A. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang turut menawarkan nilai-nilai
sosial dengan jalan berbagi, seperti penyaluran harta baik zakat, sedekah,
hibah dan juga wakaf. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi orang banyak, tapi
juga memberi nilai lebih bagi orang yang melakukannya.
Wakaf merupakan salah satu opsi ibadah yang menjamur
dikalangan masyarakat bangsa kita. Umat muslim termotivasi dengan pahala yang
mengalir dengan jalan amal jariyah yang dapat diidentikkan dengan wakaf.
Sehingga tak heran jika banyak ditemui sarana umum yang berstatus wakaf dari
pihak perorangan.
Sebagaimana realita yang ada dimasyarakat, banyak
diantara masyarakat kita yang mana orang tersebut mempunyai rizki lebih dan
punya kemauan berbagi, lebih memilih mewakafkan sebagian hartanya. Berwakaf hendaknya
tidak hanya sekedar melaksanakan kegiatan wakaf tanpa didasari pemahaman atau
ilmu tentang wakaf. Wakaf merupakan salah satu
bagian dari ibadah, maka sudah pasti suatu ibadah diatur dalam syariat
Islam. Konsekuensinya, dalam wakaf perlu dipahami pengertian, rukun, syarat,
jenis, dasar hukum, asas, hikmah dan segala yang berkaitan dengan wakaf. Oleh
karenanya, kami berusaha menyajikan beberapa poin penting berkenaan dengan
pembahasan makalah wakaf ini, dengan harapan dapat memberi pemahaman bagi
muslim untuk menjalankan ibadah wakaf ataupun sebagai khasanah keilmuan.
B. Studi Kajian
1. Pengertian Waqaf
Islam sebagai agama
yang membawa rahmat bagi semesta alam (Rahmatan Lil’alamin) mengandung
ajaran-ajaran yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Salah satunya adalah
ajaran tentang Waqaf.
Menurut bahasa, waqafa berarti menahan atau mencegah. Sedangkan menurut
istilah atau syara’, yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang didefinisikan
oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.
Muhammad al-Syarbini al Khatib berpendapat bahwa:
“Penahanan
harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zal benda,
dengan memutuskan (memotong) tasyaruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas
mushrif (pengelola) yang dibolehkan adanya.”[1]
2.
Menurut Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhamad al-Husaini
dalam kitabnya kifatul akhyar adalah :
“Penahanan
harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda, dilarang
untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.”[2]
3.
Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa:
“
Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika,
dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapatkan ridha
Allah.”[3]
4.
Idris Ahmad berpendapat bahwa:
“
Wakaf adalah menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal
zat (‘ain) –nya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan
syara’ serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.”[4]
2. Dasar Hukum Wakaf
Allah telah mensyariatkan wakaf, menganjurkan dan menjadikannya sebagai
salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun dasar-dasar dari
hukum wakaf diantaranya:
a.) Al-Qur’an
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.” (Al Hajj:77)
Juga
Allah SWT berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ
حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)[5]
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.”(Al-Baqarah : 267)[6]
b.) Al-Hadits
Selain dasar hukum
Al-Qur’an, dasar syariat wakaf adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari
(2586) dan Muslim (1632)[7]
yakni sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar
bahwa Umar bin Khaththab mendapatkan
tanah di Khaibar. Kemudian dia mendatangi Nabi SAW untuk meminta
pendapat beliau. Dia berkata, “ Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di
Khaibar. Saya belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga darinya
sekalipun. Apa yang engkau perintahkan kepadaku tentang hal ini ?” Beliau
menjawab,”Jika berkehendak, engkau dapat menahan asalnya dan
menyedekahkannya.” Kemudian Umar
menyedekahkannya. Tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak
diwariskan. Akan tetapi, tanah itu disedekahkan kepada orang-orang fakir, karib
kerabat, budak yang memerdekakan diri, keperluan jihad, ibnu sabil dan tamu.
Orang yang mengurusnya tidak berdosa jika memakannya dengan cara yang makruf
dan memberi makan (orang lain). Tanah itu bukan untuk diuangkan.[8]
Inilah mula-mula
wakaf yang masyhur dalam Islam. Kata Imam Syafi’i: “Sesudah itu 80 orang
sahabat di Madinah terus mengorbankan harta mereka dijadikan wakaf pula”.[9]
Selain itu juga
hadist yang diriwayatkan Muslim: “Bila seorang Muslim telah meninggal dunia
maka amalnya pun putus kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakannya”. Para Ulama
membelokkan arti shadaqah jariyah pada wakaf.[10]
Dengan hadis
tersebut, jelaslah bahwa wakaf bukan seperti sedekah biasa, tetapi lebih besar
pahala dan manfaatnya terhadap diri sendiri, dan orang lain pun turut merasakan
manfaat yang besar. Si Wakif mendapat pahala yang mengalir selama barang wakaf
masih digunakan atau bermanfaat. Oleh karenanya tak heran jika orang yang mampu
dan disertai pemahaman agama, ia akan mewakafkan sebagian hak miliknya guna
investasi akhiratnya serta manfaatnya dapat dirasakan orang lain. Ditinjau dari
hal tersebut, menurut kami wakaf bisa digolongkan ibadah hablumillah
dengan niat taqqarub dan habluminannas karena kemanfaatannya
dirasakan orang lain.
3. Rukun Wakaf
a.
Wakif (yang berwaqaf)
Syarat-Syarat yang berkaitan dengan wakif ialah mempunyai
kecakapan melakukan tabarru. Yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan
materi. Orang yang cakap melakukan tindakan tabarru adalah baligh,
berakal sehat, dan tidak terpaksa.[11]
Dalam fiqh dikenal dengan baligh dan rasyid, baligh
dititikberatkan pada umur dan rasyid pada kematangan pertimbangan akal. Maka
akan dipandang tepat bila dalam bertabarru disyaratkan rasyid, yang dapat
ditentukan dengan penyelidikan.[12]
Dan wakaf itu atas (harus memenuhi) syarat-syarat yang
ditetapkan pewakaf (waqif), dari mendahulukan, mengakhirkan, meratakan atau
melebihkan.[13]
Wakif dibolehkan menentukan syarat-syarat penggunaan wakaf, syarat-syarat
tersebut harus dihormati selama sejalan dengan ajaran agama Islam. Misalnya,
seseorang mewakafkan tanah untuk mendirikan pesantren khusus putra, syarat
seperti itu harus dihormati karena sejalan dengan ketentuan syara’.
Apabila syarat-syarat penggunaan wakaf bertentangan
dengan ajaran Islam, wakafnya dipandang sah, tetapi syaratnya dipandang batal.
Misalnya, seseorang yang mewakafkan tanah untuk masjid jami’, dengan syarat
hanya dipergunakan oleh para anggota perkumpulan tertentu., maka wakafnya sah
sedangkan syaratnya tidak perlu diperhatikan.[14]
b. Mauquf
(barang yang diwakafkan)
Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka harta
benda tersebut harus:
1.
Mutaqawwin (mal
mutaqawwin) yakni harta pribadi milik di wakif secara sah dan halal, dapat
benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud.
2.
Benda yang
diwakafkan itu jelas wujudnya dan pasti batasnya dan tidak dalam keadaan
sengketa
3.
Benda yang
diwakafkan itu harus kekal
(tahan lama) yang memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus
menerus.[15]
Sedangkan
jika kita melihat pada UU wakaf pasal 15 dan 16 ditentukan bahwa harta benda
wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara
sah. Harta benda wakaf terdiri dari :
1) Benda tidak bergerak
:
a.
Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang—undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b.
Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri diatas tanah
sebagaimana dimaksud pada poin A.
c.
Tanaman dan benda yang lain yang berkaitan dengan tanah.
d.
Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.
Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan
syari’ah dan peraturan perundangan yang berlaku.
Sedangkan
benda yang bergerak yang dapat di wakafkan adalah harta benda yang tidak bisa
habis karena dikonsumsi meliputi:
a.
Uang
b.
Logam mulia
c.
Surat berharga
d.
Kendaraan
e.
Hak atas kekayaan intelektual
f.
Hak sewa
g. Benda tidak
bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundangan yang
berlaku.[16]
c.
Tujuan wakaf (Mauquf alaih)
Yang dimaksud mauqul adalah tujuan
wakaf yang harus dilaksanakan
berdasarkan ketentuan yang di ajarkan dalam
ajaran Islam. Oleh karena itu, benda-benda yang dijadikan obyek
wakaf hendaknya benda-benda yang
termasuk dalam bidang mendekatkan diri (qurbat) kepada Allah SWT.
Tidak dibenarkan pelaksanaan wakaf itu didasarkan kepada tujuan yang tidak
baik dan mendatangkan kemudharatan kedapa masyarakat. Wakaf hendaknya
dilaksanakan dengan tujuan untuk kebaikan sesama manusia dengan mendapat ridha
dan pahala dari Allah SWT, misalnya untuk pelaksanaan pendidikan dan kesehatan,
dan lainnya.[17]
Wakaf kepada kemaksiatan adalah batal. Sebagaimana wakaf
untuk pembangunan gereja, mewakfkan pedang kepada begal atau pembunuh, dan lain
sebagainya.[18]
d. Ikrar wakaf
(Sighat wakaf)
Tentang sighat wakaf ini merupakan rukun wakaf yang
disepakati oleh jumhur fuqaha. Tanpa adanya ikrar wakaf, para fuqaha menganggap
wakaf belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah
pernyataan penyerahan barang-barang kepada nazir untuk dikelola sebagaimana
yang diharapkan oleh pemberi wakaf.
Wakaf sah dengan lafadz ”wakaftu” (saya wakafkan),
“sabbaltu” (saya sabilillahkan), “habastu kadza ‘ala kadza” (saya tahan, segini untuk segini), “ardhi
mauquufatun au waqfun ‘alaih” (bumiku menjadi barang wakaf/wakaf untuknya).[19]
Pada umumnya, lafaz kabul hanya diperuntukkan kepada
wakaf perorangan, tatapi bagi wakaf untuk umum tidak disyaratkan lafaz qabul,
cukup dengan ikrar penyerahan saja.[20]
4. Syarat Wakaf
Wakaf hukumnya
sah dengan adanya tiga syarat, yaitu:
1)
Barang yang diwakafkan adalah berupa barang yang dapat
diambil manfaatnya serta keadaannya dapat bertahan lama.
2)
Wakaf itu atas dasar asal yang wujud dan cabang yang
tidak putus.
3)
Pewakafan tidak berupa barang yang terlarang artinya yang
diharamkan.[21]
5. Macam-Macam
Wakaf
Menurut para
ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian:
1) Wakaf Ahli
(khusus)
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus.
Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,
seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalanya,
seseorang mewakafkan buku-buku yang ada diperpustakaan pribadinya untuk
turunannya yang mampu menggunakan.
Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati
harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Masalah yang mungkin akan timbul dalam wakf ini apabila turunan atau orang yang
ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf, mungkin
juga yang disebut atau ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah
wafat. Bagaimana dengan nasib benda wakaf tersebut?
Bila terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan pada syarat
umum yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu. Dengan demikian, meskipun
orang-orang yang berhak memanfaatkan benda-benda wakaf telah tiada, buku-buku
tersebut tetap kedudukan sebagai benda wakaf yang digunakan oleh keluarga yang
lebih jauh atau bila tidak ada lagi, digunakan oleh umum.[22]
2) Wakaf Khairi
(umum)
Wakaf khairi
ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan
tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang
benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran
Islam. Selain amat besar faedahnya untuk orang lain, pahalanya pun akan terus
mengalir meski wakif telah wafat, selama benda wakaf masih dapat diambil
manfaatnya.[23]
Menurut kami, jika
melihat dari kedua macam wakaf tersebut, yang lebih banyak dimengeti oleh
msyarakat dan banyak pula dijumpai praktiknya di masyarakat adalah jenis wakaf
khairi. Misalnya saja di negara kita, banyak kita jumpai wakaf sebidang tanah
untuk madrasah, mushola, masjid dan sebagainya yang mempunyai nilai sosial
tinggi dimata agama dan lebih berbekas serta berkesan di hati masyarakat.
Berbeda dengan
jenis wakaf khairi, wakaf ahli tidak banyak dikenal oleh masyarakat kita karena
memang tidak banyak ditemui di lapangan.
Selain itu, wakaf ahli hanya mempunyai ruang lingkup atau sasaran yang sangat
terbatas sehingga terbatas pula pihak-pihak yang merasakan benda wakaf
tersebut. Hal tersebut bisa saja memicu kesenjangan atau bahkan kecemburuan
sosial oleh masyarakan atau pihak yang tidak ditunjuk oleh si wakif.
5. Asas-Asas
Pewakafan
a) Asas manfaat
Di kalangan mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sangat
menekankan pada keabadian benda wakaf, walaupun sudah rusak sekalipun, tidak
boleh benda wakaf itu ditukarkan dengan benda yang lain walaupun benda akan
rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Ada sebagian ahli hukum di kalangan
mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah yang berpendapat bahwa benda wakaf boleh
diganti asal dengan benda yang lebih bermanfaat sebab dengan adanya pergantian
itu, maka benda tidak akan sia-sia. Berbeda dengan Imam Abu Hanifa dan Imam
Ahmad Ibn Hambal mengatakan bahwa benda wakaf boleh saja ditukar atau dijual
karena sudah tidak memiliki nilai manfaat lagi, diganti yang lebih bermanfaat
untuk masyarakat umum.
Asas kemanfaatan benda wakaf menjadi penting karen ibadah
wakaf dikategorikan sebagai ibadah yang memiliki nilai pahala yang terus
menerus mengalir walaupun wakif (orang yang wakaf) telah meninggal. Suatu benda
wakaf dikategorikan memiliki keabadian manfaat, paling tidak ada empat hal
harus ada, antara lain:
1.
Benda wakaf tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang
banyak. Misalnya wakaf tanah untuk didirikan madrasah.
2.
Benda wakaf memberi nilai yang lebih nyata bagi wakif itu
sendiri. Apabila harta wakaf itu memberikan manfaat kepada orang lain, maka si
wakif akan merasakan kepuasan batin
3.
Manfaat imater banyial lebih besar dari manfaat
materialnya
4.
Benda wakaf tidak menimbulkan bahaya bagi orang banyak
maupun bagi wakif sendiri.
b) Asas
pertanggungjawaban
Wakaf merupakan ibadah yang memiliki dimensi ilahiyah dan
insaniyah, maka perlu dipertanggungjawabkan pelaksanaannya di dunia dan di
akhirat. Pelsanaan wakaf harus dikelola dengan baik dan transparan dengan
mempertanggungjawabkan kepada Allah SWT maupun pertanggungjawaban sosial
kemasyarakatan.
Pertanggung jawaban kepada Allah SWT termasuk didalamnya.
Tanggung jawab wakif yang harus memberikan wakaf dengan penuh keikhlasan serta
niatan yang baik. Serta Tanggung jawab nazir yang harus mengelola atau
menjalankan harta wakaf dengan sungguh-sungguh, profesional, jujur, amanah
serta niat yang tulus.
Sedangkan tanggung jawab sosial berkaitan erat dengan
kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak boleh benda wakaf digunakan untuk
kepentingan yang merugikan kehidupan masyarakat. Pertanggungjawaban sosial
identik dengan kepatuha terhadap norma-norma sosial yang berkembang di tengah
masyarakat.[24]
c) Asas
profesionalitas manajemen
Wakaf yang dikelola dengan manajemen yang baik dan benar
akan menghasilakan manfaat yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat. Dalam
pengelolaan wakaf juga diperlukan manajemen yang terbuka dengan prinsip transparansi,
akkuntabilitas serta profesionalitas dalam pengelolaannya.[25]
Oleh karena dalam pelaksanaan wakaf termasuk ibadah, maka
pelaksanaannya tidak boleh lepas dari tuntutan yang digariskan oleh Rasulullah
SAW, yakni menciptakan manajemen yang baik agar mendatangkan manfaat yang
sebanyak mungkin untuk kepentingan masyarakat. Dalam kaitan ini, para pakar
hukum Islam menganjurkan agar mengelola manajemen wakaf dengan berpedoaman
kepada sifat-sifat Rasulullah SAW seperti amanah (dapat dipercaya), shiddiq (jujur),
fathanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).
Menurut kami, sangat penting memilih pengelola wakaf
(nazir) yang memiliki kepribadian tersebut diatas. Dengan karakter/ sifat-sifat
yang mencontoh nabi disertai ketrampilan dan keahlian, seorang nazir akan dapat
menghasilkan dan mengoperasionalkan harta wakaf sehingga aspek kemanfaatannya
dapat dirasakan oleh si wakif terlebih lagi bagi masyarakat luas.[26]
d) Asas keadilan
sosial
Fungsi sosial dari pewakafan mempunnyai arti bahwa
penggunaan hak milik oleh seseorang harus memberi manfaat langsung maupun tak
langsung pada masyarakat. Dalam ajaran kepemilikan terhadap harta benda
seseorang, agama Islam mengajarkan bahwa didalamnya melekat hak fakir
miskin yang harus diberikan pemiliknya
secara ikhlas kepada yang memerlukan sesuai ketentuan baik melalui infak,
sedekah, wasiat, hibah dan wakaf.[27]
Menurut kami, selain menyalurkan hak mereka yang
merluakan, apabila wakaf dilaksanakan dengan baik dan benar dengan
memperhatikan aspek keadilan, maka akan memberikan dampak terhadap kehidupan
sosial yang positif dan dinamis dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Ibadah
wakaf dapat membawa pengaruh besar dalam membantu meringankan masyarakat dalam
ibadah beribadah kepada Allah SWT, misalnya saja pembangungan mushola wakaf di
pedesaan yang jauh dari masjid. Selain itu wakaf juga memberi manfaat yang
besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pendidikan dan
kesehatan.
[1] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2008) Hal. 239
[2] Abi Bakr ibn Muhammad Taqiy al-Din. Kifayatul Akhyar,(Bandung :
Al-Ma’arif) Hal. 119
[3] Ahmad Azhar Basir. Wakaf, Izarah dan Syirkah (Bandung :
Al-Ma’arif. 1987) Hal. 5
[4] Idris Ahmad. Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta : Karya Indah. 1986)
Hal. 156
[5] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2008) Hal. 241
[6] Abdul Shomad. Hukum Islam (Jakarta: Kencana. 2010) Hal. 371
[7] Musthafa Dib Al-Bugha. Fiqh Islam Lengkap Madzhab Syafi’i
(Solo: Media Zikir. 2009) Hal. 311
[8] Ibid. Hal. 311-312
[9] Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah. 1976) Hal.
324
[10] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maribariy. Fathul Mu’in
(terjemah) (Yogyakarta: Menara Kudus.1979) Hal. 344
[11] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008) Hal. 243
[12] Ibid. Hal. 243
[13] Aliy As’ad. Taqtib Dalil (Yogyakarta: Menara Kudus. 1984) Hal.
240
[14] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2008) Hal. 245-246
[15] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia(Jakarta
: Kencana. 2008) Hal. 240-241
[16] Abdul Shomad. Hukum Islam. (Jakarta: Kencana. 2010) Hal.
374-375
[17] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
2008 (Jakarta : Kencana. 2008) Hal. 241
[18] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maribariy. Fathul Mu’in (terjemah).
(Yogyakarta: Menara Kudus. 1979) Hal. 352
[19] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maribariy. Fathul Mu’in (terjemah).
(Yogyakarta: Menara Kudus. 1979) Hal. 346
[20] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta
: Kencana. 2008) Hal. 241
[21] Syekh Imam Syamsudin Abu Abdillah bin Qasim. Fathul Qarib
(terjemah), (Yogyakarta: Menara Kudus. 1982) Hal. 312-314
[22] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2008) Hal. 244-245
[23] Ibid. Hal. 245
[24]Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta
: Kencana. 2008) Hal. 261-263
[25]Ibid. Hal. 263
[26] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta
: Kencana. 2008) Hal. 263
[27] Ibid. Hal. 264-265
No comments:
Post a Comment