Wednesday, October 22, 2014

WAKAF








A.   Pendahuluan

Islam merupakan agama yang turut menawarkan nilai-nilai sosial dengan jalan berbagi, seperti penyaluran harta baik zakat, sedekah, hibah dan juga wakaf. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi orang banyak, tapi juga memberi nilai lebih bagi orang yang melakukannya.
Wakaf merupakan salah satu opsi ibadah yang menjamur dikalangan masyarakat bangsa kita. Umat muslim termotivasi dengan pahala yang mengalir dengan jalan amal jariyah yang dapat diidentikkan dengan wakaf. Sehingga tak heran jika banyak ditemui sarana umum yang berstatus wakaf dari pihak perorangan.
Sebagaimana realita yang ada dimasyarakat, banyak diantara masyarakat kita yang mana orang tersebut mempunyai rizki lebih dan punya kemauan berbagi, lebih memilih mewakafkan sebagian hartanya. Berwakaf hendaknya tidak hanya sekedar melaksanakan kegiatan wakaf tanpa didasari pemahaman atau ilmu tentang wakaf. Wakaf merupakan salah satu  bagian dari ibadah, maka sudah pasti suatu ibadah diatur dalam syariat Islam. Konsekuensinya, dalam wakaf perlu dipahami pengertian, rukun, syarat, jenis, dasar hukum, asas, hikmah dan segala yang berkaitan dengan wakaf. Oleh karenanya, kami berusaha menyajikan beberapa poin penting berkenaan dengan pembahasan makalah wakaf ini, dengan harapan dapat memberi pemahaman bagi muslim untuk menjalankan ibadah wakaf ataupun sebagai khasanah keilmuan.














B.   Studi Kajian

1.      Pengertian Waqaf
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam (Rahmatan Lil’alamin) mengandung ajaran-ajaran yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Salah satunya adalah ajaran tentang Waqaf.
Menurut bahasa, waqafa berarti menahan atau mencegah. Sedangkan menurut istilah atau syara’, yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.      Muhammad al-Syarbini al Khatib berpendapat bahwa:
“Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zal benda, dengan memutuskan (memotong) tasyaruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas mushrif (pengelola) yang dibolehkan adanya.”[1]
2.      Menurut Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhamad al-Husaini dalam kitabnya kifatul akhyar adalah :
“Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda, dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.”[2]
3.      Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa:
“ Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Allah.”[3]
4.      Idris Ahmad berpendapat bahwa:
“ Wakaf adalah menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat (‘ain) –nya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara’ serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.”[4]

2.    Dasar Hukum Wakaf
Allah telah mensyariatkan wakaf, menganjurkan dan menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun dasar-dasar dari hukum wakaf diantaranya:
a.)     Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al Hajj:77)
Juga Allah SWT berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)[5]
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(Al-Baqarah : 267)[6]

b.)    Al-Hadits
Selain dasar hukum Al-Qur’an, dasar syariat wakaf adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari (2586) dan Muslim (1632)[7] yakni sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar bahwa Umar bin Khaththab mendapatkan  tanah di Khaibar. Kemudian dia mendatangi Nabi SAW untuk meminta pendapat beliau. Dia berkata, “ Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Saya belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga darinya sekalipun. Apa yang engkau perintahkan kepadaku tentang hal ini ?” Beliau menjawab,”Jika berkehendak, engkau dapat menahan asalnya dan menyedekahkannya.”  Kemudian Umar menyedekahkannya. Tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Akan tetapi, tanah itu disedekahkan kepada orang-orang fakir, karib kerabat, budak yang memerdekakan diri, keperluan jihad, ibnu sabil dan tamu. Orang yang mengurusnya tidak berdosa jika memakannya dengan cara yang makruf dan memberi makan (orang lain). Tanah itu bukan untuk diuangkan.[8]
Inilah mula-mula wakaf yang masyhur dalam Islam. Kata Imam Syafi’i: “Sesudah itu 80 orang sahabat di Madinah terus mengorbankan harta mereka dijadikan wakaf pula”.[9]
Selain itu juga hadist yang diriwayatkan Muslim: “Bila seorang Muslim telah meninggal dunia maka amalnya pun putus kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakannya”. Para Ulama membelokkan arti shadaqah jariyah pada wakaf.[10]
Dengan hadis tersebut, jelaslah bahwa wakaf bukan seperti sedekah biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap diri sendiri, dan orang lain pun turut merasakan manfaat yang besar. Si Wakif mendapat pahala yang mengalir selama barang wakaf masih digunakan atau bermanfaat. Oleh karenanya tak heran jika orang yang mampu dan disertai pemahaman agama, ia akan mewakafkan sebagian hak miliknya guna investasi akhiratnya serta manfaatnya dapat dirasakan orang lain. Ditinjau dari hal tersebut, menurut kami wakaf bisa digolongkan ibadah hablumillah dengan niat taqqarub dan habluminannas karena kemanfaatannya dirasakan orang lain.

3.    Rukun Wakaf
a.       Wakif (yang berwaqaf)
Syarat-Syarat yang berkaitan dengan wakif ialah mempunyai kecakapan melakukan tabarru. Yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi. Orang yang cakap melakukan tindakan tabarru adalah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.[11]
Dalam fiqh dikenal dengan baligh dan rasyid, baligh dititikberatkan pada umur dan rasyid pada kematangan pertimbangan akal. Maka akan dipandang tepat bila dalam bertabarru disyaratkan rasyid, yang dapat ditentukan dengan penyelidikan.[12]
Dan wakaf itu atas (harus memenuhi) syarat-syarat yang ditetapkan pewakaf (waqif), dari mendahulukan, mengakhirkan, meratakan atau melebihkan.[13] Wakif dibolehkan menentukan syarat-syarat penggunaan wakaf, syarat-syarat tersebut harus dihormati selama sejalan dengan ajaran agama Islam. Misalnya, seseorang mewakafkan tanah untuk mendirikan pesantren khusus putra, syarat seperti itu harus dihormati karena sejalan dengan ketentuan syara’.
Apabila syarat-syarat penggunaan wakaf bertentangan dengan ajaran Islam, wakafnya dipandang sah, tetapi syaratnya dipandang batal. Misalnya, seseorang yang mewakafkan tanah untuk masjid jami’, dengan syarat hanya dipergunakan oleh para anggota perkumpulan tertentu., maka wakafnya sah sedangkan syaratnya tidak perlu diperhatikan.[14]

b.      Mauquf (barang yang diwakafkan)
Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka harta benda tersebut harus:
1.         Mutaqawwin (mal mutaqawwin) yakni harta pribadi milik di wakif secara sah dan halal, dapat benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud.
2.         Benda yang diwakafkan itu jelas wujudnya dan pasti batasnya dan tidak dalam keadaan sengketa
3.         Benda yang diwakafkan itu harus kekal (tahan lama) yang memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus menerus.[15]
Sedangkan jika kita melihat pada UU wakaf pasal 15 dan 16 ditentukan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah. Harta benda wakaf terdiri dari :
1) Benda tidak bergerak :
a.       Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang—undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b.      Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri diatas tanah sebagaimana dimaksud pada poin A.
c.       Tanaman dan benda yang lain yang berkaitan dengan tanah.
d.      Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.       Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundangan yang berlaku.
Sedangkan benda yang bergerak yang dapat di wakafkan adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi meliputi:
a.       Uang
b.      Logam mulia
c.       Surat berharga
d.      Kendaraan
e.       Hak atas kekayaan intelektual
f.       Hak sewa
g.      Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundangan yang berlaku.[16]

c.    Tujuan wakaf (Mauquf alaih)
Yang dimaksud mauqul  adalah tujuan wakaf  yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang di ajarkan dalam  ajaran Islam. Oleh karena itu, benda-benda yang dijadikan obyek wakaf  hendaknya benda-benda yang termasuk dalam bidang mendekatkan diri (qurbat) kepada Allah SWT.
Tidak dibenarkan pelaksanaan wakaf itu didasarkan kepada tujuan yang tidak baik dan mendatangkan kemudharatan kedapa masyarakat. Wakaf hendaknya dilaksanakan dengan tujuan untuk kebaikan sesama manusia dengan mendapat ridha dan pahala dari Allah SWT, misalnya untuk pelaksanaan pendidikan dan kesehatan, dan lainnya.[17]
Wakaf kepada kemaksiatan adalah batal. Sebagaimana wakaf untuk pembangunan gereja, mewakfkan pedang kepada begal atau pembunuh, dan lain sebagainya.[18]

d.    Ikrar wakaf (Sighat wakaf)
Tentang sighat wakaf ini merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh jumhur fuqaha. Tanpa adanya ikrar wakaf, para fuqaha menganggap wakaf belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan penyerahan barang-barang kepada nazir untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf.
Wakaf sah dengan lafadz ”wakaftu” (saya wakafkan), “sabbaltu” (saya sabilillahkan), “habastu kadza ‘ala kadza  (saya tahan, segini untuk segini), “ardhi mauquufatun au waqfun ‘alaih” (bumiku menjadi barang wakaf/wakaf untuknya).[19]
Pada umumnya, lafaz kabul hanya diperuntukkan kepada wakaf perorangan, tatapi bagi wakaf untuk umum tidak disyaratkan lafaz qabul, cukup dengan ikrar penyerahan saja.[20]
4.    Syarat Wakaf
       Wakaf hukumnya sah dengan adanya tiga syarat, yaitu:
1)        Barang yang diwakafkan adalah berupa barang yang dapat diambil manfaatnya serta keadaannya dapat bertahan lama.
2)        Wakaf itu atas dasar asal yang wujud dan cabang yang tidak putus.
3)        Pewakafan tidak berupa barang yang terlarang artinya yang diharamkan.[21]

5.    Macam-Macam Wakaf
       Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian:
1)    Wakaf Ahli (khusus)
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalanya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada diperpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan.
Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Masalah yang mungkin akan timbul dalam wakf ini apabila turunan atau orang yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf, mungkin juga yang disebut atau ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah wafat. Bagaimana dengan nasib benda wakaf tersebut?
Bila terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan pada syarat umum yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu. Dengan demikian, meskipun orang-orang yang berhak memanfaatkan benda-benda wakaf telah tiada, buku-buku tersebut tetap kedudukan sebagai benda wakaf yang digunakan oleh keluarga yang lebih jauh atau bila tidak ada lagi, digunakan oleh umum.[22]

2)    Wakaf Khairi (umum)
       Wakaf khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam. Selain amat besar faedahnya untuk orang lain, pahalanya pun akan terus mengalir meski wakif telah wafat, selama benda wakaf masih dapat diambil manfaatnya.[23]
Menurut kami, jika melihat dari kedua macam wakaf tersebut, yang lebih banyak dimengeti oleh msyarakat dan banyak pula dijumpai praktiknya di masyarakat adalah jenis wakaf khairi. Misalnya saja di negara kita, banyak kita jumpai wakaf sebidang tanah untuk madrasah, mushola, masjid dan sebagainya yang mempunyai nilai sosial tinggi dimata agama dan lebih berbekas serta berkesan di hati masyarakat.
Berbeda dengan jenis wakaf khairi, wakaf ahli tidak banyak dikenal oleh masyarakat kita karena memang tidak banyak  ditemui di lapangan. Selain itu, wakaf ahli hanya mempunyai ruang lingkup atau sasaran yang sangat terbatas sehingga terbatas pula pihak-pihak yang merasakan benda wakaf tersebut. Hal tersebut bisa saja memicu kesenjangan atau bahkan kecemburuan sosial oleh masyarakan atau pihak yang tidak ditunjuk oleh si wakif.
5.    Asas-Asas Pewakafan
a)    Asas manfaat
Di kalangan mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah sangat menekankan pada keabadian benda wakaf, walaupun sudah rusak sekalipun, tidak boleh benda wakaf itu ditukarkan dengan benda yang lain walaupun benda akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Ada sebagian ahli hukum di kalangan mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah yang berpendapat bahwa benda wakaf boleh diganti asal dengan benda yang lebih bermanfaat sebab dengan adanya pergantian itu, maka benda tidak akan sia-sia. Berbeda dengan Imam Abu Hanifa dan Imam Ahmad Ibn Hambal mengatakan bahwa benda wakaf boleh saja ditukar atau dijual karena sudah tidak memiliki nilai manfaat lagi, diganti yang lebih bermanfaat untuk masyarakat umum.
Asas kemanfaatan benda wakaf menjadi penting karen ibadah wakaf dikategorikan sebagai ibadah yang memiliki nilai pahala yang terus menerus mengalir walaupun wakif (orang yang wakaf) telah meninggal. Suatu benda wakaf dikategorikan memiliki keabadian manfaat, paling tidak ada empat hal harus ada, antara lain:
1.    Benda wakaf tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak. Misalnya wakaf tanah untuk didirikan madrasah.
2.    Benda wakaf memberi nilai yang lebih nyata bagi wakif itu sendiri. Apabila harta wakaf itu memberikan manfaat kepada orang lain, maka si wakif akan merasakan kepuasan batin
3.    Manfaat imater banyial lebih besar dari manfaat materialnya
4.    Benda wakaf tidak menimbulkan bahaya bagi orang banyak maupun bagi wakif sendiri.

b)    Asas pertanggungjawaban
Wakaf merupakan ibadah yang memiliki dimensi ilahiyah dan insaniyah, maka perlu dipertanggungjawabkan pelaksanaannya di dunia dan di akhirat. Pelsanaan wakaf harus dikelola dengan baik dan transparan dengan mempertanggungjawabkan kepada Allah SWT maupun pertanggungjawaban sosial kemasyarakatan.
Pertanggung jawaban kepada Allah SWT termasuk didalamnya. Tanggung jawab wakif yang harus memberikan wakaf dengan penuh keikhlasan serta niatan yang baik. Serta Tanggung jawab nazir yang harus mengelola atau menjalankan harta wakaf dengan sungguh-sungguh, profesional, jujur, amanah serta niat yang tulus.
Sedangkan tanggung jawab sosial berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak boleh benda wakaf digunakan untuk kepentingan yang merugikan kehidupan masyarakat. Pertanggungjawaban sosial identik dengan kepatuha terhadap norma-norma sosial yang berkembang di tengah masyarakat.[24]

c)    Asas profesionalitas manajemen
Wakaf yang dikelola dengan manajemen yang baik dan benar akan menghasilakan manfaat yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat. Dalam pengelolaan wakaf juga diperlukan manajemen yang terbuka dengan prinsip transparansi, akkuntabilitas serta profesionalitas dalam pengelolaannya.[25]
Oleh karena dalam pelaksanaan wakaf termasuk ibadah, maka pelaksanaannya tidak boleh lepas dari tuntutan yang digariskan oleh Rasulullah SAW, yakni menciptakan manajemen yang baik agar mendatangkan manfaat yang sebanyak mungkin untuk kepentingan masyarakat. Dalam kaitan ini, para pakar hukum Islam menganjurkan agar mengelola manajemen wakaf dengan berpedoaman kepada sifat-sifat Rasulullah SAW seperti amanah (dapat dipercaya), shiddiq (jujur), fathanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).
Menurut kami, sangat penting memilih pengelola wakaf (nazir) yang memiliki kepribadian tersebut diatas. Dengan karakter/ sifat-sifat yang mencontoh nabi disertai ketrampilan dan keahlian, seorang nazir akan dapat menghasilkan dan mengoperasionalkan harta wakaf sehingga aspek kemanfaatannya dapat dirasakan oleh si wakif terlebih lagi bagi masyarakat luas.[26]

d)    Asas keadilan sosial
Fungsi sosial dari pewakafan mempunnyai arti bahwa penggunaan hak milik oleh seseorang harus memberi manfaat langsung maupun tak langsung pada masyarakat. Dalam ajaran kepemilikan terhadap harta benda seseorang, agama Islam mengajarkan bahwa didalamnya melekat hak fakir miskin  yang harus diberikan pemiliknya secara ikhlas kepada yang memerlukan sesuai ketentuan baik melalui infak, sedekah, wasiat, hibah dan wakaf.[27]
Menurut kami, selain menyalurkan hak mereka yang merluakan, apabila wakaf dilaksanakan dengan baik dan benar dengan memperhatikan aspek keadilan, maka akan memberikan dampak terhadap kehidupan sosial yang positif dan dinamis dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Ibadah wakaf dapat membawa pengaruh besar dalam membantu meringankan masyarakat dalam ibadah beribadah kepada Allah SWT, misalnya saja pembangungan mushola wakaf di pedesaan yang jauh dari masjid. Selain itu wakaf juga memberi manfaat yang besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan.








Bevel: WAKAF 

                                                                                                  
 






Rounded Rectangle: Al-Hadits  : Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari (2586) dan Muslim (1632)                                              









 


[1] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008) Hal. 239
[2] Abi Bakr ibn Muhammad Taqiy al-Din. Kifayatul Akhyar,(Bandung : Al-Ma’arif) Hal. 119
[3] Ahmad Azhar Basir. Wakaf, Izarah dan Syirkah (Bandung : Al-Ma’arif. 1987) Hal. 5
[4] Idris Ahmad. Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta : Karya Indah. 1986) Hal. 156
[5] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008) Hal. 241
[6] Abdul Shomad. Hukum Islam (Jakarta: Kencana. 2010) Hal. 371
[7] Musthafa Dib Al-Bugha. Fiqh Islam Lengkap Madzhab Syafi’i (Solo: Media Zikir. 2009) Hal. 311
[8] Ibid. Hal. 311-312
[9] Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam (Jakarta: Attahiriyah. 1976) Hal. 324
[10] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maribariy. Fathul Mu’in (terjemah) (Yogyakarta: Menara Kudus.1979) Hal. 344
[11] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) Hal. 243
[12] Ibid. Hal. 243
[13] Aliy As’ad. Taqtib Dalil (Yogyakarta: Menara Kudus. 1984) Hal. 240
[14] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008) Hal. 245-246
[15] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia(Jakarta : Kencana. 2008) Hal. 240-241
[16] Abdul Shomad. Hukum Islam. (Jakarta: Kencana. 2010) Hal. 374-375
[17] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 2008 (Jakarta : Kencana. 2008) Hal. 241
[18] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maribariy. Fathul Mu’in (terjemah). (Yogyakarta: Menara Kudus. 1979) Hal. 352
[19] Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maribariy. Fathul Mu’in (terjemah). (Yogyakarta: Menara Kudus. 1979) Hal. 346
[20] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana. 2008) Hal. 241
[21] Syekh Imam Syamsudin Abu Abdillah bin Qasim. Fathul Qarib (terjemah), (Yogyakarta: Menara Kudus. 1982) Hal. 312-314
[22] Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008) Hal. 244-245
[23] Ibid. Hal. 245
[24]Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana. 2008) Hal. 261-263
[25]Ibid. Hal. 263
[26] Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana. 2008) Hal. 263
[27] Ibid. Hal. 264-265

No comments:

Post a Comment