BAB I
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Allah
menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dari makhluk yang lain sebagai
kholifah di muka bumi ini. Tetapi satu hal yang tak boleh kita lupakan
kewajiban kita sebagai makhlukNya, untuk apa kita diciptakan?
Sebagaimana firman
Allah SWT :
Yang
artinya : “Tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Dari
firman ini kita tahu apakah kewajiban kita ini sebagai makhluk ciptaan Allah.
Manusia diciptakan tidak lain agar manusia itu menyembah kepada Allah. Untuk
itu dalam pembahasan kita kali ini akan membahas tentang apakah itu ibadah agar
kita mengerti dan paham mengapa kita harus beribadah kepada Allah SWT.
1.2.Rumusan Masalah
1)
Apakah
pengertian ibadah?
2)
Bagaimanakah
hakekat dan makna dari ibadah?
3)
Bagaimanakah
relasi antara ibadah dan iman?
4)
Sebutkan
pembagian dari ibadah!
5)
Sebutkan syarat
diterimanya ibadah!
6)
Apa hikmah dan
keutamaan dari ibadah?
1.3.Tujuan
1)
Mengerti
pengertian ibadah.
2)
Mengerti hakekat
dan makna dari ibadah.
3)
Mengerit relasi
antara ibadah dan iman.
4)
Mengetahui
macam-macam ibadah serta syarat diterimanya ibadah.
5)
Mengetahui
hikamah dan keutamaan dari ibadah.
BAB II
Pembahasan
2.1. Pengertian Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa arab telah menjadi bahasa
melayu yang terpakai dan dipahami secara baik oleh orang-orang yang menggunakan
bahasa melayu atau Indonesia. Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan
berbakti, berkhidmat, tunduk, patuh, mengesakan dan merendahkan diri.
Sedangkan secara terminologi, ibadah ialah perbuatan untuk
menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan
perintahNya dan menjauhi laranganNya. Juga diartikan, segala usaha lahir dan
batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan
keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun
terhadap alam semesta.
2.2. Hakekat
dan Makna Ibadah
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyat : 56). Allah menciptakan kita untuk beribadah. Apakah makna
ibadah? Berikut ini kami nukilkan keterangan Syaikh Abdurrahman bin Hasan
rahimahullah di dalam Fath Al-Majid (hal. 17 cetakan Dar Ibnu Hazm). Beliau
memaparkan :
Syaikhul Islam mengatakan, “Ibadah adalah melakukan ketaatan
kepada Allah yaitu dengan melaksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui
lisan para rasul.” Beliau juga menjelaskan, “Ibadah adalah istilah yang
meliputi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, berupa ucapan
maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi.”
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibadah berporos pada lima belas
patokan. Barangsiapa dapat menyempurnakan itu semua maka dia telah
menyempurnakan tingkatan-tingkatan penghambaan (ubudiyah). Keterangannya ialah
sebagai berikut : Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan.
Sedangkan hukum-hukum yang berlaku dalam kerangka ubudiyah itu terbagi lima :
wajib, mustahab/sunnah, haram, makruh, dan mubah. Masing-masing hukum ini
berlaku meliputi isi hati, ucapan lisan, dan perbuatan anggota badan.”
Al-Qurthubi mengatakan, “Makna asal dari ibadah adalah
perendahan diri dan ketundukan. Berbagai tugas/beban syari’at yang diberikan
kepada manusia (mukallaf) dinamai dengan ibadah; dikarenakan mereka harus
melaksanakannya dengan penuh ketundukan kepada Allah ta’ala. Makna ayat
tersebut (QS. Adz-Dzariyat : 56) adalah Allah ta’ala memberitakan bahwa
tidaklah Dia menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
Inilah hikmah penciptaan mereka.” Saya katakan (Syaikh Abdurrahman), “Itulah
hikmah yang dikenal dengan nama hikmah syar’iyah diniyah.”
Al-’Imad Ibnu Katsir mengatakan, “Makna beribadah kepada-Nya
yaitu menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan
apa yang dilarang. Itulah hakikat ajaran agama Islam. Sebab makna Islam adalah
menyerahkan diri kepada Allah ta’ala yang mengandung puncak ketundukan,
perendahan diri, dan kepatuhan.” Selesai ucapan Ibnu Katsir.
Beliau (Ibnu Katsir) juga memaparkan tatkala menafsirkan
ayat ini (QS. Adz-Dzariyat : 56), “Makna ayat tersebut; sesungguhnya Allah
ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu
bagi-Nya. Barangsiapa yang taat kepada-Nya akan Allah balas dengan balasan yang
sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepada-Nya niscaya Allah akan
menyiksanya dengan siksaan yang sangat keras. Allah pun mengabarkan bahwa
diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan mereka. Bahkan mereka itulah yang
senantiasa membutuhkan-Nya di setiap kondisi. Allah adalah pencipta dan pemberi
rezeki bagi mereka.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan mengenai
ayat ini, “Maknanya adalah tujuan-Ku (menciptakan mereka) adalah agar mereka
Ku-perintahkan beribadah kepada-Ku.” Sedangkan Mujahid mengatakan, “Tujuan-Ku
(menciptakan mereka) adalah untuk Aku perintah dan Aku larang.” Tafsiran serupa
ini juga dipilih oleh Az-Zajjaj dan Syaikhul Islam.
Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan
adalah yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan
melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan
hidupnya akan terwujud. Semoga Allah memberikan taufik dan pertolongan-Nya
kepada kita untuk menjadi hamba-Nya yang sejati; yang tunduk dan patuh kepada
Rabb penguasa jagad raya, bukan menjadi budak hawa nafsu dan ambisi-ambisi
dunia. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa
sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
2.3. Relasi Ibadah dan Iman
`Relasi antara ibadah
dan iman sangatlah erat sekali. Karena ibadah tanpa dilandasi dengan iman, maka
ibadah tersebut tidak diterima. Firman Allah SWT :
Artinya :“kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(al
‘asr : 3)
Beriman dan beribadat
kepada Tuhan tidak akan memberi faedah kepada manusia dan tidak dapat
menyelamatkan mereka melainkan melalui tiga tingkatan dasar, yaitu:
1. Iman
yang bersih daripada sebarang syirik.
2. Ibadat
menurut cara yang ditetapkan Tuhan dan dengan ikhlas.
3. Mematuhi
hukuman Tuhan.
Ibadah hanya menjadi
seperti riadah badan sekiranya tidak lahir dari iman yang sejati. Iman sejati
itu tidak diakui sekiranya tidak ada kepatuhan kepada perintah dan hukumanNya.
Memang jelas Tuhan itu
Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dialah yang menjadikan segala petala langit dan
bumi. Dialah juga memberi nikmat dan rezeki dari dahulu hingga sekarang. Oleh
itu tidaklah patut manusia itu berlaku syirik atau sekutu kepadaNya kerana
manusia juga sedar Tuhan Maha Kuasa itu tiada bandingan dengan yang lain.
Dengan demikian iman
dan ibadah adalah mempunyai hubungan yang sangat erat sekali kerana ibadah itu
lahir dari keimanan, sedangkan keimanan itu lahir adalah bukti kebesaran Tuhan
di hadapan manusia dan keimanan jugalah akan melahirkan kepasrahan, ketaatan,
ketundukan dan itulah ibadah. (Muklas Asy- Syarkani:2002:8-14)
2.4. PEMBAGIAN
IBADAH DAN SYARAT DITERIMANYA IBADAH
Ibadah dapat dibagi menjadi 2
bagian, yaitu :
1.
Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni ibadah, jadi
semata-mata tujuannya untuk cari pahala.
Contohnya adalah shalat dan puasa.
Contohnya adalah shalat dan puasa.
2.
Ibadah ghoiru mahdhoh adalah ibadah yang tidak murni ibadah.
Satu sisi ibadah ini bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah dan bisa
tidak bernilai ibadah jika hanya berniat untuk dunia.
Contohnya adalah:
a. Bekerja untuk mencari nafkah
b. Tersenyum dengan orang lain
c. Tolong menolong sesama
d. Menafkahkan harta di jalan Allah
Contohnya adalah:
a. Bekerja untuk mencari nafkah
b. Tersenyum dengan orang lain
c. Tolong menolong sesama
d. Menafkahkan harta di jalan Allah
Para
ulama menjelaskan bahwa ibadah mahdhoh jika dikerjakan tanpa tuntunan, jelas
hal ini adalah amalan yang sia-sia. Seperti shalat yg dilakukan diniatkan pada
malam jumat kliwon, ini jelas tidak ada tuntunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa tuntunan dari kami,
maka amalan itu tertolak. ” (HR Muslim). Jadi harus perlu dasar dalam ibadah
jenis ini. Sehingga ada kaedah dalam ibadah: “Hukum asal ibadah itu terlarang,
sampai ada dalil yang menuntunkannya.”
Sedangkan
ibadah ghoiru mahdhoh, ini baru jadi ibadah dan berpahala jika diniatkan untuk
ibadah, seperti cari nafkah untuk hidupi keluarga diniatkan karena Allah. Namun
jika diniatkan hanya untuk cari kerja saja sebagaimana kewajiban kepala
keluarga, maka ini tidak bernilai pahala. Jadi amalan ini asalnya mubah. Jika
diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.
Namun
perlu diperhatikan bahwa ibadah ghoiru mahdhoh ini jika dijadikan sebagai
ibadah murni, maka bisa dinilai bid’ah seperti dikhususkan dengan cara dan dikerjakan
pada waktu tertentu. Seperti contohnya: Ziarah kubur sebelum masuk ramadhan.
Ziarah kubur asalnya boleh kapan saja. Namun jika dikhususkan pada waktu semacam
ini, barulah dinilai bid’ah. Begitu pula jabat tangan setelah shalat. Jabat
tangannya asalnya boleh kapan saja, bahkan jabat tangan dapat menggugurkan
dosa. Namun jika dikhususkan ketika selesai shalat, maka ini yang jadi masalah.
Jadi tidak bisa dikatakan mubah.
Ada
juga ilmuwan Islam membagi ibadah sebagai berikut :
1. Ibadah Zahiriyah.
Ibadah zahiriyah atau juga disebut syariah adalah amalan
zahiriyah yang diperintahkan kepada umat Islam samaada ia berupa perkara wajib
atau sunat atau juga meninggalkan perkara yang dilarang oleh Allah Ta’alah.
Ibadah ini dengan jelas diatur dalam al-Quran dan Sunnah yang kemudian
dibukukan dan diperjelas dan menjadi satu kajian displin ilmu tersendiri. Ibadah
zahiriyah itu terbagi menjadi dua bagian yaitu :
a) Hablum minallah, atau juga disebut ibadah makhdhah, yaitu ibadah
yang langsung berhubungan dengan Allah, seperti sholat, puasa, zakat, haji,
membaca al-Quran dan sebagainya.
b) Hablum minannas, atau disebut sebagai ghairu makhdhah, ialah
ibadah zahiriyah berhubungan dengan perkara muamalah, yaitu perbuatan yang ada
hubungan langsung dengan manusia seperti munakahat, sosial, siasah,
ekonomijihak dan sebagainya.
2. Ibadah Batiniyah (Hakikat)
Ibadah batiniyah adalah amalan yang bersifat batiniyah iaitu
melakukan apa yang dilakukan dan meninggalkan apa yang dilarang. Amalan yang
diperintah disebut mahmudah (amalan terpuji) sedangkan amalan yang dilarang
adalah disebut mazmumah (amalan yang tercela). Ibadah batiniyah terbagi menjadi
dua yaitu :
1) akhlak dengan Allah.
a) Mengenal Allah dengan yakin.
b) Merasakan kehebatan Allah.
c) Merasa gementar dengan neraka Allah.
d) Merasa sentiasa diawasi Allah.
e) Merasa hina diri dan malu dengan Allah.
f) Merasa redha dengan setiap takdir dan ketentuan Allah Ta’alah.
g) Sabar dengan berbagai ujian Allah.
h) Mensyukuri nikmat pemberian Allah.
i)
Mencintai Allah.
j)
Merasa takut kepada Allah.
k) Merasa harap pada rahmat Allah.
l)
Rindu pada Allah.
m) Sentiasa mengingati Allah.
n) Rindu pada syurga Allah kerana ingin bertemu dengannya.
2) Akhlak dengan manusia yaitu merangkumi :
a) Mengasihinya sebagaimana mengasihi diri sendiri.
b) Merasa gembira apabila mereka bergembira dan merasa dukacita
apabila mereka berduka cita.
c) Menginginkan kebahagian untuknya di samping berharap agar
musibah menjauhinya.
d) Benci kepada kejahatannya tetapi kasihan kepadanya sehingga
timbul perasaan untuk menasihatinya.
e) Pemurah padanya.
f) Mengenang jasa dan berusaha membalasnya kerana Allah.
g) Memaafkan kesalahannya dan sanggup meminta maaf jika bersalah
dengannya.
h) Kebaikannya disanjung dan dukuti, kejahatannya dinasihati dan
dirahsiakan dan bersifat berlapang dada.
i)
Bersikap baik sangka terhadap
sesama Islam.
j)
Tawadu dengan sesama manusia.
Kedua-duanya penting antara syariat dan hakikat kerana kedua
perkara dapat membentuk manusia yang bertaqwa dan dapat menjaga dari sifat
munafiq, kufur dan syirik. Ibadah zahiriah dan batiniah sangat berhubung rapat,
wajib diamalkan secara bersamaan. Tidak boleh ajaran itu diamalkan
sepotong-sepotong kerana ia boleh menghilangkan kesempumaan amal. Kedua-dua
sama penting seperti kulit dan isi buah-buahan. Kedua-dua mesti ada untuk
kesempumaan wujud buah itu sendiri. Tanpa kulit, isi tidak selamat malah isi
tidak mungkin ada kalau kulit tidak ada, sebaliknya tanpa isi kulit menjadi
tiada erti apa-apa, sebab buah yang dimakan adalah isinya dan bukan kulitnya.
(Muklas Asy-Syarkani: 2002:16-18)
Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk
ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang
tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artinya
: “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan
tersebut tertolak.”
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan
ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat, yaitu:
a) Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
Syarat tersebut
merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya.
b) Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Syarat kedua adalah
konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya
taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau
ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
Artinya : “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka
baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka
tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama
wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin
(berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama
ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita
tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’at-kan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman.
Artinya
: “Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia
mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam
ber-ibadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari
dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya.
Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan
mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menjelaskan bagai-mana cara kita beribadah kepada Allah, dan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau
bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu
sesat. Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi
sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya
adalah sebagai berikut :
1) Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah
kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah
kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka
sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
2) Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’
(memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka,
barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka
ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3) Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita. Maka,
orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah
menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai
kekurangan).
4) Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan
tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya
tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam
ke-hidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan
pertikaian akan meliputi ke-hidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan
perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut
syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
2.5. Hikmah dan
Keutamaan Ibadah
a.
Hikmah Ibadah
Sudah menjadi ketentuan dalam kehendak Tuhan bahwa tiap-tiap
makhluk yang bernyawa di dunia ini, seperti manusia, binatang, dan sebagainya
lebih banyak menyukai kejahatan daripada kebaikan sebab umumnya mereka sangat
mudah dipenaruhi oleh nafsu pribadi. Banyak diantara mereka yang karena alasan
sepele membuat kawannya menjadi lawannya sehingga mudah sekali terjadi
perkelahian dan perselisihan.
Oleh sebab itu, Tuhan memberi senjata kepada makhluk
ciptaan-Nya untuk menjaga diri dari serangan musuh, seperti burung yang
menggunakan paruhnya, harimau yang menggunakan taringnya, sedangkan manusia
menggunakan akal dan pikirannya sebagai senjata.
Dengan adanya akal dan pikiran itu, berbedalah manusia dari
makhluk-makhluk yang lain walaupun dasar kejahatan tetap ada sebab dia
mempunyai hawa nafsu. Akal dan pikiran itulah yang meninggikan manusia dari
derajat makhluk-makhluk yang lain. Ia dapat berpikir dan membuat sesuatu yang
dikehendaki oleh akalnya dan perasaannya.
Menurut dasarnya, tujuan akal dan pikiran itu adalah baik
dan benar, tetapi sebelum jalan akal dan pikiran itu diarahkan, maka kebenaran
dan kehendaknya itu belum tentu baik dan benar menurut pandangan Tuhan. Oleh
sebab itulah, manusia diberi beban atau taklif, yaitu perintah-perintah
dan larangan-larangan menurut agama untuk memperbaiki jalan akal dan
pikirannya. Taklif ini dinamakan juga dengan amanah Tuhan.
Adapun jenis beban atau taklif itu banyak sekali,
diantaranya shalat, zakat, puasa, haji, melarang perbuatan jahat, menyuruh
perbuatan baik dan sebagainya. Bila beban atau taklif itu dibawanya dengan
senang hati, niscaya akan teraturlah jalan pikirannya dan nafsu pribadi yang
senantiasa menuju pada kejahatan akan menjadi nafsu mutmainah, yaitu tenang,
tentram, suci dari kekotoran dan kekejian.
b.
Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang
dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah men-ciptakan manusia, mengutus
para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya
di-puji dan yang enggan melaksanakannya dicela. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
Artinya
: “Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, nis-caya akan Aku
perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah
kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [Al-Mu'min:
60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk
mem-persempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka
di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah
yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa
dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan
manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat
membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat
membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh)
kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman,
demi-kian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah.
Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan
jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi
hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan
menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan
pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah
kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain
dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan
lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan
kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya,
maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah
kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa
yang meng-hendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata.
Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia
paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta
menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah
kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada
kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini
Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah
saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat
meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan
kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan
beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima
dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan
ibadahnya kepada Rabb-nya dapat mem-bebaskan dirinya dari belenggu penghambaan
kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari
itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut
hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah
merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, masuk
Surga dan selamat dari siksa Neraka.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
1. Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti,
berkhidmat, tunduk, patuh, mengesakan dan merendahkan diri.
- secara terminologi, ibadah ialah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
- Relasi antara ibadah dan iman sangatlah erat sekali. Karena ibadah tanpa dilandasi dengan iman, maka ibadah tersebut tidak diterima.
- Ibadah dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1)
Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni ibadah, jadi
semata-mata tujuannya untuk cari pahala. Contohnya adalah shalat dan puasa.
2)
Ibadah ghoiru mahdhoh adalah ibadah yang tidak murni ibadah.
Satu sisi ibadah ini bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah dan bisa
tidak bernilai ibadah jika hanya berniat untuk dunia. Contohnya adalah:
a. Bekerja untuk mencari nafkah
b. Tersenyum dengan orang lain
c. Tolong menolong sesama
d. Menafkahkan harta di jalan Allah
a. Bekerja untuk mencari nafkah
b. Tersenyum dengan orang lain
c. Tolong menolong sesama
d. Menafkahkan harta di jalan Allah
- Keutamaan ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Abdul. 2008. Impak Ibadah Dalam Kehidupan.http://ctu101.blogspot.com/2008/04/impak-ibadah-dalam-kehidupan.html.
Diakses pada tanggal 03 Oktober 2011
http://mintlisim.wordpress.com/2010/11/15/ibadah-mahdhoh-dan-ghairu-mahdhoh/.
Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011
http://orgawam.wordpress.com/2007/09/19/konsep-ibadah-dalam-islam/.
Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment