Wednesday, October 22, 2014

RIBA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Allah SWT berfirman  :
ö@è% ÉQöqs)»tƒ (#qè=yJôã$# 4n?tã öNà6ÏGtR%s3tB ÎoTÎ) ×@ÏJ»tã ( t$öq|¡sù hšcqßJn=÷ès? ÇÌÒÈ
Artinya :Katakanlah: "Hai kaumku, Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui. (Q.S.Az-Zumar:39)
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka.
B.     Rumusan Masalah
1)      Pengertian Muamalah ?
2)      Macam-macam jual beli ?
3)      Pengertian Riba dan macam-macamnya ?
4)      Hikmah Diharamkan Riba’ ?

C.    Tujuan Masalah
1)      Memahami Pengertian Muamalah
2)      Memahami Macam-macam jual bel
3)      Memahami Pengertian Riba dan macam-macamnya
4)      Memahami Hikmah Diharamkan Riba’


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Muamalah
 Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari segi istilah. Menurut bahasa, muamalah berasal dari kata :
(
عامل- يعامل – معاملة) sama dengan wazan : (فاعل – يفاعل – مفاعلة) , artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.[1]
Sedangkan menurut istilah pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit.
a)      Definisi muamalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut :
1.      Menurut Ad-Dimyati :[2]
“ Aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.”
2.      Menurut Muhammad Yusuf Musa:[3]
Peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.”
Dari dua pengertian diatas , dapat diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan(hukum) Allah swt, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan. Menurut pengertian di atas, manusia, kapanpun dan di mana pun, harus senantiasa mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah SWT.,sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi sebab segala aktivitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Dengan kata lain, dalam islam, tidak ada pemisahan antara amal dunia dan amal akhirat, sebab sekecil apapun aktivitas manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT.agar kelak selamat di akhirat.
b)      Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit (khas) didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
1.      Menurut Hudhari Beik : [4]
Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.
2.       Menurut Idris Ahmad :
 Muamalah adalah aturan aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaniyah dengan cara yang paling baik”.
3.      Menurut Rasyid Ridha:
Muamalah adalah tukar menukar barang atau suatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dari pandangan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqh muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Persamaan pengertian muamalah dalam arti sempit dan muamalah dalam arti luas adalah sama-sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan pemutaran harta.
Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.
Ø  Al-Quran
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat. Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah hokum dan perundang- undangan.sebagai sumber hukum yang utama, Al-Quran dijadikan patokan  pertama oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu  perkara dalam kehidupan.
Ø  Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam.
Ø  Ijma’ dan Qiyas
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash.
          Prinsip Dasar Fiqih Muamalah, Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
1.Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
2. Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
3.Menetapkan harga yang kompetitif
4. Meninggalkan intervensi yang dilarang
5. Menghindari eksploitasi
6. Memberikan toleransi
B.   Macam-Macam Jual Beli
Dalam fikih muamalah, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli dalam Islam, termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Macam atau jenis jual-beli dalam Islam itu antara lain:
1. Bai’ al mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli.
2. Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.
3. Bai’ al sharf; yaitu jual-beli atau pertukaran antara saw mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer).
4. Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
5. Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
6. Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
7. Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.
8. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.
Di antara jenis-jenis jual-beli dalam Islam tersebut, ada yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna’.
·         Al-Murabahah
Murabahah adalah salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini berlandaskan pada sabda Rasulullah saw dari Syuaib ar rumy r.a.: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: pertama, menjual dengan pembayaran tangguh (murabahah), kedua, mugarradhah (nama lain dari mudharabah) dan ketiga, mencampuri tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah, bukan untuk diperjualbelikan.”
AI Murabahah adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas.
Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama dengan rukun dan syarat dalam fikih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank.
Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama, bisa secara lumsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pembayaran secara angsuran ini disebut juga bai’ bi tsaman ajil. Dalam praktiknya nasabah yang memesan untuk membeli barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh kepada nasabah yang bersangkutan.
Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dad bank untuk pengadaan barang tersebut.
·         Bai’ as salam
Secara etimologi salam berarti salaf (pendahuluan). Bai’ as salam adalah akad jual-beli suatu barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati.

Beberapa landasan syariah dapat disebutkan antara lain:
Ø  Ibn Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan,” kemudian ia membaca ayat 282 dari QS al-Baqarah.
Ø  Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual tidak diperbolehkan. Sabda Rasulullah: “Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu” (HR Ahmad, at-Tarmidzi, dan Ibn Hibban). Oleh karena itu dalam bai’ as salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang dipesan dapat dipenuhi.
Ø  Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw tiba di Madinah di mana mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu.”
Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam praktiknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah.
Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan salam dan posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah daripada harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu menjadi keuntungan bank.
·         Bai’ at lstishna’
Bai’al Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam. Bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya. Pada salam pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna’ pembayarannya boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap.
Dalam praktiknya bank bertindak sebagai penjual (shani’ ke-1) kepada pemesan/pembeli dan mensubkannya kepada produsen (shani’ ke-2).
C.   Riba dan macam-macamnya

Kata riba’(ar riba’) menurut bahasa yaitu tambahan (az ziyadah) atau kelebihan.Riba menurut istilah syara’ialah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar sesuatu barang yang tidak diketahui sama sekali menurut syara’, atau dalam tukar-menukar itu disyaratkan menerima salah satu dari dua barang apabila terlambat.Riba dapat terjadi pada hutang-piutang , pinjaman , gadai , atau sewa-menyewa.

Contohnya : Fauzi meminjam uang sebesar Rp.10.000 pada hari senin , disepakati dalam setiap satu hari keterlambatan , fauzi harus mengembalikan uang tersebut dengan tambahan 2%.Jadi, hari berikutnya Fauzi harus mengembalikan hutangnya menjadi Rp.10.200.Kelebihan atau Tambahan ini dinamakan Riba’.

Ulama’Fiqh membagi riba’ menjadi 4 bagian , yaitu sebagai berikut :

1.         Riba’ Fadal
Riba’ fadal yaitu tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya , namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya.Contohnya tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba’, maka harus memenuhi tiga syarat yaitu sebagai berikut :
a)      Barang yang ditukarkan tersebut harus sama
b)      Timbangan atau takarannya harus sama
c)      Serah terima pada saat itu juga.

Hadits Nabi Muhammad SAW.
عن عبا دة بن الضا مت قا ل النبي صلى الله عليه و سلم: الذ هب با الذهب و الفضة با لفضة
و البر باابر و الشعير باالشعير والتمر باالتمر والملح باالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فاذااختلف هده الاصناف فبيعواكيف شئتم اذا كان يدا بيد (رواه مسلم واحمد)
Artinya : “Dari Ubadah bin As Samit r.a.,Nabi SAW telah bersabda , “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya, maka boleh kamu menjual sekehendakmu, asalkan dengan tunai.”(HR.Muslim dan Ahmad).

2.         Riba’ Nasiah
Riba’ Nasiah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan.Contohnya, Salim membeli arloji seharga Rp.500.00.Oleh penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan harga Rp.525.000


عن سمرة بن جند ب رضي اللهعنه ان النبى صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الحيوان بالحيوان نسئة

Artinya : “Dari Sanurah bin Junduh sesungguhnya Nabi SAW, telah melarang jual beli binatang dengan binatang yang pembayarannya diakhirkan.”(HR.Lima ahli hadits)

3.      Riba’ Qardi
Riba’ Qardi yaitu Meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjami.Contohnya Yahya meminjam uang kepada Bakar sebesar Rp.5.000 dan Bakar mengharuskan kepada Yahya mengembalikan uang itu sebesar Rp.5.500.Tambahan lima ratus rupiah adalah Riba’Qardi

4.      Riba’ Yad
Riba’ Yad yaitu berpisah dari tempat aqad jual beli sebelum serah terima.Misalnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu.Jual beli ini dinamakan riba’ yad.

Berikut ini syarat-syarat jual beli agar tidak menjadi riba’:
1.      Menjual sesuatu yang sejenis ada 3 syarat, yaitu :
a)      Serupa timbangan dan banyaknya
b)      Tunai, dan
c)      Timbang terima dalam akad (ijab qabul) sebelum meninggalkan majelis aqad
2.      Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada 2 syarat, yaitu :
a)      Tunai
b)      Timbang terima dalam aqad (ijab qabul) sebelum meninggalkan majelis aqad

Riba’ diharamkan oleh semua agama samawi.Adapun sebab diharamkannya karena memiliki bahaya yang sangat besar antara lain sebagai berikut.
·         Riba’ dapat menimbulkan permusuhan antarpribadi dan mengikis habis semangat kerja sama atau saling menolong sesama manusia.Padahal, semua agama,terutama islam menyeru kepada manusia untuk saling tolong-menolong,membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri atau egois, serta orang yang mengeksploitasi orang lain.
·         Riba’ dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras dan penimbunan harta di tangan satu pihak.Islam menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja keras sebagai sarana mencari nafkah.
·         Riba’ merupakan salah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu pihak mengeksploitasi pihak yang lain.
·         Sifat Riba’sangat buruk sehingga islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.

D.   Hikmah Diharamkan Riba’
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya. Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:
1)      Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi: "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya." Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2)      Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3)      Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi tehnik).
4)      Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.
 Ditinjau Dari Segi Sosial.
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.
Contoh :
Pemakan riba ialah pihak pemberi piutang yang memiliki uang dan meminjamkan uangnya itu kepada peminjam dengan rente yang lebih dari pokok. Orang yang semacam ini tidak diragukan lagi akan mendapat laknat Allah, dan laknat seluruh manusia. Akan tetapi Islam, dalam tradisinya tentang masalah haram, tidak hanya membatasi dosa itu hanya kepada yang makan riba, bahkan terlibat dalam dosa orang yang memberikan riba itu, yaitu yang berhutang dan memberinya rente kepada piutang. Begitu juga penulis dan dua orang saksinya. Seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi: "Allah akan melaknat pemakan riba, yang memberi makan, dua orang saksinya dan jurutulisnya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Nasa'i dan Ibnu Majah) Tetapi apabila di situ ada suatu keharusan yang tidak dapat dihindari dan mengharuskan kepada si peminjam untuk memberinya rente, maka waktu itu dosanya hanya terkena kepada si pengambil rente saja.
Namun dalam hal ini diperlukan beberapa syarat:
  1. Adanya suatu keadaan dharurat yang benar-benar, bukan hanya sekedar ingin kesempurnaan kebutuhan. Sedang apa yang disebut dharurat, yaitu satu hal yang tidak mungkin dapat dihindari, apabila terhalang, akan membawa kebinasaan. Seperti makanan pokok, pakaian pelindung dan berobat yang mesti dilakukan.
  2. Kemudian perkenan ini hanya sekedar dapat menutupi kebutuhan, tidak boleh lebih. Maka barangsiapa yang kiranya cukup dengan $9,- (9 pounds) misalnya, tidak halal hutang $10,-.
  3. Dari segi lain, dia harus terus berusaha mencari jalan untuk dapat lolos dari kesulitan ekonominya. Dan rekan-rekan seagamanya pun harus membantu dia untuk inengatasi problemanya itu. Jika tidak ada jalan lain kecuali dengan meminjam dengan riba, maka barulah dia boleh melakukan, tetapi tidak boleh dengan kesengajaan dan melewati batas. Sebab Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang.
  4. Dia berbuat begitu, tetapi harus dengan perasaan tidak senang. Begitulah sehingga Allah memberikan jalan keluar kepadanya.




[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 2002, hlm. 1
[2] Lihat Ad-Dimyati, lanah ath-thalibin, Toha Putra, Semarang, hlm 2

[3] Lihad Abdul Majid, Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, Bandung, IAIN SGD , 1986 , hlm 1
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997, hlm 2

No comments:

Post a Comment