BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang
saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini
sebagai sumber ekonomi. Allah SWT berfirman :
ö@è%
ÉQöqs)»t
(#qè=yJôã$#
4n?tã
öNà6ÏGtR%s3tB
ÎoTÎ)
×@ÏJ»tã
( t$öq|¡sù
hcqßJn=÷ès?
ÇÌÒÈ
Artinya : ”Katakanlah: "Hai kaumku,
Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), Maka
kelak kamu akan mengetahui. (Q.S.Az-Zumar:39)
Jual beli dalam
bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al
Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah hukum
Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar
saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua
pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka.
B.
Rumusan Masalah
1) Pengertian Muamalah ?
2) Macam-macam jual beli ?
3) Pengertian Riba dan
macam-macamnya ?
4) Hikmah Diharamkan Riba’ ?
C. Tujuan Masalah
1) Memahami Pengertian Muamalah
2) Memahami Macam-macam jual bel
3) Memahami Pengertian Riba dan
macam-macamnya
4) Memahami Hikmah Diharamkan Riba’
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua
segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari segi istilah. Menurut bahasa, muamalah berasal dari kata :
(عامل- يعامل – معاملة) sama dengan wazan : (فاعل – يفاعل – مفاعلة) , artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.[1]
(عامل- يعامل – معاملة) sama dengan wazan : (فاعل – يفاعل – مفاعلة) , artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.[1]
Sedangkan
menurut istilah pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti
sempit.
a)
Definisi muamalah dalam arti luas
dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut :
1.
Menurut Ad-Dimyati :[2]
“
Aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.”
2.
Menurut Muhammad Yusuf Musa:[3]
“Peraturan-peraturan
Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga
kepentingan manusia.”
Dari dua
pengertian diatas , dapat diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan(hukum)
Allah swt, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan
keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial
kemasyarakatan. Menurut pengertian
di atas, manusia, kapanpun dan di mana pun, harus senantiasa mengikuti aturan
yang telah ditetapkan Allah SWT.,sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi
sebab segala aktivitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Dengan kata lain, dalam islam, tidak ada pemisahan antara amal dunia dan amal
akhirat, sebab sekecil apapun aktivitas manusia di dunia harus didasarkan pada
ketetapan Allah SWT.agar kelak selamat di akhirat.
b)
Sedangkan pengertian muamalah
dalam arti sempit (khas) didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
1.
Menurut Hudhari Beik : [4]
” Muamalah adalah semua akad yang
membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.
2.
Menurut Idris Ahmad :
”Muamalah adalah aturan aturan Allah yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan
alat-alat keperluan jasmaniyah dengan cara yang paling baik”.
3.
Menurut Rasyid Ridha:
“ Muamalah adalah tukar menukar
barang atau suatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dari
pandangan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqh
muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh
dan mengembangkan harta benda. Persamaan
pengertian muamalah dalam arti sempit dan muamalah dalam arti luas adalah
sama-sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan
pemutaran harta.
Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan
manusia, seperti sosial,
ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering
disebut dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu
cara bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan
di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga
kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan
yang terbatas. Sumber-sumber fiqih secara umum
berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang berupa Al-Quran dan
Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih
islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.
Ø Al-Quran
Al-Quran adalah kitab Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan
kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat. Al-Quran
merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah hokum dan
perundang- undangan.sebagai sumber hukum yang utama, Al-Quran dijadikan patokan
pertama oleh umat islam dalam menemukan
dan menarik hukum suatu perkara dalam
kehidupan.
Ø Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun
ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang berlaku
dan mengikat bagi umat islam.
Ø Ijma’ dan Qiyas
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum
syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i
agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus
dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa
ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan
qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat
dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru
yang sudah terdapat dalam nash.
Prinsip Dasar Fiqih Muamalah, Sebagai sistem kehidupan, Islam
memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia
ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan
nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme.
Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi
terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah.
Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat
konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah
adalah sebagai berikut :
1.Hukum asal dalam muamalat adalah
mubah
2. Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk
mewujudkan kemaslahatan
3.Menetapkan harga yang kompetitif
4. Meninggalkan intervensi yang
dilarang
5. Menghindari eksploitasi
6. Memberikan toleransi
B.
Macam-Macam
Jual Beli
Dalam fikih
muamalah, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli
dalam Islam, termasuk
jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Macam atau jenis jual-beli
dalam Islam itu antara lain:
1. Bai’ al mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan
uang. Uang berperan sebagai alat tukar. semacam ini menjiwai semua
produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli.
2. Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara
barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan
sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta
asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang
dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.
3. Bai’ al sharf; yaitu jual-beli atau pertukaran antara saw mata uang
asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar
dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat
berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral (telegrafic
transfer atau mail transfer).
4. Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam
transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
5. Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak
memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
6. Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan
dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan
(discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang
atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
7. Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang
(sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan
barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal
yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian
jangka pendek.
8. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak
jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat
diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama,
sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.
Di antara
jenis-jenis jual-beli dalam Islam tersebut, ada yang lazim digunakan sebagai model
pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al murabahah,
bai’ as salam dan bai’ al istishna’.
·
Al-Murabahah
Murabahah
adalah salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini
berlandaskan pada sabda Rasulullah saw dari Syuaib ar rumy r.a.: “Tiga hal yang
di dalamnya terdapat keberkahan: pertama, menjual dengan pembayaran tangguh
(murabahah), kedua, mugarradhah (nama lain dari mudharabah) dan ketiga,
mencampuri tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah, bukan untuk
diperjualbelikan.”
AI Murabahah
adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli
tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan
dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga harga pembelian dan keuntungan
yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas.
Dalam teknis
perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang
(penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh
keuntungan jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah
sama dengan rukun dan syarat dalam fikih, sedangkan syarat-syarat lain seperti
barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang
bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah
keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang
diambil oleh bank.
Selama akad
belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi
perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya
disepakati bersama, bisa secara lumsum ataupun secara angsuran. Murabahah
dengan pembayaran secara angsuran ini disebut juga bai’ bi tsaman ajil. Dalam
praktiknya nasabah yang memesan untuk membeli barang menunjuk pemasok yang
telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi dan harga yang sesuai
dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari
pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh
kepada nasabah yang bersangkutan.
Melalui akad
murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki
barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan
kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dad bank untuk pengadaan barang
tersebut.
·
Bai’ as salam
Secara
etimologi salam berarti salaf (pendahuluan). Bai’ as salam adalah akad jual-beli
suatu barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan
diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati.
Beberapa landasan
syariah dapat disebutkan antara lain:
Ø Ibn Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk
waktu tertentu benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan,” kemudian ia
membaca ayat 282 dari QS al-Baqarah.
Ø Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual tidak
diperbolehkan. Sabda Rasulullah: “Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada
padamu” (HR Ahmad, at-Tarmidzi, dan Ibn Hibban). Oleh karena itu dalam bai’ as
salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang dipesan dapat dipenuhi.
Ø Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw tiba di
Madinah di mana mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan
jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang
melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu.”
Dalam teknis
perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari
nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang
disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk
utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank
tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus
dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam praktiknya
transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan
transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang
itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel
salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema
murabahah.
Pada umumnya
nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima pesanan
dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar
setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup
untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat
memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan penjualan langsung
kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan salam dan posisinya
sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga
dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah daripada
harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu
menjadi keuntungan bank.
·
Bai’ at lstishna’
Bai’al
Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan
produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus
dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’
as salam. Bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya. Pada salam
pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna’ pembayarannya
boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap.
Dalam
praktiknya bank bertindak sebagai penjual (shani’ ke-1) kepada pemesan/pembeli
dan mensubkannya kepada produsen (shani’ ke-2).
C. Riba dan macam-macamnya
Kata riba’(ar riba’) menurut bahasa yaitu
tambahan (az ziyadah) atau kelebihan.Riba menurut istilah syara’ialah suatu
akad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar sesuatu barang yang tidak
diketahui sama sekali menurut syara’, atau dalam tukar-menukar itu disyaratkan
menerima salah satu dari dua barang apabila terlambat.Riba dapat terjadi pada
hutang-piutang , pinjaman , gadai , atau sewa-menyewa.
Contohnya : Fauzi meminjam uang sebesar
Rp.10.000 pada hari senin , disepakati dalam setiap satu hari keterlambatan ,
fauzi harus mengembalikan uang tersebut dengan tambahan 2%.Jadi, hari
berikutnya Fauzi harus mengembalikan hutangnya menjadi Rp.10.200.Kelebihan atau
Tambahan ini dinamakan Riba’.
Ulama’Fiqh membagi riba’ menjadi 4 bagian , yaitu sebagai berikut :
1.
Riba’
Fadal
Riba’ fadal yaitu tukar menukar dua buah
barang yang sama jenisnya , namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh
orang yang menukarnya.Contohnya tukar-menukar emas dengan emas atau beras
dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang
menukarkan.Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba’, maka harus
memenuhi tiga syarat yaitu sebagai berikut :
a)
Barang
yang ditukarkan tersebut harus sama
b)
Timbangan
atau takarannya harus sama
c)
Serah
terima pada saat itu juga.
Hadits Nabi Muhammad SAW.
عن عبا دة بن الضا مت قا ل النبي صلى الله عليه و سلم: الذ هب با
الذهب و الفضة با لفضة
و البر باابر و الشعير باالشعير والتمر باالتمر والملح باالملح مثلا
بمثل سواء بسواء يدا بيد فاذااختلف هده الاصناف فبيعواكيف شئتم اذا كان يدا بيد
(رواه مسلم واحمد)
Artinya : “Dari Ubadah bin As Samit r.a.,Nabi SAW telah bersabda ,
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,syair dengan syair,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan
timbang terima. Apabila berlainan jenisnya, maka boleh kamu menjual
sekehendakmu, asalkan dengan tunai.”(HR.Muslim dan Ahmad).
2.
Riba’
Nasiah
Riba’ Nasiah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun
tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual
dengan waktu yang dilambatkan.Contohnya, Salim membeli arloji seharga
Rp.500.00.Oleh penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan harga
Rp.525.000
عن سمرة بن جند ب رضي اللهعنه ان النبى صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع
الحيوان بالحيوان نسئة
Artinya
: “Dari Sanurah bin Junduh sesungguhnya Nabi SAW, telah melarang jual beli
binatang dengan binatang yang pembayarannya diakhirkan.”(HR.Lima ahli hadits)
3.
Riba’
Qardi
Riba’ Qardi yaitu Meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan
atau tambahan dari orang yang meminjami.Contohnya Yahya meminjam uang kepada
Bakar sebesar Rp.5.000 dan Bakar mengharuskan kepada Yahya mengembalikan uang
itu sebesar Rp.5.500.Tambahan lima ratus rupiah adalah Riba’Qardi
4.
Riba’
Yad
Riba’ Yad yaitu berpisah dari tempat aqad jual beli sebelum serah
terima.Misalnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang
tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum
serah terima barang itu.Jual beli ini dinamakan riba’ yad.
Berikut
ini syarat-syarat jual beli agar tidak menjadi riba’:
1.
Menjual
sesuatu yang sejenis ada 3 syarat, yaitu :
a)
Serupa
timbangan dan banyaknya
b)
Tunai,
dan
c)
Timbang
terima dalam akad (ijab qabul) sebelum meninggalkan majelis aqad
2.
Menjual
sesuatu yang berlainan jenis ada 2 syarat, yaitu :
a)
Tunai
b)
Timbang
terima dalam aqad (ijab qabul) sebelum meninggalkan majelis aqad
Riba’ diharamkan oleh semua agama samawi.Adapun sebab diharamkannya
karena memiliki bahaya yang sangat besar antara lain sebagai berikut.
·
Riba’
dapat menimbulkan permusuhan antarpribadi dan mengikis habis semangat kerja
sama atau saling menolong sesama manusia.Padahal, semua agama,terutama islam
menyeru kepada manusia untuk saling tolong-menolong,membenci orang yang
mengutamakan kepentingan diri sendiri atau egois, serta orang yang
mengeksploitasi orang lain.
·
Riba’
dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras
dan penimbunan harta di tangan satu pihak.Islam menghargai kerja keras dan
menghormati orang yang suka bekerja keras sebagai sarana mencari nafkah.
·
Riba’
merupakan salah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu pihak
mengeksploitasi pihak yang lain.
·
Sifat
Riba’sangat buruk sehingga islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta
kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
D. Hikmah Diharamkan Riba’
Islam dalam
memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan
manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam
ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:
1) Riba adalah suatu perbuatan
mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1
dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa
imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan
mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis
Nabi: "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan
darahnya." Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa
ganti, sudah pasti haramnya.
2) Bergantung kepada riba dapat
menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin,
bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun
berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga
hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan
pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat
terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat
disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh
jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak diragukan
lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3) Riba akan menyebabkan terputusnya
sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam.
Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan
uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan,
maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang
satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka
terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat
diterima, dipandang dari segi tehnik).
4) Pada umumnya pemberi piutang adalah
orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat
yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk
mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak
berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.
Ditinjau
Dari Segi Sosial.
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur
pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion
de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang
yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas
masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan
golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api
terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh
golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si
tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.
Contoh :
Pemakan riba ialah pihak pemberi piutang yang memiliki uang
dan meminjamkan uangnya itu kepada peminjam dengan rente yang lebih dari pokok.
Orang yang semacam ini tidak diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan
laknat seluruh manusia. Akan tetapi Islam, dalam tradisinya tentang masalah
haram, tidak hanya membatasi dosa itu hanya kepada yang makan riba, bahkan
terlibat dalam dosa orang yang memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan
memberinya rente kepada piutang. Begitu juga penulis dan dua orang saksinya.
Seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi: "Allah akan melaknat pemakan
riba, yang memberi makan, dua orang saksinya dan jurutulisnya." (Riwayat
Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Nasa'i dan Ibnu Majah) Tetapi apabila di situ ada
suatu keharusan yang tidak dapat dihindari dan mengharuskan kepada si peminjam
untuk memberinya rente, maka waktu itu dosanya hanya terkena kepada si
pengambil rente saja.
Namun
dalam hal ini diperlukan beberapa syarat:
- Adanya suatu keadaan dharurat yang benar-benar, bukan hanya sekedar ingin kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa yang disebut dharurat, yaitu satu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, apabila terhalang, akan membawa kebinasaan. Seperti makanan pokok, pakaian pelindung dan berobat yang mesti dilakukan.
- Kemudian perkenan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan, tidak boleh lebih. Maka barangsiapa yang kiranya cukup dengan $9,- (9 pounds) misalnya, tidak halal hutang $10,-.
- Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencari jalan untuk dapat lolos dari kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun harus membantu dia untuk inengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain kecuali dengan meminjam dengan riba, maka barulah dia boleh melakukan, tetapi tidak boleh dengan kesengajaan dan melewati batas. Sebab Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang.
- Dia berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang. Begitulah sehingga Allah memberikan jalan keluar kepadanya.
[1]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 2002, hlm. 1
[2] Lihat
Ad-Dimyati, lanah ath-thalibin, Toha Putra, Semarang, hlm 2
[3]
Lihad Abdul Majid, Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam,
Bandung, IAIN SGD , 1986 , hlm 1
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,
Bandung, Gunung Djati Press, 1997, hlm 2
No comments:
Post a Comment