BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
orang yang ingin memperdalam dan memahami seluk beluk agamanya secara mendalam
perlu untuk mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya,
termasuk juga Islam. Kajian yang membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu
agama disebut dengan teologi.
Teologi
dalam Islam disebut juga ‘ilm at-tauhid yang artinya satu atau Esa. Istilah Esa
dalam pandangan Islam sebagaimana agama monotheisme meupakan sifat terpenting
diantara sifat-sifat Tuhan (Nasution, 1986 : ix). Teologi Islam disebut juga
dengan ‘ilm al-kalam yang artinya kata-kata, hal ini mengandung dua pengertian
yaitu kata – kata Tuhan (firmn Allah yaitu Al-Qur’an) dan kata-kata manusia.
Pada
abad ke sembilan dan ke sepuluh Masehi timbul pertentangan keras dikalangan
umat Muslim yang mempertentangangkan kata-kata Tuhan (firman Allah yaitu
Al-Qur’an) higga terjadi pembunuhan dan penganiayaan. Kalau yang dimaksud
dengan kalam adalah kata-kata manusia, kaum teolog Islam bersilat dalam
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam
mendapat sebutan Mutakallim .
Masih
banyak orang Islam yang mengetahui dan mengenal Islam hanya dari sudut pandang
hukum atau fikih yang membahas soal halal dan haram. Sehingga timbul kesan bagi
sebagian orang bahwa Islam adalah agama yang sempit. Oleh karena itu makalah
ini penting untuk disampaikan untuk memperkenalkan Islam secara lebih mendalam
dari sudut tinjauan teologi.
Berdasarkan
latar belakang di atas, kami membuat makalah ini dengan tujuan untuk mengetahui
PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Teologi Islam di Indonesia
Teologi adalah ilmu yang mempelajari
ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm
al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya
adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun
bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya
memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup
bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur.
Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al
dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah
kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi.
Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum
jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan
akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini,
keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.[1]
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum
modernis lain pendahuluannya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang memandang perlu untuk
kembali kepada teologi islam sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa
umat islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-deteminisme serta
penerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan
keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat
islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah merubah teologi mereka
menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori
moderenisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik
sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[2]
a.
Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran
Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan
akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang
beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu
bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[3]
Dalam pemikiran Islam, baik di
bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah
membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap
dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang
wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan
kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam
sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran
tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang
bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan
pendapat akal ulama lain.
b.
Menurut Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1)
Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
(a) Tidak boleh ada dalam pemikiran
Islam bahwa Allah tidak ada.
(b) Tidak boleh ada kesimpulan dalam
pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
(c) Tidak boleh ada kesimpulan dalam
pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
(d)Tidak boleh ada kesimpulan dalam
pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
Malaikat menjadi perdebatan orang, takdir dan ikhtiar juga menjadi masalah
dalam sejarah pemikiran Islam. Jadi, jika ada pemikiran Islam yang menyimpulkan
menyimpang dari keempat hal tersebut, maka itu bukan pemikiran Islam lagi.[4]
2)
Ajaran Islam yang bersifat pengembangan.
Dalam pemikiran teologi Islam modern, seorang
muslim dirangsang untuk berpikir rasional, yakni pemikiran Islam yang tidak
takut pada falsafat, tidak merendahkan kemampuan akal, tidak sempit dan tidak
dogmatis. Meski terkadang terjadi goncangan-goncangan pemikiran ketika
mendiskusikan ilmu kalam, falsafat Islam, tasawuf dan pembaruan dalam Islam.
Ketika mendiskusikan masalah kaitan perbuatan manusia dengan perbuatan atau
penciptaan Tuhan, pada umumnya seorang muslim sudah memiliki pendirian bahwa
paham Jabariah dan lawannya, Qadariah, adalah dua paham yang salah, dan
meyakini adanya paham ketiga, yaitu paham kasab, yang diyakini benar,
yang posisinya berada di tengah Jabariah dan Qadariah.
B. Sejarah lahirnya dan Perkembangannya
teologi islam
Permasalahan
yang pertama muncul dalam Islam bukanlah permasalahan yang berbasiskan pada
persoalan teologi namun, permasalahan politik”. Permasalahan politik tersebut
dalam perjalanannya berubah menjadi permasalahan Teologi. Ketika Rasul
Muhammad SAW. Wafat (632 M), para sahabat disibukkan dengan pembahasan mengenai
pengganti Rasul sebagai kepala negara, Sehingga pemakaman Nabi adalah
permasalahan kedua. Dari hal ini lahir permasalahan khilafah.[5]
Perseteruan
antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan merupakan titik balik
dari pergeseran permasalahan politik menjadi permasalahan Teologi. Perseteruan
tersebut, diselesaikan dalam perang Shifin yang dimenangkan oleh
kelompok Muawiyah dengan jalan Tahkim atau Arbitrase. Kelompok
Ali di wakili Abu Musa al-Asy’ari sedangkan kelompok Muawiyah
diwakili Amr Ibn al-’As. Peristiwa Tahkim tersebut, menguntungkan pihak
Muawiyah, sebab penjatuhan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang Sah dan
Muawiyah sebagai gubernur Damaskus yang memberontak, hanya penjatuhan Ali
yang disepakati oleh Amr Ibn As melalui strategi diplomasinya.
Dampak
dari peristiwa tahkim tersebut menjadikan Kubu Ali Bin Abi Thalib terpecah
menjadi 3 golongan yakni:
- Golongan Pendukung Ali Bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Syiah
- Golongan Yang menyatakan keluar dari kelompok Ali, terkenal dengan nama Khawarij
- Golongan yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah dan golongan Khawarij, terkenal dengan nama golongan Murjiah.[6]
Kaum Khawarij
berpandangan bahwa Sikap Ali yang menerima tipu muslihat dari Amr Bin As adalah
salah, sebab putusan yang sah hanya datang dari Allah SWT melalui
hukum-hukumnya dalam al-Qur’an. Menurut Khawarij “la Hukma illa
lillah” (tidak ada hukum selain dari Allah). Kaum Khawarij berpandangan Ali
Bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh orang
yang menerima Arbitrase adalah berdosa besar dan Kafir dalam arti
keluar dari Islam dan harus di bunuh. Pandangan ini bertolak pada Surat
al-Maidah:44 yang menyatakan:
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöqG9$# $pkÏù Wèd
ÖqçRur
4
ãNä3øts $pkÍ5
cqÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$#
(#qßJn=ór&
tûïÏ%©#Ï9
(#rß$yd tbqÏY»/§9$#ur
â$t6ômF{$#ur
$yJÎ/
(#qÝàÏÿósçGó$#
`ÏB
É=»tFÏ.
«!$# (#qçR%2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà 4
xsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur wur (#rçtIô±n@
ÓÉL»t$t«Î/
$YYyJrO
WxÎ=s%
4
`tBur
óO©9 Oä3øts
!$yJÎ/ tAtRr&
ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Artinya
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir. (QS. Al-Maidah : 44)
Persoalan Dosa
besar seperti pandangan kaum Khawarij di atas, selanjutnya bergeser menjadi
permasalahan Teologi. Dalam perkembangan selanjutnya persolan Dosa Besar
(murtakib al-kabir) mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan aliran
Teologi dalam Islam. Permasalahan utamanya adalah “ bagaimanakah status
orang yang berdosa besar, apakah mukmin ataukah kafir” Dari persolan
murtakib al-kabir lahir beberapa aliran teologi. Aliran tersebut
adalah :
Aliran Khawarij
yang berpandangan bahwa orang berbuat dosa besar adalah kafir dan wajib di
bunuh. Aliran Murji’ah yang berpendapat bahwa orang berdosa besar tetap
masih mukmin dan bukan kafir. Permasalahan dosa yang dilakukan dikembalikan
pada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak. Aliran Mu’tazilah. Aliran
ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan
pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan
mukmin. Dalam teologi mu’tazilah orang seperti ini berada dalam posisi “tanzilu
baina manzilatain”. Aliran Qodariah. Aliran ini terkenal dengan
pemikiran Free Will dan Free act (kebebasan berkehendak dan
berbuat).
Aliran Jabariah.
Aliran ini berkebalikan dengan pandangan aliran Qodariah yang menyatakan
manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat, sebaliknya aliran Jabariah
berpandangan manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar paksaan
dari Allah. Paham ini selanjutnya terkenal dengan predestination atau fatalism.
Aliran Asy’ariah
merupakan aliran teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan al-Asy’ari
(935 M). Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan orang Mu’tazilah yang
merasa tidak puas dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu riwayat keluarnya Abu
Musa al-Asy’ari dari Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi bahwa Mu’tazilah
di cap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat.[7]
Aliran Maturidiah.
Aliran yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). Dalam
perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir yakni Asyari’ah dan Maturidiah
di kenal dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Kedua aliran ini
dibedakan dalam lapangan hukum Islam. Aliran Asyariah lebih cenderung
dengan pendekatan Imam Syafi’I, sedangkan aliran Maturidiah cenderung
pada pendekatan Imam Hanifah.
C. Macam-Macam Tepologi dan Tokoh-Tokoh Aswaja
di Indonesia
Sesungguhnya keutamaan,
kemuliaan dan keagungan para pengikut adalah menunjukan keagungan orang yang
diikutinya. Seluruh ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah adalah
pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, atau
pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Dengan demikian
tidak disangsikan lagi bahwa kedua Imam ini adalah sebagai penegak tonggak
dasar dari berkibarnya bendera Ahlssunnah, yang oleh karenanya kedua Imam ini
memiliki keutamaan dan kemuliaan yang sangat agung.[8]
Sebagaimana
telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam. Ini
berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan meliputi berbagai sosok
agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa. Melakukan “sensus”
terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya menuliskannya dalam satu jilid
buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun. Sebagaimana anda lihat
sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama terdahulu yang ditulis dalam
mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah, termasuk dalam hal ini penulisan
biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu sesuai disiplin mereka
masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas ahli hadists, para ahli
tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan ulama-ulama yang
telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari.
Di antara
karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu
al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu
al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba
Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk
membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang
dialamatkan kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari,
disebutkan pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang
badan” dalam mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan
al-Asy’ari ini.
Karya lainnya
adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari Qâdlî
al-Qudlât al-Imâm al-MujtahidTaqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât
asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid,
berisi penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab
asy-Syafi’i. Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini
adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam
bukunya ini al-Imâm Tajuddin membuat pasal khusus dalam
penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah
Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Berikut ini
kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil besar dalam
penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan
bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi turunnya segala rahmat
dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât”.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn
Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn
Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya
maka hujan akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh
berikut ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
a. Angkatan Pertama
Angkatan yang
semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka
yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya: Abu
al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w
418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371
H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H),
Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371
H), Abu Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad yang
dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-Naqqasy (w 379 H), Abu
Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H),
Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi
ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H), Abu
Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad
al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-Shufi (w 353 H), dan Abu
al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.
b. Angkatan Ke Dua
Diantara
angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan
al-Asy’ari adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H), Abu
Nashr ibn Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn
Abi Sahl ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu
Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali
ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim
an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu
Sa’ad al-Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan
ibn Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu
Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu
Nu’aim al-Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât
al-Ashfiyâ’ (w 430 H), Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan
al-Maliki, Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman ibn Abd
al-Mu’min al-Makki al-Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu Muhammad ibn Abi Yazid,
Abu Muhammad ibn at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.[9]
c. Angkatan Ke Tiga
Diantaranya;
Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-Naisaburi, Abd al-Wahhab
al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd
al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn
al-Firaq, Abu Dzarr al-Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad
Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn
Abi Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi, Abu Hatim
al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad al-Ashbahani yang dikenal
dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu
al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali
al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain
al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran
al-Fasi.
d. Angkatan Ke Empat
Diantaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih al-Hanafi.
e. Angkatan Ke Lima
Diantaranya;
Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H),
asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr
al-Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu
al-Abbas ibn ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih
al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-Ashbahani,
Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w 538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah
an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini, Nashrullah al-Mishshishi,
Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu
al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571
H), al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu
Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl
ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-Karim
asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad
ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin
al-Ayyubi (w 589 H) yang telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara
Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal
dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).
f. Angkatan Ke Enam
Diantaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H), Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib, Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676 H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H),al-Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-HâfizhShalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).
g. Angkatan Ke Tujuh
Diantaranya; al-Hâfizh Abu
Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr
al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829
H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad
ibn Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn Muhammad
al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H),
Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad
al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab
tafsirNazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf
as-Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
h. Angkatan ke Delapan
Al-Qâdlî Musthafa
ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-Hâfizh Muhammad
ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-Hâfizh Jalaluddin
Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H), Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad
ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd as-Sâri Bi SyarhShahîh
al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad
ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-Hâfizh Ibn
Thulun al-Hanafi (w 953 H).
i. Angkatan Ke Sembilan
Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab
asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan
sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla Ali al-Qari (w 1014 H),
Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani; penulis Nazham
Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri
at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041
H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan
nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w
1098 H), Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah
ibn Alawi al-Haddad al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132
H), Muhammad ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan
an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani an-Nabulsi (w 1143 H), Abu
al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir; penulis al-Kharîdah
al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad
Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm
al-Barâhîn (w 1230 H), Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal
dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H). [10]
Nama-nama
ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad 12 hijriyyah,
dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu persatu,
termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya, maka sangat
banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup menghitung
jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? kita akan
membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam
pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu
fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks
wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu
dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks
wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang
dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu,
tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga.
Terjadinya
Perseteruan antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan merupakan
titik balik dari pergeseran permasalahan politik menjadi permasalahan Teologi.
Perseteruan tersebut, diselesaikan dalam perang Shifin yang
dimenangkan oleh kelompok Muawiyah dengan jalan Tahkim atau Arbitrase.
Kelompok Ali di wakili Abu Musa al-Asy’ari sedangkan
kelompok Muawiyah diwakili Amr Ibn al-’As. Peristiwa Tahkim tersebut,
menguntungkan pihak Muawiyah, sebab penjatuhan Ali Bin Abi Thalib sebagai
Khalifah yang Sah dan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus yang
memberontak, hanya penjatuhan Ali yang disepakati oleh Amr Ibn As melalui
strategi diplomasinya.
Di antara
karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu
al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu
al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba
Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk
membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang
dialamatkan kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari,
disebutkan pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang
badan” dalam mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan
al-Asy’ari ini.
DAFTAR PUSTAKA
Madkour,
Ibrahim. 1990. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
Qadir, C.A. 1989. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Sharif, M.M (ed). 2004. Aliran-aliran Filsafat Islam : Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa. Diterjemahkan dari buku ketiga bagian pertama “Theologico Philosophical Movements” dalam MM. Sharif, M.A. (ed), History of Muslim Philosophy (Otto Horrasowitz : Weisbaden, 1963). Bandung : Nuansa Cendekia.Said Husin Agil dan Husni Rahim, Teologi Islam Rasional,(Jakarta: PNT Ciputat Pers,2002)
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
Qadir, C.A. 1989. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Sharif, M.M (ed). 2004. Aliran-aliran Filsafat Islam : Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa. Diterjemahkan dari buku ketiga bagian pertama “Theologico Philosophical Movements” dalam MM. Sharif, M.A. (ed), History of Muslim Philosophy (Otto Horrasowitz : Weisbaden, 1963). Bandung : Nuansa Cendekia.Said Husin Agil dan Husni Rahim, Teologi Islam Rasional,(Jakarta: PNT Ciputat Pers,2002)
Mustopa, Mazhab- Mazhab Ilmu Kalam,(Cirebon: Nurjati IAIN Publiser, 2010),
Harun Nasution dalam Anwar.
Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2003),
[3] Harun Nasution dalam Anwar. Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu
Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 243
[4] Nasution, Harun. Teologi Islam,
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta : UI Press. 1986.)hlm 76
[5]
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori
Filsafat Islam. (Jakarta : Bumi Aksara 1990).hlm 102
[6] Qadir, C.A.. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam.(
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 1989).hlm
89
[7] ibid
[8] Sharif, M.M (ed). 2004. Aliran-aliran Filsafat
Islam : Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan
al-Shafa. Diterjemahkan dari buku ketiga bagian pertama “Theologico
Philosophical Movements” dalam MM. Sharif, M.A. (ed), History of Muslim
Philosophy (Otto Horrasowitz : Weisbaden, 1963). Bandung : Nuansa Cendekia.
[9] Ibid..
[10] Ibid..
No comments:
Post a Comment