Wednesday, October 22, 2014

SHOLAT








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Shalat menurut bahasa adalah do’a dalam hal kebaikan, sedangkan menurut terminology, shalat adalah perbuatan dan perkataan yang dilakukan secara khusus, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu. Ia disebut shalat karena ia menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, da shalat merupakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah swt. Dari sini, maka shalat dapat menjadi media permohonan pertolongan dalam menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam perjalanan hidupnya
            Shalat sunnah adalah (juga biasa disebut shalat tathawwu’, shalat nafilah atau nawafil) adalah shalat-shalat di luar kelima shalat fardhu yang wajib dikerjakan dalam sehari semalam. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan bahwa shaly-shalat sunnha disyariatkan, agar menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat-shalat fardhu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi dari shalat fardhu dan kapan waktu pelaksanaannya?
2.      Bagaimana hokum dan syarat-syarat shalat?
3.      Bagaimana rukun shalat dan apa hal-hal yang menyebabkan batalnya shalat?
4.      Bagaimana definisi shalat sunnah dan macam-macamnya?
C.    Tujuan
1.      Memahami dan mengetahui definisi dari shalat fardhu dan kapan waktu pelaksanaannya.
2.      Mengetahui hokum dan syarat-syarat shalat.
3.      Memahami rukun shalat dan apa hal-hal yang menyebabkan batalnya shalat.
4.      Mengetahui dan memahami definisi shalat sunnah dan macam-macamnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Shalat dan Waktu-Waktu Pelaksanaannya
            Shalat menurut bahasa adalah do’a dalam hal kebaikan, sedangkan menurut terminology, shalat adalah perbuatan dan perkataan yang dilakukan secara khusus, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[1]
            Ia disebut shalat karena ia menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, da shalat merupakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah swt. Dari sini, maka shalat dapat menjadi media permohonan pertolongan dalam menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam perjalanan hidupnya[2], sebagaimana firman Allah swt:

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. (QS. Al-Baqarah: 153)

Waktu-waktu pelaksanaan shalat
1.      Waktu Dzuhur
  1. Awal waktu : ketika matahari tergelincir.
  2. Akhir waktu : ketika bayangan dan benda telah sama.
2.      Waktu Ashar
  1. Waktu Afdlol : ketika bayangan benda telah melebihi bendanya.
  2. Waktu Ikhtiyar : ketika bayangan benda telah menjadi dua kali bendanya.
  3. Waktu Jawaz : ketika bayangan benda telah menjadi dua kali lipat, sampai keluarnya mega merah.
  4. Waktu Jawaz disertai hokum makruh : ketika matahari hampir terbenam.
  5. Waktu tahrim : ketika waktu yang tersisi sudah tidak cukup digunakan salat ashar.
3.      Waktu Maghrib
  1. Awal waktu : ketika matahari terbenam secara keseluruhan.
  2. Akhir waktu : ketika mega merah telah terbenam.
4.      Waktu Isya’
  1. Waktu ikhtiyar : ketika mega merah telah terbenam sampai sepertiga malam.
  2. Waktu jawaz : sejak sepertiga malam samapai terbitnya fajar shodiq, yakni fajar yang melintang pada arah selatan dan utara di belahan langit sebelah timur.
5.      Waktu Subuh
  1. Waktu Afdlol : yakni permulaan waktu subuh  (terbitnya fajar shodiq)
  2. Waktu ikhtiyar : mulai masuknya waktu subuh sampai hari telah mulai terang.
  3. Waktu jawaz : mulai masuknya waktu subuh sampai munculnya warna merah di langit sebelum terbitnya matahari.
  4. Waktu jawaz disertai hokum makruh : saat hari mulai terang sampai terbitnya matahari.
  5. Waktu tahrim : yaitu waktu yang tidak cukup digunakan untuk mengerjakan shalat subuh.[3]

B.     Hukum dan Syarat-Syarat Shalat

Hukum mengerjakan dan kewajiban
            Shalat lima waktu berhukum fardhu ‘ain bagi muslim yang baligh, berakal, serta suci dari haid dan nifas.[4] Dalil yang dijadikan pijakan dalam menentukan kewajiban shalat berdasarkan firman Allah:

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku”. (QS. Al-Baqarah: 43)

Hukum meninggalkan
1.      Kafir dan murtad, yakni orang yang meninggalkan shalat sebab mengingkari kewajiban shalat.
2.      Fasiq dan maksiat, yakni orang yang meninggalkan shalat sebab malas mengerjakan dan meremehkan shalat.
3.      Tidak fasiq dan tidak maksiat, yakni orang yang meninggalkan shalat sebab baru masuk Islam atau terpencil dari komunitas muslim sewaktu datang kewajiban shalat kepadanya.[5]

Syarat-Syarat shalat
1.      Syarat wajib
      Syarat wajib shalat ialah suatu keadaan yang menetapkan kewajiban mendirikan shalat, dan tidak termasuk bagiannya. Adapun syarat wajib shalat ada enam:
  1. Beragama Islam, bagi kafir asal tidak diwajibkan mendirikan shalat dan mengqodlo’ shalat yang ia tinggalkan. Berbeda dengan orang murtad (keluar dari Islam), maka baginya tetap ada kewajiban shalat dan mengqodlo’ shalat yang ia tinggalkan sewaktu murtad.
  2. Baligh, yakni orang telah sampai pada batasan usia atau lainnya, sehingga ia dibebani hukum syari’ah. Tanda orang yang telah baligh adalah:
Lelaki:
·         Genap berusia 15 tahun denga perhitungan tahun qomariyyah.
·         Pernah mimpi basah atau keluar sperma pada usia 9 tahun ke atas.
Perempuan:
·         Genap berusia 15 tahun dengan perhitungan tahun qomariyyah.
·         Pernah mimpi basah atau keluar sperma pada usia 9 tahun ke atas.
·         Keluar darah haid pada usia 9 tahun ke atas atau Sembilan tahun kurang lima belas hari
  1. Berakal, oleh karenanya shalat tidak diwajibkan bagi orang gila, epilepsy, dan mabuk yang terjadi bukan karena kecerobohannya.
  2. Suci dari haid dan nifas
  3. Ajaran Islam telah sampai kepadanya.
  4. Terlahir dengan panca indera yang sempurna.
      Apabila tidak memenuhi syarat di atas, maka seseorang tidak wajib mengerjakan dan mengqodlo’ shalat.
2.      Syarat Sah
      Syarat sah shalat adalah ssuatu yang menentukan keabsahan shalat dan tidak termasuk bagiannya.[6]
Syarat sah shalat ada lima, yaitu:
  1. Mengetahui masuknya waktu shalat, yang dapat diketahui dengan:
·         Suara adzan
·         Melihat bintang
·         Melihat jam
·         Suara ayam berkokok
·         Melakukan wiridan
·         Melihat matahari
·         Melihat mega
·         Malihat fajar shodiq.
            Apabila seseorang mengerjakan shalat tanpa mengeahui masuknya waktu shalat, maka shalatnya batal, meskipun sebenarny asudah masuk pada waktunya. Allah swt berfirman:

Sesungguhnya shalat atas orang-orang yang beriman adalah suatu ketetapan yang dibatasi waktu”. (QS. An-Nisa’: 103)
  1. Suci dari hadast besar dan kecil, untuk hadst besar dengan mandi atau tayamum, untuk hadast kecil dengan wudhu atau tayamum. Berdasrkan firman Allah swt:

Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki dan jika kamu junub mandilah”. (QS. Al-Maidah: 6)

  1. Suci dari najis, baik pakaian, badan, ataupun tempat yang tersentuh oleh tubuh atau yang tersentuh pakaiannya.
  2. Menutup aurat (sesuatu yang wajib ditutupi dan haram dilihat),
Adapun kriteria tutup yang dapat digunakan menutup aurat ada dua:[7]
·         Dapat menutupi warna kulit.
·         Berupa pakaian dan sejenisnya.
            Apabila seseorang tidak mempunyai tutup sama sekali, maka baginya boleh mengerjakan shalat dengan telanjang dan tidak perlu mengulanginya.[8]
            Terdapat perbedaan batasan aurat antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana berikut:
Aurat laki-laki:
·         Di dalam shalat: anggota tubuh selain wajah.
·         Di luar shalat: antara pusar dan lutut.
Aurat permpuan:
·         Di dalam shalat: anggota tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan.
·         Di luar shalat:
o   Di hadapan laki-laki lain: seluruh anggota tubuh.
o   Di hadapan mahram: antara pusar dan lutut.
o   Di hadapan wanita muslimat: antara pusar dan lutut.
o   Di hadapan wanita kafir: anggota badan selain yang tampak ketika sibuk untuk memenuhi kebutuhan.
o   Di tempat sepi: antara pusar dan lutut.[9]
  1. Menghadap Qiblat
Kewajiban menghadap qiblat berlaku untuk seluruh shalat, kecuali shalat sunnah pada waktu bepergian dan shalat saat berkecamuknya perang.
Terdapat tiga cara dalam mengahadap qiblat:
·         Dengan dada, jika shalat dalam keadaan normal.
·         Dengan muka, jika shalat dikerjakan dengan tidur miring.
·         Dengan kaki dan muka, jika shalat dikerjakan dengan tidur terlentang.

C.    Rukun dan Batalnya Shalat

            Rukun shalat adalah bagian yang menentukan sah atau tidaknya shalat. Rukun shalat ada tujuh belas:
1.      Niat, adapaun syarat yang harus dipenuhi dalam niat adalah;
  1. Apabila shalat fardhu, maka harus memenuhi tiga hal:
1)      Kesengajaan melakukan shalat dengan lafadh usholli.
2)      Niat mengerjakan kefardhuan shalat dengan lafadh fardha.
3)      Menentukan kefardhuan shalat.
Contoh: niat shalat dzuhur;
Usholli fardhodzuhri
  1. Apabila shalat sunnah yang memiliki waktu, maka harus memenuhi dua hal:
1)      Kesengajaan mengerjakan shalat dengan lafadh usholli.
2)      Menentukan waktu shalat.
Contoh: niat shalat qobliyah dzuhur;
Usholli qobliyatadzuhri
  1. Apabila shalat sunnah yang memiliki sebab, maka harus memenuhi dua hal:
1)      Kesengajaan mengerjakan shalat dengan lafadu usholli,
2)      Menentukan sebab shalat.
Contoh: niat shalat gerhana matahari;
“Ushollilkusuufa”
  1. Apabila shalat sunnah secara mutlak, maka niat hanya cukup memenuhi satu hal saja, yakni kesengajaan mengerjakan shalat dengan menggunakan lafadh: usholli.
2.      Berdiri bagi yang mampu,
      Bagi yang tidak mampu maka boleh shalat degan duduk, apabila tidak mampu duduk, maka dengan tidur miring, jika tidak mampu, maka dengan tidur terlentang, jika jika tidak mampu, maka dengan isyarat, dan jika tidak mampu isyarat, maka cukup dengan gerakan hati.[10]
3.      Takbirotul ihram, disebut takbirotul ihram sebab takbir ini mengharamkan sesuatu yang sebelum takbir diperbolehkan. Adapun lafadh yang ddapat dijadikan takbir adalah: Allahuakbar, Allahul akbar, Allahul jaliilul akbar, Allahu ‘azza wa jalla akbar.
      Sedangkan yang tidak dapat dijadikan takbir adalah semisal lafadh: Akbarullah, Arrahmaanu akbar, Allahul jaliilul ‘adziimul chaliimu akbar.
Apabila tidak mampu mengucapkan takbir dengan bahasa Arab, maka boleh menterjemahkan ke bahasa yang lain, dan tidak boleh diganti dengan dzikir.[11]
4.      Membaca surat Al-Fatihah, dengan memperhatikan semua huruf, syiddah, dan urutannya serta dilakukan secara berturut-turut. Bagi yang tidak mampu membaca surat Al-Fatihah boleh menggantinya dengan ayat Al-Quran yanglain, dzikir, dan do’a yang jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf pada surat Al-Fatihah.
5.      Ruku’, batas minimalnya adalah dengan cara membungkukkan badan sampai kedua telapak tangan bisa menggapai lutut, sedangkan ruku’ yang sempurna adalah dengan cara:
a.       Meratakan leher dan punggung sampai seperti selembar papan.
b.      Menegakkan kedua betis.
c.       Memegang kedua lutut dengan kedua telapak tangan.
6.      Diam barang sejenak (thuma’ninah) ketika ruku’.
7.      Bangun dari ruku’ ke posisi semula (I’tidal).
8.      Thuma’ninah ketika I’tidal.
9.      Sujud, dengan meletakkan ketujuh anggotanya, yakni:
1)      Kening,
2)      Dua lutut,
3)      Dua telapak tangan,
4)      Bagian dalam jari-jari dua kaki.
10.  Thuma’ninah ketika sujud,
11.  Duduk di antara dua sujud,
12.  Thuma’ninah saat duduk di antara dua sujud,
13.  Duduk tsyahud akhir,
14.  Membaca tasyahud akhir,
15.  Membaca shalawat nabi saw dalam tsyahud akhir,
16.  Salam yang pertama,
17.  Tertib.[12]

Perkara yang membatalkan shalat
Perkara yang membatalkan shalat ada sebelas:
1.      Berbicara dengan sengaja, adapau dehem karena kesulitan membaca rukun qouli bukanlah perkara yang membatalkan shalat,
2.      Gerakan banyak, yang tidak termasuk gerakan shalat. Ukuran banyak dalam hal ini adalah tiga kali gerakan berturut-turut atau satu kali gerakan yang keras; seperti meloncat. Adapun bagi penderita penyakit kulit yang parah; seperti kudis yang tidak mampu ditahan, apabila ia menggaruk lebih dari tiga kali, shalatnya tetap sah.
3.      Hadast, baik sengaja atau lupa,
4.      Terkena najis (yang tidak dima’fu), kecuali jika najisnya kering dan langsung dibuang,
5.      Terbukanya aurat, kecauli jika tidak sengaja dan langsung ditutup,
6.      Berubahnya niat, yakni niat memutus shalat, merubah niat, menggantungkan putusnya shalat, dan ragu-ragu terputusnya shalat,
7.      Membelakangi qiblat, kecuali pada shalat sunnah safar dan shalat syiddatul khauf,
8.      Makan dan minum, kecuali jika sedikit karena lupa,
9.      Tertawa (qohqohah), yakni tetawa yang sampai mengeluarkan dua huruf atau satu huruf yang memahamkan,
10.  Keluar dari agama Islam (riddah), baik sebab perbuatan, perkataan atau keyakinan.
11.  Menambah rukun fi’li, yakni rukun yang berupa perbuatan.

D.    Shalat Sunnah dan Macam-Macamnya

            Yang dimaksud dengan shalat sunnah adalah (juga biasa disebut shalat tathawwu’, shalat nafilah atau nawafil) adalah shalat-shalat di luar kelima shalat fardhu yang wajib dikerjakan dalam sehari semalam. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan bahwa shaly-shalat sunnha disyariatkan, agar menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat-shalat fardhu.
1.      Shalat Idul Fitri dan Idul Adha
  1. Hukum
Mengerjakan shalat idul Fitri dan idul Adha berhukum sunnah muakad.[13]
  1. Dalil
Dalil mengerjakan shalat dua hari raya adalah firman Allah swt:

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah”. (QS. Al-Kautsar: 3)
      Dan hadist nabi Muhammad saw:
Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar melakukan shalat dua hari raya sebelum khutbah dilaksanakan”. (Muttafaq ‘Alaih)
      Shalat hari raya adalah shalat yang berjumlah dua rakaat dan sunnah dengan berjamaah, serta dikerjakan sebelum khutbah. Akan tetapi, bagi orang yang mengerjakan ibadah haji disunnnahkan mengerjakannya tanpa berjamaah. Bagi orang yang mengerjakannya tanpa berjamaah tidak disunnahkan melakukan khutbah setelahnya. Adapun tempat melaksanakan shalat ‘idain adalah masjid.[14]
  1. Waktu pelaksanaan
Pelaksanaan shalat hari raya dimulai saat matahari terbit sampai dengan tergelincir, dan yang paling utama adalah mengerjakannya ketika mmatahari sudah naik kira-kira satu tombak dalam pandangan mata.
  1. Kesunnahan
Kesunnahan yang dapat dilakukan pada saat hari raya adalah:
1)      Melantunkan takbir
Kesunnahan ini dimulai sejak terbenamnya matahari hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan berakhir ketika imam memulai shalat Id. Hanya saja, pada hari raya Idul Adha tetap disunnahkan alantunkannya setiap selesai mengerjakan shalat fardhu, shalat rawatib, shalat sunnah mutlak, dan shalat jenazah. Kesunnahan ini berlangsung sampai waktu ashar tanggal 13 Dzulhijjah.
2)      Mandi dengan niat untuk melaksanakan shalat hari raya.
3)      Berangkat pagi-pagi, kecuali bagi imam disunnahkan berangkat ketika shalat hendak dilaksanakan.
4)      Berhias diri dengan memakai parfum, pakaian yang bagus, memotong kuku, serta menghilangkan bau yang tidak sedap.
5)      Menempuh jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.
6)      Makan terlebih dahulu sebelum berangkat shalat idul Fitri, sedangkan pada idul Adha sunnah melakukan shalat terlebih dahulu.
7)      Tahniah (ungkapan suka cita) atas datangnya hari raya disertai dengan berjabat tangan.
8)      Menjawab ucapan suka cita.
  1. Teknis pelaksanaan shalat dan khutbah hari Raya:
1)      Ketika imam sampai di masjid, muraqi segera berdiri untuk memberi aba-aba dimulainya shalat.
2)      Imam segera menuju muhrab (tempat imam), lalu niat shalat disertai takbiratul ihram.
3)      Setelah takbiratul ihram, dilanjutkan membaca do’a iftitah, kemudian melakukan takbir sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakaat kedua. Lalu membaca tasbih di sla-sela takbir.
4)      Setelah selesai melakukan takbir ketujuh, dilaknjutkan membaca ta’awudz, surat Al-Fatihah dna surat-surat yang disunnahkan; seperti surat Qaf atau Al-A’la pada rakaat pertama, dan surat Al-Qamar atau surat Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua.
5)      Selesai melaksanakan shalat. Muraqi segera berdiri untuk memberi aba-aba dimulainya khutbah, disusul dengan membaca shalawat sambil menyerahkan tongkat.
6)      Setelah itu, khotib menuju mimbar.
7)      Kemudian muraqqi membaca doa.
8)      Selesai doa, khotib mengucapkan salam kemudian duduk.
9)      Lalu muraqi membaca takbir sebanyak tiga kali.
10)  Kemudian khotib melaksanakan khutbah pertama. Selesai khutbah duduk sejenak, disusul muraqi membaca shalawat.
11)  Selesai duduk, khotib melanjutkan dengan khutbah kedua sampai selesai.

2.      Shalat Rawatib
  1. Pengertian
      Yang dimaksud shalat rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu atau shalat sunnah yang dikerjakan sebelum shalat fardhu (qabliyah) atau setelahnya (ba’diyah).
  1. Hukum
Hukum mengerjakan shalat rawatib ada dua:
1)      Sunnah muakad, yakni kesunnahan yang hampir tidak pernah ditinggalkan oleh nabi muhammad saw. Shalat sunnah yang dimaksud berjumlah sepuluh rakaat, yakni:
·         Dua rakat sebelum subuh
·         Dua rakaat sebelum dzuhur
·         Dua rakaat setelah dzuhur
·         Dua rakaat setelah maghrib
·         Dua rakaat setelah isya’
·         Sunnah ghairuh mu’akad
Shalat sunnah yang dimaksud berjumlah dua belas rakaat, yakni:
·         Dua rakaat sebelum dzuhur
·         Dua rakaat setelah dzuhur
·         Empat rakaat sebelum ashar
·         Dua rakaat sebelum maghrib
·         Dua rakaat sebelum isya’
  1. Waktu
Adapun waktu mengerjakan shalat sunnah rawatib adalah:
1)      Shalat qabliyah, dikerjakan sebelum shalat fardhu, mulai shalat fardhu sampai habisnya waktu
2)      Shalat ba’diyah dikerjakan setelah shalat fardhu sampai habisnya waktu shalat fardhu.
  1. Kesunnahan:
Diantara kesunahan dalam salat rawatib adalah :
1.      Membaca surat al-kafirun dan al-ikhlas pada rakaat pertama dan kedua salat ba’diyah magrib setelah membaca surat al-faatihah.
2.      Membaca surat al-kafirun dan al-ikhlas pada rakaat yang pertama dan kedua salat ba’diyah marib setelah membaca surat al-fatihah.
3.      Membaca surat an-nasr, al-kafirun, atau al-baqarah ayat 36, dan surat al-fil, al-ikhlas, ali-imron ayat 64 pada rakaat pertama dan kedua salat kobliyah subuh setelah membaca surat al-fatihah.
4.      Berdoa setelah mengerjakan salat kobliyah subuh.

3.      Shalat Tahajud
      Tahajud menurut bahasa adalah memaksa diri untuk tidak tidur dengan memberatkannya. Sedangkan shalat tahajud menurut istilah adalah setiap shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari setelah tidur dan sudah melaksanakan shalat isya’. Shalat tahajud harus dikerjakan pada waktu haqiqinya, yakni setelah hilangnya mega merah
  1. Hukum dan dalil
      Hukum shalat tahajud adalah sunnah berdasarkan firman Allah swt:

Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. (QS. Al-Isra’: 79)

Dan sabda Nabi saw:
Shalat yang palingutama setelah shalat maktubah adalah shalat tengah malam”. (Hadist riwayat Muslim)

  1. Jumlaah rakaat
      Jumlah rakaat shalat tahajud paling sedikit adlaah dua rakaat, dan tidak ada batasan paling banyak. Akan tetapi, menurut Imam Ramli diperbolehkan mengerjakan shalat tahjud dengan satu rakaat saja.
  1. Waktu pelaksanaan
      Waktu shalat tahajud dimulai ketika hilangnya mega merah sampai terbitnya fajar shadiq. Adapau waktu yang paling utama ada dua:
1)      Tengah malam, sekitar pukul 12.00 WIB – 01.00 WIB. Apabila malam tersebut dibagi menjadi tiga waktu.
2)      Akhir malam, sekitr pukul 12.00 – 03.00 WIB. Apabila malam tersebut dibagi menjadi dua waktu.
  1. Petunjuk pelaksanaan
Petunjuk pelaksanaan shalat tahajud adalaha sebagai berikut:
1)      Tidur qoilullah, yakni tidur sebentar pada siang hari sebelum tergelinccirnya matahari.
2)      Berniat bangun tidur untuk mengerjakan shalat tahajud ketika kan tidur malam.
3)      Mengusap wajah pada saat bangun tidur dan membangunkan keluarga atau teman untuk mengerjakan shalat tahajud.
4)      Bersiwak.
5)      Keluar rumah uuntuk memandang langit seraya membaca surat Ali Imraaon mulai ayat 190 – 200.
6)      Mengawali shalat tahajud dengan mengerjakan shalat sunnah dua rakaat.
7)      Niat shalat.
8)      Memanjangkan waktu berdiri daripada rukun yang lain. Hal ini lebih utama bahakan daripada menambah rakaat.
9)      Memperbanyak doa dan istighfar, dan waktu yang lebih utama adalah saat tengah malam yang terakhir sekitar pukul 24.00 – 03.30 WIB.




BAB III
PENUTUP

            Shalat menurut bahasa adalah do’a dalam hal kebaikan, sedangkan menurut terminology, shalat adalah perbuatan dan perkataan yang dilakukan secara khusus, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu. Ia disebut shalat karena ia menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, da shalat merupakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah swt. Dari sini, maka shalat dapat menjadi media permohonan pertolongan dalam menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam perjalanan hidupnya
            Shalat sunnah adalah (juga biasa disebut shalat tathawwu’, shalat nafilah atau nawafil) adalah shalat-shalat di luar kelima shalat fardhu yang wajib dikerjakan dalam sehari semalam. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan bahwa shaly-shalat sunnha disyariatkan, agar menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat-shalat fardhu.













DAFTAR RUJUKAN

Team Mustahiq 2005. 2008. Fiqih Praktis Al-Badi’ah. Jombang: Pustaka Al-          Muhibbin.
Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis 1, Menurut Al-Quran, Assunnah dan          Pendapat Para Ulama. Bandung: Penerbit Karisma
Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2009. Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah.
Ibnu Qudamah. 2007. Al-Mughni 2. Jakarta: Pustaka Azzam.
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul. 2007. Meneladani Shalat-Shalat   Sunnah            Rasulullah. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Muhammad Nashiruddin Al-Albani. 2006. Sifat-Sifat Shalat Nabi saw. Bogor:        Pustaka Ibnu Katsir.




[1] Fathul Qorib, hlm. 11
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji, hlm. 145
[3] ibid
[4] Fardhu ‘ain adalah tuntutan yang dibebankan pada masing-masing individu.
[5] Team Mustahiq, Fiqih Praktis, Al-Badi’ah, hlm. 70-71.
[6] Al Fiqhul Islami, vol 1, hlm. 722.
[7] Al-Fiqhul Islami, vol 1, hlm. 739-740.
[8] Ibid, hlm. 732.
[9] Ibnu Qudamah, Al-Mughni.
[10] Hasyiyah Al-Bajuri, vol 1, hlm: 146.
[11] Ibid, hlm. 148
[12] Roudlotut Tholibin, vol 1, hlm. 223.
[13] Mughnil Muhtaj, vol 1, hlm. 421.
[14] Hasyiyah Al-Bajuri, vol 1, hlm: 224

No comments:

Post a Comment