Wednesday, October 22, 2014

makna ibadah


BAB I
Pendahuluan

1.1.Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dari makhluk yang lain sebagai kholifah di muka bumi ini. Tetapi satu hal yang tak boleh kita lupakan kewajiban kita sebagai makhlukNya, untuk apa kita diciptakan?
Sebagaimana firman Allah SWT :


Yang artinya : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Dari firman ini kita tahu apakah kewajiban kita ini sebagai makhluk ciptaan Allah. Manusia diciptakan tidak lain agar manusia itu menyembah kepada Allah. Untuk itu dalam pembahasan kita kali ini akan membahas tentang apakah itu ibadah agar kita mengerti dan paham mengapa kita harus beribadah kepada Allah SWT.
1.2.Rumusan Masalah
1)      Apakah pengertian ibadah?
2)      Bagaimanakah hakekat dan makna dari ibadah?
3)      Bagaimanakah relasi antara ibadah dan iman?
4)      Sebutkan pembagian dari ibadah!
5)      Sebutkan syarat diterimanya ibadah!
6)      Apa hikmah dan keutamaan dari ibadah?
1.3.Tujuan
1)      Mengerti pengertian ibadah.
2)      Mengerti hakekat dan makna dari ibadah.
3)      Mengerit relasi antara ibadah dan iman.
4)      Mengetahui macam-macam ibadah serta syarat diterimanya ibadah.
5)      Mengetahui hikamah dan keutamaan dari ibadah.

BAB II
Pembahasan

2.1.  Pengertian Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa arab telah menjadi bahasa melayu yang terpakai dan dipahami secara baik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa melayu atau Indonesia. Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti, berkhidmat, tunduk, patuh, mengesakan dan merendahkan diri.
Sedangkan secara terminologi, ibadah ialah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Juga diartikan, segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta.

2.2.  Hakekat dan Makna Ibadah
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56). Allah menciptakan kita untuk beribadah. Apakah makna ibadah? Berikut ini kami nukilkan keterangan Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah di dalam Fath Al-Majid (hal. 17 cetakan Dar Ibnu Hazm). Beliau memaparkan :
Syaikhul Islam mengatakan, “Ibadah adalah melakukan ketaatan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul.” Beliau juga menjelaskan, “Ibadah adalah istilah yang meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibadah berporos pada lima belas patokan. Barangsiapa dapat menyempurnakan itu semua maka dia telah menyempurnakan tingkatan-tingkatan penghambaan (ubudiyah). Keterangannya ialah sebagai berikut : Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan hukum-hukum yang berlaku dalam kerangka ubudiyah itu terbagi lima : wajib, mustahab/sunnah, haram, makruh, dan mubah. Masing-masing hukum ini berlaku meliputi isi hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan.”
Al-Qurthubi mengatakan, “Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan. Berbagai tugas/beban syari’at yang diberikan kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan ibadah; dikarenakan mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada Allah ta’ala. Makna ayat tersebut (QS. Adz-Dzariyat : 56) adalah Allah ta’ala memberitakan bahwa tidaklah Dia menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Inilah hikmah penciptaan mereka.” Saya katakan (Syaikh Abdurrahman), “Itulah hikmah yang dikenal dengan nama hikmah syar’iyah diniyah.”
Al-’Imad Ibnu Katsir mengatakan, “Makna beribadah kepada-Nya yaitu menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam. Sebab makna Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah ta’ala yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri, dan kepatuhan.” Selesai ucapan Ibnu Katsir.
Beliau (Ibnu Katsir) juga memaparkan tatkala menafsirkan ayat ini (QS. Adz-Dzariyat : 56), “Makna ayat tersebut; sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang taat kepada-Nya akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepada-Nya niscaya Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat keras. Allah pun mengabarkan bahwa diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan mereka. Bahkan mereka itulah yang senantiasa membutuhkan-Nya di setiap kondisi. Allah adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi mereka.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan mengenai ayat ini, “Maknanya adalah tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah agar mereka Ku-perintahkan beribadah kepada-Ku.” Sedangkan Mujahid mengatakan, “Tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah untuk Aku perintah dan Aku larang.” Tafsiran serupa ini juga dipilih oleh Az-Zajjaj dan Syaikhul Islam.
Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud. Semoga Allah memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada kita untuk menjadi hamba-Nya yang sejati; yang tunduk dan patuh kepada Rabb penguasa jagad raya, bukan menjadi budak hawa nafsu dan ambisi-ambisi dunia. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

2.3.  Relasi Ibadah dan Iman
`Relasi antara ibadah dan iman sangatlah erat sekali. Karena ibadah tanpa dilandasi dengan iman, maka ibadah tersebut tidak diterima. Firman Allah SWT :

Artinya :“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(al ‘asr : 3)
Beriman dan beribadat kepada Tuhan tidak akan memberi faedah kepada manusia dan tidak dapat menyelamatkan mereka melainkan melalui tiga tingkatan dasar, yaitu:
1.      Iman yang bersih daripada sebarang syirik.
2.      Ibadat menurut cara yang ditetapkan Tuhan dan dengan ikhlas.
3.      Mematuhi hukuman Tuhan.
Ibadah hanya menjadi seperti riadah badan sekiranya tidak lahir dari iman yang sejati. Iman sejati itu tidak diakui sekiranya tidak ada kepatuhan kepada perintah dan hukumanNya.
Memang jelas Tuhan itu Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dialah yang menjadikan segala petala langit dan bumi. Dialah juga memberi nikmat dan rezeki dari dahulu hingga sekarang. Oleh itu tidaklah patut manusia itu berlaku syirik atau sekutu kepadaNya kerana manusia juga sedar Tuhan Maha Kuasa itu tiada bandingan dengan yang lain.
Dengan demikian iman dan ibadah adalah mempunyai hubungan yang sangat erat sekali kerana ibadah itu lahir dari keimanan, sedangkan keimanan itu lahir adalah bukti kebesaran Tuhan di hadapan manusia dan keimanan jugalah akan melahirkan kepasrahan, ketaatan, ketundukan dan itulah ibadah. (Muklas Asy- Syarkani:2002:8-14)

2.4.  PEMBAGIAN IBADAH DAN SYARAT DITERIMANYA IBADAH
Ibadah dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1.      Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni ibadah, jadi semata-mata tujuannya untuk cari pahala.
Contohnya adalah shalat dan puasa.
2.      Ibadah ghoiru mahdhoh adalah ibadah yang tidak murni ibadah. Satu sisi ibadah ini bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah dan bisa tidak bernilai ibadah jika hanya berniat untuk dunia.
Contohnya adalah:
a. Bekerja untuk mencari nafkah
b. Tersenyum dengan orang lain
c. Tolong menolong sesama
d. Menafkahkan harta di jalan Allah
Para ulama menjelaskan bahwa ibadah mahdhoh jika dikerjakan tanpa tuntunan, jelas hal ini adalah amalan yang sia-sia. Seperti shalat yg dilakukan diniatkan pada malam jumat kliwon, ini jelas tidak ada tuntunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa tuntunan dari kami, maka amalan itu tertolak. ” (HR Muslim). Jadi harus perlu dasar dalam ibadah jenis ini. Sehingga ada kaedah dalam ibadah: “Hukum asal ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang menuntunkannya.”
Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh, ini baru jadi ibadah dan berpahala jika diniatkan untuk ibadah, seperti cari nafkah untuk hidupi keluarga diniatkan karena Allah. Namun jika diniatkan hanya untuk cari kerja saja sebagaimana kewajiban kepala keluarga, maka ini tidak bernilai pahala. Jadi amalan ini asalnya mubah. Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.
Namun perlu diperhatikan bahwa ibadah ghoiru mahdhoh ini jika dijadikan sebagai ibadah murni, maka bisa dinilai bid’ah seperti dikhususkan dengan cara dan dikerjakan pada waktu tertentu. Seperti contohnya: Ziarah kubur sebelum masuk ramadhan. Ziarah kubur asalnya boleh kapan saja. Namun jika dikhususkan pada waktu semacam ini, barulah dinilai bid’ah. Begitu pula jabat tangan setelah shalat. Jabat tangannya asalnya boleh kapan saja, bahkan jabat tangan dapat menggugurkan dosa. Namun jika dikhususkan ketika selesai shalat, maka ini yang jadi masalah. Jadi tidak bisa dikatakan mubah.

Ada juga ilmuwan Islam membagi ibadah sebagai berikut :
1.      Ibadah Zahiriyah.
Ibadah zahiriyah atau juga disebut syariah adalah amalan zahiriyah yang diperintahkan kepada umat Islam samaada ia berupa perkara wajib atau sunat atau juga meninggalkan perkara yang dilarang oleh Allah Ta’alah. Ibadah ini dengan jelas diatur dalam al-Quran dan Sunnah yang kemudian dibukukan dan diperjelas dan menjadi satu kajian displin ilmu tersendiri. Ibadah zahiriyah itu terbagi menjadi dua bagian yaitu :
a)      Hablum minallah, atau juga disebut ibadah makhdhah, yaitu ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah, seperti sholat, puasa, zakat, haji, membaca al-Quran dan sebagainya.
b)      Hablum minannas, atau disebut sebagai ghairu makhdhah, ialah ibadah zahiriyah berhubungan dengan perkara muamalah, yaitu perbuatan yang ada hubungan langsung dengan manusia seperti munakahat, sosial, siasah, ekonomijihak dan sebagainya.
2.      Ibadah Batiniyah (Hakikat)
Ibadah batiniyah adalah amalan yang bersifat batiniyah iaitu melakukan apa yang dilakukan dan meninggalkan apa yang dilarang. Amalan yang diperintah disebut mahmudah (amalan terpuji) sedangkan amalan yang dilarang adalah disebut mazmumah (amalan yang tercela). Ibadah batiniyah terbagi menjadi dua yaitu :
1)      akhlak dengan Allah.
a)      Mengenal Allah dengan yakin.
b)      Merasakan kehebatan Allah.
c)      Merasa gementar dengan neraka Allah.
d)     Merasa sentiasa diawasi Allah.
e)      Merasa hina diri dan malu dengan Allah.
f)       Merasa redha dengan setiap takdir dan ketentuan Allah Ta’alah.
g)      Sabar dengan berbagai ujian Allah.
h)      Mensyukuri nikmat pemberian Allah.
i)        Mencintai Allah.
j)        Merasa takut kepada Allah.
k)      Merasa harap pada rahmat Allah.
l)        Rindu pada Allah.
m)    Sentiasa mengingati Allah.
n)      Rindu pada syurga Allah kerana ingin bertemu dengannya.
2)      Akhlak dengan manusia yaitu merangkumi :
a)      Mengasihinya sebagaimana mengasihi diri sendiri.
b)      Merasa gembira apabila mereka bergembira dan merasa dukacita apabila mereka berduka cita.
c)      Menginginkan kebahagian untuknya di samping berharap agar musibah menjauhinya.
d)     Benci kepada kejahatannya tetapi kasihan kepadanya sehingga timbul perasaan untuk menasihatinya.
e)      Pemurah padanya.
f)       Mengenang jasa dan berusaha membalasnya kerana Allah.
g)      Memaafkan kesalahannya dan sanggup meminta maaf jika bersalah dengannya.
h)      Kebaikannya disanjung dan dukuti, kejahatannya dinasihati dan dirahsiakan dan bersifat berlapang dada.
i)        Bersikap baik sangka terhadap sesama Islam.
j)        Tawadu dengan sesama manusia.
Kedua-duanya penting antara syariat dan hakikat kerana kedua perkara dapat membentuk manusia yang bertaqwa dan dapat menjaga dari sifat munafiq, kufur dan syirik. Ibadah zahiriah dan batiniah sangat berhubung rapat, wajib diamalkan secara bersamaan. Tidak boleh ajaran itu diamalkan sepotong-sepotong kerana ia boleh menghilangkan kesempumaan amal. Kedua-dua sama penting seperti kulit dan isi buah-buahan. Kedua-dua mesti ada untuk kesempumaan wujud buah itu sendiri. Tanpa kulit, isi tidak selamat malah isi tidak mungkin ada kalau kulit tidak ada, sebaliknya tanpa isi kulit menjadi tiada erti apa-apa, sebab buah yang dimakan adalah isinya dan bukan kulitnya. (Muklas Asy-Syarkani: 2002:16-18)

Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya : “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat, yaitu:
a)      Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
Syarat tersebut merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya.
b)      Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.


Artinya : “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’at-kan, tidak dengan bid’ah.” Sebagaimana Allah berfirman.



Artinya : “Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam ber-ibadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagai-mana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat. Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut :
1)      Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
2)      Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3)      Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
4)      Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam ke-hidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi ke-hidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.



2.5.     Hikmah dan Keutamaan Ibadah
a.      Hikmah Ibadah
Sudah menjadi ketentuan dalam kehendak Tuhan bahwa tiap-tiap makhluk yang bernyawa di dunia ini, seperti manusia, binatang, dan sebagainya lebih banyak menyukai kejahatan daripada kebaikan sebab umumnya mereka sangat mudah dipenaruhi oleh nafsu pribadi. Banyak diantara mereka yang karena alasan sepele membuat kawannya menjadi lawannya sehingga mudah sekali terjadi perkelahian dan perselisihan.
Oleh sebab itu, Tuhan memberi senjata kepada makhluk ciptaan-Nya untuk menjaga diri dari serangan musuh, seperti burung yang menggunakan paruhnya, harimau yang menggunakan taringnya, sedangkan manusia menggunakan akal dan pikirannya sebagai senjata.
Dengan adanya akal dan pikiran itu, berbedalah manusia dari makhluk-makhluk yang lain walaupun dasar kejahatan tetap ada sebab dia mempunyai hawa nafsu. Akal dan pikiran itulah yang meninggikan manusia dari derajat makhluk-makhluk yang lain. Ia dapat berpikir dan membuat sesuatu yang dikehendaki oleh akalnya dan perasaannya.
Menurut dasarnya, tujuan akal dan pikiran itu adalah baik dan benar, tetapi sebelum jalan akal dan pikiran itu diarahkan, maka kebenaran dan kehendaknya itu belum tentu baik dan benar menurut pandangan Tuhan. Oleh sebab itulah, manusia diberi beban atau taklif, yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan menurut agama untuk memperbaiki jalan akal dan pikirannya. Taklif ini dinamakan juga dengan amanah Tuhan.
Adapun jenis beban atau taklif itu banyak sekali, diantaranya shalat, zakat, puasa, haji, melarang perbuatan jahat, menyuruh perbuatan baik dan sebagainya. Bila beban atau taklif itu dibawanya dengan senang hati, niscaya akan teraturlah jalan pikirannya dan nafsu pribadi yang senantiasa menuju pada kejahatan akan menjadi nafsu mutmainah, yaitu tenang, tentram, suci dari kekotoran dan kekejian.



b.        Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah men-ciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya di-puji dan yang enggan melaksanakannya dicela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.


Artinya : “Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, nis-caya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [Al-Mu'min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mem-persempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demi-kian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang meng-hendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat mem-bebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.














BAB III
Penutup

Kesimpulan
1.      Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti, berkhidmat, tunduk, patuh, mengesakan dan merendahkan diri.
  1. secara terminologi, ibadah ialah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
  2. Relasi antara ibadah dan iman sangatlah erat sekali. Karena ibadah tanpa dilandasi dengan iman, maka ibadah tersebut tidak diterima.
  3. Ibadah dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1)      Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni ibadah, jadi semata-mata tujuannya untuk cari pahala. Contohnya adalah shalat dan puasa.
2)      Ibadah ghoiru mahdhoh adalah ibadah yang tidak murni ibadah. Satu sisi ibadah ini bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah dan bisa tidak bernilai ibadah jika hanya berniat untuk dunia. Contohnya adalah:
a. Bekerja untuk mencari nafkah
b. Tersenyum dengan orang lain
c. Tolong menolong sesama
d. Menafkahkan harta di jalan Allah
  1. Keutamaan ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.






DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul. 2008. Impak Ibadah Dalam Kehidupan.http://ctu101.blogspot.com/2008/04/impak-ibadah-dalam-kehidupan.html. Diakses pada tanggal 03 Oktober 2011






No comments:

Post a Comment