Wednesday, October 22, 2014

THAHARAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam kitab-kitab fiqih klasik yang disusun oleh para ulama fiqih terdahulu, kebanyakan menempatkan “Bab Thaharah” pada pembahasan awal buku karangan mereka. Hal ini bukanlah tanpa alasan, karena menurut pendapat para ulama’ tersebut kewajiban utama seorang hamba adalah kewajibannya kepada sang khalik. Yakni kewajibannya untuk beribadah, menyembah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.
Ibadah merupakan tujuan utama, sedangkan ibadah yang paling agung dan paling utama adalah shalat yang merupakan tiang agama, dan syarat pertama dari shalat adalah thaharah (bersuci). Oleh sebab itulah, pembahasan mengenai thaharah dikedepankan daripada shalat dan menjadi kunci dari pintunya. Kunci surga adalah shalat dan kunci shalat adalah bersuci.
Mengingat betapa pentingnya thaharah dalam hubungannya dengan ibadah kita kepada Allah, terutama shalat, maka pembahasan lebih lanjut mengenai thaharah akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

1.2  Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan penting yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
a.       Apa pengertian thaharah menurut epistimologi dan epistimologi?
b.      Apa dalil-dalil disyari’atkannya thaharah?
c.       Sebutkan sarana-sarana untuk thaharah!
d.      Sebutkan jenis-jenis thaharah!
e.       Sebutkan macam-macam najis dan cara mensucikannya!






1.3  Tujuan
Sebagaimana rumusan masalah yang disebut diatas, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini, yaitu:

a.       Mampu mengetahui dan memahami thaharah secara epistimologi dan terminologi
b.      Mengetahui dalil-dalil disyari’atkannya thaharah
c.       Mengetahui media atau sarana-sarana yang dipergunakan untuk thaharah
d.      Mengetahui jenis-jenis thaharah
e.       Mampu menyebutkan dan menjelaskan macam-macam nasjis dan cara mensucikannya





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Thaharah
Thaharah menurut epistimologi adalah nadzhafah (kebersihan)[1], yang berarti bersih dan suci dari berbagai kotoran, baik lahiriyah maupun bathiniyah. Thahara batiniyah berarti menyucikan hati dari beberapa ‘aib atau penyakit hati, sedangkan thaharah lahiriyah adalah bersuci dari kotoran dan hadats[2].
Adapun definisi thaharah secara terminologi (menurut ulama fiqh) adalah suatu perbuatan yang menentukan boleh tidaknya ibadah itu dilaksanakan (sah atau batal). Sedangkan menurut Imam Nawawi thaharah berarti mengangkat hadats atau menghilangkan nasjis atau semisal keduanya dengan cara yang berlaku masing-masing[3].

2.2 Dalil-Dalil Disyari’atkannya Thaharah
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah[4]. Allah ta’ala berfirman:
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”                       (Q.S. Al-Baqarah 222)
Dalam sebuah hadits shahih juga disebutkan,
لايقبل الله صلاة بغير طهور
Artinya: “Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci”                  (HR Muslim 488)

2.3 Media-Media Thaharah
            Media atau sarana yang telah disepakati ulama untuk bisa digunakan bersuci (thaharah) itu ada tiga, yaitu mutlak (muri yang suci), tanah suci yang berdebu, batu dan sejenisnya[5]. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing dari media tersebut:

1.      Air mutlak (murni) yang suci
Yang dimaksud dengan air mutlak atau air murni, yaitu yang belum tercampur dengan apapun yang kadang merubahnya, baik itu sesuatu yang najis ataupun sesuatu yang suci. Diantara air yang dianggap sah untuk dipakai bersuci ada tujuh macam, yaitu air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, aie es, dan air embun. Ketujuh air tersebut merupakan semua air yang datang dari langit dan yang keluar dari tanah dengan segala macam cara keadaan wujud air tersebut dari asal kejadiannya[6]. Penggunaan air sebagai media bersuci itu dapat berupa wudlu untuk mengangkat hadats kecil, mandi untuk mengantar hadits besar, dan untuk menghilangkan najis pada badan, baju dll. 

Berikut ini adalah macam-macam air dan pembagiannya:
a.      Air yang suci dan mensucikan[7]
Air yang demikan sah untuk menyucikan (membersihkan) benda lain, yaitu air yang jatuh dari langit, atau berasal dari bumi yang masih tetap atau tidak berubah keadaannya, seperti ketujuh macam air diatas.
ãAÍit\ãƒur Nä3øn=tæ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB Nä.tÎdgsÜãÏj9 ¾ÏmÎ/  ÇÊÊÈ  
Artinya: “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu” (Q.S. Al-Anfal: 11)

Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya “suci mensucikan” walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna, rasa dan baunya) adalah sbb:
-          Berubah karena tempatnya, seperti air yang menggenang atau mengalir di batu belerang
-          Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam
-          Berubah karena sesuatu terjadi padanya, seperti berubah disebabkan ikan
-          Berubah karena tanah yang suci, begitu juga berubah karena sukar memeliharanya, misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon.

b.      Air suci, tetapi tidak mensucikan[8]
Zatnya suci, tetapi tidak sah dipakai untuk mensucikan sesuatu. Yang temasuk dalam bagian ini ada tiga macam air yaitu:
-          Air yang berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda yang suci, selain dari perubahan diatas, seperti air kopi, teh, dan sebagainya.
-          Air sedikit, kurang dari dua kulah, ukurannya menurut imam nawawi 174,580 liter/59,9 cm3, Imam rafi’i 176,245 liter/56.1 cm3.
-          Air musta’mal seperti air sabun, yang sudah terpakai untuk mandi dll.
-          Air pohon-pohonan atau buah-buahan, seperti air kelapa.




c.       Air mutanajis
Air mutnajis ini dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
a.       Air yang kurang dari dua kulah dan terkena najis, baik berubah atau tidak.
b.      Air yang lebih dari dua kulah, lalu berubah, baik sedikit maupun banyak[9].
d.      Air makruh
Termasuk  kategori ini adalah air suci yang mensucikan, tetapi makruh menggunakannya pada anggota badan, sedangkan untuk pakaian tidakapa-apa. Yaitu air yang dipanaskan dengan sengatan terik matahari. Jika air tersebut telah dingin lagi maka hukumnya tidak makruh[10].

2.      Tanah suci yang berdebu
Tanah berupa debu yang suci ini dapat digunakan untuk tayamum yang menjadi gantinya wudlu atau mandi dalam kondisi tertentu seperti ketika sedang sakit atau ketika tidak menemukan air[11].
            “Sesungguhnya debu yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim walaupun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun.’ (HR. Tirmidzi 124)

3.      Batu/daun/kertas atau sejenisnya
Sedangkan untuk penggunaan batu dan sejenisnya inihanya bisa digunakan untuk istinja’, yaitu menghilangkan najis yang keluar dari qubul dan dubur.



2.4  Jenis-Jenis Thaharah
2.4.1 Thaharah dari Hadats
Hadats adalah Thaharah dari hadats ada tiga macam yaitu wudhu’, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk tayammum.

A.    WUDHU
Wudhu adalah suatu perbuatan membasuh anggota badab tertentu yang dimulai dengan niat[12].
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur
 n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 ÇÏÈ  
Arinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,,” (Al-Maidah 6)

Ø  Syarat-Syarat Wudhu[13]
1.      Islam
2.      Mumayyiz
3.      Tidak berhadats besar
4.      Dengan air yang suci dan mensucikan
5.      Tidak ada yang menghalangi sampainya air kekulit.


Ø  Fardhu/ Rukun Wudhu[14]
Fardhu wudhu ada 6, bila gugur salah satu maka wudhunya tidak sah. Urutannya adalah sebagai berikut:
1.      Niat, sengaja melakukan sesuatu karena tunduk kepada Allah SWT.
2.      Membasuh muka, batas muka yang dibasuh adalah dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah atas sampai kedua tukang dahi bawah dan dari telinga ke telinga.
3.      Membasuh kedua tagan sampai siku.
4.      Menyapu/mengusap sebagian kepala.
5.      Membasuk kedua kaki sampai mata kaki.

Ø  Sunnah-Sunnah Wudhu[15]
1.      Membaca basmalah
2.      Membasuh kedua telapak tangan hingga batas pergelangan
3.      Madhmadhah (berkumur)
4.      Meratakan usapan keseluruh kepala
5.      Mengusap kedua telinga baik pada bagian muka ataupun bagian dalamnya
6.      Menyela-nyela jenggot
7.      Takhliilu Ashabii’ (menyela-nyela jari)
8.      Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
9.      Mengulangi sebanyak 3 kali dalam membasuh
10.  Muwalah (susul menyusul dengan segera)

Ø  Hal-Hal yang membatalkan wudhu[16]
1. Keluarnya sesuatu dari dua jalan atau dari salah satunya
2. Hilang akal, karena mabuk, pingsan atau gila
3. Tertidur lelap, jika tertidur tidak dalam keadaan pantatnya ke tanah
4.Bersentuhan kulit dengan laki-laki atau perempuan yang bukan mahramnya
5. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan

B. MANDI (AL-GHUSL)
Menurut lughat, mandi di sebut al- ghasl atau al- ghusl yang berarti mengalirnya air pada sesuatu. Sedangkan di dalam syara’ ialah mengalirnya air keseluruh tubuh disertai dengan niat[17].
 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 ÇÏÈ  
Artinya : “Dan jika kamu junub Maka mandilah,” (Q.S. AL-Maidah 6)

Ø  Sebab-sebab wajib mandi[18]:
1.      Bersetubuh
2.      Keluar mani, baik keluarnya karena bermimpi atau tidak
3.      Ketika meninggal dunia
4.      Haid, darah yang keluar dari rahim wanita baligh
5.      Nifas, darah yang keluar sesudah melahirkan anak
6.      Wiladah (melahirkan), darah yang dikeluarkan bersamaan dengan keluarnya bayi, ataupun saat keguguran.

Ø  Fardhu’ (rukun) mandi yaitu :
1. Niat. Di lakukan serentak dengan basuhan pertama. Niat dianggap sah dengan berniat untuk mengangkat hadats besar, hadats , janabah, haidh, nifas, atau hadats lainnya dari seluruh tubuhnya, untuk membolehkannya shalat.
2. Menyampaikan air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan permukaan kulit.

Ø  Sunnah-Sunnah Mandi[19]:
1.      Membaca basmalah
2.      Berwudhu sebelum mandi
3.      Menggosok seluruh tubuh dengan  tangannya
4.       Mendahulukan menyiram bagian kanan dari tubuh
5.      Berkumur[20]

C. TAYAMMUM
Tayammum secara etimologi berarti al-qasd yaitu menyengaja. Sedangkna secara terminolgi atau secara syara’ yaitu menyampaikan tanah ke wajah dan tangan dengan beberapa syarat dan ketentuan[21]. Firman Allah:
bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 ÇÏÈ   .
Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Q. S. Al-Maidah 6)

Ø Syarat-Syarat Tayammum[22]
1.    Sudah masuk waktu shalat
2.    Sudah diusahakan untuk mencari air tetapi tidak dapat, sedangkan waktu shalat sudah masuk (apabila kita telah benar-benar yakin tidak ada air)
3.    Dengan tanah yang suci dan berdebu
4.    Menghilangkan najis.

Ø Rukun Tayammum[23]
1. Niat istibahah ( membolehkan ) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya
2.      Mengusap muka/wajah dengan debu atau tanah yang suci
3.      Mengusap kedua tangan sampai siku dengan tanah atau debu
4.      Tertib

Ø Sunnah-Sunah Tayammum[24]:
1.   Membaca basmalah pada awalnya
2.         Mengembus tanah dari dua telapak  tangan supaya debu di telapak tangan menjadi tipis
3.         Meregangkan jari-jari ketika menepukannya pertama kali ke tanah
4.         Mendahulukan tangan kanan dari tangan kiri
5.         Membaca dua kalimat syahadat sesudah selsesai tayammum


Ø Hal –hal yang membatalkan tayammum[25]
1.         Semua hal yang membatalkan wudhu’
2.         Melihat/mendapatkan air sebelum melakukan sholat
3.          Murtad



2.4.2 Thaharah Dari Najis

            Najis adalah lawan kata dari thaharah, yaitu segala sesuatu yang kotor dan menjijikkan dalam pandangan syara’. Secara umum najis dibagi menjadi dua macam najis hukmi dan najis hakiki, yang keduanya akan di jelaskan berikut ini.

v  Macam-Macam Najis dan Cara mensucikannya
Ø  Najis Hukmi adalah najis yang diyakini adanya, tapi tidak nyata sifat zatnya, bau, rasa, dan warnanya. Seperti air kencing yang sudah lama mengering. Juga seseorang yang berhadats kecil atau besar, sehingga jika akan shalat harus disucikan terlebih dahulu dengan wudlu atau mandi jinabat.
Ø  Najis ‘Aini (hakiki) yaitu najis yang masih ada zat, warna rasa dan baunya. Dibagi menjadi tiga bagian, yaitu najis mughalladah (berat), mukhaffafah (ringan) dan mutawassitah (sedang). Dengan perincian sebagai berikut:

a. Najis Mughalladah (berat), yaitu najis anjing. Cara mensucikannya adalah dengan dibasuh air tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan tanah.
b. Najis Mukhaffafah (ringan), yaitu kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Cara mensucikannya yaitu cukup dengan memercikkan air bada benda yang terkena najis, meskipun airnya tidak sampai mengalir.
c. Najis Mutawassitah (sedang), semua najis yang selain dua macam najis tersebut diatas. Dan cara mensucikannya adalah dengan mengalirkan air terhadap benda yang terkena najis ini sampai hilang zat najisnya dan ketiga unsur sifatnya (rasa, bau dan warna)[26].
d. Selain itu, ada satu macam najis sebagai tambahan yaitu, Najis Ma'fu (najis yang dima’afkan) yaitu najis yang tidak wajib dibersihkan/disucikan karena sulit dibedakan mana yang kena najis dan yang tidak kena najis. Seperti sedikit terkena percikan darah atau nanah, kena debu, terkena air kotor yang tidak disengaja dan sulit dihindari.

Ø  ISTINJA’
Kata Istinja’ berasal dari ungkapan min najwatus syai artinya, saya memotong sesuatu. Jadi seolah-olah orang yang hendak bersuci sehabis buang air besar itu sedang memotong kotoran yang ada pada dirinya. Hukum istinja’ itu wajib dan menghilangkan kotoran dari qubul maupun dubur tersebut paling utama (afdhal) adalah dengan menggunakan beberapa batu dulu kemudian disusul dengan air. Akan tetapi, jika ada bermaksud untuk memilih antara keduanya (air atau dengan batu), maka menggunakan air itu lebih baik karena air bisa benar-benar menghilangkan najis dan bekas-bekasnya[27].
Hukum istinja’ ini adalah wajib karena menghilangkan najis juga merupakan penentu syah tidaknya shalat kita.Adapun adab atau tata krama dalam istinja’ sebaiknya menghindari hal-hal berikut ini:
1.      Menghadap ataupun membelakangi kiblat
2.      Buang hajat di tanah lapang/tempat terbuka
3.      Di air yang yang diam (tidak mengalir)
4.      Kencing ataupun berak di bawah pohon yang sedang berbuah maupun tidak
5.      Buang hajat di jalan raya
6.      Tidak berbicara hal-hal yang tidak dibutuhkan[28]



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas maka kita peroleh beberapa point penting, yaitu:
a.      Thaharah secara harfiah berarti nadzhafah (kebersihan). Sedangkan menurut istilah ulama fiqh adalah suatu perbuatan yang menentukan boleh tidaknya ibadah itu dilaksanakan (sah atau batal). 
Allah ta’ala berfirman:
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”                       (Q.S. Al-Baqarah 222)

b.      Media atau sarana yang telah disepakati ulama untuk bisa digunakan bersuci (thaharah) itu ada tiga, yaitu mutlak (muri yang suci), tanah suci yang berdebu, batu dan sejenisnya.

c.       Thaharah dari hadats adalah Thaharah dari hadats ada tiga macam yaitu wudhu’, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk tayammum.

d.      Sedangkan Najis adalah lawan kata dari thaharah, yaitu segala sesuatu yang kotor dan menjijikkan dalam pandangan syara’. Secara umum najis dibagi menjadi dua macam najis hukmi dan najis hakiki.

e.       Macam-Macam Najis dan Cara mensucikannya        
- Najis Mughalladah (berat), yaitu najis anjing, dengan dibasuh air tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan tanah.

- Najis Mukhaffafah (ringan), yaitu kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Cara mensucikannya yaitu cukup dengan memercikkan air bada benda yang terkena najis, meskipun airnya tidak sampai mengalir.
-  Najis Mutawassitah (sedang), semua najis yang selain dua macam najis tersebut diatas. Dan cara mensucikannya adalah dengan mengalirkan air terhadap benda yang terkena najis ini sampai hilang zat najisnya dan ketiga unsur sifatnya (rasa, bau dan warna).
























DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2006. FIKIH THAHARAH. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Rasjid, Sulaiman. 2007. FIQH ISLAM. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Wahbah al-Zuhaili. 2004. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh Juz 1. Damaskus-suriah: Dar Al-Fikr
Asy-syekh Muhammad bin qasim Al-Ghazy. 1991. Terjemah Fat-hul Qarib Jilid1 Surabaya: Al-Hidayah
Arfan, Abbas. 2007. FIQH IBADAH “Madzhab Syafi’i dan Perbandingan Madzhab”. Malang: Fakultas Syari’ah UIN Maliki


[1] Yusuf Al-Qaradhawi. Fikih Thaharah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Hlm, 9
[2] Abbas Arfan. “FIQH IBADAH “Mahdzab syafi’i dan perbandingan Madzhab”. Fakultas Syari’ah UIN Maliki: Malang, 2007. Hlm, 30
[3] Ibid, hlm. 31
[4] Ibid,
[5] Wahbah al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh Juz 1 (cet IV: Damaskus-suriah: Dar Al-Fikr 2004), hlm. 230
[6] Asy-syekh Muhammad bin qasim Al-Ghazy. Terjemah Fat-hul Qarib Jilid 1(Surabaya: Al-Hidayah, 1991) hlm. 21
[7] Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007) hlm. 14-15
[8] Ibid, hlm. 15
[9] Asy-syekh Muhammad bin qasim Al-Ghazy. Op Cit, hlm. 26-27
[10] Ibid, hlm. 23
[11] Abbas Arfan. Op Cit, hlm. 33
[12] Abbas Arfan, Op Cit, hlm. 41
[13] Sulaiman Rasjid, Op Cit, hlm. 25-30
[14] Ibid
[15] Asy-syekh Muhammad bin qasim Al-Ghazy. Op Cit, hlm. 40-46
[16] Sulaiman Rasjid, Log Cit, hlm. 25-30
[17] Arfan Abbas, Op Cit, hlm. 22
[18] Sulaiman Rasjid, Op Cit, hlm. 35
[19] Sulaiman Rasjid, Op Cit, hlm. 37
[20] Arfan abbas, Op Cit, hlm. 67
[21] Ibid, hlm. 79
[22] Sulaiman Rasjid, hlm. 39
[23] Ibid, hlm. 40
[24]Ibid, hlm. 42
[25] Ibid, hlm. 43
[26] Sulaiman Rasjid. Op Cit, hlm. 21-22
[27]Asy-syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, Op Cit, hlm. 47-53
[28] Ibid,

No comments:

Post a Comment