1. Hukum Mengkafani
Mayat
Hukum mengkafani jenazah adalah wajib. Ini didasarkan pada
perintah Nabi saw. yang tertuang dalam hadist tentang orang yang
meninggal dunia dalam berihram karena terlempar dari atas ontanya hingga patah
lehernya, “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dia dengan
dua potong pakaiannya!”. Kafan yang digunakan untuk mayat hendaklah dibeli dari
hartanya, sekalipun ia tidak mewariskan kecuali hanya harta yang digunakan
untuk membeli kain kafan itu. Dari Khabbab bin Aratti r.a. bercerita,
”Kami berhijrah, (berjihad) mendambakan ridho Allah bersama Nabi saw., maka
wajib bagi Allah memberi pahala kepada kami (sesuai dengan syari’at-Nya).
Diantara kami ada yang gugur sebagai syahid, belum merasakan dari hasil ganjarannya
sedikitpun, di antara mereka adalah Mush’ab bin Umair, dan diantara kami ada
(lagi) yang gugur sebagai syahid sesudah matang buahnya dan ia memanen
hasilnya. Gugur sebagai syahid pada waktu perang Uhud, dan kami tidak mendapati
sesuatu yang cukup untuk mengkafaninya, kecuali sepotong kain, yang apabila
kami tutup kepalanya, maka tampaklah bagian kedua kakinya dan bila kami tutup
bagian kakinya, maka tampaklah bagian kepalanya. Sehingga Nabi saw.
memerintahkan kami agar kepalanya dan bagian kakinya agar ditutup dengan
idzkhir (tumbuh-tumbuhan yang sudah dikenal yang berbau harum). (Muttafaun
‘alaih: Fathul Bari III: 142 no:1276, Muslim II: 649 no:490, ‘Aunul Ma’bud
VIII:78 no:2859, Tirmidzi V: 354 no:3943, Nasa’i VI no:38).
Kain kafan haruslah kain yang bisa menutupi
sekujur tubuh. Jika tidak ada, kecuali hanya selembar kain yang pendek yang
tidak cukup untuk menutupi sekujur badan, maka tutuplah kepalanya dan bagian
kakinya ditutup dengan idzkhir sebagaimana yang termuat dalam hadist Khabbab di
atas.
2. Beberapa Hal Yang
Disunnahkan Dalam Kaitannya Dengan Kafan
a. Memilih kain kafan yang berwarna putih, sesuai dengan sabda Nabi saw., "Pakailah dari pakaian kalian yang berwarna putih, karena sesungguhnya warna putih itu merupakan yang terbaik dari pakaian kalian, dan kafanilah dengannya mayat-mayat kamu."
(Shahih:Shahihul Jami’us Shaghir no:3236, Ahkamul Janaiz hal:62, Tirmidzi II:232 no:999, dan ‘Aunul Ma’bud X:362 no:3860).
b. Hendaklah kain kafan yang digunakan sebanyak tiga kali lipatan.
Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah telah dikafani dengan tiga kain kafan berwarna putih produk desa Sahul (di Yaman) terbuat dari kain katun, tidak ada padanya gamis dan tidak (pula) sorban. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III:315 no:1264, Muslim II :649 no:941, ‘Aunul Ma’bud VIII:425 no:3135, dan Tirmidzi II: 233 no: 1001, Nasa’i IV:36 dan Ibnu Majah I:472 no:1469).
c. Hendaklah salah satu kainnya menggunakan
kain yang bergaris, bila memungkinkan.
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu wafat sedang ia mampu, maka kafanilah ia dengan kain hibarah (yang bergaris-garis)!” (Shahih:Shahihul Jami’us Shaghir no:455, Ahkamul Janaiz hal:63, dan ‘Aunul Ma’bud VIII : 425 no:3134).[1]
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu wafat sedang ia mampu, maka kafanilah ia dengan kain hibarah (yang bergaris-garis)!” (Shahih:Shahihul Jami’us Shaghir no:455, Ahkamul Janaiz hal:63, dan ‘Aunul Ma’bud VIII : 425 no:3134).[1]
3. Hukum Shalat Jenazah
Hukum shalat atas mayat muslim adalah fardhu kifayah berdasar
perintah Nabi saw. tentangnya yang termaktub dalam banyak hadist. Di antaranya,
dari Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata bahwa seorang sahabat Nabi saw.
gugur di medan perang Khaibar, lalu para sahabat menginformasikan hal tersebut
kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah
saw. bersabda, “Shalatilah sahabat kalian itu!" Maka
berubahlah raut wajah mereka untuk itu. Kemudian Rasulullah bersabda
(lagi), “Karena sesungguhnya sahabat kalian itu telah melakukan
pencurian harta rampasan sebelum dibagikan dalam jihad fi sabilillah!" Lalu kami memeriksa perbekalannya, maka kami dapati
kain sulaman milik orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham. (Shahih:
Ahkamul Janaiz hal:79, ‘Aunul Ma’bud VII : 378
no:2693, Ibnu Majah II : 950 no:2848 dan Nasa’i IV:64).
a.
Dua Orang Pengecualian Yang Tidak Wajib
Dishalati
- Anak kecil yang belum baligh
Aisyah r.a. berkata, “Telah meninggal dunia Ibrahim, putera Nabi saw. dalam usianya yang kedelapan belas bulan, dan Rasulullah saw. tidak menshalatinya.” (Hasanaul Isnad: Ahkamul Janaiz hal:80, Shahih Abu Daud no:2729 dan Abu Daud VIII: 476 no: 3171).
Aisyah r.a. berkata, “Telah meninggal dunia Ibrahim, putera Nabi saw. dalam usianya yang kedelapan belas bulan, dan Rasulullah saw. tidak menshalatinya.” (Hasanaul Isnad: Ahkamul Janaiz hal:80, Shahih Abu Daud no:2729 dan Abu Daud VIII: 476 no: 3171).
- Orang yang Gugur sebagai Syahid
Dari Anas r.a. (ia berkata), “Bahwa para syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dikebumikan bersama darahnya, dan tidak (pula) mereka dishalati.” (Hasan :Shahihul Abu Daud no: 2688, ‘Aunul Ma’bud VIII : 408 no:3119 secara ringkas dan Tirmidzi II : 241 no: 1021 secara panjang lebar). Namun ketidakwajiban menshalati kedua golongan diatas tidak berarti disyari’atkan shalat atas keduanya. Dari Aisyah r.a. berkata, “Telah didatangkan ke hadapan Rasulullah saw. seorang anak kecil dari kaum Anshar (yang meninggal), kemudian beliau menshalatinya,” (Shahih:Nasa’i no:1839, Muslim IV: 2050 no:2262, dan Nasa’i IV : 57). Dari Abdullah bin az-Zubair r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah menyuruh (para sahabat mengurusi) mayat Hamzah pada perang Uhud, lalu dikafani dengan kain kafan bergaris dari Yaman, kemudian beliau menshalatinya dengan takbir sembilan kali. Kemudian didatangkan (lagi) banyak mayat (kepada beliau), lalu diletakkan dalam satu shaf, lalu beliau menshalati mereka dan juga dia (Hamzah) bersama mereka (Sanadnya Hasan: al-Janaiz hal.49, dan semua rawi-rawinya terpercaya. Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Ma’nil Atsar I:290).
Dari Anas r.a. (ia berkata), “Bahwa para syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dikebumikan bersama darahnya, dan tidak (pula) mereka dishalati.” (Hasan :Shahihul Abu Daud no: 2688, ‘Aunul Ma’bud VIII : 408 no:3119 secara ringkas dan Tirmidzi II : 241 no: 1021 secara panjang lebar). Namun ketidakwajiban menshalati kedua golongan diatas tidak berarti disyari’atkan shalat atas keduanya. Dari Aisyah r.a. berkata, “Telah didatangkan ke hadapan Rasulullah saw. seorang anak kecil dari kaum Anshar (yang meninggal), kemudian beliau menshalatinya,” (Shahih:Nasa’i no:1839, Muslim IV: 2050 no:2262, dan Nasa’i IV : 57). Dari Abdullah bin az-Zubair r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah menyuruh (para sahabat mengurusi) mayat Hamzah pada perang Uhud, lalu dikafani dengan kain kafan bergaris dari Yaman, kemudian beliau menshalatinya dengan takbir sembilan kali. Kemudian didatangkan (lagi) banyak mayat (kepada beliau), lalu diletakkan dalam satu shaf, lalu beliau menshalati mereka dan juga dia (Hamzah) bersama mereka (Sanadnya Hasan: al-Janaiz hal.49, dan semua rawi-rawinya terpercaya. Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Ma’nil Atsar I:290).
b. Makin Banyak Orang Yang Menshalati Jenazah
Semakin Afdhal Bagi Sang Mayat Dan Lebih Bermanfaat.
Hal ini berdasar sabda Nabi saw., “Tidaklah seseorang
meninggal dunia kemudian dishalati oleh seratus orang muslim semuanya
memberikan syafa’at kepadanya.” (Shahih:Shahihul Nasa’i no:1881,
Muslim II:654 no: 947, Tirmidzi II: 247 no:1034, dan Nasa’i IV: 75).
Dan sabda Rasulullah
saw. yang lain, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian
dishalati oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu
apapun, melainkan pasti Allah memperbolehkan mereka memberi syafa’at
kepadanya." (Shahih:ash-Shahihah no:2267, Muslim II: 655 no: 948,
‘Aunul Ma’bud VIII : 451 no:3154 dan Ibnu Majah I: 477 dengan redaksi yang
mirip).
c. Dianjurkan Membentuk Tiga Shaf Di Belakang
Imam, Sekalipun Mereka Berjumlah Sedikit
Dari Martsad al-Yazani dari Malik bin Hubairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap orang yang wafat, lalu
dishalati oleh tiga shaf dari kalangan orang muslim, pasti (diampuni
dosa-dosanya).” Marstad berkata, adalah Malik apabila orang-orang yang
akan shalat jenazah sedikit jumlahnya, dia membagi mereka menjadi shaf,
berdasar hadist ini. (Hasan : Ahkamul Janaiz hal:99-100, ‘Aunul Ma’bud VIII :
448 no:3150, Tirmidzi II:246 no:1033 dan Ibnu Majah I: 478 no:1490).
Bila ternyata jenazahnya banyak dan bercampur antara jenazah
laki-laki dan perempuan, lalu dishalati satu per satu, maka ini adalah hukum
asalnya. Namun jika dishalati sekaligus hukumnya boleh, dengan menempatkan posisi
jenazah laki-laki lebih dekat ke arah imam, sedangkan yang perempuan lebih
dekat ke arah kiblat. Berdasar riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar r.a. bahwa ia pernah menshalati sembilan
jenazah sekaligus, dengan menempatkan posisi jenazah laki-laki dekat ke arah
imam dan jenazah perempuan lebih dekat ke arah kiblat, lalu menjajarkannya
bershaf-shaf dan meletakkan jenazah Ummu Kulsum binti Ali, isteri Umar bin
Khatab bersama puteranya yang bernama Zaid. Sementara yang menjadi imam pada
waktu itu adalah Sa’id bin ‘Ash, sedang diantara jama’ah terdapat Ibnu Abbas,
Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu diletakkan jenazah anak-anak
lebih dekat ke imam. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata, “Maka aku
mengingkari cara shalat ini.” Kemudian kuperhatikan Ibnu Abbas, Abu Hurairah,
Abu Sa’id dan Abu Qatadah, lalu aku tanya (mereka), “Apa – apaan ini?"
Maka jawab mereka, ”Inilah sunnah.” (Shahih:Shahih Nasa’i no:1869, Ahkamul
Janaiz hal:103, dan Nasa’i IV :71).
d. Tempat Melaksanakan
Shalat Jenazah
Shalat jenazah boleh dilaksanakan di dalam masjid berdasar riwayat berikut ini:
Shalat jenazah boleh dilaksanakan di dalam masjid berdasar riwayat berikut ini:
Dari Aisyah r.a.
bertutur, tatkala Sa’ad bin Abi Waqash meninggal dunia, para isteri Nabi saw.
menyuruh agar jenazahnya diletakkan di masjid sehingga mereka dapat
menshalatinya. Para pengusung jenazah pun kemudian meletakkannya di serambi dan
mereka (para isteri Nabi saw. ) menshalatinya. Kemudian sampailah informasi
kepada mereka (para isteri Nabi saw.) bahwa banyak orang
laki-laki mengecam kejadian tersebut, dan mereka berkomentar, “Sebelumnya tidak
pernah jenazah dimasukkan ke dalam masjid.” Sikap mereka itu segera sampaikan
kepada Aisyah, lalu ia berkata, “Betapa tergesa-gesanya mereka mencela suatu
perbuatan yang belum mereka ketahui dasarnya. Mereka mencela kami karena kami
memasukkan jenazah ke dalam masjid, padahal Rasulullah saw. tidak menshalati
Suhail bin Baidhaa’, kecuali di tengah-tengah masjid,” (Shahih:Shahihul Nasa’i
no:1859, Muslim II : 668 no: 100 dan 973 dan lafadz baginya ‘Aunul Ma’bud VIII
: 477 no:3173 secara ringkas, dan Nasa’i IV:68).
Namun yang lebih afdhal shalat jenazah dilaksanakan di luar
masjid, di tempat yang memang dipersiapkan untuk mengerjakan shalat jenazah
sebagaimana sudah dimaklumi bahwa pada masa Nabi saw., pada umumnya shalat
jenazah dilakukan di luar masjid.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa ada sekelompok orang Yahudi datang
kepada Nabi saw. dengan membawa dua orang dari kalangan mereka yang berzina,
yang satu laki-laki dan satu (lagi) perempuan. Kemudian beliau memerintah agar
keduanya dirajam (dilempari dengan batu) di dekat masjid. (Shahih: Ahkamul
Janaiz hal:106, dan Fathul Bari III : 199 no:3129). Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah saw. memberitahu (kepada para sahabat) berita kematian (raja)
Najasyi pada hari wafatnya, lalu beliau keluar ke tempat shalat (yang biasa
dipakai shalat jenazah), kemudian beliau mengatur shaf mereka, lantas bertakbir
empat kali.” (Muttafaqun ‘alaih:Fathul Bari III: 116 no:1245, Muslim II:656
no:951, ‘Aunul Ma’bud IX: 5 no:3188, dan Nasa’i IV: 72).
Tidak boleh shalat jenazah di tengah-tengah kuburan, berdasar
hadits Anas bin Malik r.a., bahwa Nabi saw.
pernah melarang (umatnya) shalat jenazah di antara kuburan (Sanad Hasan :
Ahkamul Janaiz hal:108. Syaikh Al Abam berkata, Diriwayatkan juga oleh Abu
Dawad ath’Thayalisi II: 80 no:1).
e. Tempat Berdirinya Imam
Dari Abu Ghalib al-Khayyath berkata, Aku menyaksikan Anas bin
Malik r.a. menshalati mayat laki-laki, dia berdiri persis pada posisi
kepalanya. Tatkala jenazah laki-laki diangkat, didatangkan kepadanya jenazah
perempuan dari kaum Quraisy atau kaum Anshar, lalu dikatakan kepadanya.”Wahai
Abu Hamzah, ini jenazah seorang wanita puteri si Fulan maka shalatilah ia.”
Kemudian dia menshalatinya dengan berdiri tepat di bagian tengahnya. Di antara
kami al-‘Ala bin Ziyad al-Adawi, tatkala ia melihat ada perbedaan posisi
berdiri Abu Hamzah ketika menshalati laki-laki dengan menshalati perempuan,
maka ia bertanya, “Wahai Abu Hamzah, Apakah memang demikian cara Rasulullah
saw. berdiri menshalati jenazah sebagaimana engkau menshalati laki-laki dan
menshalati perempuan?” Jawabnya, “Ya (betul).” Maka al-‘Ala menoleh kepada kami
dan berkata, “Hendaklah kalian memelihara (sunnah Nabi saw.) ini.”
(Shahih:Shahih Ibnu Majah no:1214, ‘Aunul Ma’bud VIII : 484 no:3178, Tirmidzi
II:248 no:1039 dan Ibnu Majah I: 479: 1494).
f. Cara Shalat Jenazah
Boleh melakukan takbir jenazah empat, lima, sampai sembilan kali
takbir. Sebaliknya dilakukan secara variatif (terkadang empat, terkadang, lima
dan seterusnya). Adapun yang empat kali takbir, berdasar hadist Abu Hurairah: Bahwa
Rasulullah saw. memberitahu (kepada para sahabat) tentang kematian Najasyi pada
hari wafatnya, kemudian beliau keluar menuju tempat yang biasa dipakai
mengerjakan shalat jenazah, lalu mengatur shaf mereka, lantasi takbir empat
kali. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:106, dan Fathul Bari III :199 no:1329).
Adapun yang lima kali takbir mengacu kepada hadits: Dari
Abdurrahman bin Abi Laila, ia bertutur, adalah Zaid bin Arqam bertakbir untuk
shalat jenazah kami empat kali, dan dia pernah bertakbir untuk satu jenazah
yang lain, lima kali. Kemudian aku bertanya kepadanya tentang hal tersebut,
maka dia menjawab, “Adalah Rasulullah saw. bertakbir sebanyak itu.”
(Shahih:Shahih Ibnu Majah no:1212 no:1028, Ibnu Majah I:482 no:1505, dan Nasa’i
IV:72).
Adapun yang enam dan tujuh kali takbir, maka diriwayatkan oleh
sebagian atsar yang mauquf (dari perbuatan sebagian sahabat), namun status
hukumnya disamakan dengan yang marfu’ (dengan yang dilakukan oleh Rasulullah);
karena sebagian sahabat senior mempraktikkannya di hadapun sahabat yang lainnya
dan tak satupun di antara mereka yang menegurnya: Dari Abdullah bin Ma’qal r.a. bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menshalati
jenazah Sahal bin Hunaif dengan enam kali takbir, kemudian menoleh kepada kami
sambil berkata, “Dia adalah sahabat yang ikut dalam perang Badar.” (Sanadnya
Hasan: Ahkamul Janaiz hal:113 Mustadrak Hakim III:409, dan Baihaqi IV:36).
Dari Musa bin Abdullah bin Yazid bahwa Ali pernah menshalati
jenazah Abu Qatadah dengan tujuh kali takbir, dan adalah dia termasuk sahabat
yang ikut perang Badar. (Shahih: Ahkamul Janaiz hal:114, dan Baihaqi IV:36). Dari
Abdi Khair, berkata, adalah Ali r.a. bertakbir enam kali untuk ahli Badar, lima
kali untuk para sahabat Nabi saw., dan empat kali untuk masyarakat umum.”
(Shahih: Ahkamul Janaiz hal:113, Ad-Daraquthni II: 73 no:7 dan Baihaqi IV:37).
Adapun yang sembilan kali takbir, diriwayatkan dari Adullah bin
az-Zubair r.a. bahwa Nabi saw. pernah menshalati jenazah Hamzah dengan sembilan
kali takbir.” (Sanadnya hasan: Ahkamul Janaiz hal:49, dan rawi-rawinya
kepercayaan, sebagaimana yang diriwayatkan ath-Thahawi dalam Ma’anil Atsar
I:290).
g. Tidak Boleh
Mengerjakan Shalat Jenazah Pada Waktu-Waktu Terlarang, Kecuali Kondisi Darurat
Dari ‘Uqbah bin Amir r.a, berkata, “Ada tiga waktu yang
Rasulullah saw. melarang kita mengerjakan shalat, atau mengubur mayat-mayat
kita, yaitu ketika matahari terbit hingga naik, (kedua) ketika matahari berdiri
tegak hingga bergeser ke arah barat, dan (ketiga) ketika matahari menjelang terbenam
hingga tenggelam.” (Shahih : Shahih Ibnu Majah no: 1233, Muslim I:568 no: 831,
‘Aunul Ma’bud VIII: 481 no: 3176, Tirmidzi II: 247 no:1035, Nasa’i I:275 dan
Ibnu Majah I:481 no:1519).
4. Keutamaan
Shalat Jenazah Dan Mengantarkannya.
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Barang siapa
shalat jenazah, namun tidak mengiringinya (kekuburan), maka mendapat (pahala)
satu qirath, jika ia mengantarkannya maka mendapat dua qirath.” Kemudian
beliau ditanya “Seperti apa dua qirath itu?” Jawab beliau, “Yang
terkecil diantara keduanya itu seperti gunung Uhud.” (Shahih :
Shahihul Jami’us Shaghir no6355 dan Muslim II : 653 no:53 dan 945).
Keutamaan dalam mengantarkan jenazah ini hanya
diperuntukkan bagi kaum laki-laki, tidak meliputi kaum perempuan. Karena Nabi
saw. pernah melarang kaum hawa mengiringi jenazah dengan larangan littanzih
(untuk dijauhi dan dihindari), bukan littahrim (harim). Sebab Ummu ‘Athiyah
berkata: “Kami dilarang mengiringi jenazah, namun tidak begitu ditekankan
kepada kami.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 144 no:1278, ‘Aunul Ma’bud
VIII:449 no: 3151, Ibnu Majah I: 502 no:1577, Muslim II : 464 no:938).
Tidak boleh mengiring jenazah seraya melakukan hal-hal yang
berseberangan dengan syari’at: diantaranya yang ditegaskan oleh nash ada dua
hal, yaitu mengiringinya dengan tangisan keras dan membawa bakaran
wangi-wangian, sebagaimana yang disinyalir dalam sabda Nabi saw. ,“Jangan
kamu mengiringi jenazah dengan rintihan suara dan api.” (Sanadnya
hasan: Ahkamul Janaiz no:70 dan ‘Aunul Ma’bud VIII : 453 no:3155)
Termasuk yang dilarang adalah berdzikir dengan
suara keras ketika mengiring jenazah, karena hal ini termasuk bid’ah dan karena
ada riwayat dari Qais bin Abbad, berkata, “Adalah para sahabat Nabi SAW benci
mengeraskan suara ketika mengiring jenazah.” (Para perawinya tsiqah: Ahlamul
Janaiz hal.71 dan diriwayatkan oleh Baihaqi IV:74). Disamping itu, perbuatan
tersebut menyerupai kebiasaan kaum Nashrani, yang mana kebiasaan mereka ketika
mengiringi jenazah membaca Injil mereka sambil menyanyikan suara-suara sendu
yang melambangkan belasungkawa. Lebih buruk lagi adalah jika mengikuti
kebiasaan mereka, saat mengiringi jenazah dengan irama musik yang melantun
penuh haru, seperti yang dilakukan di sebagian negara-negara yang mayoritas berpenduduk
muslim karena mengikuti atau mengekor orang-orang kafir. Hanya kepada Allah
jualah kami mohon pertolongan dan perlindungan.
5. Hukum Mengubur
Jenazah
Hukum mengubur mayat adalah wajib, sekalipun mayat seorang
kafir, berdasarkan sabda Nabi saw. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. ketika Abu
Thalib meninggal dunia, "(Wahai Ali), pergilah lalu kuburlah
ia!". (Shahih: Shahih Nasa'i no:1895, dan Nasa'i IV:79). Adalah sunnah
Nabi saw. mengubur mayat di pemakaman, sebab Nabi tidak pernah mengubur jenazah
kecuali di pekuburan Baqi', seperti yang telah diriwayatkan secara mutawatir.
Tidak pernah diriwayatkan dari seorang salafpun, bahwa Rasulullah pernah
mengubur jenazah di selain pemakaman umum, kecuali Nabi saw. sendiri yang
dikebumikan di dalam kamarnya, dan ini termasuk pengecualian baginya, seperti
yang ditegaskan oleh hadits Aisyah r.a. ia berkata, "Tatkala Rasulullah
SAW wafat, para sahabat berbeda pendapat perihal penguburannya, lalu berkatalah
Abu Bakar r.a. "Aku pernah mendengar dan Rasululah saw. wejangan yang
tidak pernah kulupakan, yaitu beliau bersabda, "Setiap Nabi yang
diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai dikubur
padanya."Maka kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat
pembaringannya. (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no:5649, dan Tirmidzi II :
242 no:1023). Dan, dikecualikan dari hal tersebut adalah para syuhada yang
gugur di medan perang, mereka dikebumikan di lokasi gugurnya, tidak usah
dipindahkan dipemakaman umum. Hal ini didasarkan pada hadits dari Jabir r.a.
berkata, tatkala terjadi perang Uhud, dibawalah para prajurit yang gugur agar
dikebumikan di Baqi', maka berserulah seorang penyeru dari Rasulullah saw.,
"Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah memerintah kalian agar mengubur para
syuhada' di tempat gugurnya." (Shahih: Shahih Nasa'i no:1893, ‘Aunul
Ma'bud VIII: 446 no:3149, Nasa'i IV:79 dan Tirmidzi III: 130 no:1771).
6. Dilarang Mengubur Jenazah Dalam
Beberapa Keadaan Darurat Berikut Ini, Kecuali Dalam Kondisi Darurat
a. Pada tiga waktu
terlarang, dari Uqbah bin Amir r.a., ia berkata "Ada tiga
waktu Rasulullah saw. melarang kami mengerjakan shalat, atau mengubur jenazah
yaitu ketika matahari terbit hingga tinggi, di waktu matahari tegak berdiri
hingga bergeser ke arah barat, dan ketika matahari menjelang terbenam hingga
tenggelam." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1233, Muslim I:568 no:831,
‘Aunul Ma'bud VII: 481 no:3176, Tirmidzi II:247 no:1035, Nasa'i I:275 dan Ibnu
Majah I: 486 no:1519).
b. Di kegelapan Malam.
Dari Jabir r.a. ia berkata, "Bahwa Nabi saw. pernah menyebutkan seorang
sahabatnya yang meninggal dunia, lalu dikafani dengan kain kafan yang tidak
cukup dan dikebumikan di malam hari, maka Nabi SAW mengecam upaya penguburan
jenazah di malam hari hingga ia dishalati, kecuali orang yang karena terpaksa
melakukannya. (Shahih: Shahih Nasa'i no:1787, Muslim II:651 no:943, ‘Aunul
Ma'bud VIII : 423 no:3132, Nasa'i IV:33 tanpa lafadz, "GHAIRI THAA-IL
(tidak cukup menutupi seluruh badan). Manakala diharuskan melakukan
pemakaman di malam hari karena terpaksa, maka hal itu boleh. Sekalipun harus
menggunakan lampu ketika menurunkan mayat ke dalam kubur untuk mempermudah
pelaksanaan penguburan, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. berkata,
"Bahwa Rasulullah saw. pernah mengubur mayat seorang laki-laki pada
malam hari dengan menggunakan lentera ketika menurunkannya ke dalam
kubur." (Hasan : Ahlamul Janaiz hal.141 dan Tirmidzi II: 260 no:1063).
7. Wajib Mendalamkan, Melapangkannya
Dan Membaguskan Liang Lahat
Dari Hisyam bin Amri
r.a. bertutur, sesuai perang Uhud, banyaklah yang gugur dari kaum muslimin dan
banyak pula prajurit yang luka-luka. Kemudian kami bertanya, "Ya
Rasulullah, untuk menggali lubang bagi setiap korban tentu berat bagi kami,
lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Maka, Rasulullah
bersabda "Galilah lubang, lebarkanlah, perdalamkanlah,
baguskanlah, dan kebumikanlah dua atau tiga mayat dalam satu kubur, dan
dahulukanlah di antara mereka, orang yang paling menguasai al-Qur'an! Maka
adalah ayahku satu diantara tiga dari mereka yang paling banyak menguasai
al-Qur'an. Maka ia pun didahulukan." (Shahih: Ahlamul Janaiz
hal.146, Nasa'i IV:80, ‘Aunul Ma'bud IX: 34 no:3199, Tirmidzi III:128 no :
1766).
Diperbolehkan dalam
membuat lubang kubur berbentuk lahat atau syaqqu (belahan) (Dalam posisi
mendatar untuk penahan tanah timbunan agar tidak langsung mengenai tubuh
jenazah, Periksa Kitab Jenazah hal.132 oleh K.H. Nadjih Ahjad, terbitan Bulan
Bintang Jakarta (Pent.), sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada era Nabi
saw. namun yang pertama yang lebih afdhal.
Dari Anas bin Malik
saw. berkata, "Tatkala Nabi saw. wafat, di Madinah ada seorang laki-laki
yang dikenal pandai membuat lubang kubur berbentuk lahad dan ada seorang lagi
yang dikenal ahli membuat lubang kubur berbentuk(makam). Para sahabat
berunding, lalu mengatakan, "Sebaiknya kita shalat istikharah, lalu kita
datangkan keduanya, maka mana yang lebih cepat datang, kita tinggalkan yang
lain." Kemudian para sahabat sepakat memanggil keduanya, ternyata penggali
lubang kubur yang berbentuk lahatlah yang datang lebih dahulu. Maka kemudian
mereka menggali lubang kubur berbentuk lahad untuk Nabi saw.." (Sanadnya
hasan: Ibnu Majah I: 496 no: 1557).
Hendaklah yang
mengurusi dan yang menurunkan mayat ke liang lahad adalah kaum laki-laki, bukan
kaum wanita, sekalipun jenazah yang dikebumikan adalah perempuan. Sebab itulah
yang berlaku sejak masa Nabi saw. dan yang dipraktikkan kaum muslimin hingga
hari ini.
Sanak kerabat sang mayat lebih berhak menguburnya,
berdasar firman Allah: "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah
satu sama lain lebih berhak di dalam kitab Allah."(QS. Al-Ahzab:6).
Dari Ali r.a. ia berkata: Aku telah memandikan
Rasulullah saw. lalu aku perhatikan dengan seksama apa yang sering ada pada
mayat, maka aku tidak dapatkan sesuatu sekecil apapun pada tubuhnya. Rasulullah
saw. sangat baik jasadnya di kala hidup hingga meninggal dunia.:" Dan, di
samping para sahabat pada umumnya yang ikut serta memasukkan ke dalam kubur dan
menguburnya, ada empat orang, Ali, al-Abbas, al-Fadhal, dan Shalih, bekas budak
Rasulullah saw.. Dan telah digalikan liang lahat untuk Rasulullah dan
ditegakkan bata di atasnya. (Sanad Shahih: Mustadrak Hakim I:362 dan Baihaqi
IV: 53).
Suami boleh menangani sendiri pemakaman
isterinya. Berdasar hadits dari Aisyah r.a. ia berkata, pada suatu hari ketika
Rasulullah saw. datang dari mengantarkan jenazah masuk ke rumahku, lalu aku
berkata, "Ya Rasulullah aku sakit kepala", lalu Rasulullah bersabda,
"Aku benar-benar ingin engkau meninggal dunia ketika aku masih hidup,
sehingga aku bisa mengurusi jenazahmu dan menguburmu..." (Shahih:
al-Fathur Rabbani VI: 144, Fathul Bari dengan redaksi yang hampir sama X
: 101-102 dan Muslim VII: 110 serta dalam Ahlamul Janaiz oleh Syaikh
al-Albani). Namun yang demikian dipersyaratkan apabila sang suami tidak
berhubungan badan dengan isterinya pada malam harinya. Manakala telah menjima'
isterinya, maka tidak dibolehkan baginya mengubur jenazah isterinya. Bahkan
lebih diutamakan orang lain yang menguburnya, walaupun bukan mahramnya dengan
persyaratan tersebut. Hal ini berdasar hadits.
Dari Anas r.a ia berkata, kami pernah
menyaksikan (pemakaman) puteri Rasulullah saw., sedangkan Rasulullah duduk di
atas kuburan, saya lihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian Rasulullah
saw. bertanya, "Adakah di antara kalian yang tadi malam tidak berjima'
dengan isterinya?" Maka Abu Thalhah berkata : "Saya wahai
Rasulullah." sabda Beliau (lagi), "Kalau begitu turunlah"
kemudian Abu Thalhah turun ke dalam liang kuburnya. (Shahih: Ahkamul Janaiz
hal. 149 dan Fathul Bari III : 208 no: 1342).
Menurut sunnah Nabi saw.
memasukkan mayat dari arah kaki berdasar hadits, dari Abu Ishaq r.a. ia
berkata, Al-Harist telah mewasiatkan sebelum meninggal dunia agar dishalati
oleh Abdullah bin Zaid. Dan, Abdulullah menshalatkannya, kemudian memasukkan
jenazah al-Harist ke liang lahad dari arah kaki kubur. Ia berkata, "Ini
termasuk sunnah Nabi saw.." (Sanadnya Shahih: Ahkamul Janaiz hal.
150 dan ‘Aunul Ma'bud XI : 29 no: 3195).
Hendaknya membaringkan sang mayat di dalam
liang lahat dengan posisi lambung kanan di bawah dan menghadap ke arah kiblat,
sementara kepala dan kedua kakinya menghadap ke arah kanan dan kiri kiblat.
Inilah yang dipraktikkan ummat Islam sejak masa Rasulullah saw. hingga
masa kita sekarang ini. Hendaknya orang meletakkan jenazah ke dalam liang
kuburnya membaca, "BISMILLAHI WA ‘ALAA SUNNATI RASUULILLAAH." atau
"BISMILLAHI WA'ALAA MILLATI RASUULILLAH." "Dari Ibnu Umar r.a.
Nabi saw. apabila memasukkan mayat ke dalam lubang kubur, beliau mengucapkan,
"BISMILLAHI WA'ALAA SUNNATI RASUULILLAAH" (Dengan menyebut nama Allah
dan mengikuti sunnah Rasulullah)." (Shahih: Ahkamul Janaiz hal. 152,
Tirmidzi II: 255 no: 1051, Ibnu Majah I: 494 no: 1550).
Dan berdasar hadits dari al-Bayadhi r.a. dari
Rasulullah saw., beliau bersabda, "Mayat, bila diletakkan di liang
kuburnya, maka hendaklah orang-orang yang meletakkannya pada waktu
menempatkannya ke dalam liang lahat mengucapkan, BISMILLAHI, WA BILLAAHI,
WA'ALAA MILLATI RASULULLAH (Dengan menyebut nama Allah dan karena Allah serta
mengikuti jejak Rasulullah SAW)." (Sanadnya Hasan : Ahkamul Janaiz
hal. 152 dan Mustadrak Hakim IL 366).
Dianjurkan bagi orang-orang yang hadir ke
kuburan agar melemparkan tiga kali genggaman tanah dengan kedua tangannya usai
penutupan liang lahatnya. Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw. telah menshalati jenazah, kemudian mendatangi kuburannya, lalu
melemparkan tiga kali genggaman tanah dari arah bagian kepalanya."
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 751 dan Ibnu Majah I : 499 no: 1565).
8. Beberapa
Hal Yang Disunnahkan Usai Pemakaman Mayat
a. Hendaknya kuburan ditinggikan sekedar sejengkal dari
permukaan tanah, dan tidak diratakan dengan tanah agar diketahui dan bisa
dibedakan dari yang lain sehingga tetap terpelihara dan tidak dihinakan.
Berdasar hadits dari Jabi r.a. bahwa Nabi saw. telah dibuatkan liang lahad
untuk beliau, lalu ditegakkan disamping lahad dengan bata dan ditinggikan
kuburnya sejengkal dari permukaan tanah. (Sanadnya Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 153,
Shahih Ibnu Hibban no: 2150 dan Baihaqi III: 410).
b.Hendaknya gundukan tanah lebihan tersebut dibentuk seperti
gunung, berdasar hadits, dari Sufyan at-Tammar r.a. ia berkata, "Saya
melihat kubur Nabi saw. dibentuk seperti punuk." (Shahih: Ahkamul Janaiz
hal. 154, Fathul Bari III: 255 no:1390).
c. Hendaknya memberi tanda pada makam dengan batu atau
sejenisnya agar diketahui dan dijadikan tempat pemakaman bagi
keluarganya. Berdasar hadits dari al-Muthalib bin Abi Wada'ah r.a. ia
bercerita, tatkala Utsman bin Mazh'un meninggal dunia, maka dibawalah jenazah
(ke makam), lalu dikebumikan. Setelah dikubur, Nabi saw. menyuruh seorang
sahabat mencari batu, namun ternyata ia tidak mampu membawanya. Maka kemudian
Rasulullah saw. sendiri yang datang mengambilnya sambil menyingsingkan lengan
bajunya." Al-Muthalib melanjutkan ceritanya : Berkatalah orang yang
memberitakan kepadaku dari Rasulullah saw.," Seolah-olah aku melihat putih
kedua lengan Rasulullah saw. ketika Beliau menyingsingkan kedua lengan bajunya.
"Kemudian Beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di bagian kepalanya
lalu bersabda, "Dengan batu ini aku mengenal kuburan saudaraku dan aku
akan mengubur di tempat ini (pula) ada dari kalangan keluarganya yang
wafat." (Hasan : Ahkamul Janaiz hal. 155 dan ‘Aunul Ma'bud IX:22 no:
3190).
d. Hendaklah salah seorang (do'a ini dipimpin
sebagaimana yang banyak dilakukan di masyarakat, akan tetapi masing-masing
berdo'a) berdiri disamping kuburannya untuk memohonkan ampunan bagi si mayyit
dan keteguhan hati, dan menyuruh kepada hadirin agar melakukan hal yang sama.
Berdasarkan Hadits Nabi saw., "Dari Utsman bin Affan r.a. berkata,
Adalah Nabi saw. apabila selesai memakamkan jenazah, berdiri di samping
kuburnya sambil bersabda, "Mohon ampun (kepada Allah) untuk saudara
kalian ini dan keteguhan hati untuknya, karena sekarang ia sedang ditanya (oleh
malaikat)."(Shahihul Isnad: Ahkamul Janaiz hal. 156 ‘Aunul Ma'bud IX :
41 no: 3205).[2]
[1] Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 339 - 342.
[2] Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.
Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 359 -- 372.
No comments:
Post a Comment