja setiap hari yang penghasilannya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
       Zakat juga boleh diberikan kepada sanak kerabat yang tidak disebutkan diatas, misalnya kepada saudara laki-laki, saudara perempuan, bibi dari pihak bapak, bibi dari pihak ibu, dan sebagainya; berdasarkan hadis al-Thabarani dari Salman bin ‘Amir,



       Zakat terhadap orang miskin yang masih termasuk kerabat kita mendapatkan dua pahala; pahala zakat dan pahala bersilaturrahim.   

e.     Penerima Zakat Harus Balig, Akil, dan Merdeka
       Zakat tidak boleh diterima oleh anak kecil yang umurnya belum sampai tujuh tahun dan tidak boleh diterima oleh orang gila, kecuali bila anak kecil dan orang gila itu ada yang mengasuhnya, misalnya bapaknya, atau orang yang ditugasi untuk itu. Masih menurut mazhab Hanafi, zakat boleh diberikan kepada anak-anak kecil yang sudah mumayyiz dan masih termasuk sanak kerabat mereka, berkenaan dengan hari raya, atau situasi dan kondisi lain yang seperti itu.
       Zakat tidak boleh diberikan kepada anak orang kaya karena anak kecil itu dianggap sebagai orang kaya dengan kekayaan ayahnya. Zakat boleh diberikan kepadanya apabila dia sudah besar dan dia dalam keadaan fakir, sebab dalam keadaan ini dia dianggap tidak kaya dan harta kekayaan ayahnya terpisah dari dirinya.
       Mazhab Syafi’i[6] mempersyaratkan bahwa orang yang menerima zakat itu hendaknya yang sudah balig, akil, dan waras pikirannya. Oleh karena itu, zakat tidak boleh diberikan kepada anak kecil, orang gila, yang kurang waras pikirannya yang suka meninggalkan shalat, kecuali jika orang-orang itu ada yang mengasuhnya.



                















DAFTAR PUSTAKA

Bagir, Muhammad, 2008 FIQH PRAKTIS.  Bandung: Karisma.
Ja’far  muhammadiyah, 2000. Tuntunan Ibadah Zakat Puasa dan Haji. Jakarta Pusat, Kalam Mulia.
Daud Ali Muhammad, 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Press).
Supiana, 2002 dkk. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Masadi A.Ghufron, 2002.  Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 
Qasim bin Muhammad, 1995. Fiqih Islam Terjemah Fat-hul Qarib. Surabaya: Karya Abditama.   
Zuhayly Al Wahabah, 2005. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.


[1] Al-Bada’i', II hlm. 43-46; al-Durr al-Mukhtar, II, hlm. 79-84; Fath al-Qadir, II, hlm. 14-20 al-Syarh al-Kabir, I, hlm. 492-497; al-Syarh al-Shagir, I, hlm. 657-664; Bidayah al-Mujtahid, I, hlm. 266-269; al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hlm. 109-111; al-Muhadzdzab, I, hlm. 170-173; Kasysyaf al-Qanna’, II, hlm. 216-332; al-Mughni, II, hlm. 665 dan seterusnya.
[2] Di riwayatkan oleh al-Turmudzi.
[3] Al-Mukatab ialah budak yang dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan bila dia telah membayar sejumlah uang. Membuat perjanjian seperti itu disunatkan oleh Allah swt., sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “…Dan budak-budak yang kamu miliki dan menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika mengetahui ada kebaikan pada mereka…” (QS 24: 33) agar mereka dapat merdeka.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dari Sa’id al-Khudri r.a.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim dalam sebuah hadis yang cukup panjang dari riwayat Abdul Muthalib bin Rabi’ah. Hadisnya dianggap marfu’ (sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw). Al-Khamsah (Ahmad dan penghimpun empat kitab Sunan) juga meriwayatkan hadis ini dari Abu Rafi’, “Sesungguhnya zakat tidak dihalalkan untuk kami.” (Lihat Nashb al-Rayah, II, hlm. 403; Nayl al-Awthar, IV, hlm. 174).
[6] Mughni al-Muhtaj, III, hlm. 112

No comments:

Post a Comment