Wednesday, October 22, 2014

PINJAM






BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk sosial. Sebagai manusia kita tidak akan pernah dipisahkan dengan yang namanya pinjam-meminjam atau ‘ariyah. Karena kita bahwa semua yang kita butuhkan itu tidak semuanya kita memilikinya. Oleh karena itulah maka adanya pinjam-meminjam atau ‘ariyah.
Didunia ini manusia tidak mngkin dapat hidup sendiri, atau tidak bermasyarakat. Karena setiap manusia pasti saling menbutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Baik dalam hal materi, jasa-jasa, maupun keahlian atau keterampilan.
Dan masalah-masalah tersebut dibahas dalam Fikih Muamalah, yaitu Hukum Syara, yang mengatur hubungan individu satu dengan yang lainnya. Seperti pembahasan masalah hak dan kewajiban, harta jual beli, kerjasama dalam berbagai bidang, pinjam-meminjam, sewa–menyewa, penggunaan jasa dan kegiatan-kegiatan lainnyayang sangat diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam masalah muamalah ini titik pembahasannya lebih banyak mengenai harta dan jasa walaupun pelaku atau pelaksana muamalai ini ikut dibahas. Dengan demikian para pelaku muamalah harus memikirkan matang-matang, serta mengajak hati nurani untuk merennung, apakah cara memperoleh harta itu sudah sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh islam atau belum.dan apakah sudah tepat pemanfaatan dan penyalurannya harta yang merupakan karunia Allah tersebut.
Konsep islam mengenai muamalah amatlah baik. Karena menguntungkan semua pihak yang ada didalanya.namun jiaka moral manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang dirugikan. Ahlakul karimah secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita dalam bermuamalah dan harus dipatuhi sepenuhnya.
Persoalan mengenai fikih muamalah tidak secara menyeluruh dibahas dalam makalah ini. Makalah ini hanya membahas mengenai pinjam meminjam dalam Islam, bang islam dan bang non islam, koperasi dan macam-macam syirkah.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
a.       Apa dan bagaimana pinjam-meminjam dalam Islam?
b.      Apa dan bagaimana dengan bank Islam dan bank non Islam itu?
c.       Apa dan bagaimana tentang koperasi serta fungsi ekonomi?
d.      Apa saja macam-macam syirkah?

1.3.Tujuan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
a.       Untuk memahami masalah pinjam-meminja dalam Islam.
b.      Untuk memahami bang Islam dam bang non Islam.
c.       Untuk mehahami koperasi serta fungsi ekonomi.
d.      Supaya mengetahui macam-macam syirkah.

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pinjam Meminjam dalam Islam (‘Ariyah)
v  Pengertian pinjam meminjam (‘Ariyah)
‘Ariyah berasal dari kata a’ara yang artinya ia memberinya pinjaman. Menurut bahasa ‘Ariyah adalah member manfaat tanpa imbalan. ‘Ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, gar zat barang itu dapt dikembalikan. Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan. Firman Allah SWT surat Al-Maidah ayat 2:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah:2)
tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
Artinya: “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. (QS. Al-Ma’un:7)
Dalam surat tersebut telah diterangkan beberapa perkara yang tidak baik, diantaranya hubungan tetangga yang hendak pinjam-meminjam.


v  Hukum meminjamkan
Asal hukum meminjamkan sesuatu itu sunnat, seperti tolong-menolong dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan kain kepada oarang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjam itu akan dipergunakan untuk sesuatu yang haram.[1]
v  Rukun meminjam          
1.      Ada yang meminjamkan. Syaratnya yaitu:
a.       Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
b.      Manfaat barang yang dipinjam dimiliki oleh orang yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu orang yang meminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya, karena manfaat barang yang dipinjam buka milikya. Dia hanya diijinkan mengambilnya, tetapi membagikan manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan; misalnya dia meminjam rumah selama satu bulan, tetapi ditempatinya hanya 15 hari, maka sisanya (15 hari lagi) boleh diberikan kepada orang lain.
2.      Ada yang meminjam, hendaklah seorang ahli (berhak ) menerima kebaikan. Anak kecil atau orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
3.      Ada barang yang dipinjam, Syaratnya:
a.       Barang yang benar-benar ada manfaatnya.
b.      Sewaktu diambil manfaatnya, zatnta tetap (tidak rusak). Oleh karena itu makanan dengan sifat makanan untuk dimakan, tidak sah dipinjamkan.
4.      Ada lafaz, menurut sebagian orang, sah dengan tidaknya berlafaz.
v  Syarat sah ‘Ariyah
Untuk sahnya ‘ariyah ada empat syarat yang wajib dipenuhi :
1.      Pemberi pinjaman hendaknya orang yang layak berbaik hati. Oleh karena itu, ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang ditahan hartanya tidak sah.
2.      Manfaat dari barang yang dipinjamkan itu hendaklah milik dari yang meminjamkan. Artinya, sekalipun orang itu tidak memiliki barang, hanya memiliki manfaatnya saja, dia boleh meminjamkannya, karena meminjam hanya bersangkut dengan manfaat, bukan bersangkut dengan zat.
3.      Barang yang dipinjamkan hendaklah ada manfaatnya. Maka tidak sah meminjamkan barang yang tidak berguna. Karena sia-sia saja tujuan peminjaman itu.
4.      Barang pinjaman harus tetap utuh, tidak boleh rusak setelah diambil manfaatnya, seperti kendaraan, pakaian maupun alat-alat lainnya. Maka tidak sah meminjamkan barang-barang konsumtip, karena barang itu sendiri akan tidak utuh, seperti meminjamkan makanan, lilin dan lainnya. Karena pemanfaatan barang-barang konsumtip ini justru terletak dalam menghabiskannya. Padahal syarat sahnya ‘ariyah hendaklah barang itu sendiri tetap utuh.

v  Mengambil manfaat barang yangt dipinjam
Yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjamnya hanya sekedar menurut izin dari yang punya, atau kurang dari yang diizinkan. Umpama dia meminjam tanah untuk menanam padi, dia diperbolehkan untuk menanam padi dan yang sama umurnya dengan padi, atau yang kurang, seperti kacang. Tidak boleh dipergunakan untuk tanaman yang lebih lama daripada padi, kecuali kalau tidak ditentukan masanya, maka dia boleh bertanam menurut kehendaknya.
v  Hilangnya barang yang dipinjam
Kalau barang yang dipinjam itu hilang atau rusak karena pemakaian yang diizinkan, yang meminjam tidak perlu mengganti karena pinjam-meminjam itu berarti percaya-mempercayai; tetapi kalau karena sebab lain, dia diwajibkan mengganti.
v  Mengembalikan pinjam
Kalau mengembalikan barang yang dipinjam tadi memerlukan ongkos, maka hendaklah ongkos itu dipikul oleh yang meminjam. Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam dan meminjamkan tidak berhalangan bila ingin mengembalikan atau meminta kembali pinjaman, sebab ‘ariyah adalah akad yang tidak tetap. Atau keduanya boleh memutuskan akad , asal tidak merugikan salah seorang dari yang meminjam atau yang meminjamkan mati, begitu juga karena gila.
2.2.Bank Islam dan Bank Non Islam
Ø  Bank Islam
a.       Pengertian Bank Islam
Bank Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Karnaen Perwataatmaja dan Muhammad Syafi’I Antonio adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam redaksi lain, bank Islam adalah bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan hadis.[2] Menurut M. Amin Azis definisi bank Islam adalah lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasinya berdasarkan syariat Islam.[3] Ini bararti operasi perbankan syariah mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa bank Islam adalah lembaga perbankan sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangn, tetapi dalam kegiatan operasinya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Prinsip tersebut yang paling mendasar antara lain dalam cara bermuamalah dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsure-unsur riba dan diganti dengan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
b.      Prinsip-Prinsip Bank Islam
Prinsip-prinsip yang dianut oleh bank Islam adalah sebagai berikut:
1.      Larangan riba
Riba dengan berbagai bentuk dan macamnya dilarang oleh lslam.
2.      Mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli.
3.      Keadilan.
4.      Kebersamaan dan tolong menolong.
5.      Saling mendorong untuk meningkatkan prestasi


c.       Ciri-Ciri Bank Islam
Bank Islam memiliki cirri-ciri khusu yang berbeda dengan bank konvensional. Ciri-ciri tersebut adalah sebagi berikut:
1.      Keuntungan (misalnya pada kredit murabahah dab bai’ bitsamanin ajil) dan beban biaya (misalnya pada [injaman al-qardh al-hasan) yang disepakati tidak kaku dan ditentukan berdasarkan kelayakan tanggunmgan risiko dan pengorbanan masing-masing.
2.      Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. Sisa utang selepas kontrak dilakukan dengan membuat kontrak baru.
3.      Penggunaan persentase untuk perhitungan keuntungan dan biaya administrasi selalu dihindari, karena persentase mengandung potensi melipat gandakan.
4.      Pada bank Islam tidak dikenal keuntungan pasti (fixe return). Kepastian keuntungan ditentukan setelah keuntungan tersebut diperoleh, bukan sebelumnya.
5.      Uang dari jenis yang sama tidak bisa diperjual belikan/ disewakan atau dianggap barang dagangan. Oleh karena itu, pada dasarnya bank Islam tidak memberikan pinjaman berupa uang tunai, tetapi berupa pembiayaan atau talangan dan untuk pengadaan barang dan jasa.
d.      Produk-Produk Bank Islam
Produk ank Islam adalah gabungan antara produk perbankan dan landasan syariah. Sebagai lembaga perbankan, produk bank Islam mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. Sebagai bank yang berpedoman kepada ketentuan-ketentuan hukum syariah, bank Islam dalam menetapkanprodukya selalu berpedoman kepada ketentuan-ketentuan hukum syariah yang bersumber dari Alqur’an dan Hadis.
Dilihat dari segi fungsinya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkannya, produk bank Islam dapat dibagi kepada dua bagian:
v  Produk berkaitan dengan simpanan:
1)      Tabungan mudharabah
Adalah simpanan pihak ketiga di bank Islam yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai dengan perjanjian.
2)      Deposito mudharabah
Adalah investasi melalui simpanan pihak ketiga yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu pada saat jatuh tempo, dengan mendapatkan imbalan bagi hasil.

v  Produk berkaitan dengan penyaluran:
1)      Pembiayaan untuk investasi atas dasar bagi hasil:
a)      Pembiayaan mudharabah
Adalah suatu perjanjian usaha antara pemilik modal dengan pengusaha, dimana pihak pemilik modal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan atas usaha tersebut.
b)      Pembiayaan musyarakah
Adalah suatu perjanjian usaha antara dua orang pemilik modal atau lebih untuk menyertakan modalnya pada suatu prioyek, dan keuntungan yang diperoleh dapat dibagi, baik menurut proporsi penyertaan modal masing-masing, maupun sesuai dengan kesepakatan bersama.
2)      Pembiayaan untuk kegiatan perdagangan:
a)      Pembiayaan al-murabahah
Adalah pembelian barang dengan pembayaran ditangguhkan (1 bulan, 3 bulan, 1 tahun, dan seterusnya).
b)      Pembiayaan al-bai’ at-takjiri/ sewa beli.
Adalah suatu bentuk sewa yang diakhiri dengan enjualan.
3)      Pembiayaan pengadaan untuk disewakan atau disewa belikan:
a)      Sewa guna usaha disebut al-ijarah
Adalah pemberian kesempatan kepada penyewa untuk mengambil kemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
b)      Sewa beli atau al-ba’i at-takjiri.
4)      Pemberian pinjaman tunai kebajikan (al-qardh al-hasan).
5)      Fasilitas-fasilitas perbankan umumnya yang tidak bertentangan dengan syariah seperti:
a)      Penitipan dana dalam rekening lancar dalam bentuk giro wadi’ah yang diberi bonus.
b)      Jasa lainnya untuk memperoleh balas jasa (fee), seperti:
(1)   Pemberian jaminan (kafalah)
(2)   Pengalihan tagihan (hiwalah)
(3)   Pelayanan khusus (ju’alah)
(4)   Pembukaan L/C (wakalah)
(5)   Gadai (rahn).[4]

Ø  Bank Non Islam
a.       Pengertian bank non Islam
Didalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan, bahwa bang (perbangkan) ialah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain.selain itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bang atau giral. Jadi kegiatanya begerak dalam biadang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi penting yaitu sebagai perantara pemberikredit dan menciptakan uang.
Sedangkan dalam Undang-Undang Pokok Perbangkan tahun 1967 adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang.[5]
b.      Produk-produk bank
Diantara produk-produk bang antara lain sebagai berikut:
1.      Simpanan
Menurut UU RI No.7 tahun 1992 tentang perbangkan, simpanan adalah dana yang dipercayakan masyarakat kepada bang dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang disamakan dengan itu.
2.      Giro
Pengertian giro menurut UU Perbangkan RI No.7 tahun 1992 Tentang Perbangkan, yaitu simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindah bukuan.
3.      Cek
      Merupakan perintah tidak bersyarat dari pemegang rekening (nasabah giro) kepada bang untuk membayar sejumlah uang tertentu.
4.      Tabungan
Bardasarkan UU RI No.7 tahun 1992, Bab I, Pasal I, Butir 10, tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat diprsamakan dengan itu.
5.      Deposito
Menurut UU RI No.7 tahun 1992, Bab I, Pasal I Butir 8, deposito barjangka adlah simpanan yang penerikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dan bang yang bersangkutan.
6.      Inkaso dan Kliring
Inkaso adalah perhitungan utang piutang antar bang di satu kota dengan kota yang lainnya, baik bang tersebut merupakan cabang yang sama maupun bang yang berlainan dengan mengguanakan cek/bilyet giro, yang berita inkasonya disampaikan melalui surat, kawat telepon, atau teleks.
Kliring adalah tata cara perhitungan piutang dalam bentuk surat dagang dan surat berharga yang terdiri dari atas cek, bilyet giro, bukti penerimaan transfer dari luar kota, kredit, wesel, dan surat-surat lainnya.
7.      Garansi Bang
Secara umum istilah garansi bang adalah jaminan pembayaran yang diberikan kepada satu pihak, baik perseorangan, perusahaan, badan-badan, atau lembaga-lembaga tempat bang menyatakan akan memenuhi kewajiban dari pihak yang tidak memenuhi (membayar) kewajiban kepada pihak lainnya.
8.      Surat yang dapat diperdagangkan
Klasifikasi surat-surat yang dapat diperdagangkan menurut uniform commercial code pasal 3-104
9.      Wesel Bang
Adalah surat yang ditarik oleh suatu bang atas bang lain
10.  Aksep Bang (Accepted Bank)
Adalah wesel yang diakseptasi oleh bang. Akseptasi merupakan pernyataan kesanggupan pembayar atau tertarik untuk membayar sejumlah uang yang ditulis diatas surat wesel serta menandatanganinya.
11.  Endosemen
Berasal dari kata endos yang artinya di belakang maka endoseman berarti harus dibuat dibelakang dibagian belakang dari surat wesel bersangkutan.
12.  Transaksi-trasfer
Transfer adalah satu jasa atau tugas perbangkan untuk membantu masyarakat dalam mengirim uang dari satu tempat ketempat lain.

2.3.Koperasi dan Fungsi Ekonomi
a.      Pengertian koperasi
Dari segi etimologi kata “koperasi” baerasal dari bahasa Inggris, yaitu coperation yang artinya bekerja sama. Sedangkan dari segi terminologi, koperasi ialah suatu suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama dengan penuh kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar suka rela secara kekeluargaan.
Koperasi dari segi bidang usahanya ada yang hanya menjalankan satu bidang usaha saja, misalnya bidang konsumsi, bidang kredit atau bidang produksi. Ini disebut koperasi budang usaha tunggal (single purpose). Ada pula koperasi yang meluaskan usahanya dalam berbagai bidang, disebut koperasi serba usaha (multi purpose), misalnya pemblian dan penjualan.
Dari pengertian koperasi diatas , dapat ditarik kesimpulan bahwa yang mendasari gagasan koperasi sesungguhnya adalah kerja sama, gotong royong, dan demokrasi ekonomi menuju kesejahteraan umum. Kerja sama dan gotong royong ini sekurang-kurangnya dilahat dari dua segi. Pertama, modal awal koperasi dikumpulkan dari semua anggota-anggotanya. Mengenai keanggotaan dalam koperasi berlaku asas satu anggota, satu suara. Karena itu besarnya modal yang dimiliki anggota, tidak menyebabkan anggota yang lebih kecil modalnya. Kedua, permodalan itu sendiri tidak merupakan satu-satunya ukuran dalam pembagian hasil usaha. Modal dalam koperasi diberi bunga terbatas dalam jumlah yang sesuai dengan keputusan rapat anggota. Sisa hasil usaha sebagian besar dibagikan kepada anggota berdasarkan besar kecilnya peranan anggota dalam pemanfaatan jasa koperasi.
Koperasi sendiri adalah perkumpulan orang, bukan perkumpulan modal. Sebagai badan usaha, koperasi tidak semata-mata mencari keuntungan, akan tetapi lebih dari itu, koperasi bercita-cita memupuk kerja sama dan mempererat persaudaraan di antara sesama anggotanya.
Sebagian ulama menganggap koperasi sebagai (Syirkah Ta’uwuniyah) sebagai akad mudharabah, yakni suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih, di satu pihak menyediakan modal usaha, sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan) menurut perjanjian, dan diantara syarat sah mudharabah itu ialah menetapkan keuntungan setiap tahun dengan persentase tetap, misalnya 1% setahun kepada salah satu pihak dari mudharabah tersebut. Karena itu, apabila koperasi itu termasuk mudharabah atau qiradh, dengan ketentuan tersebut di atas (menetapkan persentase keuntungan tertentu kepada salah satu pihak dari mudharabah), maka akad mudharabah itu tidak sah (batal), dan seluruh keuntungan usaha jatuh kepada pemilik modal, sedangkan pelaksana usaha mendapat upah yang sepadan atau pantas.
Menurut Muhammad Syaltut, koperasi merupakan syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi banyak sekali manfaatnya, yaitu memberi keuntungan kepada para anggota pemilik saham, memberi lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi bantuan keuangan dari sebagian hasil koperasi untuk mendirikan tempat ibadah, sekolah, dan lain sebagainya. Dengan demikian jelas, bahwa dalam koperasi ini tidak ada unsur kedzaliman dan pemerasan (eksploitasi oleh manusia yang kuat/kaya atas manusia yang lemah/miskin). Pengelolaanya demokratis dan terbuka (open management) serta membagi keuntungan dan kerugian kepada para anggota menurut ketentuan yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Oleh karena itu koperasi dibenarkan oleh Islam.

b.      Tujuan-Tujuan koperasi Islam
Desain model koperasi model baru adalah ditentukan berdasarkan tujuan-tujuan berikut ini:
·         Tidak melanggar prinsip al- kharaj bi al-daman
·         Menerapkan prinsip-prinsip pelarangan riba dalam model baru tersebut, sehingga tidak ada transaksi yang dilakukan oleh koperasi yang mengandung riba dalam segala bentuknya.
·         Akan dilakukan upaya untuk mangatisipasi akibat-akibat wajar yang timbul dari penerapan dua prinsip tersebut dalam terma-terma kepemilikan asset-aset bisnis oleh para shareholder dan pembentukan daman (liabilitas) melalui kepemikan dan saran-saran lain.
·         Akan dilakukan upaya untuk memperkuat hubungan antara suatu pihak dengan koperasi sebagai sebuah person legal dalam terma-terma kontrak dasar seperti wakalah, kafalah, ijarah, dan amanah sehingga prinsip hokum Islam dapat diterapkan dengan jelas dan nyata.

2.4.Syirkah (kerja sama)
a.      Pengertian Syirkah
Syirkah dalam bahasa adalah bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga idak dapat dibedakan antara keduanya. Menurut Ibrahim Anis mengemukakan arti syirkah menurut bahasa yaitu ia bersekutu dalam suatu persekutuan: masing-masing dari kedua peserta itu memiliki bagian dari padanya.[6]
Definisi syirkah menurut istilah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagai berikut:

Ø  Menurut Hanafiah
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat di dalam modal dan keuntungan.
Ø  Menurut Malikiyah
Syirkah adalah persetujuan untuk melakukan tassaruf bagi keduanya beserta diri mereka; yakni setiap orang yang berserikat member persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan tasarruf terhadap harta keduanya di samping masih tetapnya hak tasarruf bagi masing-masing peserta.[7]
Ø  Menurut Syafi’iyah
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang dari dua orang atau lebih secara bersama-sama.
Ø  Menurut Hambali
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
Ø  Dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith dikemukakan:
Syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama.[8]
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa definisi menurut Hanafiah dan yang tercantum dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith adalah definisi yang lebih sesuai dengan konteks. Karena syirkah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk bekerja sama dalm suatu kegiatan usaha, di mana modal dan keuntungan dimiliki oleh dan dibagi bersama kepada semua pihak yang berserikat.

b.      Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah terbagi menjadi dua bagian:
1.      Syirkah Al-Amlak (syirkah milik)
2.      Syirkah Al-‘Uqud

(1). Syirkah Al-Amlak
Pengertian syirkah al-amlak
Syirkah milik adalah kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap satu barang tanpa melalui akad syirkah.[9] Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa syirkah milik adalah suatu syirkah di mana dua orang atau lebih bersama-sama memiliki suatu barang tanpa melakukan akad syirkah. Contoh, dua orang diberi hibah sebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki oleh dua orang melalui hibah, tanpa akad syirkah antara dua orang yang diberi hibah tersebut.
Syirkah milik terbagi menjadi dua, yaitu:
a)      Syirkah Ikhtiyariyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena perbuatan orng-orang yang berserikat.
b)      Syirkah Jabariyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul bukan karena perbuatan orang-orang yang berserikat, melainkan harus terpaksa diterima oleh mereka.
Hukum kedua syirkah ini adalah bahwa masing-masing orang yang berserikat seolah-olah orang lain dalam bagian teman serikatnya. 
(2). Syirkah Al-‘Uqud
Pengertian syirkah al-‘uqud
Syirkah ‘uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu di dalam modal dan keuntungannya.[10] Menurut Sayid Sabiq syirkah ‘uqud terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a)      Syirkah ‘Inan
Pengertian syirkah ‘inan sebagimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq, syirkah ‘inan adalah suatu persekutuan atau kerja sama antara dua pihak dalam harta (modal) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi di antara mereka.[11]
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa syirkah ‘inan adalah persekutuan dalam modal dan keuntungan, termasuk kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan seorang pesero tidak dibenarkan hanya bersekutu dalam keuntungan saja, sedangkan dalam kerugian ia dibebaskan.
Dalam syirkah ‘inan tidak disyaratkan adanya persamaan dalam modal, tasarruf (tindakan hukum), dan keuntungan serta kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan antara peserta satu dengan peserta yang lainnya modal yang diinvestasikan boleh sama dan boleh berbeda.
Dalam hal modal yang diinvestasiakan sama, maka keuntungan yang dibagikan boleh sama antara para peserta dan boleh juga berbeda. Hal tersebut tergantung pada kesepakatan yang dibuat oleh para peserta pada waktu terbentuknya akad.adapun dalam hal kerugian maka perhitungannya disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan.
b)      Syirkah Mufawadhah
Mufawadha dalam arti bahasa adalah al-musawah, yang artinya “persamaan”. Syirkah yang kedua ini dinamakan syirkah mufawadhah karena di dalamnya terdapat unsur pesamaan dalam modal, keuntungan, melakukan tasarruf (tindakan hokum) dal lain-lainnya.[12]
Dalam arti istilah, syirkah mufawadhah di definisikan oleh Wahbah Zuhaili yaitu bahwa syirkah mufawadhah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk bersekutu (bersama-sama) dalam mengerjakan suatu perbuatan dengan syarat keduanya sama dalam modal, tasarruf dan agama, dan masing-masing peserta menjadi penanggung jawab atas yang lainnya di hal-hal yang wajib dikerjakan, baik berupa penjualan maupun pembelian.[13]
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa syirkah mufawadhah adalah suatu perjanjian kerja sama antara beberapa orang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan, di mana setiap peserta menjadi penanggung jawab atas peserta yang lainnya. Dan dapat diketahui bahwa dalam syirkah muwafadhah terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1)      Persamaan dalam modal. Apabila salah satu peserta modalnya lebih besar daripada peserta yang lainnya, maka syirkah hukumnya tidak sah.
2)      Pesamaan dalan hak tasarruf. Maka tidak sah syirkah muwafadhah antara anak yang masih di bawah umur dan orang dewasa, karena hak tasarruf keduanya tidak sama.
3)      Persamaan dalam agama. Dengan demikian, tidak sah syirkah muwafadhah antara orang muslim dan orang kafir.
4)      Tiap-tiap peserta harus menjadi penanggung jawab atas peserta yang lainnya dalam hak dan kewajiban, sekaligus sebagai wakil. Dengan demikian, tindakan hokum peserta yang satu tidak boleh lebih besar daripada tindakan hokum pesrta yang lainnya.
Apabila syarat-syarat persamaan tersebut dipenuhi maka akad syirkah dengan bentuk muwafadhah, hukumnya sah, dan setiap peserta menjadi wakil dan penanggung jawab atas peserta yang lainnya.
c)      Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh didefinisikan oleh Sayid Sabiq, yaitu bahwa syirkah wujuh adalah pembelian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dari orang lain tanpa menggunakan modal, dengan berpegang kepada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan.[14]
Dapat dipahami bahwa syirkah wujuh adalah suatu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal, tetapi hanya kepercayaan dan keuntungan yang dibagi sesame mereka.
d)     Syirkah Abdan
Menurut Sayid Sabiq, syirkah abdan adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk menerima suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan.[15]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa syirkah abdan atau disebut juga syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan bersama-sama, dan upah kerjanya dibagi diantara mereka sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama. Seperti pemborong bangunan, tukang batu, instalasi listrik, dan bisa juga dalam jenis pekerjaan yang lainnya.


























BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ‘Ariyah berasal dari kata a’ara yang artinya ia memberinya pinjaman. Menurut bahasa ‘Ariyah adalah member manfaat tanpa imbalan. ‘Ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, gar zat barang itu dapt dikembalikan. Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan.
Bank Islam adalah lembaga perbankan sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangn, tetapi dalam kegiatan operasinya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Prinsip tersebut yang paling mendasar antara lain dalam cara bermuamalah dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsure-unsur riba dan diganti dengan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Selain itu, bank (perbangkan) ialah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain.
Syirkah dalam bahasa adalah bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga idak dapat dibedakan antara keduanya. Menurut Sayid Sabiq syirkah ‘uqud terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.      Syirkah ‘Inan (اَلعِنَانُ)
2.      Syirkah Mufawadhah (اَلمُفَاوَضَةُ)
3.      Syirkah Wujuh (اَلوُوُخُوْهُ)
4.      Syirkah Abdan (اَلأَبِدَانُ)




DAFTAR PUSTAKA


Wardi Muslich, Ahmad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah.
Rasjid, Sulaiman. 2004. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Hasan, Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam “Fiqih Muamalat”. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE.
Perwataatmadja, Karnaen dan Antonio, Muhammad Syafi’i. 1992. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Nyazee, Imran Ahsan Khan. 2008. Fikih Korporasi. Surabaya: PT. Temprina Media Grafika



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), 323
[2] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal 510
[3] Ibid,
[4] Ibid, 517
[5] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, hlm. 182
[6] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal 339
[7] Ibid, hal 340
[8] Ibid, hal 341
[9] Ibid, hal 344
[10] Ibid, hal 345
[11] Ibid, hal 347
[12] Ibid, hal 348
[13] Ibid, hal 349
[14] Ibid, hal 350
[15] Ibid, hal 351

No comments:

Post a Comment