Friday, October 17, 2014

pemikiran teologi islam di indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap orang yang ingin memperdalam dan memahami seluk beluk agamanya secara mendalam perlu untuk mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya, termasuk juga Islam. Kajian yang membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama disebut dengan teologi.
Teologi dalam Islam disebut juga ‘ilm at-tauhid yang artinya satu atau Esa. Istilah Esa dalam pandangan Islam sebagaimana agama monotheisme meupakan sifat terpenting diantara sifat-sifat Tuhan (Nasution, 1986 : ix). Teologi Islam disebut juga dengan ‘ilm al-kalam yang artinya kata-kata, hal ini mengandung dua pengertian yaitu kata – kata Tuhan (firmn Allah yaitu Al-Qur’an) dan kata-kata manusia.
Pada abad ke sembilan dan ke sepuluh Masehi timbul pertentangan keras dikalangan umat Muslim yang mempertentangangkan kata-kata Tuhan (firman Allah yaitu Al-Qur’an) higga terjadi pembunuhan dan penganiayaan. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah kata-kata manusia, kaum teolog Islam bersilat dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam mendapat sebutan Mutakallim .
Masih banyak orang Islam yang mengetahui dan mengenal Islam hanya dari sudut pandang hukum atau fikih yang membahas soal halal dan haram. Sehingga timbul kesan bagi sebagian orang bahwa Islam adalah agama yang sempit. Oleh karena itu makalah ini penting untuk disampaikan untuk memperkenalkan Islam secara lebih mendalam dari sudut tinjauan teologi.
Berdasarkan latar belakang di atas, kami membuat makalah ini dengan tujuan untuk mengetahui PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM DI INDONESIA.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Teologi Islam di Indonesia
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.[1]
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahuluannya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang memandang  perlu untuk kembali kepada teologi islam sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-deteminisme serta penerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah merubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori moderenisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[2]
       a.            Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[3]
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
      b.            Menurut Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1)      Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
(a) Tidak boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
(b) Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
(c) Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
(d)Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
Malaikat menjadi perdebatan orang, takdir dan ikhtiar juga menjadi masalah dalam sejarah pemikiran Islam. Jadi, jika ada pemikiran Islam yang menyimpulkan menyimpang dari keempat hal tersebut, maka itu bukan pemikiran Islam lagi.[4]
2)      Ajaran Islam yang bersifat pengembangan.
Dalam pemikiran teologi Islam modern, seorang muslim dirangsang untuk berpikir rasional, yakni pemikiran Islam yang tidak takut pada falsafat, tidak merendahkan kemampuan akal, tidak sempit dan tidak dogmatis. Meski terkadang terjadi goncangan-goncangan pemikiran ketika mendiskusikan ilmu kalam, falsafat Islam, tasawuf dan pembaruan dalam Islam. Ketika mendiskusikan masalah kaitan perbuatan manusia dengan perbuatan atau penciptaan Tuhan, pada umumnya seorang muslim sudah memiliki pendirian bahwa paham Jabariah dan lawannya, Qadariah, adalah dua paham yang salah, dan meyakini adanya paham ketiga, yaitu paham kasab, yang diyakini benar, yang posisinya berada di tengah Jabariah dan Qadariah.
B. Sejarah lahirnya dan Perkembangannya teologi islam           
Permasalahan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah permasalahan yang berbasiskan pada persoalan teologi namun, permasalahan politik”. Permasalahan politik tersebut dalam perjalanannya berubah menjadi permasalahan Teologi. Ketika Rasul Muhammad SAW. Wafat (632 M), para sahabat disibukkan dengan pembahasan mengenai pengganti Rasul sebagai kepala negara, Sehingga pemakaman Nabi adalah permasalahan kedua. Dari hal ini lahir permasalahan khilafah.[5]
Perseteruan antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan merupakan titik balik dari pergeseran permasalahan politik menjadi permasalahan Teologi. Perseteruan tersebut, diselesaikan dalam perang Shifin yang dimenangkan oleh kelompok Muawiyah dengan jalan Tahkim atau Arbitrase. Kelompok Ali di wakili Abu Musa al-Asy’ari sedangkan kelompok Muawiyah diwakili Amr Ibn al-’As. Peristiwa Tahkim tersebut, menguntungkan pihak Muawiyah, sebab penjatuhan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang Sah dan Muawiyah sebagai  gubernur Damaskus yang memberontak, hanya penjatuhan Ali yang disepakati oleh Amr Ibn As melalui strategi diplomasinya.
Dampak dari peristiwa tahkim tersebut menjadikan Kubu Ali Bin Abi Thalib terpecah menjadi  3 golongan yakni:
  1. Golongan Pendukung Ali Bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Syiah
  2. Golongan Yang menyatakan keluar dari kelompok Ali, terkenal  dengan nama Khawarij
  3. Golongan yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah   dan golongan Khawarij, terkenal dengan nama golongan Murjiah.[6]
Kaum Khawarij berpandangan bahwa Sikap Ali yang menerima tipu muslihat dari Amr Bin As adalah salah, sebab putusan yang sah hanya datang dari Allah SWT melalui hukum-hukumnya dalam al-Qur’an. Menurut Khawarij  “la Hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain dari Allah). Kaum Khawarij berpandangan Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh orang yang menerima Arbitrase adalah berdosa  besar dan Kafir dalam arti keluar dari Islam dan harus di bunuh. Pandangan ini bertolak pada Surat al-Maidah:44 yang menyatakan:
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöq­G9$# $pkŽÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 šcqŠÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór& tûïÏ%©#Ï9 (#rߊ$yd tbqŠÏY»­/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%Ÿ2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà­ 4 Ÿxsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur Ÿwur (#rçŽtIô±n@ ÓÉL»tƒ$t«Î/ $YYyJrO WxŠÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  
Artinya
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 44)
Persoalan Dosa besar seperti pandangan kaum Khawarij di atas, selanjutnya bergeser menjadi permasalahan Teologi. Dalam perkembangan selanjutnya persolan Dosa Besar  (murtakib al-kabir) mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan aliran Teologi dalam Islam. Permasalahan utamanya adalah “ bagaimanakah status orang yang berdosa besar, apakah mukmin ataukah kafir” Dari persolan murtakib al-kabir  lahir beberapa aliran teologi. Aliran tersebut adalah :
Aliran Khawarij yang berpandangan bahwa orang berbuat dosa besar adalah kafir dan wajib di bunuh. Aliran Murji’ah yang berpendapat bahwa orang berdosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Permasalahan dosa yang dilakukan dikembalikan pada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak. Aliran Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir  dan mukmin. Dalam teologi mu’tazilah orang seperti ini berada dalam posisi  “tanzilu baina manzilatain”. Aliran Qodariah. Aliran ini terkenal dengan pemikiran Free Will dan Free act (kebebasan berkehendak dan berbuat).
Aliran Jabariah. Aliran ini berkebalikan dengan pandangan aliran Qodariah yang menyatakan manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan berbuat, sebaliknya aliran Jabariah berpandangan manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar paksaan dari Allah. Paham ini selanjutnya terkenal dengan predestination atau fatalism.
Aliran Asy’ariah merupakan aliran teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan al-Asy’ari (935 M). Pada awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan orang Mu’tazilah yang merasa tidak puas dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu riwayat keluarnya Abu Musa al-Asy’ari dari Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi bahwa Mu’tazilah di cap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat.[7]
Aliran Maturidiah. Aliran yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). Dalam perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir yakni Asyari’ah dan Maturidiah di kenal dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Kedua aliran ini dibedakan dalam lapangan hukum Islam. Aliran Asyariah lebih cenderung dengan pendekatan Imam Syafi’I, sedangkan aliran Maturidiah cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.
C. Macam-Macam Tepologi dan Tokoh-Tokoh Aswaja di Indonesia
Sesungguhnya keutamaan, kemuliaan dan keagungan para pengikut adalah menunjukan keagungan orang yang diikutinya. Seluruh ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah adalah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, atau pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Dengan demikian tidak disangsikan lagi bahwa kedua Imam ini adalah sebagai penegak tonggak dasar dari berkibarnya bendera Ahlssunnah, yang oleh karenanya kedua Imam ini memiliki keutamaan dan kemuliaan yang sangat agung.[8]
Sebagaimana telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam. Ini berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan meliputi berbagai sosok agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa. Melakukan “sensus” terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya menuliskannya dalam satu jilid buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun. Sebagaimana anda lihat sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama terdahulu yang ditulis dalam mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah, termasuk dalam hal ini penulisan biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu sesuai disiplin mereka masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas ahli hadists, para ahli tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan ulama-ulama yang telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari.
Di antara karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.
Karya lainnya adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari Qâdlî al-Qudlât al-Imâm al-MujtahidTaqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid, berisi penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi’i. Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam bukunya ini al-Imâm Tajuddin membuat pasal khusus dalam penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Berikut ini kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi turunnya segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya maka hujan akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh berikut ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
a. Angkatan Pertama
Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya: Abu al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-Shufi  (w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.



b. Angkatan Ke Dua

Diantara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H), Abu Nashr ibn Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn Abi Sahl ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Sa’ad al-Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’ (w 430 H), Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan al-Maliki, Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad ibn at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.[9]
c. Angkatan Ke Tiga
Diantaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-Naisaburi, Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi, Abu Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran al-Fasi.
d. Angkatan Ke Empat

Diantaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini  penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih al-Hanafi.
e. Angkatan Ke Lima
Diantaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w 538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini, Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal Wa an-Nihalas-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).

f. Angkatan Ke Enam

Diantaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H), Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib, Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676 H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H),al-Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-HâfizhShalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).
g. Angkatan Ke Tujuh
Diantaranya;  al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H), Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab tafsirNazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
h. Angkatan ke Delapan
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H), Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd as-Sâri Bi SyarhShahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).
i. Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla Ali al-Qari (w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir; penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w 1230 H), Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H). [10]
Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad 12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya, maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup menghitung jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? kita akan membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga.
Terjadinya Perseteruan antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan merupakan titik balik dari pergeseran permasalahan politik menjadi permasalahan Teologi. Perseteruan tersebut, diselesaikan dalam perang Shifin yang dimenangkan oleh kelompok Muawiyah dengan jalan Tahkim atau Arbitrase. Kelompok Ali di wakili Abu Musa al-Asy’ari sedangkan kelompok Muawiyah diwakili Amr Ibn al-’As. Peristiwa Tahkim tersebut, menguntungkan pihak Muawiyah, sebab penjatuhan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang Sah dan Muawiyah sebagai  gubernur Damaskus yang memberontak, hanya penjatuhan Ali yang disepakati oleh Amr Ibn As melalui strategi diplomasinya.
Di antara karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.


DAFTAR  PUSTAKA
Madkour, Ibrahim. 1990. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
Qadir, C.A. 1989. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Sharif, M.M (ed). 2004. Aliran-aliran Filsafat Islam : Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa. Diterjemahkan dari buku ketiga bagian pertama “Theologico Philosophical Movements” dalam MM. Sharif, M.A. (ed), History of Muslim Philosophy (Otto Horrasowitz : Weisbaden, 1963). Bandung : Nuansa Cendekia.
Said Husin Agil dan Husni Rahim, Teologi Islam Rasional,(Jakarta: PNT Ciputat Pers,2002)
Mustopa, Mazhab- Mazhab Ilmu Kalam,(Cirebon: Nurjati IAIN Publiser, 2010),
Harun Nasution dalam Anwar. Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003),


[1]  Said Husin Agil dan Husni Rahim, Teologi Islam Rasional,(Jakarta: PNT Ciputat Pers,2002),hlm   49
[2]  Mustopa, Mazhab- Mazhab Ilmu Kalam,(Cirebon: Nurjati IAIN Publiser, 2010), hlm 241
[3] Harun Nasution dalam Anwar. Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 243
[4] Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta : UI Press. 1986.)hlm 76
[5]  Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. (Jakarta : Bumi Aksara 1990).hlm 102
[6] Qadir, C.A.. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam.( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia  1989).hlm 89
[7]  ibid
[8]  Sharif, M.M (ed). 2004. Aliran-aliran Filsafat Islam : Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa. Diterjemahkan dari buku ketiga bagian pertama “Theologico Philosophical Movements” dalam MM. Sharif, M.A. (ed), History of Muslim Philosophy (Otto Horrasowitz : Weisbaden, 1963). Bandung : Nuansa Cendekia.

[9]  Ibid..
[10]  Ibid..

No comments:

Post a Comment