Wednesday, October 22, 2014

JANAZAH








1. Hukum Mengkafani Mayat

Hukum mengkafani jenazah adalah wajib. Ini didasarkan pada perintah Nabi saw.  yang tertuang dalam hadist tentang orang yang meninggal dunia dalam berihram karena terlempar dari atas ontanya hingga patah lehernya, “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dia dengan dua potong pakaiannya!”. Kafan yang digunakan untuk mayat hendaklah dibeli dari hartanya, sekalipun ia tidak mewariskan kecuali hanya harta yang digunakan untuk membeli kain kafan itu. Dari Khabbab bin Aratti  r.a. bercerita, ”Kami berhijrah, (berjihad) mendambakan ridho Allah bersama Nabi saw., maka wajib bagi Allah memberi pahala kepada kami (sesuai dengan syari’at-Nya). Diantara kami ada yang gugur sebagai syahid, belum merasakan dari hasil ganjarannya sedikitpun, di antara mereka adalah Mush’ab bin Umair, dan diantara kami ada (lagi) yang gugur sebagai syahid sesudah matang buahnya dan ia memanen hasilnya. Gugur sebagai syahid pada waktu perang Uhud, dan kami tidak mendapati sesuatu yang cukup untuk mengkafaninya, kecuali sepotong kain, yang apabila kami tutup kepalanya, maka tampaklah bagian kedua kakinya dan bila kami tutup bagian kakinya, maka tampaklah bagian kepalanya. Sehingga Nabi saw. memerintahkan kami agar kepalanya dan bagian kakinya agar ditutup dengan idzkhir (tumbuh-tumbuhan yang sudah dikenal yang berbau harum). (Muttafaun ‘alaih: Fathul Bari III: 142 no:1276, Muslim II: 649 no:490, ‘Aunul Ma’bud VIII:78 no:2859, Tirmidzi V: 354 no:3943, Nasa’i  VI no:38).
Kain kafan haruslah kain yang bisa menutupi sekujur tubuh. Jika tidak ada, kecuali hanya selembar kain yang pendek yang tidak cukup untuk menutupi sekujur badan, maka tutuplah kepalanya dan bagian kakinya ditutup dengan idzkhir sebagaimana yang termuat dalam hadist Khabbab di atas.

2. Beberapa Hal Yang Disunnahkan Dalam Kaitannya Dengan Kafan

a. Memilih kain kafan yang berwarna putih, sesuai dengan sabda Nabi saw., "Pakailah dari pakaian kalian yang berwarna putih, karena sesungguhnya warna putih itu merupakan yang terbaik dari pakaian kalian, dan kafanilah dengannya mayat-mayat kamu."
(Shahih:Shahihul Jami’us Shaghir no:3236, Ahkamul Janaiz hal:62, Tirmidzi II:232 no:999, dan ‘Aunul Ma’bud X:362 no:3860).
b. Hendaklah kain kafan yang digunakan sebanyak tiga kali lipatan.
Dari Aisyah  r.a. bahwa Rasulullah telah dikafani dengan tiga kain kafan berwarna putih produk desa Sahul (di Yaman) terbuat dari kain katun, tidak ada padanya gamis dan tidak (pula) sorban. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III:315 no:1264, Muslim II :649 no:941, ‘Aunul Ma’bud VIII:425 no:3135, dan Tirmidzi II: 233 no: 1001, Nasa’i IV:36 dan Ibnu Majah I:472 no:1469). 
c. Hendaklah salah satu kainnya menggunakan kain yang bergaris, bila memungkinkan.
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu wafat sedang ia mampu, maka kafanilah ia dengan kain hibarah (yang bergaris-garis)!” (Shahih:Shahihul Jami’us Shaghir no:455, Ahkamul Janaiz hal:63, dan ‘Aunul Ma’bud VIII : 425 no:3134).[1]
3. Hukum Shalat Jenazah 

Hukum shalat atas mayat muslim adalah fardhu kifayah berdasar perintah Nabi saw. tentangnya yang termaktub dalam banyak hadist. Di antaranya, dari Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata bahwa seorang sahabat Nabi saw. gugur di medan perang Khaibar, lalu para sahabat menginformasikan hal tersebut kepada Rasulullah saw.  Maka Rasulullah saw. bersabda, “Shalatilah sahabat kalian itu!" Maka berubahlah raut wajah mereka untuk itu. Kemudian Rasulullah bersabda (lagi), “Karena sesungguhnya sahabat kalian itu telah melakukan pencurian harta rampasan sebelum dibagikan dalam jihad fi sabilillah!"  Lalu kami memeriksa perbekalannya, maka kami dapati kain sulaman milik orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:79,  ‘Aunul Ma’bud VII : 378 no:2693, Ibnu Majah II : 950 no:2848 dan Nasa’i IV:64).
a.    Dua Orang Pengecualian Yang Tidak Wajib Dishalati
- Anak kecil yang belum baligh
Aisyah  r.a. berkata, “Telah meninggal dunia Ibrahim, putera Nabi saw. dalam usianya yang kedelapan belas bulan, dan Rasulullah saw. tidak menshalatinya.” (Hasanaul Isnad: Ahkamul Janaiz hal:80, Shahih Abu Daud no:2729 dan Abu Daud VIII: 476 no: 3171). 
- Orang yang Gugur sebagai Syahid
Dari Anas  r.a. (ia berkata), “Bahwa para syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dikebumikan bersama darahnya, dan tidak (pula) mereka dishalati.” (Hasan :Shahihul Abu Daud no: 2688, ‘Aunul Ma’bud VIII : 408 no:3119 secara ringkas dan Tirmidzi II : 241 no: 1021 secara panjang lebar). Namun ketidakwajiban menshalati kedua golongan diatas tidak berarti disyari’atkan shalat atas keduanya. Dari Aisyah r.a. berkata, “Telah didatangkan ke hadapan Rasulullah saw.  seorang anak kecil dari kaum Anshar (yang meninggal), kemudian beliau menshalatinya,” (Shahih:Nasa’i no:1839, Muslim IV: 2050 no:2262, dan Nasa’i IV : 57). Dari Abdullah bin az-Zubair r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah menyuruh (para sahabat mengurusi) mayat Hamzah pada perang Uhud, lalu dikafani dengan kain kafan bergaris dari Yaman, kemudian beliau menshalatinya dengan takbir sembilan kali. Kemudian didatangkan (lagi) banyak mayat (kepada beliau), lalu diletakkan dalam satu shaf, lalu beliau menshalati mereka dan juga dia (Hamzah) bersama mereka (Sanadnya Hasan: al-Janaiz hal.49, dan semua rawi-rawinya terpercaya. Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Ma’nil Atsar I:290).  
b. Makin Banyak Orang Yang Menshalati Jenazah Semakin Afdhal Bagi Sang Mayat Dan Lebih Bermanfaat.
Hal ini berdasar sabda Nabi saw., “Tidaklah seseorang meninggal dunia kemudian dishalati oleh seratus orang muslim semuanya memberikan syafa’at kepadanya.” (Shahih:Shahihul Nasa’i no:1881, Muslim II:654 no: 947, Tirmidzi II: 247 no:1034, dan Nasa’i IV: 75).
Dan sabda Rasulullah saw. yang lain, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalati oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan pasti Allah memperbolehkan mereka memberi syafa’at kepadanya." (Shahih:ash-Shahihah no:2267, Muslim II: 655 no: 948, ‘Aunul Ma’bud VIII : 451 no:3154 dan Ibnu Majah I: 477 dengan redaksi yang mirip). 
c. Dianjurkan Membentuk Tiga Shaf Di Belakang Imam, Sekalipun Mereka Berjumlah Sedikit 
Dari Martsad al-Yazani dari Malik bin Hubairah  r.a. bahwa Rasulullah saw.  bersabda, “Setiap orang yang wafat, lalu dishalati oleh tiga shaf dari kalangan orang muslim, pasti (diampuni dosa-dosanya).” Marstad berkata, adalah Malik apabila orang-orang yang akan shalat jenazah sedikit jumlahnya, dia membagi mereka menjadi shaf, berdasar hadist ini. (Hasan : Ahkamul Janaiz hal:99-100, ‘Aunul Ma’bud VIII : 448 no:3150, Tirmidzi II:246 no:1033 dan Ibnu Majah I: 478 no:1490).
Bila ternyata jenazahnya banyak dan bercampur antara jenazah laki-laki dan perempuan, lalu dishalati satu per satu, maka ini adalah hukum asalnya. Namun jika dishalati sekaligus hukumnya boleh, dengan menempatkan posisi jenazah laki-laki lebih dekat ke arah imam, sedangkan yang perempuan lebih dekat ke arah kiblat. Berdasar riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar  r.a. bahwa ia pernah menshalati sembilan jenazah sekaligus, dengan menempatkan posisi jenazah laki-laki dekat ke arah imam dan jenazah perempuan lebih dekat ke arah kiblat, lalu menjajarkannya bershaf-shaf dan meletakkan jenazah Ummu Kulsum binti Ali, isteri Umar bin Khatab bersama puteranya yang bernama Zaid. Sementara yang menjadi imam pada waktu itu adalah Sa’id bin ‘Ash, sedang diantara jama’ah terdapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu diletakkan jenazah anak-anak lebih dekat ke imam. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata, “Maka aku mengingkari cara shalat ini.” Kemudian kuperhatikan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu aku tanya (mereka), “Apa – apaan ini?" Maka jawab mereka, ”Inilah sunnah.” (Shahih:Shahih Nasa’i no:1869, Ahkamul Janaiz hal:103, dan Nasa’i IV :71).
d. Tempat Melaksanakan Shalat Jenazah
Shalat  jenazah boleh  dilaksanakan  di dalam  masjid  berdasar  riwayat berikut ini:
Dari Aisyah r.a. bertutur, tatkala Sa’ad bin Abi Waqash meninggal dunia, para isteri Nabi saw. menyuruh agar jenazahnya diletakkan di masjid sehingga mereka dapat menshalatinya. Para pengusung jenazah pun kemudian meletakkannya di serambi dan mereka (para isteri Nabi saw. ) menshalatinya. Kemudian sampailah informasi kepada mereka (para isteri Nabi saw.)  bahwa banyak orang laki-laki mengecam kejadian tersebut, dan mereka berkomentar, “Sebelumnya tidak pernah jenazah dimasukkan ke dalam masjid.” Sikap mereka itu segera sampaikan kepada Aisyah, lalu ia berkata, “Betapa tergesa-gesanya mereka mencela suatu perbuatan yang belum mereka ketahui dasarnya. Mereka mencela kami karena kami memasukkan jenazah ke dalam masjid, padahal Rasulullah saw. tidak menshalati Suhail bin Baidhaa’, kecuali di tengah-tengah masjid,” (Shahih:Shahihul Nasa’i no:1859, Muslim II : 668 no: 100 dan 973 dan lafadz baginya ‘Aunul Ma’bud VIII : 477 no:3173 secara ringkas, dan Nasa’i IV:68).
Namun yang lebih afdhal shalat jenazah dilaksanakan di luar masjid, di tempat yang memang dipersiapkan untuk mengerjakan shalat jenazah sebagaimana sudah dimaklumi bahwa pada masa Nabi saw., pada umumnya shalat jenazah dilakukan di luar masjid.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa ada sekelompok orang Yahudi datang kepada Nabi saw. dengan membawa dua orang dari kalangan mereka yang berzina, yang satu laki-laki dan satu (lagi) perempuan. Kemudian beliau memerintah agar keduanya dirajam (dilempari dengan batu) di dekat masjid. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:106, dan Fathul Bari III : 199 no:3129). Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. memberitahu (kepada para sahabat) berita kematian (raja) Najasyi pada hari wafatnya, lalu beliau keluar ke tempat shalat (yang biasa dipakai shalat jenazah), kemudian beliau mengatur shaf mereka, lantas bertakbir empat kali.” (Muttafaqun ‘alaih:Fathul Bari III: 116 no:1245, Muslim II:656 no:951, ‘Aunul Ma’bud IX: 5 no:3188, dan Nasa’i  IV: 72).
Tidak boleh shalat jenazah di tengah-tengah kuburan, berdasar hadits Anas bin Malik  r.a., bahwa Nabi saw. pernah melarang (umatnya) shalat jenazah di antara kuburan (Sanad Hasan : Ahkamul Janaiz hal:108. Syaikh Al Abam berkata, Diriwayatkan juga oleh Abu Dawad ath’Thayalisi II: 80 no:1). 
e. Tempat Berdirinya Imam
Dari Abu Ghalib al-Khayyath berkata, Aku menyaksikan Anas bin Malik r.a. menshalati mayat laki-laki, dia berdiri persis pada posisi kepalanya. Tatkala jenazah laki-laki diangkat, didatangkan kepadanya jenazah perempuan dari kaum Quraisy atau kaum Anshar, lalu dikatakan kepadanya.”Wahai Abu Hamzah, ini jenazah seorang wanita puteri si Fulan maka shalatilah ia.” Kemudian dia menshalatinya dengan berdiri tepat di bagian tengahnya. Di antara kami al-‘Ala bin Ziyad al-Adawi, tatkala ia melihat ada perbedaan posisi berdiri Abu Hamzah ketika menshalati laki-laki dengan menshalati perempuan, maka ia bertanya, “Wahai Abu Hamzah, Apakah memang demikian cara Rasulullah saw. berdiri menshalati jenazah sebagaimana engkau menshalati laki-laki dan menshalati perempuan?” Jawabnya, “Ya (betul).” Maka al-‘Ala menoleh kepada kami dan berkata, “Hendaklah kalian memelihara (sunnah Nabi saw.) ini.” (Shahih:Shahih Ibnu Majah no:1214, ‘Aunul Ma’bud VIII : 484 no:3178, Tirmidzi II:248 no:1039 dan Ibnu Majah I: 479: 1494). 
f. Cara Shalat Jenazah
Boleh melakukan takbir jenazah empat, lima, sampai sembilan kali takbir. Sebaliknya dilakukan secara variatif (terkadang empat, terkadang, lima dan seterusnya). Adapun yang empat kali takbir, berdasar hadist Abu Hurairah: Bahwa Rasulullah saw. memberitahu (kepada para sahabat) tentang kematian Najasyi pada hari wafatnya, kemudian beliau keluar menuju tempat yang biasa dipakai mengerjakan shalat jenazah, lalu mengatur shaf mereka, lantasi takbir empat kali. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:106, dan Fathul Bari III :199 no:1329).
Adapun yang lima kali takbir mengacu kepada hadits: Dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia bertutur, adalah Zaid bin Arqam bertakbir untuk shalat jenazah kami empat kali, dan dia pernah bertakbir untuk satu jenazah yang lain, lima kali. Kemudian aku bertanya kepadanya tentang hal tersebut, maka dia menjawab, “Adalah Rasulullah saw. bertakbir sebanyak itu.” (Shahih:Shahih Ibnu Majah no:1212 no:1028, Ibnu Majah I:482 no:1505, dan Nasa’i IV:72).
Adapun yang enam dan tujuh kali takbir, maka diriwayatkan oleh sebagian atsar yang mauquf (dari perbuatan sebagian sahabat), namun status hukumnya disamakan dengan yang marfu’ (dengan yang dilakukan oleh Rasulullah); karena sebagian sahabat senior mempraktikkannya di hadapun sahabat yang lainnya dan tak satupun di antara mereka yang menegurnya: Dari Abdullah bin Ma’qal  r.a. bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menshalati jenazah Sahal bin Hunaif dengan enam kali takbir, kemudian menoleh kepada kami sambil berkata, “Dia adalah sahabat yang ikut dalam perang Badar.” (Sanadnya Hasan: Ahkamul Janaiz hal:113 Mustadrak Hakim III:409, dan Baihaqi IV:36).
Dari Musa bin Abdullah bin Yazid bahwa Ali pernah menshalati jenazah Abu Qatadah dengan tujuh kali takbir, dan adalah dia termasuk sahabat yang ikut perang Badar. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:114, dan Baihaqi IV:36). Dari Abdi Khair, berkata, adalah Ali r.a. bertakbir enam kali untuk ahli Badar, lima kali untuk para sahabat Nabi saw., dan empat kali untuk masyarakat umum.” (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:113, Ad-Daraquthni II: 73 no:7 dan Baihaqi IV:37).
Adapun yang sembilan kali takbir, diriwayatkan dari Adullah bin az-Zubair r.a. bahwa Nabi saw. pernah menshalati jenazah Hamzah dengan sembilan kali takbir.” (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:49, dan rawi-rawinya kepercayaan, sebagaimana yang diriwayatkan ath-Thahawi dalam Ma’anil Atsar I:290). 
g. Tidak Boleh Mengerjakan Shalat Jenazah Pada Waktu-Waktu Terlarang, Kecuali Kondisi Darurat 
Dari ‘Uqbah bin Amir r.a, berkata, “Ada tiga waktu yang Rasulullah saw. melarang kita mengerjakan shalat, atau mengubur mayat-mayat kita, yaitu ketika matahari terbit hingga naik, (kedua) ketika matahari berdiri tegak hingga bergeser ke arah barat, dan (ketiga) ketika matahari menjelang terbenam hingga tenggelam.” (Shahih : Shahih Ibnu Majah no: 1233, Muslim I:568 no: 831, ‘Aunul Ma’bud VIII: 481 no: 3176, Tirmidzi II: 247 no:1035, Nasa’i I:275 dan Ibnu Majah I:481 no:1519). 

4.   Keutamaan Shalat Jenazah Dan Mengantarkannya. 

Dari Abu Hurairah r.a.  dari Nabi saw. bersabda, “Barang siapa shalat jenazah, namun tidak mengiringinya (kekuburan), maka mendapat (pahala) satu qirath, jika ia mengantarkannya maka mendapat dua qirath.” Kemudian beliau ditanya “Seperti apa dua qirath itu?” Jawab beliau, “Yang terkecil diantara keduanya itu seperti gunung Uhud.” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no6355 dan Muslim II : 653 no:53 dan 945). 
Keutamaan dalam mengantarkan jenazah ini hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki, tidak meliputi kaum perempuan. Karena Nabi saw. pernah melarang kaum hawa mengiringi jenazah dengan larangan littanzih (untuk dijauhi dan dihindari), bukan littahrim (harim). Sebab Ummu ‘Athiyah berkata: “Kami dilarang mengiringi jenazah, namun tidak begitu ditekankan kepada kami.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 144 no:1278, ‘Aunul Ma’bud VIII:449 no: 3151, Ibnu Majah I: 502 no:1577, Muslim II : 464 no:938).
Tidak boleh mengiring jenazah seraya melakukan hal-hal yang berseberangan dengan syari’at: diantaranya yang ditegaskan oleh nash ada dua hal, yaitu mengiringinya dengan tangisan keras dan membawa bakaran wangi-wangian, sebagaimana yang disinyalir dalam sabda Nabi saw. ,“Jangan kamu mengiringi jenazah dengan rintihan suara dan api.” (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz no:70 dan ‘Aunul Ma’bud VIII : 453 no:3155)
Termasuk yang dilarang adalah berdzikir dengan suara keras ketika mengiring jenazah, karena hal ini termasuk bid’ah dan karena ada riwayat dari Qais bin Abbad, berkata, “Adalah para sahabat Nabi SAW benci mengeraskan suara ketika mengiring jenazah.” (Para perawinya tsiqah: Ahlamul Janaiz hal.71 dan diriwayatkan oleh Baihaqi IV:74). Disamping itu, perbuatan tersebut menyerupai kebiasaan kaum Nashrani, yang mana kebiasaan mereka ketika mengiringi jenazah membaca Injil mereka sambil menyanyikan suara-suara sendu yang melambangkan belasungkawa. Lebih buruk lagi adalah jika mengikuti kebiasaan mereka, saat mengiringi jenazah dengan irama musik yang melantun penuh haru, seperti yang dilakukan di sebagian negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim karena mengikuti atau mengekor orang-orang kafir. Hanya kepada Allah jualah kami mohon pertolongan dan perlindungan. 




5. Hukum Mengubur Jenazah

Hukum mengubur mayat adalah wajib, sekalipun mayat seorang kafir, berdasarkan sabda Nabi saw. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. ketika Abu Thalib meninggal dunia, "(Wahai Ali), pergilah lalu kuburlah ia!". (Shahih: Shahih Nasa'i no:1895, dan Nasa'i IV:79). Adalah sunnah Nabi saw. mengubur mayat di pemakaman, sebab Nabi tidak pernah mengubur jenazah kecuali di pekuburan Baqi', seperti yang telah diriwayatkan secara mutawatir. Tidak pernah diriwayatkan dari seorang salafpun, bahwa Rasulullah pernah mengubur jenazah di selain pemakaman umum, kecuali Nabi saw.  sendiri yang dikebumikan di dalam kamarnya, dan ini termasuk pengecualian baginya, seperti yang ditegaskan oleh hadits Aisyah r.a. ia berkata, "Tatkala Rasulullah SAW wafat, para sahabat berbeda pendapat perihal penguburannya, lalu berkatalah Abu Bakar r.a. "Aku pernah mendengar dan Rasululah saw. wejangan yang tidak pernah kulupakan, yaitu beliau bersabda, "Setiap Nabi yang diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai dikubur padanya."Maka kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat pembaringannya. (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no:5649, dan Tirmidzi II : 242 no:1023). Dan, dikecualikan dari hal tersebut adalah para syuhada yang gugur di medan perang, mereka dikebumikan di lokasi gugurnya, tidak usah dipindahkan dipemakaman umum. Hal ini didasarkan pada hadits dari Jabir r.a. berkata, tatkala terjadi perang Uhud, dibawalah para prajurit yang gugur agar dikebumikan di Baqi', maka berserulah seorang penyeru dari Rasulullah saw., "Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah memerintah kalian agar mengubur para syuhada' di tempat gugurnya." (Shahih: Shahih Nasa'i no:1893, ‘Aunul Ma'bud VIII: 446 no:3149, Nasa'i IV:79 dan Tirmidzi III: 130 no:1771). 

6. Dilarang Mengubur Jenazah Dalam Beberapa Keadaan Darurat Berikut Ini, Kecuali Dalam Kondisi Darurat

a. Pada tiga waktu terlarang, dari Uqbah bin Amir r.a.,  ia berkata "Ada tiga waktu Rasulullah saw. melarang kami mengerjakan shalat, atau mengubur jenazah yaitu ketika matahari terbit hingga tinggi, di waktu matahari tegak berdiri hingga bergeser ke arah barat, dan ketika matahari menjelang terbenam hingga tenggelam." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1233, Muslim I:568 no:831, ‘Aunul Ma'bud VII: 481 no:3176, Tirmidzi II:247 no:1035, Nasa'i I:275 dan Ibnu Majah I: 486 no:1519). 
b. Di kegelapan Malam. Dari Jabir r.a. ia berkata, "Bahwa Nabi saw. pernah menyebutkan seorang sahabatnya yang meninggal dunia, lalu dikafani dengan kain kafan yang tidak cukup dan dikebumikan di malam hari, maka Nabi SAW mengecam upaya penguburan jenazah di malam hari hingga ia dishalati, kecuali orang yang karena terpaksa melakukannya. (Shahih: Shahih Nasa'i no:1787, Muslim II:651 no:943, ‘Aunul Ma'bud VIII : 423 no:3132, Nasa'i IV:33 tanpa lafadz, "GHAIRI THAA-IL (tidak cukup menutupi seluruh badan).  Manakala diharuskan melakukan pemakaman di malam hari karena terpaksa, maka hal itu boleh. Sekalipun harus menggunakan lampu ketika menurunkan mayat ke dalam kubur untuk mempermudah pelaksanaan penguburan, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Bahwa Rasulullah saw.  pernah mengubur mayat seorang laki-laki pada malam hari dengan menggunakan lentera ketika menurunkannya ke dalam kubur." (Hasan : Ahlamul Janaiz hal.141 dan Tirmidzi II: 260 no:1063).


7Wajib Mendalamkan, Melapangkannya Dan Membaguskan Liang Lahat

Dari Hisyam bin Amri r.a. bertutur, sesuai perang Uhud, banyaklah yang gugur dari kaum muslimin dan banyak pula prajurit yang luka-luka. Kemudian kami bertanya, "Ya Rasulullah, untuk menggali lubang bagi setiap korban tentu berat bagi kami, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Maka, Rasulullah bersabda "Galilah lubang, lebarkanlah, perdalamkanlah, baguskanlah, dan kebumikanlah dua atau tiga mayat dalam satu kubur, dan dahulukanlah di antara mereka, orang yang paling menguasai al-Qur'an! Maka adalah ayahku satu diantara tiga dari mereka yang paling banyak menguasai al-Qur'an. Maka ia pun didahulukan." (Shahih: Ahlamul Janaiz hal.146, Nasa'i IV:80, ‘Aunul Ma'bud IX: 34 no:3199, Tirmidzi III:128 no : 1766).
Diperbolehkan dalam membuat lubang kubur berbentuk lahat atau syaqqu (belahan) (Dalam posisi mendatar untuk penahan tanah timbunan agar tidak langsung mengenai tubuh jenazah, Periksa Kitab Jenazah hal.132 oleh K.H. Nadjih Ahjad, terbitan Bulan Bintang Jakarta (Pent.), sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada era Nabi saw.  namun yang pertama yang lebih afdhal.
Dari Anas bin Malik saw. berkata, "Tatkala Nabi saw. wafat, di Madinah ada seorang laki-laki yang dikenal pandai membuat lubang kubur berbentuk lahad dan ada seorang lagi yang dikenal ahli membuat lubang kubur berbentuk(makam). Para sahabat berunding, lalu mengatakan, "Sebaiknya kita shalat istikharah, lalu kita datangkan keduanya, maka mana yang lebih cepat datang, kita tinggalkan yang lain." Kemudian para sahabat sepakat memanggil keduanya, ternyata penggali lubang kubur yang berbentuk lahatlah yang datang lebih dahulu. Maka kemudian mereka menggali lubang kubur berbentuk lahad untuk Nabi saw.." (Sanadnya hasan: Ibnu Majah I: 496 no: 1557).
Hendaklah yang mengurusi dan yang menurunkan mayat ke liang lahad adalah kaum laki-laki, bukan kaum wanita, sekalipun jenazah yang dikebumikan adalah perempuan. Sebab itulah yang berlaku sejak masa Nabi saw. dan yang dipraktikkan kaum muslimin hingga hari ini.
Sanak kerabat sang mayat  lebih berhak menguburnya, berdasar firman Allah: "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam kitab Allah."(QS. Al-Ahzab:6).
Dari Ali r.a. ia berkata: Aku telah memandikan Rasulullah saw. lalu aku perhatikan dengan seksama apa yang sering ada pada mayat, maka aku tidak dapatkan sesuatu sekecil apapun pada tubuhnya. Rasulullah saw. sangat baik jasadnya di kala hidup hingga meninggal dunia.:" Dan, di samping para sahabat pada umumnya yang ikut serta memasukkan ke dalam kubur dan menguburnya, ada empat orang, Ali, al-Abbas, al-Fadhal, dan Shalih, bekas budak Rasulullah saw.. Dan telah digalikan liang lahat untuk Rasulullah dan ditegakkan bata di atasnya. (Sanad Shahih: Mustadrak Hakim I:362 dan Baihaqi IV: 53).
Suami boleh menangani sendiri pemakaman isterinya. Berdasar hadits dari Aisyah r.a. ia berkata, pada suatu hari ketika Rasulullah saw. datang dari mengantarkan jenazah masuk ke rumahku, lalu aku berkata, "Ya Rasulullah aku sakit kepala", lalu Rasulullah bersabda, "Aku benar-benar ingin engkau meninggal dunia ketika aku masih hidup, sehingga aku bisa mengurusi jenazahmu dan menguburmu..." (Shahih: al-Fathur  Rabbani VI: 144, Fathul Bari dengan redaksi yang hampir sama X : 101-102 dan Muslim VII: 110 serta dalam Ahlamul Janaiz oleh Syaikh al-Albani). Namun yang demikian dipersyaratkan apabila sang suami tidak berhubungan badan dengan isterinya pada malam harinya. Manakala telah menjima' isterinya, maka tidak dibolehkan baginya mengubur jenazah isterinya. Bahkan lebih diutamakan orang lain yang menguburnya, walaupun bukan mahramnya dengan persyaratan tersebut. Hal ini berdasar hadits.
Dari Anas r.a ia berkata, kami pernah menyaksikan (pemakaman) puteri Rasulullah saw., sedangkan Rasulullah duduk di atas kuburan, saya lihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian Rasulullah saw. bertanya, "Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berjima' dengan isterinya?" Maka Abu Thalhah berkata : "Saya wahai Rasulullah." sabda Beliau (lagi), "Kalau begitu turunlah" kemudian Abu Thalhah turun ke dalam liang kuburnya. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 149 dan Fathul Bari III : 208 no: 1342).
Menurut  sunnah  Nabi saw. memasukkan mayat dari arah kaki berdasar hadits, dari Abu Ishaq r.a. ia berkata, Al-Harist telah mewasiatkan sebelum meninggal dunia agar dishalati oleh Abdullah bin Zaid. Dan, Abdulullah menshalatkannya, kemudian memasukkan jenazah al-Harist ke liang lahad dari arah kaki kubur. Ia berkata, "Ini termasuk sunnah Nabi saw.."  (Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 150 dan ‘Aunul Ma'bud XI : 29 no: 3195).
Hendaknya membaringkan sang mayat di dalam liang lahat dengan posisi lambung kanan di bawah dan menghadap ke arah kiblat, sementara kepala dan kedua kakinya menghadap ke arah kanan dan kiri kiblat. Inilah yang dipraktikkan ummat Islam sejak masa Rasulullah saw.  hingga masa kita sekarang ini. Hendaknya orang meletakkan jenazah ke dalam liang kuburnya membaca, "BISMILLAHI WA ‘ALAA SUNNATI RASUULILLAAH." atau "BISMILLAHI WA'ALAA MILLATI RASUULILLAH." "Dari Ibnu Umar r.a. Nabi saw. apabila memasukkan mayat ke dalam lubang kubur, beliau mengucapkan, "BISMILLAHI WA'ALAA SUNNATI RASUULILLAAH" (Dengan menyebut nama Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah)." (Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 152, Tirmidzi II: 255 no: 1051, Ibnu Majah I: 494 no: 1550).
Dan berdasar hadits dari al-Bayadhi r.a. dari Rasulullah saw., beliau bersabda, "Mayat, bila diletakkan di liang kuburnya, maka hendaklah orang-orang yang meletakkannya pada waktu menempatkannya ke dalam liang lahat mengucapkan, BISMILLAHI, WA BILLAAHI, WA'ALAA MILLATI RASULULLAH (Dengan menyebut nama Allah dan karena Allah serta mengikuti jejak Rasulullah SAW)." (Sanadnya Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 152 dan Mustadrak Hakim IL 366).
Dianjurkan bagi orang-orang yang hadir ke kuburan agar melemparkan tiga kali genggaman tanah dengan kedua tangannya usai penutupan liang lahatnya. Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah menshalati jenazah, kemudian mendatangi kuburannya, lalu melemparkan tiga kali genggaman tanah dari arah bagian kepalanya." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 751 dan Ibnu Majah I : 499 no: 1565). 

8.   Beberapa Hal Yang Disunnahkan Usai Pemakaman Mayat

a. Hendaknya kuburan ditinggikan sekedar sejengkal dari permukaan tanah, dan tidak diratakan dengan tanah agar diketahui dan bisa dibedakan dari yang lain sehingga tetap terpelihara dan tidak dihinakan. Berdasar hadits dari Jabi r.a. bahwa Nabi saw. telah dibuatkan liang lahad untuk beliau, lalu ditegakkan disamping lahad dengan bata dan ditinggikan kuburnya sejengkal dari permukaan tanah. (Sanadnya Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 153, Shahih Ibnu Hibban no: 2150 dan Baihaqi III: 410). 
b.Hendaknya gundukan tanah lebihan tersebut dibentuk seperti gunung, berdasar hadits, dari Sufyan at-Tammar r.a. ia berkata, "Saya melihat kubur Nabi saw. dibentuk seperti punuk." (Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 154, Fathul Bari III: 255 no:1390). 
c. Hendaknya memberi tanda pada makam dengan batu atau sejenisnya agar diketahui  dan  dijadikan tempat pemakaman bagi keluarganya. Berdasar hadits dari al-Muthalib bin Abi Wada'ah r.a. ia bercerita, tatkala Utsman bin Mazh'un meninggal dunia, maka dibawalah jenazah (ke makam), lalu dikebumikan. Setelah dikubur, Nabi saw. menyuruh seorang sahabat mencari batu, namun ternyata ia tidak mampu membawanya. Maka kemudian Rasulullah saw. sendiri yang datang mengambilnya sambil menyingsingkan lengan bajunya." Al-Muthalib melanjutkan ceritanya : Berkatalah orang yang memberitakan kepadaku dari Rasulullah saw.," Seolah-olah aku melihat putih kedua lengan Rasulullah saw. ketika Beliau menyingsingkan kedua lengan bajunya. "Kemudian Beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di bagian kepalanya lalu bersabda, "Dengan batu ini aku mengenal kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di tempat ini (pula) ada dari kalangan keluarganya yang wafat." (Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 155 dan ‘Aunul Ma'bud IX:22 no: 3190).
d. Hendaklah salah seorang (do'a ini dipimpin sebagaimana yang banyak dilakukan di masyarakat, akan tetapi masing-masing berdo'a) berdiri disamping kuburannya untuk memohonkan ampunan bagi si mayyit dan keteguhan hati, dan menyuruh kepada hadirin agar melakukan hal yang sama. Berdasarkan Hadits Nabi saw., "Dari Utsman bin Affan r.a. berkata,  Adalah Nabi saw. apabila selesai memakamkan jenazah, berdiri di samping kuburnya sambil bersabda, "Mohon ampun (kepada Allah) untuk saudara kalian ini dan keteguhan hati untuknya, karena sekarang ia sedang ditanya (oleh malaikat)."(Shahihul Isnad: Ahkamul Janaiz hal. 156 ‘Aunul Ma'bud IX : 41 no: 3205).[2]



[1] Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 339 -  342.

[2] Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 359 -- 372. 

No comments:

Post a Comment