BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa puasa adalah salah satu
ibadah terbesar dan sebaik-baiknya amalan ketaatan. dan puasa ramadhan adalah
puasa tertinggi dan wajib hukumnya bagi semua muslim. Allah menyatakan bahwa
amalan puasa adalah untuk-Nya dan Dia langsung yang memberi balasan yang
berlipat-lipat, dikhususkan dengan pintu surga dan dipanggillah orang-orang
yang berpuasa darinya untuk masuk, tidak akan memasuki surga lewat pintu
tersebut kecuali orang-orang yang berpuasa.
Keistimewaan puasa lainnya bahwa puasa juga diwajibkan atas ummat
sebelum kita. Allah berfirman :
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya : "Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Al-Baqaroh : 183)
Jika puasa bukan sebuah amalan yang agung, maka tidak
mungkin puasa juga diwajibkan atas ummat-ummat sebelum kita. walaupun puasa
mereka berbeda dengan puasa kita, artinya bukan pada bulan ramadhan yang
diwajibkan atas mereka, akan tetapi amalan puasa itu tersendiri telah
diwajibkan atas mereka yang menandakan bahwa amalan ini sangatlah agung.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembahasan
makalah ini dipusatkan dengan rumusan masalah :
1. Bagaimana
sejarah disyariatkan puasa?
2. Apa
saja syarat sah puasa?
3. Bagaimana
perbuatan dan kondisi yang membatalkan puasa?
4. Bagaimana
penentuan awal Ramadhan?
5. Apa
saja hikmah disyariatkan puasa?
1.3
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
pembahasan dalam makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui sejarah disyariatkan puasa.
2. Untuk
mengetahui syarat sah puasa.
3. Untuk
mengetahui perbuatan dan kondisi yang membatalkan puasa.
4. Untuk
mengetahui penentuan awal Ramadhan.
5. Untuk
mengetahui hikmah puasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian puasa
Pengertian
puasa secara bahasa
Ibnu Faris dalam kitabnya, maqayisul
lughah menyebutkan: ”shaum merupakan rangkuman dari huruf shawm yang
merupakan rangkaian dari huruf shad, wau dan mim yang menunjukkan makna diam
ditempat dan menahan.” Oleh karena itu puasa yang dilakukan seseorang adalah
menahan dari makan. Boleh jadi shaum bermakna menahan dari berbicara.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Maryam: 26;
ÎoTÎ) ßNöxtR Ç`»uH÷q§=Ï9 $YBöq|¹ ô`n=sù zNÏk=2é& uQöquø9$# $|Å¡SÎ) ÇËÏÈ
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang
Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari
ini".
Puasa dalam istilah syari’at
Puasa adalah mencegah diri dari
makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya semenjak fajar shodiq
sampai terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.
Kita dapat mengambil kesimpulan dari
kedua pengertian di atas, bahwa secara syariat puasa dinyatakan sah dengan
jalan menahan tidak makan, minum, berkumpul dengan suami istri. Tapi puasa
seperti itu hanya akan berpengaruh pada aspek jasmani saja, sedangkan tujuan puasa
yang sebenarnya tidak akan bisa dicapai dengan cara puasa seperti ini. Allah
swt memerintahkan puasa kepada umat manusia adalah untuk menjadikan manusia
sebagai umat yang bertaqwa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 183,
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Untuk mencapai maqom takwa yangg
dimaksud maka puasa tidak cukup dengan menahan dari makan, minum dan kumpul
dengan istri. Maka untuk menjadi orang yang muttaqin seseorang harus
mampu menahan dirinya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dari hal-hal
maksiat yang dapat merusak pahala puasa, terutama menjaga sembilan lubang yang
ada dalam diri kita. Sembilan lubang itu adalah dua mata, dua lubang hidung,
lubang mulut, dua lubang telinga, qubul dan dubur.
Mengapa sembilan lubang ini perluh
dijaga? Karena sembilan lubang ini sangat berpotensi menimbulkan kemaksiatan,
hal tersebut ditandai oleh Allah swt dengan semua hal yang keluar hal dari
semua lubang tersebut adalah hal yang jelek-jelek. Dan semakin besar lubang
maka semakin besar peluang berbuat maksiat. Dari sembilan lubang tersebut ada
dua lubang yang lebih besar dari lubang yang lainnya, yaitu lubag mulut dan
lubang varji. Sebagaimana hadits rasulullah saw “barang siapa yang berani
menjamin karena aku bisa menjaga barang di antara dua rahang dan barang kedua paha maka dijamin
masuk neraka”. Hadits tersebut mengindikasikan bahwa kedua lubang tersebut
sangat bepotensi menimbulkan maksiat dan sangat berat dalam menjaganya, jika
seseorang mampu menjaga kedua lubang tersebut maka orang itu akan mencapai
maqom muttaqin.
B.
Puasa
dalam sejarah
Puasa merupakan amal ibadah yang
dilakukan manusia sejak dahulu. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah
ayat 183:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% ...
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu ....
a.
Puasa
kaum sha’ibah, manawiyah, brahma, dan Budha
Ibnu Nadim dalam kitabnya
Al-Fihrasat menyebutkan: ”syariat kaum shaibah
yaitu agama yang menyembah pada bintang-bintang mewajibkan kaumnya untuk berpuasa
selama tiga puluh hari.
Dan adapun kelompok
manawiyyah, yaitu agama yang muncul di Iran pada abad ketiga masehi. Kaum ini menyebutkan ada
beberapa macam puasa yang terkait dengan waktu yang berkala.
Puasa kaum Brahmana
mewajibkan puasa bagi para pendeta pada awal musim semi dan awal musim gugur.
Dan pada hari perubahan yaitu awal musim dingin dan awal musim panas dan hari
pertama dan hari keempat belas setiap bulan, dan pada saat gerhana matahari.
Lain lagi puasa yang
dilakukan kaum buddha yang mewajibkan puasa pada empat hari setiap bulan yang
dinamakan hari Alyubuzata, yaitu hari pertama, kesembilan, kelima belas, dan
kedua puluh dua.
b.
Puasa
Yahudi dan Nasrani
Kaum yahudi berpuasa
lima hari dalam setahun. Salah satu
diantaranya diwajibkan dalam syariatnya. Yaitu
hari kedua puluh empat dari bulan ketujuh, dan empat hari yang lain
mereka berpuasa untuk mengenang dan mengingat musibah dan malapetaka yang
menimba mereka setelah kehancuran Haikal Awal. Hari-hari itu adalah sebagai
berikut:
1.
Hari
ke dua puluh empat dari bulan ketujuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal
pertama, bagian Nahminya, termasuk dalam perjanjian lama: pada hari ke dua
puluh empat pada bulan ketujuh bani israil yang murtad dan tubuhnya dilumuri
dengan abu untuk merayakan hari berpuasa.
2.
Hari
kesembilan dari bulan keempat dari setiap tahun, yaitu hari penguasaan khildan
atas yerussalem.
3.
Hari
kesepuluh pada bulan kelima, yaitu hari pembakaran tempat peribadatan dan kota.
Dan
adapun kaum Nasrani, terdapat puasa dalam empat masa:
1.
Hari-hari
terdahulu untuk masehi
2.
‘ansharah
(hari raya untuk memperingati masuknya ruh kedalam murid-muridnya yang terjadi
setelah hari raya paskahlima puluh hari)
3.
Hari
raya pemindahan siti maryam
4.
Hari
raya seluruh orang-orang suci (santo)
C.
Syarat
Syah Puasa
1.
Islam.
Orang yang bukan tidak sah puasanya
2.
Mumayyiz
(dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk)
3.
Suci
dari haidh dan nifas. Wanita yang dalam keaadan haidh dan nifas tidak
diwajibkan berpuasa tapi diwajibkan untuk mengqodhoq puasa. Sebagaimana hadits
rasul: Dari A’isyah ia berkata: kami disuruh oleh nabi muhammad Saw untuk
mengqodhak puasa dan tidak disuruh untuk mengqodho shalat ( HR. Bukhari)
4.
Dalam
waktu yang diperbolehkan puasa. Dilarang puasa pada hari raya dan hari tasyri’.
D.
Fardhu
Puasa
1.
Niat
pada malam hari.
Sebagaimana hadits rasul
“barang siapa tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit,
maka tiada puasa baginya.” (riwayat lima orang Ahli hadits)
2.
Menahan
dari segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar shadiq sampai
terbenam matahari.
E.
Perbuatan
dan kondisi yang membatalkan puasa
a.
Makan
dan minum dengan sengaja
Firman Allah SWT,
4 (#qè=ä.ur... (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# ( ...
“...dan
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu
fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam...” (QS. Al-Baqarah:
187)
Maka dapat dipahami bahwa puasa adalah menahan diri dari
makan dan minum. Makan dan minum dengan sengaja merupakan salah satu dari
hal-hal yang membatalkan puasa yang mendatangkan dosa besar bagi pelakunya.[1] Demikian
juga merokok dengan sengaja dan mengeluarkan mani dengan sengaja. Makan dan
minum yang membatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan sengaja.[2] Artinya,
jika kita memasukkan makanan dan minuman ke dalam mulut hingga kerongkongan,
yang dilakukan dengan sadar atau sengaja tanpa paksaan, bukan karena lupa.
Kalau tidak sengaja, misalnya lupa, tidak membatalkan dan puasa tetap boleh
diteruskan. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Saw[3]:
“Apabila (orang yang berpuasa) lupa,
lalu ia makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya
Allah Ta’ala telah memberi makan dan minum kepadanya” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Orang yang puasanya batal dikarenakan makan dan minum
dengan sengaja, maka wajib meng-qadha puasa di hari lain di luar bulan
Ramadhan.
b.
Muntah
yang disengaja
Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke
dalam.[4] Muntah
dengan sengaja jika dilakukan dengan kesadaran dan keinginan agar muntah,
misalnya memasukkan jari tangan ke dalam mulut atau dengan sengaja mencium
bau-bauan yang merangsang hingga menjadi mual dan muntah. Hal ini jelas
dilakukan dengan sengaja untuk memancing muntah, maka puasa akan menjadi batal.
Jika puasa batal, maka harus mengganti puasa (meng-qadha) pada hari lain
di luar bulan Ramadhan.
Muntah yang tidak disengaja tidaklah membatalkan puasa.
Muntah tidak sengaja, misalnya “mabuk” baik “mabuk laut” ataupun “mabuk darat”
yang disebabkan tidak terbiasa melakukan perjalanan jauh. Selain itu, muntah
tidak sengaja yang dialami wanita hamil.
Rasulullah
Saw, bersabda[5]:
“Barang
siapa yang muntah tidak sengaja, maka ia tidak perlu mengqadha’, dan barang
siapa yang muntah dengan sengaja, maka ia harus meng-qadha’ (puasanya).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)
c.
Bersetubuh
(Jima’)
Laki-laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di
waktu siang hari di bulan Ramadhan, sedangkan dia berkewajiban puasa, maka ia
wajib meng-qadha puasanya dan wajib membayar kafarat (denda).[6]
Kafarat ini ada tiga tingkat:
1.
memerdekakan
hamba,
2.
kalau tidak
sanggup memerdekakan hamba, puasa dua bulan berturut-turut,
3.
kalau tidak kuat
puasa, bersedekah dengan makanan yang mengenyangkan kepada 60 fakir miskin,
tiap-tiap orang ¾ liter.
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ/$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZÅ3ó¡ÏB 4...
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib
atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka
siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang
miskin...” (QS. Al-Mujadilah: 4)
Menurut jumhur ulama’, perempuan dan laki-laki sama saja
dalam hal wajibnya membayar kafarat, selama mereka berdua sama-sama sengaja dan
sadar ketika melakukan jima’ di siang bulan Ramadhan.[7]
Oleh karena itu, jika jima’ dilakukan karena lupa
atau bukan pilihan mereka (karena dipaksa), atau mereka tidak berniat puasa,
maka tidak ada kafarat bagi mereka. Contohnya, apabila ada perempuan dipaksa
pleh suaminya, yang berarti melayani karena uzur, maka kafarat hanya dibebankan
kepada lelaki.
Menurut mazhab Syafi’i, perempuan tidak diharuskan mambayar
kifarat sama sekali, baik karena kesadaran ketika berbuat maupun karena
dipaksa. Dia hanya wajib meng-qadha puasa.
d.
Keluar
darah haid atau nifas
Haid bukanlah darah penyakit, ia
hanyalah suatu proses biologis yang dialami oleh seorang wanita yang telah
dewasa (sudah baligh). Apabila wanita kedatangan haid atau nifas di
siang hari Ramadhan, baik di awal maupun di akhir hari, maka ia harus berbuka
dan meng-qadha’nya.[8] Jika ia
tetap puasa, puasanya tidak sah.
Seorang wanita yang sudah baligh, ketika
mengalami haid sering mengalami keluhan sakit di perut bagian bawah dan sering
mengalami kekurangan darah (anemia). Timbulnya rasa nyeri dan kurang darah
secara medis akan mengganggu kenyamanan berpuasa dan beribadah lainnya. Allah
Swt. dengan sifat Rahim-Nya memberikan dispensasi (rukhsah)
kepada wanita yang sedang haid dan nifas untuk tidak berpuasa dan menunaikan
shalat.
“Dari
Aisyah, Ia berkata, “Kami disuruh oleh Rasullah Saw. mengqadha puasa, dan tidak
disuruhnya untuk mengqadha shalat.” (HR. Bukhari)[9]
F. Cara
mengetahui masuknya hilal ramadhan
Wajib puasa dengan masuknya bulan ramadhan.
Mengenai masuknya bulan ramadhan itu dapat diketahui dengan jalan-jalan yang
tersebut dibawah ini:
a. Melihat
hilal ramadhan
Hal ini
berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. Bersabda:
صوموالرؤيته وافطروالرؤيته
“berpuasalah
kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu (hari raya) sesudah melihat
bulan.”
Makna
“berpuasalah kamu setelah melihat bulan”, ialah sesudah sebagian orang melihat
bulan bukan diharuskan semua orang melihat bulan.
Hal yang
harus diperhatikan, ialah: bahwa puasa itu bukanlah terus dimulai setelah
melihat bulan, tapi harus menurut ketentuan-ketentuannya, yaitu pada malam kita
melihat bulan, dan berbuka (berhari raya) sesudah terbenam matahari pada hari
yang akhir pada bulan ramadhan, baik kita melihat bulan sebelum matahari
terbenam, ataupun sesudahnya.
Karena
itu hendaklah kita berusaha melihat bulan pada malam ketiga puluh bulan
sya’ban, dan pada malam tiga puluh rajab untuk mengetahui sya’ban.
Diriwayatkan
oleh A Aturmudzi dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
احصواهلال شعبان لرمضان
“hitunglah
hilal sya’ban untuk ramadhan”
Maka jika
kita dapat mellihat bulan, wajiblah kita berpuasa besoknya. Jika bulan tidak
terlihat sedang udarapun terang, tidaklah boleh kita berpuasa pada hari esoknya.
Tetapi jika tidak terllihat karena udara mendung, maka menurut mazhab Ibn Umar,
kita wajib memulai puasa, berdasarkan hadits Al Bukhari dan muslim dari Ibnu
Umar. Rasulullah bersabda:
انما
الشهرتسع وعشرون فلاتصوموا حتى تروه ولاتفطرواحتى تروه فان غم عليكم فاقدرواله
“sesungguhnya
bulan itu 29 hari. Maka janganlah engkau berpuasa sehingga kamu melihat bulan
dan janganlah kamu berduka, sehingga kamu melihatnya. Tapi jika mendung,
kadarkanlah olehmu untuknya”
Pendapat-pendapat
para fuqaha bila tidak terlihat bulan pada malam tigapuluh hari karena
mendung.
Arti dan
kadarkanlah olehmu untuknya ialah jadikanlah 29 hari atau pandanglah bahwa
sudah ada di bawah awan.
Berkata Abdir
Rahman As Sa’ati : “para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan pendapat
: maka kadarkanlah untuknya. Menurut para ahli bahasa, maknanya: maka
takdirkanlah dia. Jumhur ulama dari golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafi’iyah berpendapat ialah : sempurnakanlah
30 hari. Segolongan ulama berpendapat maknanya: pandanglah dia, sudah ada
dibawah awan. Segolongan lain berpendapat : pergunakanlah hisab. Jjumhur ulama
memaknakan maka kadarkanlah untuknya dengan sempurnakanlah ;
mengingat bahwa hadits harus ditafsirkan dengan hadits. Ungkapan “maka
kadarkanlah untuknya” 007Aditafsirkan oleh perkataan : “maka sempurnakanlah 30
hari”. Dan dikuatkan lagi oleh riwayat Muslim yang berbunyi :Taqduru
lahutsalatsina = maka kadarkanlah utnuknya 30 hari.
Oleh
karena itu, tidaklah dapat hadits ini dipergunakan untuk menjadi pegangan dalam
berpuasa dengan hisab.
b. Mendapat
kabar dari orang adil
Orang
adil ialah orang yang lebih banyak baiknya daripada buruknya. Orang ini
mengabarkan, bahwa hilal ramadhan kelihatan di ufuk barat sesudah maghrib
(sesudah tenggelam matahari).
Diriwayatkan
oleh Abu daud dan Ad daraqithni dari umar, ujarnya:
تراءالناساالهلال. فاءخبرت رسول الله صلعم. انى
رايته,فصام وامرالناس بصيامه
“manusia
sibuk melihat bulan lalu aku kabarkan kepada Rasulullah Saw. Bahwasannya aku
telah melihatnya. Karena itu Rasulullah Saw. Memerintahkan manusia berpuasa”
Dari
hadits di atas ini menyatakan bahwa syara’ menerima pensaksian seseorang buat
menentukan masuk atau tidaknya bulan ramadhan. Inilah madzhab Mubarak, Ahmad
Ibnu Hanbal dan Asy Syafi’I di salah satu riwayatnya.
c. Dengan
cukup bulan sya’ban 30 hari
apabila
kkita tidak melihat hilal ramadhan pada malam ketiga puluh Sya’ban dan tidak
ada yang menyaksikan hilal, wajiblah jika mendasarkan puasa pada saat melihat
bulan, menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Tidak ada khhilaf tentang wajib
mulai puasa, setelah jelas bahwa bulan Sya’ban telah cukup 30 hari.
Untuk
menngetahui Sya’ban cukup 30 hari, perlulah kita ketahui lebih dahulu dengan
perantaraan rukyah.
d. Dengan
hisab para ahli
Sebagian
ahli ilmu Mutaakhirin berkata : “Boleh juga kita mulai puasa dengan hisab para
ahli ilmu hisab”
Berkata
sebaggian ulama : “Boleh juga kita memulai puasa dengan hisab ahli hisab yang
cukup alat-alat hisab dan segala yang bersangkut-paut dengannya”.
Mereka
berdalil dengan firman Allah:
هوالذى
جعل الشمس ضياء, والقمرونوراوقدره منازل لتعلمواعددالسنين والحساب
“Dialah
tuhan yang mejadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya gemilang dan
menjangkakan perjalanannya dalam beberapa manzilah, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari”
Jika
demikian, jalan mengetahui masuk bulan ramadhan hanyalah tiga saja, atau hanya
satu saja, yaitu rukyah, baik rukyah sendiri, maupun dikhabarkan orang yang
adil, atau sya’ban cukup 30 hari.
Menentukan
awal ramadhan dengan hisab yang tidak dibuktikan kebenarannya oleh kenyatann
rukyah, terang berlawanan dengan lafad-lafad hadits yang tegas petunjuknya yang
tidak mungkin ditakwil.
Ringkasnya
para muslim seluruh dunia, harus berpuasa bila melihat hilal ramadhan pada malam
30 sya’ban, sedang cuaca dalam keadaan terang, tidak mendung yang menghalangi
rukyah.
Dan
rukyah itu adakala dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan teropong
bintang, karena teropong ini alat yang membantu mata. Kemudian pemerintah
mengumumkan hasil rukyah ke seluruh agama.
G. Hikmah
Puasa
Puasa
memiliki banyak hikmah dan keutamaan yang banyak. Hal ini diisyaratkan dalam
nash-nash syara’ itu sendiri, antara lain:
1. Pembersihan
jiwa (tazkiyat al-nafs).[10]
Hal ini
tercipta dengan apa yang diperintahkan Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya
serta berupaya menyempurnakan penghambaan kepada Allah Swt.
2. Puasa
mengajarkan manusia untuk mensyukuri nikmat.[11]
Merasakan
nikmat kenyang dan hilangnya dahaga setelah menahan lapan dan haus selama
puasa, sehingga secara tidak sadar akan mengucapkan Alhamdulllah,
sebagai tanda syukur kepada Allah Swt.
3. Puasa
dapat memasukkan seseorang ke dalam surga.[12]
Dijelaskan
dalam hadits: Dari Abu Umamah ra berkata, aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “wahai
Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam
surga,” maka Rasulullah Saw menjawab, “hendaknya kamu berpuasa, karena puasa
itu tidak ada tandingan (pahala)nya.” (HR. An-Nasai, Ibnu Hiban, Al-Hakim).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Puasa menurut
bahasa berasal dari kata shaum yang bermakna
menahan dari berbicara. Sedangkan menurut istilah, puasa adalah mencegah diri
dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya semenjak fajar
shodiq sampai terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.
Puasa merupakan amal ibadah yang dilakukan manusia sejak
dahulu, di antaranya: puasa kaum sha’ibah, manawiyah, brahma, dan Budha; dan
puasa kaum nasrani dan yahudi.
Syarat syah puasa, antara lain: Islam, mumayyiz, suci dari
haid dan nifas, serta dalam waktu yang diperbolehkan puasa. Fardhu puasa,
yaitu: niat pada malam hari dan menahan dari segala sesuatu yang membatalkan
puasa sejak terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Perbuatan dan kondisi yang membatalkan puasa, antara lain:
makan dan minum dengan sengaja, muntah disengaja, bersetubuh, dan keluar darah
haid dan nifas. Cara untuk mengetahui masuknya hilal Ramadhan, yaitu: dengan
melihat hilal Ramadhan, mendapat kabar dari orang adil, mencukupkan bulan
Sya’ban 30 hari, dan dengan hasil hisab para ahli.
Hikmah dari ibadah puasa, antara lain: puasa sebagai sarana
untuk pembersihan
jiwa (tazkiyat al-nafs), puasa sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat,
dan puasa menyebabkan manusia masuk surga.
[1] Yusuf
Qardhawi. Mukjizat Puasa: Resep Illahi agar Sehat Ruhani-Jasmani. (2007,
Bandung: Mizania). Hal. 148.
[2]
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. (1994, Bandung: Sinar Baru Algesindo). Hal.
230.
[3]
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali. Puasa Bersama Nabi. (2007, Jakarta: Darus
Sunnah). Hal. 136.
[4] Sulaiman
Rasjid. op.,cit. Hal. 231.
[5]
Wahbah Al-Zuhayly. Puasa dan Itikaf Kajian Berbagai Mazhab. (2005.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya). Hal. 247.
[6]
Dyayadi. Puasa sebagai Terapi. (2007. Bandung: Mizania). Hal. 73.
[7] Yusuf
Qardhawi. op.,cit. Hal. 151.
[8]
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali. op.,cit. Hal. 137.
[9]
Sulaiman Rasjid, op.,cit. Hal. 233.
[10] Yusuf
Qardhawi. Mukjizat Puasa: Resep Illahi agar Sehat Ruhani-Jasmani. (2007,
Bandung: Mizania). Hal. 21
[11] Ibid.
Hal 24.
[12]
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali. Puasa Bersama Nabi. (2007, Jakarta: Darus
Sunnah). Hal. 24
No comments:
Post a Comment