BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
kitab-kitab fiqih klasik yang disusun oleh para ulama fiqih terdahulu,
kebanyakan menempatkan “Bab Thaharah” pada pembahasan awal buku karangan
mereka. Hal ini bukanlah tanpa alasan, karena menurut pendapat para ulama’
tersebut kewajiban utama seorang hamba adalah kewajibannya kepada sang khalik.
Yakni kewajibannya untuk beribadah, menyembah hanya kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun.
Ibadah
merupakan tujuan utama, sedangkan ibadah yang paling agung dan paling utama
adalah shalat yang merupakan tiang agama, dan syarat pertama dari shalat adalah
thaharah (bersuci). Oleh sebab itulah, pembahasan mengenai thaharah
dikedepankan daripada shalat dan menjadi kunci dari pintunya. Kunci surga
adalah shalat dan kunci shalat adalah bersuci.
Mengingat
betapa pentingnya thaharah dalam hubungannya dengan ibadah kita kepada Allah,
terutama shalat, maka pembahasan lebih lanjut mengenai thaharah akan dijelaskan
pada bab selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan penting yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
a. Apa pengertian thaharah menurut
epistimologi dan epistimologi?
b. Apa dalil-dalil disyari’atkannya
thaharah?
c. Sebutkan sarana-sarana untuk thaharah!
d. Sebutkan jenis-jenis thaharah!
e. Sebutkan macam-macam najis dan cara
mensucikannya!
1.3 Tujuan
Sebagaimana rumusan masalah yang disebut
diatas, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini,
yaitu:
a.
Mampu
mengetahui dan memahami thaharah secara epistimologi dan terminologi
b.
Mengetahui
dalil-dalil disyari’atkannya thaharah
c. Mengetahui media atau sarana-sarana yang
dipergunakan untuk thaharah
d.
Mengetahui
jenis-jenis thaharah
e.
Mampu
menyebutkan dan menjelaskan macam-macam nasjis dan cara mensucikannya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Thaharah
Thaharah
menurut epistimologi adalah nadzhafah (kebersihan)[1],
yang berarti bersih dan suci dari berbagai kotoran, baik lahiriyah maupun
bathiniyah. Thahara batiniyah berarti menyucikan hati dari beberapa ‘aib
atau penyakit hati, sedangkan thaharah lahiriyah adalah bersuci dari kotoran
dan hadats[2].
Adapun
definisi thaharah secara terminologi (menurut ulama fiqh) adalah suatu
perbuatan yang menentukan boleh tidaknya ibadah itu dilaksanakan (sah atau
batal). Sedangkan menurut Imam Nawawi thaharah berarti mengangkat hadats atau
menghilangkan nasjis atau semisal keduanya dengan cara yang berlaku
masing-masing[3].
2.2
Dalil-Dalil Disyari’atkannya Thaharah
Thaharah hukumnya wajib
berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah[4].
Allah ta’ala berfirman:
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.” (Q.S.
Al-Baqarah 222)
Dalam sebuah hadits
shahih juga disebutkan,
لايقبل الله صلاة بغير طهور
Artinya: “Allah tidak akan menerima shalat tanpa
bersuci” (HR Muslim 488)
2.3
Media-Media Thaharah
Media
atau sarana yang telah disepakati ulama untuk bisa digunakan bersuci (thaharah)
itu ada tiga, yaitu mutlak (muri yang suci), tanah suci yang berdebu, batu dan
sejenisnya[5].
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing dari media tersebut:
1. Air mutlak (murni) yang suci
Yang
dimaksud dengan air mutlak atau air murni, yaitu yang belum tercampur dengan
apapun yang kadang merubahnya, baik itu sesuatu yang najis ataupun sesuatu yang
suci. Diantara air yang dianggap sah untuk dipakai bersuci ada tujuh macam, yaitu
air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, aie es, dan air embun.
Ketujuh air tersebut merupakan semua air yang datang dari langit dan yang
keluar dari tanah dengan segala macam cara keadaan wujud air tersebut dari asal
kejadiannya[6]. Penggunaan
air sebagai media bersuci itu dapat berupa wudlu untuk mengangkat hadats kecil,
mandi untuk mengantar hadits besar, dan untuk menghilangkan najis pada badan,
baju dll.
Berikut
ini adalah macam-macam air dan pembagiannya:
a. Air yang suci dan mensucikan[7]
Air
yang demikan sah untuk menyucikan (membersihkan) benda lain, yaitu air yang
jatuh dari langit, atau berasal dari bumi yang masih tetap atau tidak berubah
keadaannya, seperti ketujuh macam air diatas.
ãAÍit\ãur Nä3øn=tæ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB Nä.tÎdgsÜãÏj9 ¾ÏmÎ/ ÇÊÊÈ
Artinya:
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan
hujan itu” (Q.S. Al-Anfal: 11)
Perubahan air yang tidak menghilangkan
keadaan atau sifatnya “suci mensucikan” walaupun perubahan itu terjadi pada
salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna, rasa dan baunya) adalah sbb:
-
Berubah
karena tempatnya, seperti air yang menggenang atau mengalir di batu belerang
-
Berubah
karena lama tersimpan, seperti air kolam
-
Berubah
karena sesuatu terjadi padanya, seperti berubah disebabkan ikan
-
Berubah
karena tanah yang suci, begitu juga berubah karena sukar memeliharanya,
misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon.
b. Air suci, tetapi tidak mensucikan[8]
Zatnya suci, tetapi
tidak sah dipakai untuk mensucikan sesuatu. Yang temasuk dalam bagian ini ada
tiga macam air yaitu:
-
Air
yang berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda yang suci,
selain dari perubahan diatas, seperti air kopi, teh, dan sebagainya.
-
Air
sedikit, kurang dari dua kulah, ukurannya menurut imam nawawi 174,580
liter/59,9 cm3, Imam rafi’i 176,245 liter/56.1 cm3.
-
Air
musta’mal seperti air sabun, yang sudah terpakai untuk mandi dll.
-
Air
pohon-pohonan atau buah-buahan, seperti air kelapa.
c. Air mutanajis
Air
mutnajis ini dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
a. Air yang kurang dari dua kulah dan
terkena najis, baik berubah atau tidak.
b. Air yang lebih dari dua kulah, lalu
berubah, baik sedikit maupun banyak[9].
d. Air makruh
Termasuk kategori ini adalah air suci yang mensucikan,
tetapi makruh menggunakannya pada anggota badan, sedangkan untuk pakaian
tidakapa-apa. Yaitu air yang dipanaskan dengan sengatan terik matahari. Jika
air tersebut telah dingin lagi maka hukumnya tidak makruh[10].
2. Tanah suci yang berdebu
Tanah
berupa debu yang suci ini dapat digunakan untuk tayamum yang menjadi gantinya
wudlu atau mandi dalam kondisi tertentu seperti ketika sedang sakit atau ketika
tidak menemukan air[11].
“Sesungguhnya debu yang suci adalah alat bersuci bagi
seorang muslim walaupun ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun.’ (HR.
Tirmidzi 124)
3. Batu/daun/kertas atau sejenisnya
Sedangkan
untuk penggunaan batu dan sejenisnya inihanya bisa digunakan untuk istinja’,
yaitu menghilangkan najis yang keluar dari qubul dan dubur.
2.4
Jenis-Jenis Thaharah
2.4.1
Thaharah dari Hadats
Hadats adalah Thaharah dari hadats
ada tiga macam yaitu wudhu’, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk
bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk
tayammum.
A. WUDHU
Wudhu adalah
suatu perbuatan membasuh anggota badab tertentu yang dimulai dengan niat[12].
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur
n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
ÇÏÈ
Arinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,,”
(Al-Maidah 6)
Ø Syarat-Syarat Wudhu[13]
1.
Islam
2.
Mumayyiz
3.
Tidak
berhadats besar
4.
Dengan air
yang suci dan mensucikan
5.
Tidak ada
yang menghalangi sampainya air kekulit.
Ø Fardhu/ Rukun Wudhu[14]
Fardhu wudhu ada 6, bila gugur salah satu maka
wudhunya tidak sah. Urutannya adalah sebagai berikut:
1.
Niat,
sengaja melakukan sesuatu karena tunduk kepada Allah SWT.
2.
Membasuh
muka, batas muka yang dibasuh adalah dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah
atas sampai kedua tukang dahi bawah dan dari telinga ke telinga.
3.
Membasuh
kedua tagan sampai siku.
4.
Menyapu/mengusap
sebagian kepala.
5.
Membasuk
kedua kaki sampai mata kaki.
Ø Sunnah-Sunnah Wudhu[15]
1.
Membaca
basmalah
2.
Membasuh kedua
telapak tangan hingga batas pergelangan
3.
Madhmadhah
(berkumur)
4.
Meratakan
usapan keseluruh kepala
5.
Mengusap
kedua telinga baik pada bagian muka ataupun bagian dalamnya
6.
Menyela-nyela
jenggot
7.
Takhliilu
Ashabii’ (menyela-nyela jari)
8.
Mendahulukan
yang kanan dari yang kiri
9.
Mengulangi
sebanyak 3 kali dalam membasuh
10. Muwalah (susul menyusul dengan segera)
Ø Hal-Hal yang membatalkan wudhu[16]
1. Keluarnya sesuatu dari dua jalan
atau dari salah satunya
2. Hilang akal, karena mabuk,
pingsan atau gila
3. Tertidur lelap, jika tertidur
tidak dalam keadaan pantatnya ke tanah
4.Bersentuhan kulit dengan laki-laki atau perempuan
yang bukan mahramnya
5. Menyentuh kemaluan dengan telapak
tangan
B. MANDI (AL-GHUSL)
Menurut lughat, mandi di sebut al- ghasl atau al-
ghusl yang berarti mengalirnya air pada sesuatu. Sedangkan di dalam syara’
ialah mengalirnya air keseluruh tubuh disertai dengan niat[17].
bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4
ÇÏÈ
Artinya :
“Dan jika kamu junub Maka mandilah,” (Q.S. AL-Maidah 6)
Ø Sebab-sebab wajib mandi[18]:
1.
Bersetubuh
2.
Keluar mani,
baik keluarnya karena bermimpi atau tidak
3.
Ketika
meninggal dunia
4.
Haid, darah
yang keluar dari rahim wanita baligh
5.
Nifas, darah
yang keluar sesudah melahirkan anak
6.
Wiladah
(melahirkan), darah yang dikeluarkan bersamaan dengan keluarnya bayi, ataupun
saat keguguran.
Ø Fardhu’ (rukun) mandi yaitu :
1. Niat. Di lakukan serentak dengan basuhan pertama. Niat dianggap sah dengan berniat untuk mengangkat hadats besar, hadats , janabah, haidh, nifas, atau hadats lainnya dari seluruh tubuhnya, untuk membolehkannya shalat.
2. Menyampaikan air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan permukaan kulit.
1. Niat. Di lakukan serentak dengan basuhan pertama. Niat dianggap sah dengan berniat untuk mengangkat hadats besar, hadats , janabah, haidh, nifas, atau hadats lainnya dari seluruh tubuhnya, untuk membolehkannya shalat.
2. Menyampaikan air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan permukaan kulit.
Ø Sunnah-Sunnah Mandi[19]:
1.
Membaca
basmalah
2.
Berwudhu
sebelum mandi
3.
Menggosok
seluruh tubuh dengan tangannya
4.
Mendahulukan menyiram bagian kanan dari tubuh
5.
Berkumur[20]
C. TAYAMMUM
Tayammum secara etimologi berarti al-qasd yaitu
menyengaja. Sedangkna secara terminolgi atau secara syara’ yaitu menyampaikan
tanah ke wajah dan tangan dengan beberapa syarat dan ketentuan[21].
Firman Allah:
bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4
ÇÏÈ .
Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Q. S. Al-Maidah 6)
Ø Syarat-Syarat Tayammum[22]
1.
Sudah masuk
waktu shalat
2.
Sudah
diusahakan untuk mencari air tetapi tidak dapat, sedangkan waktu shalat sudah
masuk (apabila kita telah benar-benar yakin tidak ada air)
3.
Dengan tanah
yang suci dan berdebu
4.
Menghilangkan
najis.
Ø Rukun Tayammum[23]
1. Niat istibahah ( membolehkan ) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya
1. Niat istibahah ( membolehkan ) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya
2. Mengusap muka/wajah dengan debu atau tanah yang suci
3. Mengusap kedua tangan sampai siku dengan tanah atau
debu
4. Tertib
Ø Sunnah-Sunah Tayammum[24]:
1. Membaca basmalah pada awalnya
1. Membaca basmalah pada awalnya
2.
Mengembus
tanah dari dua telapak tangan supaya debu
di telapak tangan menjadi tipis
3.
Meregangkan
jari-jari ketika menepukannya pertama kali ke tanah
4.
Mendahulukan
tangan kanan dari tangan kiri
5.
Membaca dua
kalimat syahadat sesudah selsesai tayammum
Ø Hal –hal yang membatalkan tayammum[25]
1.
Semua hal
yang membatalkan wudhu’
2.
Melihat/mendapatkan
air sebelum melakukan sholat
3.
Murtad
2.4.2 Thaharah
Dari Najis
Najis
adalah lawan kata dari thaharah, yaitu segala sesuatu yang kotor dan
menjijikkan dalam pandangan syara’. Secara umum najis dibagi menjadi dua macam
najis hukmi dan najis hakiki, yang keduanya akan di jelaskan berikut ini.
v
Macam-Macam
Najis dan Cara mensucikannya
Ø Najis Hukmi adalah najis yang diyakini
adanya, tapi tidak nyata sifat zatnya, bau, rasa, dan warnanya. Seperti air
kencing yang sudah lama mengering. Juga seseorang yang berhadats kecil atau
besar, sehingga jika akan shalat harus disucikan terlebih dahulu dengan wudlu
atau mandi jinabat.
Ø Najis ‘Aini (hakiki) yaitu najis yang
masih ada zat, warna rasa dan baunya. Dibagi menjadi tiga bagian, yaitu najis
mughalladah (berat), mukhaffafah (ringan) dan mutawassitah (sedang). Dengan
perincian sebagai berikut:
a. Najis
Mughalladah (berat), yaitu najis anjing. Cara mensucikannya adalah
dengan dibasuh air tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan tanah.
b.
Najis Mukhaffafah (ringan), yaitu kencing bayi
laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Cara mensucikannya yaitu
cukup dengan memercikkan air bada benda yang terkena najis, meskipun airnya
tidak sampai mengalir.
c.
Najis Mutawassitah (sedang), semua najis yang
selain dua macam najis tersebut diatas. Dan cara mensucikannya adalah dengan
mengalirkan air terhadap benda yang terkena najis ini sampai hilang zat
najisnya dan ketiga unsur sifatnya (rasa, bau dan warna)[26].
d.
Selain itu, ada satu macam najis sebagai
tambahan yaitu, Najis Ma'fu (najis yang dima’afkan) yaitu najis
yang tidak wajib dibersihkan/disucikan karena sulit dibedakan mana yang kena
najis dan yang tidak kena najis. Seperti sedikit terkena percikan darah atau
nanah, kena debu, terkena air kotor yang tidak disengaja dan sulit dihindari.
Ø ISTINJA’
Kata Istinja’ berasal dari ungkapan min najwatus
syai artinya, saya memotong sesuatu. Jadi seolah-olah orang yang hendak
bersuci sehabis buang air besar itu sedang memotong kotoran yang ada pada
dirinya. Hukum istinja’ itu wajib dan menghilangkan kotoran dari qubul maupun
dubur tersebut paling utama (afdhal) adalah dengan menggunakan beberapa batu
dulu kemudian disusul dengan air. Akan tetapi, jika ada bermaksud untuk memilih
antara keduanya (air atau dengan batu), maka menggunakan air itu lebih baik
karena air bisa benar-benar menghilangkan najis dan bekas-bekasnya[27].
Hukum istinja’ ini adalah wajib karena menghilangkan
najis juga merupakan penentu syah tidaknya shalat kita.Adapun adab atau tata
krama dalam istinja’ sebaiknya menghindari hal-hal berikut ini:
1. Menghadap ataupun membelakangi kiblat
2. Buang hajat di tanah lapang/tempat terbuka
3. Di air yang yang diam (tidak mengalir)
4. Kencing ataupun berak di bawah pohon yang sedang
berbuah maupun tidak
5. Buang hajat di jalan raya
6. Tidak berbicara hal-hal yang tidak dibutuhkan[28]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas maka kita peroleh beberapa point penting, yaitu:
a. Thaharah secara harfiah berarti nadzhafah
(kebersihan). Sedangkan menurut istilah ulama fiqh adalah suatu perbuatan yang
menentukan boleh tidaknya ibadah itu dilaksanakan (sah atau batal).
Allah
ta’ala berfirman:
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.” (Q.S.
Al-Baqarah 222)
b. Media atau sarana yang telah disepakati
ulama untuk bisa digunakan bersuci (thaharah) itu ada tiga, yaitu mutlak (muri
yang suci), tanah suci yang berdebu, batu dan sejenisnya.
c. Thaharah dari hadats
adalah Thaharah dari hadats ada tiga macam yaitu wudhu’, mandi, dan tayammum.
Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi,
tanah yang suci untuk tayammum.
d. Sedangkan Najis adalah lawan kata dari
thaharah, yaitu segala sesuatu yang kotor dan menjijikkan dalam pandangan
syara’. Secara umum najis dibagi menjadi dua macam najis hukmi dan najis
hakiki.
e. Macam-Macam Najis dan Cara mensucikannya
- Najis
Mughalladah (berat), yaitu najis anjing, dengan dibasuh air tujuh kali
yang salah satunya dicampur dengan tanah.
-
Najis Mukhaffafah (ringan), yaitu kencing bayi
laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Cara mensucikannya yaitu
cukup dengan memercikkan air bada benda yang terkena najis, meskipun airnya
tidak sampai mengalir.
- Najis Mutawassitah (sedang),
semua najis yang selain dua macam najis tersebut diatas. Dan cara mensucikannya
adalah dengan mengalirkan air terhadap benda yang terkena najis ini sampai
hilang zat najisnya dan ketiga unsur sifatnya (rasa, bau dan warna).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi,
Yusuf. 2006. FIKIH THAHARAH. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Rasjid,
Sulaiman. 2007. FIQH ISLAM. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Wahbah
al-Zuhaili. 2004. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh Juz 1. Damaskus-suriah:
Dar Al-Fikr
Asy-syekh
Muhammad bin qasim Al-Ghazy. 1991. Terjemah Fat-hul Qarib Jilid1 Surabaya:
Al-Hidayah
Arfan, Abbas. 2007. FIQH
IBADAH “Madzhab Syafi’i dan Perbandingan Madzhab”. Malang: Fakultas
Syari’ah UIN Maliki
[1] Yusuf Al-Qaradhawi. Fikih
Thaharah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Hlm, 9
[2] Abbas Arfan. “FIQH
IBADAH “Mahdzab syafi’i dan perbandingan Madzhab”.
Fakultas Syari’ah UIN Maliki: Malang, 2007. Hlm, 30
[3] Ibid, hlm. 31
[4] Ibid,
[5] Wahbah
al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh Juz 1 (cet IV:
Damaskus-suriah: Dar Al-Fikr 2004), hlm. 230
[6] Asy-syekh Muhammad bin
qasim Al-Ghazy. Terjemah Fat-hul Qarib Jilid 1(Surabaya: Al-Hidayah,
1991) hlm. 21
[8] Ibid, hlm. 15
[9] Asy-syekh Muhammad bin
qasim Al-Ghazy. Op Cit, hlm. 26-27
[10] Ibid, hlm. 23
[11] Abbas Arfan. Op Cit,
hlm. 33
[12] Abbas Arfan, Op Cit,
hlm. 41
[14] Ibid
[16] Sulaiman Rasjid, Log
Cit, hlm. 25-30
[17] Arfan Abbas, Op Cit,
hlm. 22
[18] Sulaiman Rasjid, Op Cit,
hlm. 35
[19] Sulaiman Rasjid, Op
Cit, hlm. 37
[20] Arfan abbas, Op Cit,
hlm. 67
[21] Ibid, hlm. 79
[23] Ibid, hlm. 40
[24]Ibid, hlm. 42
[25] Ibid, hlm. 43
[27]Asy-syekh Muhammad bin
Qasim Al-Ghazy, Op Cit, hlm. 47-53
[28] Ibid,
No comments:
Post a Comment