Wednesday, October 22, 2014

PUASA









BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa puasa adalah salah satu ibadah terbesar dan sebaik-baiknya amalan ketaatan. dan puasa ramadhan adalah puasa tertinggi dan wajib hukumnya bagi semua muslim. Allah menyatakan bahwa amalan puasa adalah untuk-Nya dan Dia langsung yang memberi balasan yang berlipat-lipat, dikhususkan dengan pintu surga dan dipanggillah orang-orang yang berpuasa darinya untuk masuk, tidak akan memasuki surga lewat pintu tersebut kecuali orang-orang yang berpuasa.
Keistimewaan puasa lainnya bahwa puasa juga diwajibkan atas ummat sebelum kita. Allah berfirman :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Al-Baqaroh : 183)
Jika puasa bukan sebuah amalan yang agung, maka tidak mungkin puasa juga diwajibkan atas ummat-ummat sebelum kita. walaupun puasa mereka berbeda dengan puasa kita, artinya bukan pada bulan ramadhan yang diwajibkan atas mereka, akan tetapi amalan puasa itu tersendiri telah diwajibkan atas mereka yang menandakan bahwa amalan ini sangatlah agung.



1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembahasan makalah ini dipusatkan dengan rumusan masalah :
1.      Bagaimana sejarah disyariatkan puasa?
2.      Apa saja syarat sah puasa?
3.      Bagaimana perbuatan dan kondisi yang membatalkan puasa?
4.      Bagaimana penentuan awal Ramadhan?
5.      Apa saja hikmah disyariatkan puasa?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui sejarah disyariatkan puasa.
2.      Untuk mengetahui syarat sah puasa.
3.      Untuk mengetahui perbuatan dan kondisi yang membatalkan puasa.
4.      Untuk mengetahui penentuan awal Ramadhan.
5.      Untuk mengetahui hikmah puasa.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian puasa
Pengertian puasa secara bahasa
Ibnu Faris dalam kitabnya, maqayisul lughah menyebutkan: ”shaum merupakan rangkuman dari huruf shawm yang merupakan rangkaian dari huruf shad, wau dan mim yang menunjukkan makna diam ditempat dan menahan.” Oleh karena itu puasa yang dilakukan seseorang adalah menahan dari makan. Boleh jadi shaum bermakna menahan dari berbicara. Sebagaimana firman Allah dalam surat Maryam: 26;
ÎoTÎ) ßNöxtR Ç`»uH÷q§=Ï9 $YBöq|¹ ô`n=sù zNÏk=Ÿ2é& uQöquø9$# $|Å¡SÎ) ÇËÏÈ  
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Puasa dalam istilah syari’at
            Puasa adalah mencegah diri dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya semenjak fajar shodiq sampai terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.
Kita dapat mengambil kesimpulan dari kedua pengertian di atas, bahwa secara syariat puasa dinyatakan sah dengan jalan menahan tidak makan, minum, berkumpul dengan suami istri. Tapi puasa seperti itu hanya akan berpengaruh pada aspek jasmani saja, sedangkan tujuan puasa yang sebenarnya tidak akan bisa dicapai dengan cara puasa seperti ini. Allah swt memerintahkan puasa kepada umat manusia adalah untuk menjadikan manusia sebagai umat yang bertaqwa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183,
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
            Untuk mencapai maqom takwa yangg dimaksud maka puasa tidak cukup dengan menahan dari makan, minum dan kumpul dengan istri. Maka untuk menjadi orang yang muttaqin seseorang harus mampu menahan dirinya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dari hal-hal maksiat yang dapat merusak pahala puasa, terutama menjaga sembilan lubang yang ada dalam diri kita. Sembilan lubang itu adalah dua mata, dua lubang hidung, lubang mulut, dua lubang telinga, qubul dan dubur.
            Mengapa sembilan lubang ini perluh dijaga? Karena sembilan lubang ini sangat berpotensi menimbulkan kemaksiatan, hal tersebut ditandai oleh Allah swt dengan semua hal yang keluar hal dari semua lubang tersebut adalah hal yang jelek-jelek. Dan semakin besar lubang maka semakin besar peluang berbuat maksiat. Dari sembilan lubang tersebut ada dua lubang yang lebih besar dari lubang yang lainnya, yaitu lubag mulut dan lubang varji. Sebagaimana hadits rasulullah saw “barang siapa yang berani menjamin karena aku bisa menjaga barang di antara dua  rahang dan barang kedua paha maka dijamin masuk neraka”. Hadits tersebut mengindikasikan bahwa kedua lubang tersebut sangat bepotensi menimbulkan maksiat dan sangat berat dalam menjaganya, jika seseorang mampu menjaga kedua lubang tersebut maka orang itu akan mencapai maqom muttaqin.
B.     Puasa dalam sejarah
            Puasa merupakan amal ibadah yang dilakukan manusia sejak dahulu. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 183:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% ...
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ....
a.      Puasa kaum sha’ibah, manawiyah, brahma, dan Budha
Ibnu Nadim dalam kitabnya Al-Fihrasat menyebutkan: ”syariat kaum  shaibah yaitu agama yang menyembah pada bintang-bintang mewajibkan kaumnya untuk berpuasa selama tiga puluh hari.
Dan adapun kelompok manawiyyah, yaitu agama yang muncul di Iran pada  abad ketiga masehi. Kaum ini menyebutkan ada beberapa macam puasa yang terkait dengan waktu yang berkala.
Puasa kaum Brahmana mewajibkan puasa bagi para pendeta pada awal musim semi dan awal musim gugur. Dan pada hari perubahan yaitu awal musim dingin dan awal musim panas dan hari pertama dan hari keempat belas setiap bulan, dan pada saat gerhana matahari.
Lain lagi puasa yang dilakukan kaum buddha yang mewajibkan puasa pada empat hari setiap bulan yang dinamakan hari Alyubuzata, yaitu hari pertama, kesembilan, kelima belas, dan kedua puluh dua.
b.      Puasa Yahudi dan Nasrani
Kaum yahudi berpuasa lima hari dalam setahun. Salah  satu diantaranya diwajibkan dalam syariatnya. Yaitu  hari kedua puluh empat dari bulan ketujuh, dan empat hari yang lain mereka berpuasa untuk mengenang dan mengingat musibah dan malapetaka yang menimba mereka setelah kehancuran Haikal Awal. Hari-hari itu adalah sebagai berikut:
1.      Hari ke dua puluh empat dari bulan ketujuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal pertama, bagian Nahminya, termasuk dalam perjanjian lama: pada hari ke dua puluh empat pada bulan ketujuh bani israil yang murtad dan tubuhnya dilumuri dengan abu untuk merayakan hari berpuasa.
2.      Hari kesembilan dari bulan keempat dari setiap tahun, yaitu hari penguasaan khildan atas yerussalem.
3.      Hari kesepuluh pada bulan kelima, yaitu hari pembakaran tempat peribadatan dan kota.
Dan adapun kaum Nasrani, terdapat puasa dalam empat masa:
1.      Hari-hari terdahulu untuk masehi
2.      ‘ansharah (hari raya untuk memperingati masuknya ruh kedalam murid-muridnya yang terjadi setelah hari raya paskahlima puluh hari)
3.      Hari raya pemindahan siti maryam
4.      Hari raya seluruh orang-orang suci (santo)

C.    Syarat Syah Puasa
1.      Islam. Orang yang bukan tidak sah puasanya
2.      Mumayyiz (dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk)
3.      Suci dari haidh dan nifas. Wanita yang dalam keaadan haidh dan nifas tidak diwajibkan berpuasa tapi diwajibkan untuk mengqodhoq puasa. Sebagaimana hadits rasul: Dari A’isyah ia berkata: kami disuruh oleh nabi muhammad Saw untuk mengqodhak puasa dan tidak disuruh untuk mengqodho shalat ( HR. Bukhari)
4.      Dalam waktu yang diperbolehkan puasa. Dilarang puasa pada hari raya dan hari tasyri’.


D.    Fardhu Puasa
1.      Niat pada malam hari.
Sebagaimana hadits rasul  “barang siapa tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” (riwayat lima orang Ahli hadits)
2.      Menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.


E.     Perbuatan dan kondisi yang membatalkan puasa
a.      Makan dan minum dengan sengaja
Firman Allah SWT,
4 (#qè=ä.ur... (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ...
“...dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam...” (QS. Al-Baqarah: 187)
Maka dapat dipahami bahwa puasa adalah menahan diri dari makan dan minum. Makan dan minum dengan sengaja merupakan salah satu dari hal-hal yang membatalkan puasa yang mendatangkan dosa besar bagi pelakunya.[1] Demikian juga merokok dengan sengaja dan mengeluarkan mani dengan sengaja. Makan dan minum yang membatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan sengaja.[2] Artinya, jika kita memasukkan makanan dan minuman ke dalam mulut hingga kerongkongan, yang dilakukan dengan sadar atau sengaja tanpa paksaan, bukan karena lupa. Kalau tidak sengaja, misalnya lupa, tidak membatalkan dan puasa tetap boleh diteruskan. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Saw[3]:
“Apabila (orang yang berpuasa) lupa, lalu ia makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi makan dan minum kepadanya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang puasanya batal dikarenakan makan dan minum dengan sengaja, maka wajib meng-qadha puasa di hari lain di luar bulan Ramadhan.

b.      Muntah yang disengaja
Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam.[4] Muntah dengan sengaja jika dilakukan dengan kesadaran dan keinginan agar muntah, misalnya memasukkan jari tangan ke dalam mulut atau dengan sengaja mencium bau-bauan yang merangsang hingga menjadi mual dan muntah. Hal ini jelas dilakukan dengan sengaja untuk memancing muntah, maka puasa akan menjadi batal. Jika puasa batal, maka harus mengganti puasa (meng-qadha) pada hari lain di luar bulan Ramadhan.
Muntah yang tidak disengaja tidaklah membatalkan puasa. Muntah tidak sengaja, misalnya “mabuk” baik “mabuk laut” ataupun “mabuk darat” yang disebabkan tidak terbiasa melakukan perjalanan jauh. Selain itu, muntah tidak sengaja yang dialami wanita hamil.
Rasulullah Saw, bersabda[5]:
“Barang siapa yang muntah tidak sengaja, maka ia tidak perlu mengqadha’, dan barang siapa yang muntah dengan sengaja, maka ia harus meng-qadha’ (puasanya).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)

c.       Bersetubuh (Jima’)
Laki-laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di waktu siang hari di bulan Ramadhan, sedangkan dia berkewajiban puasa, maka ia wajib meng­-qadha puasanya dan wajib membayar kafarat (denda).[6]
Kafarat ini ada tiga tingkat:
1.    memerdekakan hamba,
2.    kalau tidak sanggup memerdekakan hamba, puasa dua bulan berturut-turut,
3.    kalau tidak kuat puasa, bersedekah dengan makanan yang mengenyangkan kepada 60 fakir miskin, tiap-tiap orang ¾ liter.
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ/$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZŠÅ3ó¡ÏB 4... 
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin...” (QS. Al-Mujadilah: 4)
Menurut jumhur ulama’, perempuan dan laki-laki sama saja dalam hal wajibnya membayar kafarat, selama mereka berdua sama-sama sengaja dan sadar ketika melakukan jima’ di siang bulan Ramadhan.[7]
Oleh karena itu, jika jima’ dilakukan karena lupa atau bukan pilihan mereka (karena dipaksa), atau mereka tidak berniat puasa, maka tidak ada kafarat bagi mereka. Contohnya, apabila ada perempuan dipaksa pleh suaminya, yang berarti melayani karena uzur, maka kafarat hanya dibebankan kepada lelaki.
Menurut mazhab Syafi’i, perempuan tidak diharuskan mambayar kifarat sama sekali, baik karena kesadaran ketika berbuat maupun karena dipaksa. Dia hanya wajib meng-qadha puasa.
d.      Keluar darah haid atau nifas
Haid bukanlah darah penyakit, ia hanyalah suatu proses biologis yang dialami oleh seorang wanita yang telah dewasa (sudah baligh). Apabila wanita kedatangan haid atau nifas di siang hari Ramadhan, baik di awal maupun di akhir hari, maka ia harus berbuka dan meng-qadha’nya.[8] Jika ia tetap puasa, puasanya tidak sah.
Seorang wanita yang sudah baligh, ketika mengalami haid sering mengalami keluhan sakit di perut bagian bawah dan sering mengalami kekurangan darah (anemia). Timbulnya rasa nyeri dan kurang darah secara medis akan mengganggu kenyamanan berpuasa dan beribadah lainnya. Allah Swt. dengan sifat Rahim­-Nya memberikan dispensasi (rukhsah) kepada wanita yang sedang haid dan nifas untuk tidak berpuasa dan menunaikan shalat.
“Dari Aisyah, Ia berkata, “Kami disuruh oleh Rasullah Saw. mengqadha puasa, dan tidak disuruhnya untuk mengqadha shalat.” (HR. Bukhari)[9]



F.     Cara mengetahui masuknya hilal ramadhan
Wajib puasa dengan masuknya bulan ramadhan. Mengenai masuknya bulan ramadhan itu dapat diketahui dengan jalan-jalan yang tersebut dibawah ini:
a.      Melihat hilal ramadhan
Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. Bersabda:
 صوموالرؤيته وافطروالرؤيته
“berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu (hari raya) sesudah melihat bulan.”
Makna “berpuasalah kamu setelah melihat bulan”, ialah sesudah sebagian orang melihat bulan bukan diharuskan semua orang melihat bulan.
Hal yang harus diperhatikan, ialah: bahwa puasa itu bukanlah terus dimulai setelah melihat bulan, tapi harus menurut ketentuan-ketentuannya, yaitu pada malam kita melihat bulan, dan berbuka (berhari raya) sesudah terbenam matahari pada hari yang akhir pada bulan ramadhan, baik kita melihat bulan sebelum matahari terbenam, ataupun sesudahnya.
Karena itu hendaklah kita berusaha melihat bulan pada malam ketiga puluh bulan sya’ban, dan pada malam tiga puluh rajab untuk mengetahui sya’ban.
Diriwayatkan oleh A Aturmudzi dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
احصواهلال شعبان لرمضان
“hitunglah hilal sya’ban untuk ramadhan”
Maka jika kita dapat mellihat bulan, wajiblah kita berpuasa besoknya. Jika bulan tidak terlihat sedang udarapun terang, tidaklah boleh kita berpuasa pada hari esoknya. Tetapi jika tidak terllihat karena udara mendung, maka menurut mazhab Ibn Umar, kita wajib memulai puasa, berdasarkan hadits Al Bukhari dan muslim dari Ibnu Umar. Rasulullah bersabda:
انما الشهرتسع وعشرون فلاتصوموا حتى تروه ولاتفطرواحتى تروه فان غم عليكم فاقدرواله
“sesungguhnya bulan itu 29 hari. Maka janganlah engkau berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berduka, sehingga kamu melihatnya. Tapi jika mendung, kadarkanlah olehmu untuknya”
Pendapat-pendapat para fuqaha bila tidak terlihat bulan pada malam tigapuluh hari karena mendung.
Arti dan kadarkanlah olehmu untuknya ialah jadikanlah 29 hari atau pandanglah bahwa sudah ada di bawah awan.
Berkata Abdir Rahman As Sa’ati : “para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan pendapat : maka kadarkanlah untuknya. Menurut para ahli bahasa, maknanya: maka takdirkanlah dia. Jumhur ulama dari golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah  berpendapat ialah : sempurnakanlah 30 hari. Segolongan ulama berpendapat maknanya: pandanglah dia, sudah ada dibawah awan. Segolongan lain berpendapat : pergunakanlah hisab. Jjumhur ulama memaknakan maka kadarkanlah untuknya dengan sempurnakanlah ; mengingat bahwa hadits harus ditafsirkan dengan hadits. Ungkapan “maka kadarkanlah untuknya” 007Aditafsirkan oleh perkataan : “maka sempurnakanlah 30 hari”. Dan dikuatkan lagi oleh riwayat Muslim yang berbunyi :Taqduru lahutsalatsina = maka kadarkanlah utnuknya 30 hari.
Oleh karena itu, tidaklah dapat hadits ini dipergunakan untuk menjadi pegangan dalam berpuasa dengan hisab.

b.      Mendapat kabar dari orang adil
Orang adil ialah orang yang lebih banyak baiknya daripada buruknya. Orang ini mengabarkan, bahwa hilal ramadhan kelihatan di ufuk barat sesudah maghrib (sesudah tenggelam matahari).
Diriwayatkan oleh Abu daud dan Ad daraqithni dari umar, ujarnya:
تراءالناساالهلال. فاءخبرت رسول الله صلعم. انى رايته,فصام وامرالناس بصيامه
“manusia sibuk melihat bulan lalu aku kabarkan kepada Rasulullah Saw. Bahwasannya aku telah melihatnya. Karena itu Rasulullah Saw. Memerintahkan manusia berpuasa”
Dari hadits di atas ini menyatakan bahwa syara’ menerima pensaksian seseorang buat menentukan masuk atau tidaknya bulan ramadhan. Inilah madzhab Mubarak, Ahmad Ibnu Hanbal dan Asy Syafi’I di salah satu riwayatnya.
c.       Dengan cukup bulan sya’ban 30 hari
apabila kkita tidak melihat hilal ramadhan pada malam ketiga puluh Sya’ban dan tidak ada yang menyaksikan hilal, wajiblah jika mendasarkan puasa pada saat melihat bulan, menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Tidak ada khhilaf tentang wajib mulai puasa, setelah jelas bahwa bulan Sya’ban telah cukup 30 hari.
Untuk menngetahui Sya’ban cukup 30 hari, perlulah kita ketahui lebih dahulu dengan perantaraan rukyah.
d.      Dengan hisab para ahli
Sebagian ahli ilmu Mutaakhirin berkata : “Boleh juga kita mulai puasa dengan hisab para ahli ilmu hisab”
Berkata sebaggian ulama : “Boleh juga kita memulai puasa dengan hisab ahli hisab yang cukup alat-alat hisab dan segala yang bersangkut-paut dengannya”.
Mereka berdalil dengan firman Allah:
هوالذى جعل الشمس ضياء, والقمرونوراوقدره منازل لتعلمواعددالسنين والحساب
“Dialah tuhan yang mejadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya gemilang dan menjangkakan perjalanannya dalam beberapa manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari”
Jika demikian, jalan mengetahui masuk bulan ramadhan hanyalah tiga saja, atau hanya satu saja, yaitu rukyah, baik rukyah sendiri, maupun dikhabarkan orang yang adil, atau sya’ban cukup 30 hari.
Menentukan awal ramadhan dengan hisab yang tidak dibuktikan kebenarannya oleh kenyatann rukyah, terang berlawanan dengan lafad-lafad hadits yang tegas petunjuknya yang tidak mungkin ditakwil.
Ringkasnya para muslim seluruh dunia, harus berpuasa bila melihat hilal ramadhan pada malam 30 sya’ban, sedang cuaca dalam keadaan terang, tidak mendung yang menghalangi rukyah.
Dan rukyah itu adakala dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan teropong bintang, karena teropong ini alat yang membantu mata. Kemudian pemerintah mengumumkan hasil rukyah ke seluruh agama.
G.    Hikmah Puasa
Puasa memiliki banyak hikmah dan keutamaan yang banyak. Hal ini diisyaratkan dalam nash-nash syara’ itu sendiri, antara lain:
1.      Pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafs).[10]
Hal ini tercipta dengan apa yang diperintahkan Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya serta berupaya menyempurnakan penghambaan kepada Allah Swt.
2.      Puasa mengajarkan manusia untuk mensyukuri nikmat.[11]
Merasakan nikmat kenyang dan hilangnya dahaga setelah menahan lapan dan haus selama puasa, sehingga secara tidak sadar akan mengucapkan Alhamdulllah, sebagai tanda syukur kepada Allah Swt.
3.      Puasa dapat memasukkan seseorang ke dalam surga.[12]
Dijelaskan dalam hadits: Dari Abu Umamah ra berkata, aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga,” maka Rasulullah Saw menjawab, “hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada tandingan (pahala)nya.” (HR. An-Nasai, Ibnu Hiban, Al-Hakim).











BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Puasa menurut bahasa berasal dari kata shaum yang bermakna menahan dari berbicara. Sedangkan menurut istilah, puasa adalah mencegah diri dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya semenjak fajar shodiq sampai terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.
Puasa merupakan amal ibadah yang dilakukan manusia sejak dahulu, di antaranya: puasa kaum sha’ibah, manawiyah, brahma, dan Budha; dan puasa kaum nasrani dan yahudi.
Syarat syah puasa, antara lain: Islam, mumayyiz, suci dari haid dan nifas, serta dalam waktu yang diperbolehkan puasa. Fardhu puasa, yaitu: niat pada malam hari dan menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Perbuatan dan kondisi yang membatalkan puasa, antara lain: makan dan minum dengan sengaja, muntah disengaja, bersetubuh, dan keluar darah haid dan nifas. Cara untuk mengetahui masuknya hilal Ramadhan, yaitu: dengan melihat hilal Ramadhan, mendapat kabar dari orang adil, mencukupkan bulan Sya’ban 30 hari, dan dengan hasil hisab para ahli.
Hikmah dari ibadah puasa, antara lain: puasa sebagai sarana untuk pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafs), puasa sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat, dan puasa menyebabkan manusia masuk surga.


[1] Yusuf Qardhawi. Mukjizat Puasa: Resep Illahi agar Sehat Ruhani-Jasmani. (2007, Bandung: Mizania). Hal. 148.
[2] Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. (1994, Bandung: Sinar Baru Algesindo). Hal. 230.
[3] Syaikh Salim bin Id Al-Hilali. Puasa Bersama Nabi. (2007, Jakarta: Darus Sunnah). Hal. 136.
[4] Sulaiman Rasjid. op.,cit. Hal. 231.
[5] Wahbah Al-Zuhayly. Puasa dan Itikaf Kajian Berbagai Mazhab. (2005. Bandung: PT Remaja Rosdakarya). Hal. 247.
[6] Dyayadi. Puasa sebagai Terapi. (2007. Bandung: Mizania). Hal. 73.
[7] Yusuf Qardhawi. op.,cit. Hal. 151.
[8] Syaikh Salim bin Id Al-Hilali. op.,cit. Hal. 137.
[9] Sulaiman Rasjid, op.,cit. Hal. 233.
[10] Yusuf Qardhawi. Mukjizat Puasa: Resep Illahi agar Sehat Ruhani-Jasmani. (2007, Bandung: Mizania). Hal. 21
[11] Ibid. Hal 24.
[12] Syaikh Salim bin Id Al-Hilali. Puasa Bersama Nabi. (2007, Jakarta: Darus Sunnah). Hal. 24



No comments:

Post a Comment