MAKALAH FIQIH I
“ZAKAT”
Dosen pembimbing :
Drs. H. Farid Hasyim,
M.Ag
Di susun oleh : MOH. KAMILUS ZAMAN
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG 2011
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ZAKAT”.Makalah ini
disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih I.
Melalui
kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan ucapan terimakasih kepada pihak –
pihak yang telah memberikan bantuan antara lain :
1.
Bapak
Drs. H. Farid Hasyim, M.Ag selaku
pembimbing dosen Fiqih I dalam pengerjakan tugas Fiqih I ini
2.
Semua
pihak yang terlibat didalam pengerjaan tugas dan yang telah mendukung, sehingga
tugas ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Kami
menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu
kami mengharap saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pembaca,
agar dalam pembuatan makalah ini selanjutnya akan lebih sempurna dan makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amiin.
Malang, 27 September 2011
Penyusun
BAB 1
1.Rumusan masalah
Adapun masalah-masalah yang yang akan di
bahas dalam makalah ini adalah :
1.Apa
itu yang dinamakan zakat mal ?
2.
Apa saja perbedaan-perbedaan, dan macam-macam zakat ?
2.Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang apa
yang dinamakan zakat mal.
2.
Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan, dan macam-macam
zakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Zakat Harta Benda (Maal)
Dalam kitab-kitab fikih,
untuk menunjukkan harta digunakan istilah al-mal yang bentuk jamaknya adalah al-amwal. Secara
literal al-mal berarti “condong” atau “berpaling“ dari satu posisi kepada
posisi – lainya. Ia adalah suatu yang naluri manusia cenderung kepadanya.
Dalam terminology fikih
muamalah terdapat beberapa variasi pengertian tentang harta atau al-mal .
antara lain adalah difinisi harta yang berkembang di kalangan fuqoha’
Hanafiyah, sebagai berikut :
مايميل
أليه طيع الا نسان ويمكن ادخاره إلى وقت الحا جة
“segala sesuatu yang naluri manusia
cenderung kepadanya dan dapat disimpan batas waktu yang diperlukan”
Dala pengertian di atas,
fuqaha’ Hanafiyah menekankan batasan harga pada term iddiikkbar (“dapat
disimpan”) yang mengsyaratkan pengecualian aspek manfaat. Menurut pandangan
mereka “manfaat” tidak termasuk bagian dari konsep harta, melainkan masuk
dalalm konsep milkiyah.
Dari ta’rif di ats dapat disimpulkan bahwa harta adalah
sesuatu selain manusia yang mana manusia mempunyai hajat (keperluan)
terhadapnya dapat disimpan untuk ditasharufkan.
Adapun konsep harta yang
berkemang di kalangan jumhurul fuqoha’ mazhab Malikiyah, Syafi’yah dan
hanabilah adalah:
ما
يميل اليه الطبع ويجري فيه البد ل والمنع
“sesuatu yang naluri manusia cenderung
kepadanya dan dapat diserahkan dan orang lain terhalang mempergunakanya.
Pengertian di atas
mengisyaratkan pandangan mereka bahwa harta tidak terbatas pada materi
melainkan juga pada manfaat.
Difinisi harta yang
disimpulkan oleh fuaha’ mutaabbirin, antara lain disampaikan oleh
Musthafa Ahnad al-Zarqa’
المال
هو كل عين ذات قيمة مادية متدا ولة بين الناس
“setiap materi (‘ain)yang mempunyai
nilai yang berada di kalangan manusia”
Muhammad syalabi
menyampaikan pengertian sebagai berikut:
ما
يمكن حيازته واحرازه والإ نتفاع به انتفا عا معتا دا
“sesuatu yang dapat dikuasai, dapat
disimpan serta dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan”.
Dari beberapa pengertian
yang disampaikan di muka dapat disimpulkan bahwa unsure harta ada empat, yaitu
:
1.
Bersifat materi (‘aniyab), atau
mempunyai wujud nyata.
2.
Dapat disimpan untuk dimiliki (qabilan
lit-tamlik)
3.
Dapat dimanfaatkan (qabilan
lil-intifa’)
4.
Uruf (adat atau kebiasaan) masyarakat
memandangnya sebagai harta
B.PEMBAGIAN JENIS-JINIS HARTA
1.Mal
Mutaqawwim dan Ghairu Mutaqawwim
Ditinjau dari segi
pemanfaatanya menurut Syari’at dibedakan
menjadi mal mutaqawwim (halal dimanfaatkan) dan mal ghairul
mutaqawwim (harta yang tidak halal dimanfaatkan). Babi, khamr, bangkai dan
lain-lain sebagianya tergolong mal ghairu mataqawwim karena syari’at
meng haramkan kepada orang mukmin untuk memanfaatkan barang-barang yang sejenis
ini.
Pembedaan harta sejenis
ini mengakibatkan beberapa konsekuensi hokum.
Pertama , pada prinsipnya umat
islam tidak diperkenankan menjadikan harta ghairu mutaqawwim n sebagai
objek teransaksi. Prinsip ini tettunya tidak berlaku secara mutlak. Artinya
benda gbairu mutaqawwim bias dijadikan sebagai objek transaksi sepanjang
terdapat indeksi yang kuat bahwa tujuan transaksi (maudu’ul aqdi) tidak untuk hal-hal yang dilarang syari’at.
misalnya transaksi jual beli anjing herder bukan anjing potong. Pada transaksi
jual beli anjing potong atau daging anjing tujuanya adalah untuk dimakan.
Tujuan transaksi ini jelas bertentangan dengan syari’ atIslam. Sedang anjing
heder ditransaksikan untuk tujuan keamanan. Tujuan transaksi ini tidak
bertentangan dengan syari’at islam
sekalipun dilakukan terhadap mal ghairu mutaqawwim
Kedua, perusakan atas harga ghiaru
bmutaqawwim tidak mengakibatkan hak menurut ganti rugi. Dalam hal ini ulama
mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa Syari’at Islam melindungi pemilikan ablu
dzimmab terhadap harta ghairu mutaqawwim, bagi seorang non muslim
yang hidup di dalam pemerintahan Islam (ablul zimmab) barang-barang
tersebut termasuk harta Mutaqawwim. oleh
karena itu menurut Abu Hanafi orang islam yang merusakkan atau
melenyapkan wajib menganti dengan harta, jika yang merusakkan orang dzimmi
pemilik berhak menuntut ganti dengan barang yang serupa.
Menurut imam Malik orang
yang merusak harta mutaqawwim milik orang dzimmah wajib menggantinya dengan
harta baik yang merusakan adalah seorang muslim atau dzimmah. Sedang menurut
iamam Syafi’I dan imam Ahmad seorang yang merusakkannya tidak wajib membyar
ganti rugi baik yang merusakan adalah orang Muslim maupun dzimmi
2.Mal
al-‘Uqar dan Mal Ghairul ‘Uqar
Dari segi kemungkinan
dapat dipidahkan, harta dibedakan menjadi mal-‘uqar (harta tidak
bergerak atau harta tetap), yaitu harta bnda yang tidak mungkin dipindah dari
tempat asalnya ke tempat lain seperti tanah dan rumah, dan mal ghairul ‘uqar
( harta bergerak dari tempat semula
kepada tempat lain seperti hewandan perhiasan.
Pembedaan jenis harta
seperti ini mengakibatkan beberapa kosekuensi hokum, antara lain:
Pertama, hubungan ketetanggan terhadap mal’uqar menimbulkan
hak syf’ah hak prioritas seseorang tetangga dekat untuk membeli mal-‘uqqar, sebelum
pemilik berkehedak mnenjual kepada orang lain. Hak prioritas seperti ini tidak
terdapat pada mal ghairul ‘uqar.
Kedua, mal-‘uqar dapat dijadikan sebagai
objek wakaf tanpa ada perselisihan di kalangan fuqaha’. Sedang wakaf harta ghairul
‘uqar ulma’ Hanafiyah
mempersyaratkan sifatnya yang tidak dapat dipisah dari harta tidak bergerak.
Menurut fuqaha’ jumhur semua jenis benda baik bergerak maupun benda idak
bergerak dapat di jadikan sebagai objek wakaf.
Ketiga, seorang wasi (orang yang kepadanya
diberikan wasiat) memelihara harta anak kecil tidak dibenarkan menjual harta
tidak bergerak milik anak kecil tersebut kecuali dalam hal-hal yang sangat
mendesak, seperti menjualnya untuk kepentingan membayar hutang anak kecil. Hal
ini dilakukan harus dengan seizing hakim. Sedang terhadap harta bergarak,
seorang wasi boleh menjualnya untuk keperluan pemeliharaan anak kecil
ersebut tanpa harus ada izin dari hakim.
3.Mal
Misliy dan Mal Qimiy
Dari padanan harta
sejenis di pasaran, harta dibedakan menjadi, mal-misliy dan mal Qimiy. Mal
mislay adalah harta yang mempunyai
persamaan atau padana dengan tidak mempertimbangkan adanya perbedaan antara
satu dengan yang lainya dalam kesatuan jenisnya. Biasanya mal mislay berupa harta-harta yang dpat
ditimbang, ditakar, daukur atau dihitung kuantitasnya. Kebanyakan komoditas
barang) tergolong jenis ini seperti buah-buahan, syayur-mayur., garment dan
lain sebagainya.
Sedangkan mal-qimiy adalah
harta yang tidak mempunyai persamaan atau padanan atau yang memiliki padanan
namun terdapat perbedaan kualitas yang sangat diperhutungkan, seperti perhiasan,
binatang piaraan, naskah kuno, barang antic, dan lain sebagainya.
Pembedaan harta seperti
ini mengakibatkan beberapa kosekuensi hokum, antara lain:
Pertama, system jual beli atas
barter atas mal-qimiy tidak mungkinkan terjadi riba fudhuli, karena
jenis satuanya tidak sama. Tetapi jual beli bater terhadap mal- mislay dimungkinkan teransaksi
jual beli yang menjurus praktek riba fudhuli.
Kedua, dalam perserikatan harta
yang bersifat mislay dapat mengambil bagianya ketika teman atau mitra
sekutunya sedang tidak ada ditempat (bil ghaib) . sebaliknya dalam
persekutuan harta yang bersifat qimiy, masing-masing pihak yang
bersangkutan tidak boleh mengambil bagianya selama pihak lain tdak sedang
berada di tempat.
Ketiga, pengrusakan terhadap harta mislay pemilik berhak menutut ganti rugi dengan
berang yang sejenis, sedang pengrusakan terhadap harta yang berifat qimiy maka ganti pembayaran ganti ugi dilakukan
dengan memperhitungkan harganya.
4.Mal
Isti’ mali dan Mal Istihlaki
Dari segi sifat
pemanfaatanya, harta dibedakan menjadi mal isti’ mali dan mal istihlaki. Mal-Isti’li adalah harta benda yang
dapat diambil manfaatnya beberapakali dan tidak menimbulkan perubahan dan
kerusakan zatnya dan tidak berkurang nilainya, seperti kebun, pakaian, dan
perhiasan, dan lainsebagainya. Sedangkan
mal istihlaki adalah harta benda yang menuut kebiasaanya
hanya dapat dipakai dengan menimbulkan kerusakan zatnya atau berkurang
nilainya. Seperti korek api, makanan, minuman, kayu bakar, dan lain sbagainya.
Mal-istihlaki dibedakan menjadi dua. Pertama, istihlaki
haqiqiy yakni harta-benda yang benar-benar habis sekali dipakai seperti kau
bakar, korek api, makanan, dal lain sebagainy. Kedua, istihlaki huqqiy yaitu
harta benda yang secara hokum bersifat habis sekali dipakai, meskipun bendanya
masih utuh, kertas tilis, dan sebagainya.
Pembedaan hartabenda
seperti ini menimbulakan kosekuensa hokum dalam hal menjadi objek
transaksi. Pada harta yang bersifat Isti’mali
dapat dijadikan objek aka yang mendatangkan keuntungan materi bagi
pemiliknya.seperti akad ijarah, yakni akad yang transaksi manfaat
suatu harta dengan sejumlah imbalan tertentu. Akad Ijarah seperti ini
tidak dilakukan terhadap harta isti’mali. Jenis harta Istikmali hanya
memungkingkinkan pemiliknya mentasarufkan manfaat barang untuk tujuan ta’qwun
(tolong- menoling), seperti pada akad ‘ariyah,yakni transaksi atas
manfaat barang yang tidak disertai imbalan.
5.Mal Mamluk,
Mal Mahjur dan Mal Mubah
Dari segi satuanya, harta
dibedakan menjadi mal mamluk, mal mahjur dan mal mubah. Mal mamluk adalah harta benda yang setatusnya berbeda
dalam pemilikan seseorang atau benda hokum seperti pemerintahan atau yayasan.
Orang lain tidak berhak menguasai barang seperti ini kecuali melalui akad
tertentu yang diberikan oleh syara’.
Mal muhjur adalah harta menrurut
syara’ tidak dapat dimuliki dan tidak dapat diserahkan pada orang lain lantaran
telah diwakafkan atau telah diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti jalan,
masjid,tempat pemakaman, dan segala macam barang yang diwakafkan.
Jadi harta mahjur
adakalanya harta harta yang dikhusukan utnuk kepentingan umum, seperti jalan,
pasar,dan lain sebagaianya. Apabila suatu barang tersebut tidak lagi
difungsikan utnuk kepentingan umum, maka hata tersebut dapat diserahkan atau
dimilikioleh pihak lain melalui akad tertentu yang dibenarkan oleh syara’.
Harta mahjur adakalanya juga berupa harta mana pada perimsipnya syara’
menetapkan tidak dapat diprjual belikan kecuali atas pertimbangan kemanfaatan
yang lebih besar yang dibenarakan syara’. Misalnya karena biaya perawatanya
yang terlalu mahal melebihi hasil atau nilai manfaat barang.
Mal mubah (benda bebas) adalah
segala harta selain yang termasuk kedua katergori benda di atas. Setiap orang
dapat menguasai dan memiliki jenis benda ini sesuai kesanggupanya. Orang yang
lebih dahulu menguasai ia menjadi pemiliknya. Orang yang lebih dahulu
menguasainya ia menjadi pemiliknya. Upaya menguasai benda mubah dalam
terminology fikih muamalah disebut ihraz al-mubahat (penguasaan atas
harta bebas). Ikan dan laut,rumput dan binatang buruan di hutan adalah sebagian
kecil dari mal mubahat.
6.Mal Ashl dan Mal Tsamarah
Yang
dimaksud dengan malul-Ashl adalah harta benda yang dapat dihasilkan
harta lain. Sedangkan malus tsamarah adalah harta benda yang tumbh atau
dihasilkan dari Malul Ashl tanpa menimbulkan kerugian atau kerusakan
atasnya. Misalnya sebidang kebunmenghasilkan buah-buahan. Maka kebun merupakan malul-ashl
sedang buah-buahan merupakan malus-tsamarah.Pembedaan jenis harta
seperti ini mengakibatkan beberapa konsekuensi hokum sebagaimana berikit ini :Pertama,
perselisihan trhadap malul-qismah yang menjadi milik bersama
diselesaikan oleh keputusan hakim melalui qismatut tafriq, yakni membagi benda menjadi bagian-bagian yang
terpisah. Jika perselisihan serupa terjadi pada mal ghairul qismah diselesaikan
melalui pembaggianatas dasar kerelaan masing-masing pihak.
Kedua, persekutuan terhadap mal ghairul qismah yang belum ditentukan bagian masing-masing, maka pemilk bagian tersebut sah melimpahkan pemilik tersebut kepada orang lain. Terhadap malul qismah, pemberian seperti di atas tidak sah sebelum dilakukan pembagian lebih dahulu.
7.Malul
Khas dan Malul ‘Amm
Yang dimaksut dengan malul
Khas adalah harta benda yang dimiliki oleh peribadi seseorang dan orang
lain tercegah menguasai atau memanfaatkannya tanpa seizing pemiliknya.
Sedangkan yang dimaksud dengan malul ‘amm adalah harta benda yang
menjadi milik masyarakat yang sejak semula dimaksudkan untuk ke maslahatan dan
kepentingan umum.
Malul Khas dapat berubah menjadi malul
‘amm, demikian pula sebaliknya karena sebab-sebab sebagai berikut:
1.
Karena khendak pemiliknya dan
penguasanya, seperti sebidang tana untuk masjit atau seebidang tanah untuk
pekuburan, sebelum diperuntukkan bagi kepentingan umum adalah tergolong sebagai
malul-‘amm yang dikuasai oleh pemiliknya. Demikian juga pemerintah
berhak melelang harta umum sehingga malul ‘amm terseubut berubah
menjadai milik pribadi atau malul khas.
2.
Karena ketetapan syara’ atau
karena undang-undang seperti pembebasan tanah hak milik utnuk kepentingan umum
seperti untuk pasar, jalan dan lain sebagainya.
Dengan demikian malul
‘amm (harta milik masyarakat umum) meliputi:
1.
Harta yang diperuntuhkan bagi
bagikemaslahatan bersama, seperti berbagai fasilitas umum.
2.
Harta atau kekayaan Negara yang
hanya dapat dieksploitasi umtuk kepentingan Negara atau untuk kepentingan
masyarakat umum.
3.
Harta pribadi yang manfaatnya
dipruntukkan bagi kepentingan umum.
Pembedaan harta seperti
ini menimbulkan beberapa kosekuensi hokum sebagai berikkut
Pertama, malul khas dapat ditasyarufkan oleh
pemiliknya secara bebas melalui cara-cara perikatan yang dibenarakan oleh
syare’ sedang malul ‘amm tidak dapat ditasharufkan secara bebas.
Kedua, apa nila seseoarang
mempergunakan malul ‘amm tanpa kesepakatan pihak-pihak yang berwenang
untuk kepentingan pribadi, misalnya untuk tanggungan utang, maka ia dapat
dituntut untuk membayar ganti rugi.
Ketiga, malul ‘amm tidak dapat dibebaskan
oleh seseorang, meskipun oleh peribadi oleh seseorang penguasa sekalipun dengan
ganti rugi, kecuali demi dan atas nama kepentingan umum yang lebih besar.
Harta-harta
yang wajib dizakati pada garis besarnya adalah sebagai berikut :
1. Emas dan perak (mata uang)
2. Barang-barang perniagaan
3. Hasil tanaman dan buah-buahan
4. Hewan ternak
5. Hasil tambang dan rikaz
Segala
macam harta benda tersebut wajib dikeluarkan zakatnya, jika telah memenuhi
syarat-syarat wajibnya, yaitu :
a. Islam, tidak ada wajib zakat atas harta
orang non Islam.
b. Baligh dan berakal sehat, anak-anak yang
belum baligh dan orang-orang yang tidak waras akalnya tidak wajib zakat
baginya, tetapi harta keduanya wajib dizakati oleh walinya masing-masing.
c. Sampai senisab . yang di maksud dengan
nisab adalah suatu jumlah tertentu bagi setiap jenis harta yang termasuk wajib
zakat, selain dari kebutuhan hidup sehari-hari, seperti : sandang, pangan,
papan, kendaraan dan alat-alat untuk bekerja.
B.
Zakat Uang Simpanan
Uang
merupakan alat tukar menukar di tiap-tiap negara di dunia ini. Uang ini tidak
hanya terbuat dari emas dan perak, tetapi juga dari logam lain, seperti :
tembaga, alumunium dan kertas. Yang terakhir inilah yang umum dipakai. Nilai
berbagai macam uang selalu terikat pada nilai emas. Apabila nilai jumlah uang
kertas atau uang logam itu telah sampai senisab emas atau perak, maka wajiblah
dikeluarkan zakatnya. Hal ini sesuai dengan pendapat sebagaian besar ulama,
sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abd. Rahman Al Jaziri, bahwa : “Jumhur
Fuqah dari madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa uang kertas itu
wajib dizakati, karena ia telah dapat mengganti emas dan perak sebagai alat
tukar menukar dan dapat ditukarkan dengan emas atau perak, tanpa kesukaran.”
Apabila
seorang muslim memiliki uang logam atau uang kertas yang jumlahnya senilai
dengan nisab emas yaitu, 20 mitskal, maka wajiblah dikeluarkan zakatnya : 2
setengah %.
Demikianlah
perhitungan nisab dan zakat uang kertas dan uang logam, selalu dibandingkan
dengan harga pasaran emas. Maka dengan demikian, nisab dan zakat uang kertas,
serta uang logam tidak tetap dan setiap waktu dapat berubah, tergantung pada
naik turunnya harga emas dipasaran.
C.
Zakat Pendapatan/Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang
keahlian khusus sebagai mata pencaharian, seperti : arsitek, pelukis, dokter,
olahragawan, pejabat tinggi negara dan sebagainya. Penghasilan atau gaji yang
mereka terima jika sampai senisab dan telah cukup setahun mereka miliki, mereka
wajib mengeluarkan zakatnya 2 setengah persen. Demikianlah penghasilan itu,
jika diukur dengan syarat nisab emas. Akan tetapi jika diukur dengan hasil
tanaman, maka syarat wajib zakatnya tidak setahun lamanya, tetapi pada waktu
panen, atau menerima penghasilan itu, dan zakatnya pun tidak 2 setengah persen,
tetapi 5 samapai 10 persen. Namun hal ini, belum ada suatu ketentuan yang
disepakati bersama.
D.
Zakat Harta Dagangan (perniagaan)
Segala
macam jenis harta atau barang yang diperdagangkan orang, baik yang termasuk
dalam jenis harta yang wajib dizakati, seperti : bahan makanan dan ternak,
maupun harta yang tidak termasuk wajib zakat, seperti : tekstil, hasil
kerajinan, kelapa, tebu, pisang, tanah, mebel dan sebaginya. Semuanya itu wajib
dizakati, jika telah memenuhi syarat
Adapun
syarat-syarat wajib zakat barang-barang dagangan, adalah sebagai berikut :
1) Adanya niat untuk bisnis dalam berbagai
macam barang tersebut.
2) Nilai barang-barang yang diperdagangkan
itu, telah samapai batas nisab pada akhir tahun dagangan itu.
3) Nisab yang menjadi patokan di dalam
barang dagangan adalah, nisab emas dan perak.
Adapun cara menghitung
zakat barang dagangan, yaitu :
Setelah sampai setahun
perdagangan, dihitung dari tanggal pembukuannya : (Misalnya : dari 14 Mei 2011
sampai dengan 27 Juni 2011), maka seluruh barang-barang dagangan, dibuatkan
suatu daftar harga untuk mengetahui apakah nilai atau haga barang-barang itu
telah sampai senisab, setelah melunasi semua utang piutang. Adapun peralatan
yang dipakai di kantor seperti : mesin-mesin, meja, kursi, almari, kendaraan
dan sebagainya, tidak dimasukkan di dalam perhitungan barang-barang dagangan
tersebut.
Apabila jumlah harga barang-barang itu telah
cukup senisab, maka dikeluarkanlah zakat : 1/40 (2 setengah %) dari harga
seluruhnya yang merupakan modal dan segala keuntungannya. Barang-barang
inventaris tersebut, tidak dimasukkan dalam perhitungan karena “yang dimaksud
barang-barang dagangan pada kenyataannya adalah barang-barang yang silih
berganti dan dapat ditukar-tukar, karena
diperkirakan akan mendapat keuntungan.”
Perhitungan harga barang dagangan harus
disesuaikan dengan nilai mata uang negeri tempat usaha dan menurut nilai uang
pada akhir tahun perhitungan.
E.
Zakat Saham dan Obligasi
Harta
benda yang bersifat tetap seperti : rumah sewa, losmen, hotel, taksi dan
sebagainya, semuanya itu tidak wajib dizakati. Tetapi hasilnya jika telah
sampai senisab, wajib dizakati. Demikian juga saham yang merupakan bagian dari
usaha perniagaan, wajib dizakati sebagai barang perniagaan.
F.
Zakat Hewan Ternak (An’am)
Ternak
yang disepakati wajib zakat ada tiga jenisnya yaitu :
a. Unta
b. Sapi termasuk kerbau
c. Kambing termasuk kibas atau domba
Setiap
pribadi atau pengusaha ataupun syarikah (koperasi) yang memiliki ternak : unta,
sapi atau kambing, ia wajib menunaikan zakatnya, apabila telah memenuhi
syarat-syarat wajibnya yaitu :
a. Digembalakan di padang rumput sepanjang
tahun menurut jumhur ulama. Adapun ulama Malikiyah, tidak mensyaratkan seperti
tersebut, tetapi mereka mewajibkan zakat pada ternak, baik yang digembalakan di
padang bebas, maupun yang diberi makan dikandangnya.
b. Adanya ternak itu, untuk produksi susu
atau daging, bukan untuk dipakai bertani, demikian pendapat jumhur. Akan tetapi
ulama malikiyah tidak mensyaratkan hal tersebut, mereka mengatakan bahwa ternak
itu wajib dizakati, sama saja bekerja atau tidak.
c. Jumlahnya telah sampai senisab dan telah
cukup setahun dimiliki.
v Nisab ternak Unta dan Zakatnya
Perincian
nisab unta dan zakatnya, dijelaskan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Anas ra, ketika ia diutus oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq ra
sebagai amil (pejabat) di Kota Bahrain, ia berikan surat tugas yang isinya antara
lain sebagai berikut :
Artinya : “Barang siapa tidak memiliki selain empat
ekor unta, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya, kecuali jika pemiliknya
rela bersedekah. Apabila telah sampai lima ekor unta, maka wajiblah dizakati
dengan seekor anak kambing.”
TABEL NISAB DAN ZAKAT UNTA
Nisabnya
|
Zakatnya
|
Umurnya
|
5-9
ekor
|
1
ekor kambing
|
2
tahun
|
10-14
ekor
|
2
ekor kambing
|
2
tahun
|
15-19
ekor
|
3
ekor kambing
|
2
tahun
|
20-24
ekor
|
4
ekor kambing
|
2
tahun
|
25-35
ekor
|
1
ekor anak unta
|
1
tahun lebih
|
36-45
ekor
|
1
ekor anak unta
|
2
tahun lebih
|
46-60
ekor
|
1
ekor anak unta
|
3
tahun lebih
|
61-75
ekor
|
1
ekor anak unta
|
4
tahun lebih
|
76-90
ekor
|
2
ekor anak unta
|
2
tahun lebih
|
91-120
ekor
|
2
ekor anak unta
|
3
tahun lebih
|
>121 ekor
|
3
ekor anak unta
|
2
tahun lebih
|
Jika lebih dari 121 ekor, ada
hitungannya tersendiri.
|
v Nisab ternak Sapi dan Zakatnya
Nisab
ternak sapi atau kerbau, dijelaskan oleh hadits Mu’az bin Jabal ra ketika
diutus oleh Rasulullah saw ke Yaman, sebagai pemerintah daerah, merangkap
jabatan amil, ia berkata :
Artinya : ”Rasulullah saw telah memerintahkan aku untuk
memungut zakat dari tiap-tiap 30 ekor sapi, dengan seekor anaknya, jantan atau
betina yang berumur satu tahun.” (Hadits
diriwayatkan lima perawi).
TABEL NISAB DAN ZAKAT SAPI
Nisabnya
|
Zakatnya
|
Umurnya
|
30-39
ekor
|
1
ekor anak sapi
|
1
tahun lebih
|
40-59
ekor
|
1
ekor anak sapi
|
2
tahun lebih
|
60-69
ekor
|
2
ekor anak sapi
|
1
tahun lebih
|
>70
ekor
|
1
ekor anak sapi
|
1
tahun lebih
|
1
ekor anak sapi
|
2
tahun lebih
|
|
Setelah lebih 70 ekor,
perhitungannya sebagai berikut :
|
||
30
ekor
|
1
ekor anak sapi
|
1
tahun lebih
|
40
ekor
|
1
ekor anak sapi
|
2
tahun lebih
|
80
ekor
|
2
ekor anak sapi
|
2
tahun lebih
|
100
ekor
|
2
ekor anak sapi
|
1
tahun lebih
|
1 ekor anak sapi
|
2
tahun lebih
|
v Nisab ternak Kambing dan Zakatnya
Nisab
ternak kambing, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas ra,
beriringan dengan keterangan nisab dan zakat unta, yaitu: Artinya : “Dan hisab
ternak kambing yang digembalakan, jika telah ada 40 ekor, sampai dengan 120
ekor, zakatnya seekor anak kambing. Jika lebih dari 120 sampai dengan 200 ekor,
zakatnya 2 ekor anak kambing. Jika lebih dari 200 atau sampai dengan 300 ekor,
maka zakatnya 3 ekor anak kambing. Jika lebih dari 300 ekor, maka tiap-tiap 100
ekor, zakatnya seekor anak kambing.”
TABEL NISAB DAN ZAKAT KAMBING
Nisabnya
|
Zakatnya
|
Umurnya
|
40-120
ekor
|
1
ekor anak kambing
|
2
tahun lebih
|
121-200
ekor
|
2
ekor anak kambing
|
2
tahun lebih
|
201-399
ekor
|
3
ekor anak kambing
|
2
tahun lebih
|
400
ekor
|
4
ekor anak kambing
|
2
tahun lebih
|
Apabila
telah lebih dari 400 ekor, maka tiap-tiap 100 ekor, zakatnya satu ekor anak
kambing yang telah berumur 1 tahun lebih.
|
G.
Mustakhik Zakat
1. Dalil yang Menjelaskan Batasan Orang – Orang
Yang Berhak Menerima Zakat
Sesungguhnya
zakat – zakat itu hanyalah untuk orang – orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan budak), orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS 9:60).
Ayat tersebut menunjukkan
bahwa yang berhak menerima zakat ialah delapan kategori manusia.
Diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibn
Abbas bahwasannya Nabi saw. Pernah berkata kepada Mu’adz bin Jabal ketika
beliau mengutusnya ke Yaman,
…Jika mereka menuruti
perintahmu untuk itu ketetapan atas
mereka untuk mengeluarkan zakat
beritahukanlah kepada mereka bahwasannya Allah swt. Mewajibkan kepada
mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan
diberikan lagi kepada orang-orang fakir di antara mereka…
Dalil ini menunjukkan bahwa zakat diambil oleh Imam
dari orang-orang Muslim yang kaya, kemudian dibagikan olehnya kepada
orang-orang fakir. Pembagian zakat kepada “kaum fakir” dalam riwayat tersebut
dijadikan dasar bagi mazhab Maliki bahwasannya zakat boleh dibagikan hanya
kepada satu kelompok saja.
Kelompok penerima zakat (mustahiqq
al-zakat) ada sepuluh: orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), orang-orang yang berutang, untuk
jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.[1]
a. Orang Fakir
(al-Fuqara’)
Al-Fuqara’
adalah kelompok pertama yang menerima zakat. Al-Fuqara’ adalah bentuk jamak dari kata al-faqir. Al-faqir menurut
mazhab Syafi’I dan Hanbali adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan
pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Dia tidak memiliki
suami, ayah-ibu, dan keturunan yang dapat membiayainya, baik untuk membeli
makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
b. Orang
Miskin (al-Masakin)
Al-Masakin
adalah bentuk jamak dari kata al-miskin.
Kelompok ini merupakan kelompok kedua zakat. Orang miskin ialah orang yang
memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat dipakai untuk memenuhi
hajat hidupnya.
Adapun orang miskin ialah orang yang memiliki
pekerjaan atau mampu bekerja, tetapi penghasilannya hanya mampu memenuhi lebih
dari sebagian hajat kebutuhannya, tidak mencukupi seluruh hajat hidupnya. Yang
dimaksudkan dengan cukup ialah dapat memenuhi lebih dari sebagian hajat
kebutuhan sehari-harinya, dari sisa terbesar umurnya, misalnya enam puluh dua
tahun.
Dalil mereka yang menunjukkan bahwa orang
fakir lebih sengsara dibandingkan dengan orang miskin ialah bahwasannya Allah
swt. Menyebut fakir terlebih dahulu karena biasanya Dia menyebutkan sesuatu
yang lebih penting, baru disusul yang berikutnya. Allah swt. Berfirman,
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja dilaut…(QS 18:79)
Allah memberitahukan bahwa mereka (orang-orang miskin)
itu memiliki perahu yang dipakai untuk bekerja. Nabi saw. Juga pernah memohon
kemiskinan kepada Allah swt, tetapi beliau memohon perlindungan-Nya untuk
dihindarkan dari kefakiran. Beliau bersabda,
Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku di hari kiamat nanti bersama orang-orang miskin.[2]
c. Panitia
Zakat (Al-‘Amil)
Panitia zakat adalah orang-orang yang
bekerja memungut zakat. Panitia ini disyaratkan harus memiliki sifat kejujuran
dan menguasai hukum zakat. Yang boleh dikategorikan sebagai panitia zakat ialah
orang yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh (al-‘asyir); penulis (al-katib);
pembagi zakat untuk para mustahiqq-nya;
penjaga harta yang dikumpulkan; al-hasyir;
yaitu orang uang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan/orang-orang
yang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan/orang-orang yang
diwajibkan mengeluarkan zakat; al’arif (orang
yang ditugasi menaksir orang yang telah memiliki kewajiban untuk zakat);
penghitung binatang ternak; penguasa, karena mereka tidak boleh mengambil dari bayt al-mal.
Bagian yang diberikan kepada para
panitia dikategorikan sebagai upah atas kreja yang dilakukannya. Panitia masih
tetap diberi bagian zakat, meskipun dia orang kaya. Karena, jika hal itu
dikategorikan sebagai zakat atau sedekah, dia tidak boleh mendapatkannya.
d. Mu’allaf yang Perlu Ditundukkan Hatinya
Yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain orang-orang yang lemah niatnya untuk
memasuki Islam. Mereka diberi bagian dari zakat agar niat mereka memasuki Islam
menjadi kuat. Mereka terdiri atas dua macam: Muslim dan Kafir.
Kelompok kafir terdiri atas dua
bagian, yaitu orang-orang yang diharapkan kebaikannya bisa muncul, dan
orang-orang yang ditakuti kejelekannya.
Para ulama berselisih pendapat dalam
memberikan bagian zakat kepada mu’allaf ketika mereka belum memeluk Islam.
Mazhab Hanbali dan Maliki mengatakan, “Mereka diberi bagian agar tertarik
kepada Islam,” karena sesungguhnya Nabi saw. Pernah memberikan kepada mu’allaf
yang Muslim dan mu’allaf dari kaum musyrik.
Adapun mu’allaf yang sudah Muslim boleh diberi bagian zakat, karena kita
perlu menarik perhatian mereka, dengan alasan-alasan berikut:
1. Mereka adalah orang-orang yang lemah niatnya
untuk memeluk Islam. Mereka diberi bagian zakat agar kuat niatnya dalam memeluk
Islam.
2. Kepala suku yang Muslim yang dihormati oleh
kaumnya. Mereka diberi bagian dari zakat agar mereka tetap memeluk Islam.
3. Orang-orang Muslim yang bertempat-tinggal di
wilayah kaum Muslim yang berbatasan dengan orang-orang kafir, untuk menjaga
agar orang-orang kafir tidak memerangi kita.
4. Orang yang memungut zakat dari suatu kaum yang
tidak memungkinkan pengiriman pengambil zakat itu sampai kepada mereka,
meskipun pada dasarnya mereka tidak enggan mengeluarkan zakat.
Para ulama berselisih pendapat mengenai
tetapnya bagian orang mu’allaf setelah zaman Nabi saw. Mazhab Hanafi dan Maliki
mengatakan, “Hak orang mu’allaf untuk menerima zakat telah gugur dengan
menyebarnya Islam ke berbagai daerah dan kemenangan yang diraih oleh Islam
karena sesungguhnya Allah swt. Telah memenangkan Islam dan mencukupi kaum
Muslim sehingga mereka tidak perlu lagi merayu orang kafir untuk memasuki
Islam. Dan oleh karena itu, kelompok yang berhak menerima zakat tinggal tujuh,
dan bukan delapan.
e. Para
Budak
Para budak yang dimaksudkan di sini,
menurut jumhur ulama, ialah para budak muslim yang telah membuat perjanjian
dengan tuannya (al-mukatabun)[3]
untuk dimerdekakan dan tidak memiliki uang untuk membayar tebusan atas diri
mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan membanting tulang mati-matian.
Mereka tidak mungkin melepaskan diri dari orang yang tidak menginginkan
kemerdekaannya kecuali telah membuat perjanjian. Jika ada seorang hamba yang
dibeli, uangnya tidak akan diberikan kepadanya melainkan kepada tuannya. Selain
itu ditegaskan pula dalam firman Allah swt.
…Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah
yang dikaruniakan-Nya kepadamu…(QS 24: 33)
Mazhab Maliki mengatakan, “Para
budak itu hendaknya dibeli dengan bagian zakat yang mereka terima sehingga
mereka bisa merdeka setiap kali kata perbudakan disebutkan di dalam Al-Qur’an,
di tempat itu juga ada anjuran bahwa mereka hendaknya dimerdekakan.” Dan pembebasan budak tidak
akan terjadi kecuali pada hamba sahaya yang betul-betul budak) seperti yang
disebutkan dalam ayat kafarat.
f. Orang yang Memiliki Utang (Al-Gharimin)
Mereka adalah orang-orang yang
memiliki utang, baik hutang itu untuk dirinya sendiri maupun bukan, baik utang
itu dipergunakan untuk hal-hal yang baik maupun untuk melakukan kemaksiatan. Jika utang itu dilakukannya
untuk kepentingannya sendiri, dia tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat
kecuali dia adalah seorang yang dianggap fakir. Tetapi, jika utang itu untuk
kepentingan orang banyak yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk menebus
denda pembunuhan atau menghilangkan barang orang lain, dia boleh diberi bagian
zakat, meskipun sebenarnya dia itu kaya, sebab ada sabda Rasulullah saw.,
Zakat tidak
boleh diberikan kepada orang kaya kecuali bila ada salah satu dari lima sebab
di bawah ini. Orang yang berjuang di jalan Allah swt., panitia zakat, berutang,
orang yang menebus dirinya, orang yang mempunyai tetangga yang miskin lalu
diberikan kepadanya, tetapi orang miskin itu menghadiahkannya kembali
kepadanya.[4]
g. Orang yang Berjuang di Jalan Allah (Fi Sabilillah)
Yang
termasuk dalam kelompok ini ialah para pejuang yang berperang di jalan Allah
yang tidak digaji oleh markas komando mereka karena yang mereka lakukan
hanyalah berperang. Allah swt. Berfirman,
Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang
teratur…(QS 61: 4),
Dan ayat-ayat yang lain.
Menurut jumhur ulama, orang-orang yang
berperang di jalan Allah diberi bagian zakat agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup mereka, meskipun mereka itu kaya karena sesungguhnya orang-orang yang
berperang itu adalah untuk kepentingan orang banyak. Adapun orang-orang yang
digaji oleh markas komando mereka, tidak diberi bagian zakat sebab mereka
memiliki gaji tetap yang dapat dipakai untuk memenuhi segala kebutuhan mereka,
dan mereka tidak memerlukan bagian itu.
h. Orang yang Sedang dalam Perjalanan
Orang yang sedang melakukan perjalanan
adalah orang-orang yang bepergian (musafir) untuk melaksanakan suatu hal yang
baik (tha’ah) tidak termasuk maksiat.
Dia diperkirakan tidak akan mencapai maksud dan tujuannya jika tidak dibantu.
Sesuatu yang termasuk perbuatan baik (tha’ah) ini antara lain, ibadah haji,
berperang di jalan Allah, dan ziarah yang dianjurkan.
i. Untuk Keperluan
Pembebasan Kaum Tertindas
Di masa lalu, ketika perbudakan
masih berlaku di seluruh dunia, bagian ini disediakan dalam upaya
pembebasanpara budak. Adakalanya untuk membeli budak-budak untuk dimerdekakan
setelah itu. Dan adakalanya ntuk membantu mereka yang telah mengikat perjanjian
dengan majikan-majikan mereka agar dibebaskan dengan imbalan sejumlah uang tertentu.
Adapun di zaman sekarang, beberapa
tokoh umat berpendapat bahwa bagian ini dari uang zakat, dapat disalurkan
kepada umat Islam di seluruh dunia yang masih menderita dibawah tekanan
perbudakan bangsa-bangsa asing hampir di seluruh aspek kehidupan budaya,
ekonomi, sosial dan lainnya.
j. Ibnu Sabil
Secar harfiah, arti ibnu sabil
adalah anak jalanan yang tidak mempunyai rumah untuk ditinggali. Atau orang
yang terpaksa lebih sering dalam perjalanan, jauh dari kota tempat tinggalnya,
demi memenuhi nafkah hidupnya.
Termasuk dalam kategori in, musafir
yang kebetulan kehabisan ongkos di tengah perjalanannya, sehingga memerlukan
bantuan keuangan. Menurut sebagian ulam, orang seperti itu boleh diberi dari
uang zakat, walaupun di negaranya sendiri ia termasuk berkecukupan. Syaratnya,
tidak ada orang lain yang bersedia meminjamkan uang kepadanya, untuk biay
kepulangannya.
Diantara persyaratan lainnya adalah
bahwa perjalanannya itu untuk tujuan
kebaikan, bukan untuk melakukan maksiat. Maka yang lebih diutamakan adalah para
penuntut ilmu yang berada jauh dari dari keluarganya. Atau untuk memberikan
beasiswa bagi para pelajar diluar negeri yang sedang mempelajari ilmu yang
bermanfaat bagi masyarakat Muslim secara umum.
Demikian pula untuk kaum pengungsi
yang terusir dari negerinya akibat kekacauan ekonomi atau politik. Atau para
tunawisma, atau anak-anak jalanan yang terpaksa tidur di pinggir jalan karena
tidak ada tempat yang dapat menaungi mereka dari panas matahari ataupun
dinginnya malam.
2. Syarat-Syarat
Mustahiqq Zakat dan Sifat-Sifatnya
a. Faqir
Faqir,
kecuali panitia zakat karena tetap diberi bagian zakat meskipun dia orang kaya.
Dia mempunyai hak untuk menerima bagian itu sebagai upah atas pekerjaan yang
dilakukannya karena telah meluangkan waktunya untuk pekerjaan ini dan
memerlukan biaya untuk itu. Orang ini kedudukannya sama dengan orang fakir
karena yang sesungguhnya dilihat adalah hajatnya dan ketika sedang dalam perjalanan
dia tidak membawa harta kekayaannya, meskipun realitasnya dia adalah orang
kaya.
Kefakiran merupakan syarat umum atas
semua zakat wajib dan sedekah yang sunat, seperti zakat sepersepuluh, kafarat
(denda), nadzar, dan zakat fitrah karena keumuman firman Allah swt.
Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir …
Oleh
karena itu, zakat dan sedekah tidak boleh diberikan kepada orang kaya.
b. Penerima
Zakat Harus Muslim
Orang yang menerima zakat dipersyaratkan
harus orang Muslim, kecuali orang-orang yang baru masuk Islam. Menurut mazhab
Maliki dan Hanbali, zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir, apa pun
alasannya; berdasarkan hadis Mu’adz r.a. terdahulu,
Ambillah zakat dari orang-orang kaya dari mereka (Muslim-Peneri)
dan berikan kepada orang-orang fakir dari mereka (muslim).
Mu’adz diperintahkan untuk memberikan
zakat kepada orang – orang fakir diantara mereka (orang – orang Muslim) yang
diambilkan dari orang-orang kaya, yaitu orang-orang Muslim. Oleh karena itu,
zakat tidak boleh dibayarkan kepada selain orang-orang Muslim.
c. Penerima
Zakat itu Bukan Berasal dari Keturunan Bani Hasyim
Keturunan Bani Hasyim (Ahl al-Bayt)
diharamkan menerima zakat karena zakat adalah kotoran manusia. Mereka
diperbolehkan mengambil khumus dari Bait Mal untuk mencukupi kebutuhan mereka
berdasarkan sabda Nabi saw.,
Sesungguhnya
zakat-zakat itu adalah kotoran manusia. Dia tidak dihalalkan untuk Muhammad dan
juga tidak dihalalkan untuk keluarga Muhammad.[5]
d. Penerima
Zakat itu Bukan Orang yang Lazim Diberi Nafkah
Zakat tidak boleh diberikan kepada karib
kerabat dan istri walaupun sedang berada dalam masa ‘iddah karena tindakan
seperti ini akan menghalangi pemberian kepada orang fakir dari satu segi, dan
dari segi yang lain zakat itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
Zakat tidak boleh dibayarkan kepada
ibu-bapak sampai kepada kakek-nenek; kepada anak-anak dan juga keturunan
mereka; kepada istri, meskipun dia berada dalam kefakiran dan kemiskinan karena
sesungguhnya mereka telah mendapatkan nafkah yang rutin dari suami mereka.
Zakat merupakan keperluan yang lain dan oleh karena itu tidak boleh disatukan
dengan nafkah karena jika dibayarkan kepada istri, sang istri dianggap telah
memakai barang orang lain. Bahkan ada yang berpendapat bahwa zakat tidak boleh
dibayarkan kepada orang yang tidak diberi nafkah olehnya karena telah diberi
nafkah oleh orang lain, sebab dia sudah tidak memerlukannya, misalnya orang
yang bekerja setiap hari yang penghasilannya dapat dipakai untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
Zakat juga boleh diberikan kepada sanak
kerabat yang tidak disebutkan diatas, misalnya kepada saudara laki-laki,
saudara perempuan, bibi dari pihak bapak, bibi dari pihak ibu, dan sebagainya;
berdasarkan hadis al-Thabarani dari Salman bin ‘Amir,
Zakat terhadap orang
miskin yang masih termasuk kerabat kita mendapatkan dua pahala; pahala zakat
dan pahala bersilaturrahim.
e. Penerima
Zakat Harus Balig, Akil, dan Merdeka
Zakat tidak boleh diterima oleh anak
kecil yang umurnya belum sampai tujuh tahun dan tidak boleh diterima oleh orang
gila, kecuali bila anak kecil dan orang gila itu ada yang mengasuhnya, misalnya
bapaknya, atau orang yang ditugasi untuk itu. Masih menurut mazhab Hanafi,
zakat boleh diberikan kepada anak-anak kecil yang sudah mumayyiz dan masih
termasuk sanak kerabat mereka, berkenaan dengan hari raya, atau situasi dan
kondisi lain yang seperti itu.
Zakat tidak boleh diberikan kepada anak
orang kaya karena anak kecil itu dianggap sebagai orang kaya dengan kekayaan
ayahnya. Zakat boleh diberikan kepadanya apabila dia sudah besar dan dia dalam
keadaan fakir, sebab dalam keadaan ini dia dianggap tidak kaya dan harta
kekayaan ayahnya terpisah dari dirinya.
Mazhab Syafi’i[6]
mempersyaratkan bahwa orang yang menerima zakat itu hendaknya yang sudah balig,
akil, dan waras pikirannya. Oleh karena itu, zakat tidak boleh diberikan kepada
anak kecil, orang gila, yang kurang waras pikirannya yang suka meninggalkan
shalat, kecuali jika orang-orang itu ada yang mengasuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Muhammad, 2008 FIQH PRAKTIS. Bandung: Karisma.
Ja’far muhammadiyah, 2000. Tuntunan Ibadah Zakat Puasa dan
Haji. Jakarta Pusat, Kalam Mulia.
Daud Ali Muhammad, 1988. Sistem
Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, Jakarta, Universitas Indonesia
(UI-Press).
Supiana, 2002 dkk. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Masadi A.Ghufron, 2002. Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Qasim bin Muhammad, 1995. Fiqih Islam Terjemah Fat-hul
Qarib. Surabaya: Karya Abditama.
Zuhayly Al
Wahabah, 2005. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Offset.
[1]
Al-Bada’i', II hlm. 43-46; al-Durr al-Mukhtar, II, hlm. 79-84; Fath al-Qadir,
II, hlm. 14-20 al-Syarh al-Kabir, I, hlm. 492-497; al-Syarh al-Shagir, I, hlm.
657-664; Bidayah al-Mujtahid, I, hlm. 266-269; al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hlm.
109-111; al-Muhadzdzab, I, hlm. 170-173; Kasysyaf al-Qanna’, II, hlm. 216-332;
al-Mughni, II, hlm. 665 dan seterusnya.
[2]
Di riwayatkan oleh al-Turmudzi.
[3]
Al-Mukatab ialah budak yang
dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan bila dia telah membayar sejumlah
uang. Membuat perjanjian seperti itu disunatkan oleh Allah swt., sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya: “…Dan
budak-budak yang kamu miliki dan menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat
perjanjian dengan mereka, jika mengetahui ada kebaikan pada mereka…” (QS
24: 33) agar mereka dapat merdeka.
[4]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dari Sa’id al-Khudri r.a.
[5]
Diriwayatkan oleh Muslim dalam sebuah hadis yang cukup panjang dari riwayat
Abdul Muthalib bin Rabi’ah. Hadisnya dianggap marfu’ (sanadnya bersambung
sampai kepada Rasulullah saw). Al-Khamsah (Ahmad dan penghimpun empat kitab
Sunan) juga meriwayatkan hadis ini dari Abu Rafi’, “Sesungguhnya zakat tidak
dihalalkan untuk kami.” (Lihat Nashb
al-Rayah, II, hlm. 403; Nayl
al-Awthar, IV, hlm. 174).
[6]
Mughni al-Muhtaj, III, hlm. 112
No comments:
Post a Comment