BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang
kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk
garis-garis hukum yang global yang mampu memecahkan seluruh problematika
kehidupan manusia baik yang meliputi aspek ritual (ibadah) maupun
sosial(muamalah). Dengan demikian akan dapat digali (istimbat)
berbagai cara pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan manusia.
Agama Islam juga mengajarkan kepada umatnya supaya
hidup saling tolong-menolong, yang kaya harus menolong, bentuk dari
tolong-menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman. Dalam
bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai
dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur
sebagi jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu
melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh di jual oleh kreditur. Konsep
tersebut dalam Fiqh Islam dikenal
dengan istilah rahn atau gadai.
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, yang
mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang
berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang
jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi
dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Praktik seperti ini telah ada
sejak zaman Rasulullah saw. dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai
mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas
dasar tolong-menolong.
1.2. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari Gadai ?
2. Apa
dasar hukum Gadai?
3. Bagaimana
pemanfaatan barang Gadai?
4. Apa
dasar hukum samsarah/ makelar dan prosentasenya serta tradisi yang berkembang?
1.3. Tujuan
Masalah
1. Memahami
dan mampu menjelaskan tentang makna Gadai
2. Mengetahui
dasar-dasar hukum bagi transaksi Gadai
3. Mengetahui
dan dapat pemanfaatan barang Gadai
4. Mengetahui
dasar hukum samsarah/makelar dan prosentasenya serta tradisi yang berkembang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Gadai
Transaksi hukum gadai dalam fiqh Islam disebut ar-rahn.
Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai
tanggungan utang.[1] Pengertian ar-rahn dalam
bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam[2], yang berarti
“tetap” dan “kekal”.Pengertian “tetap” dan “kekal”, merupakan makna yang
tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan
makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar-rahn
berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat
utang”.[3]
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa adalah
tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera
atau menahan sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat
diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian
gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang
bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang
berpiutang oleh orang yang mempunyai utang
atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna
gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara’) adalah:Menjadikan
suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan
hutang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian hutang dari
barang tersebut.[4]
Adapun pengertian gadai (rahn) menurut para ahli
hukum Islam sebagai berikut:
1)
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan gadai adalahMenjadikan suatu barang yang biasa dijual
sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak snggup
membayar utangnya.[5]
2)
Ahmad Azhar Basyir mengatakan, rahn adalah
perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan
sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun
bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian
utang dapat diterima.[6]
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai (rahn) adalah
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai
jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah
ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang
itu tidak dapat dibayar.
2.2.
Dasar Hukum Gadai
A.
Al-Qur’an
Ayat yang dapat
dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
“Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis mengungkapkan bahwa rahn
dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan
perjalanan (musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam
sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya)dan ada orang yang menjadi
saksi terhadapnya. Bahkan beliau menganggap bahwa dengan rahn, prinsip
kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah
dengan persaksian seseorang.[7]Sekalipun
demikian, penerima gadai (murtahin) juga dibolehkan tidak menerima barang
jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindar dari
kewajibannya. Sebab, substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk
menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak
atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang-piutang.[8]
B.
As-Sunnah
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam
membuat rumusan gadai syariah adalah hadits Nabi Muhammad saw, yang antara lain
diungkapkan sebagai berikut.
1)
Hadits ‘Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
yang berbunyi:
“Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan
Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin
‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah
saw. Membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.”[9](HR. Muslim)
2)
Hadits dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah yang berbunyi:
“Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-Jahdami, ayahku
telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari
Anas berkata: Sungguh Rasulullah saw. menggadaikan baju besinyakepada seorang
Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.”[10](HR. Ibnu Majah)
C.
Ijma’ Ulama
Jumhur Ulama menyepakati kebolehan
status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw.
yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi.
Para Ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. tersebut,
ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang
kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi
Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan
mengambil ganti ataupun harga yang diberikan
oleh Nabi Muhammad saw. kepada mereka.[11]
2.3.
Pemanfaatan Barang Gadai
D.
Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan)
1)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh
memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh
memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama
Hanabilah.
2)
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin,
rahin mempunyai hak memanfaatkannya.
3)
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan
untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya,
menempatinya dan sebagainya. Tapi jika menyebabkan borg berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin.
E.
Pemanfaatan murtahin
atas borg
1)
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan
borg sebab dia hanya berhak
menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
2)
Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkam oleh rahin atau
disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan
serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir sama dengan
pendapat Syafi’iyah.
3)
Ulama Hanabiyah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat,
jika borg berupa hewan, murtahin
boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti
biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Sedangkan borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan tanpa siizin rahin.
2.4.
Hukum Samsarah dan Prosentasenya
serta tradisi-tradisi yang berkembang
Samsarah berasal dari bahasa Arab yang berarti Makelar,
yaitu orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli),[12]
atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. [13]
Kehadiran makelar di tengah-tengah masyarakat terutama
masyarakat modern sangat dibutuhkan untuk memudahkan dunia bisnis. Sebab tidak
sedikit orang yang pandai dalam tawar menawar, tidak mengerti cara menjual dan
membeli barang yang diperlukan.[14]
Jelas sekali bahwa makkelar sangat dibutuhkan dan manfaat dalam kehidupan
sehari-hari.
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah
termasuk akad ijaroh, maksudnya yaitu, suatu perjanjian mamanfaatkan sesuatu
barang misalnya rumah, atau orang misalnya pelayan, atau pekerjaan-pekerjaan
yang lain, misalnya jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dan menghasilkan
imbalan.
Sebagaimana
sabda Nabi-Nabi :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ
يَجِفَّ عَرَقُهُ
Dari
Abdullah bin Umar, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Berilah
upah kepada para pekerja sebelum keringatnya mengering."[15]
Pekerjaan makelar itu termasuk ijaroh, maka untuk
syahnya pekerjaan makelar ini harus memenuhi beberapa syarat, antara lain
sebagai berikut:
1)
Persetujuan kedua belah pihak. (Al-Qur’an surat
An-Nisa’ ayat 29):
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
2)
Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan
dapat diserahkan.
3)
Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram,
misalnya mencarikan untuk kasino, atau sebagainya.[16]
Makelar harus bersifat jujur, ihlas, terbuka, dan tidak
melakukan penipuan dan bisnis yang haram dan yang subhat (yang tidak jelas haram/haramnya). Makelar juga mempuyai hak
untuk mendapatkan imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya, sedangkan pihak
yang menggunakan jasa makelar harus member imbalannya, sesuai dengan hadits
Nabi: “Berilah pekerjaan itu upahnya
sebelum kering keringatnya”. (H.R Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Abu Ya’la dari
Abu Hurairoh, dan Al-Thabrani dari Anas)
Jumlah imbalan yang hrus diberikan kepada makelar,
adalah menurut perjanjian, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ma’idah
ayat 1,
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”
Apabila jumlah imbalan tidak ditentukan dalam
perjanjian, maka hal ini dikembalikan pada adat-istiadat yang berlaku
dimasyarakat. Misalnya di Indonesia menurut tradisi makelar berhak menerima
imbalan antara 2,5% sampai 5 %, tergantung dengan jumlah transaksi. Bila
transaksi jual beli kurang dari Rp 1.000.000,00 imbalannya 5% sedangkan apabila
lebih dari Rp 1.000.000.00 imbalan cukup dengan 2,5%.
Berdasarkan kaidah hukum islam adat kebiasaan itu diakui sebagai
dasar hukum, tetapi kaidah hukum ini perlu diberi catatan : “Selama adat kebiasan atau hukum adat itu
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip alam Al-Qur’an dan sunah”.
Hukum
Percaloan
Ulama’ ahli fiqih telah sepakat bahwa makelar adalah suatu
pekerjaan yang halal, dan telah dikenal sejak dahulu kala.
عَنْ
قَيْسِ بْنِ أَبِي غَرَزَةَ قَالَ كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ
مِنْهُ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ
وَالْحَلْفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Sahabat Qais
bin Abi Gharzah radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Dahulu kami ini dijuluki sebagai “para calo” (As Samasirah). Dan pada
suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melintasi kami, maka beliaupun
memeberi kami nama yang lebih baik. Beliau bersabda: “Wahai para pedagang,
sesungguhnya jual-beli itu biasanya diiringi oleh perbuatan sia-sia dan sumpah,
karenanya campurilah dengan seddekah.” Riwayat
Abu Dawud, At Tirmizy dan An Nasa’i.
Imam
Bukhari dalam kitab shahihnya membuat satu bab spesial tentang hukum upah yang
dipungut oleh para makelar. Pada bab ini beliau menukilkan fatwa boleh ini dari
sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, Ibnu Sirin, Atha’ bin Abi Rabah, Ibrahim
An Nakhai dan Al Hasan Al Basri.
Hukum
halal ini juga selaras dengan keumumam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berikut:
المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا أو حل حراما
“Seluruh umat islam berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah
mereka sepakati. Kecuali persyaratan yang mengharamkan sesuatu yang nyata-nyata
halal atau menghalalkan sesuatu yang nyata-nyata haram.” At Tirmizy.
Bentuk Makelar Yang Halal
Anda
pasti tahu bahwa tujuan para makelar atau calo ialah mendapatkan upah atau fee
dari penjual atau pembeli atau keduanya yang mereka layani. Wajar bila masalah
upah makelar memiliki pengaruh sangat besar pada hukum pekerjaan mereka. Yang
demikian itu, dikarenakan mereka bukanlah pemilik barang atau jasa yang
diperjual-belikan, dan bukan pula sebagai pemilik uang.
Agar
anda mengenal hukum makelar berdasarkan ketentuan upah yang mereka peroleh,
saya mengajak anda untuk menyimak penegasan ulama’-ulama’ terdahulu tentang
ketentuan upah makelar.
1.
Model
pertama: Pengguna jasa makelar tidak
membatasi keuntungan
‘Atha’
meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu:
“Dahulu beliau membolehkan anda untuk menyerahkan bajumu kepada
makelar, lalu engkau berkata:: Juallah baju ini, dengan harga sekian dan
sekian, selebihnya adalah milikmu.” Ibnu Abi
Syaibah
Imam
Ahmad bin Hanbal dan juga Ishaq bin Rahuyah rahimahullah menilai bahwa Ibnu
Abbas berpendapat demikian, karena beliau memperlakukan ucapan pemilik baju ini
sebagai akad mudharabah (bagi hasil). (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 4/451)
Model
ini juga dapat berlaku pada pembelian, misalnya pembeli berkata kepada makelar:
belikan saya barang dengan harga sekian, dan bila engkau mendapatkan barang
dengan harga yang lebih murah, maka selisih harganya milikmu.
2.
Model Kedua:
Dengan keuntungan yang ditentukan.
Diantara
model percaloan yang dihalalkan ialah dengan membuat kesepakatan tentang
keuntungan atau upah yang diberikan kepada makelar. Misalnya penjual berkata:
bila engkau berhasil menjualkan barang ini, maka engkau aku beri upah sekian.
Penentuan
upah makelar ini dapat dituangkan dalam bentuk nominal tertentu, misalnya Rp.
100.000 , dan dapat pula dalam bentuk prosentase. Asalkan besaran keuntungan
yang dijanjikan disepakati oleh kadua belah pihak, maka semuanya itu halal.
Yang demikian itu karena makelar mendapatkan upah atas jasa yang ia berikan,
yaitu berupa menjualkan atau membelikan barang. Dan bisa juga jasa yang
diberikan oleh makelar hanya sebatas menghubungkan antara pemilik barang dengan
pembeli.
3.
Upah Dari Kedua
Belah Pihak
Tidak
jarang seorang makelar mensyaratkan keuntungan dari kedua belah pihak yang
terkait, dari penjual dan juga dari pembeli. Perbuatan semacam ini secara
prinsip syari’at tidak masalah, asalkan semuanya dilakukan dengan transparan
dan jujur, tanpa ada manipulasi atau penipuan. Kepada penjual anda berterus
terang bahwa Anda menginginkan keuntungan dalam jumlah yang jelas, demikian
pula anda bersikap di hadapan calon pembeli.
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Ketentuan hak terletak pada persyaratan yang telah disepakati.”(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Said bin
Manshur).
Ambisi
mengeruk keuntungan besar sering kali menghanyutkan nalar dan iman makelar.
Dihadapan pemilik barang ia mengesankan bahwa barang miliknya bernilai sangat
rendah, namun dihadapan calon pembeli ia mengesankan bahwa barang tersebut
bernilai selangit. Dengan cara ini ia dapat engeruk keuntungan segunung.
Tidak
diragukan sikap ini adalah bentuk pengkhianatan nyata kepada penjual dan
pembeli sekaligus. Betapa tidak, sejatinya makelar adalah wakil dari keduanya,
dengan demikian, seharusnya ia berupaya agar orang yang mempercayainya
mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Hendaknya ia memperlakukan orang
lain bak memperlakukan dirinya sendiri. Andai ia menjual barang miliknya
sendiri, niscaya ia berusaha mencari harga yang peling tinggi. Dan sebaliknya,
bila ia membeli untuk dirinya sendiri, niscaya ia berupaya mencari harga yang
paling murah.
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidaklah sempurna imanmu, hingga engkau cinta agar saudaramu
mendapatkan seperti apa yang engkau dapatkan.” Muttafaqun ‘alaih.
Pantangan Makelar
Dalam
syari’at Islam, ada satu pantangan bagi para makelar. Pantangan tersebut ialah
menjadi perantara penjualan barang milik orang kampung yang dijual di pasar
kota. Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ فَقُلْتُ مَا يَبِيعُ حَاضِرٌ
لِبَادٍ قَالَ لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
3439.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW melarang orang kota menjualkan
barang dagangan orang yang tinggal di daerah pelosok (pedalaman). Aku bertanya,
"Bagaimana orang kota menjualkan untuk orang yang tinggal di daerah
pelosok?" Rasulullah SAW bersabda, "Tidak menjadi makelar bagi
orang yang tinggal di daerah pelosok tersebut? " (Shahih: Muttafaq
'Alaih)
Pada riwayat
lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan alasan pantangan ini dengan
bersabda:
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَذَرُوا النَّاسَ يَرْزُقُ اللَّهُ بَعْضَهُمْ مِنْ
بَعْضٍ
3442.
Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah orang kota
menjualkan barang dagangan orang yang tinggal di daerah pelosok, biarkanlah
manusia, karena Allah akan memberi rezeki sebagian mereka dari sebagian yang
lain." (Shaltih: Ibnu Majah)2176
Mengapa
praktek ini dilarang, padahal menguntungkan pemilik barang, sehingga
mendapatkan harga yang pantas.
Ketahuilah
saudaraku! bila anda renungkan lebih mendalam, niscaya anda dapatkan bahwa pada
kenyataannya, penduduk kampung diuntungkan sekali dan dirugikan berkali-kali.
Belum lagi perbuatan makelar ini merugikan masyarakat luas. Biasanya barang
dagangan penduduk kampung adalah barang-barang mentah.
Dengan
demikian, bila penduduk kota membeli bahan baku produksi dengan harga mahal,
maka hasil produksinya dijual dengan harga yang mahal pula. Padahal kebanyakan
penduduk kampung bersifat konsumtif, yaitu menjadi pembeli barang hasil olahan
penduduk kota. Bahkan tidak jarang penduduk desa, membeli kembali hasil olahan
barang yang telah ia jual kepada penduduk kota.
Dengan
demikian, tidak sepenuhnya benar bila dinyatakan bahwa percaloan pada kasus ini
menguntungkan penduduk desa sebagai pemilik barang.
Disamping
itu Islam lebih mendahulukan kepentingan masyarakat luas dibanding kepentingan
segelintir orang. Apalagi bila ternyata keuntungan segelintir orang tersebut
tidak sepenuhnya dapat ia rasakan, sebagaimana dijelaskan di atas.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Gadai dalam arti bahasa ar-rahnartinya adalah tetap dan terus
menerus, menurut syara’ definisi ar-rahn/gadai
adalah menjamin utang dengan sesuatu yang bisa menjadi pembayar utang tersebut,
artinya menjadikan sesuatu yang bernilai uang sebagai jaminan terhadap hutang.
Ar-rahnu diperbolehkan
dalam Alqur’an, As-sunah dan Ijma. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat
283: ““Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...”.
Pemanfaatan barang gadai dari Rahin atas borg(barang
yang digadaikan) menurut para ahli ulama terdapat perbedaan pendapat, Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin
murtahin; Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkannya;
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang
jika tidak menyebabkan borg berkurang,
tidak perlu meminta izin, tapi jika menyebabkan borg berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin.
Pemanfaatan murtahin atas borg, Ulama Hanafiah
berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh
memanfaatkannya; Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkam oleh rahin atau
disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan
serta ditentukan waktunya secara jelas; Ulama Hanabiyah berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh
memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya
meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Sedangkan borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan tanpa siizin rahin.
Samsarah berasal dari bahasa Arab yang berarti Makelar,
yaitu orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli atau perantara
antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.Pekerjaan makelar menurut
pandangan islam adalah termasuk akad ijaroh, maksudnya yaitu, suatu perjanjian
mamanfaatkan sesuatu barang misalnya rumah, atau orang misalnya pelayan, atau
pekerjaan-pekerjaan yang lain, misalnya jasa pengacara, konsultan, dan
sebagainya dan menghasilkan imbalan.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat Syafei, Konsep Gadai; Ar-Rahn dalm Fikih
Islam antara Nilai Sosial dan Nilai komersial
Huzaimah
T. Yanggo, Problematika Hukum Islam
Kontemporer III, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995.
Abi Zakariyya
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Mughny Muhtaj, Mesir: Musthafa Babi
Al-Halabi, 1957.
Wahbah Zuhaily,
Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Dar Al-Fikr, 2002.
Sayyid Sabiq, al-Fiqh
As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1995
W.J.S
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesi, Jakarta, Balai pustaka, 1976.
Mahmud
Syaitut, Al-fatawa, Mesir, Darul
Qalam, tt.
H.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta,
PT Midas Surya Grafindo, tt.
Al
Fauzan Saleh, Fiqh Sehari-hari, Jakarta:
Gema Insani, 2006
[1]Rahmat Syafei, “Konsep Gadai; Ar-Rahn dalm Fikih Islam antara
Nilai Sosial dan Nilai komersial” dalam Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam
Kontemporer III, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995),
cet. II, hlm. 59.
[2]Abi Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Mughny Muhtaj, (Mesir:
Musthafa Babi Al-Halabi, 1957), jilid 2, hlm. 121.
[3]Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 2002), jilid 4, hlm. 4204.
[4]Sayyid Sabiq, al-Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr,
1995), jilid 3, hlm. 187.
[6]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang
Gadai, (Bandung: Al-Maarif, 1983), hlm. 50.
[8]Ibid
[9]Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Al-Kusyairy An-Naisaburi, Shahih
Muslim, (Dar Al-Fikr, 1993), juz 2, hlm. 51.
[10]Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwiny, Sunan Ibn
Majah, (Dar Al-Fikr, 1995), juz 2, hlm. 18.
[11]Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 2002), juz VI, cet. 4, hlm. 4210.
[12] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesi, Jakarta, Balai pustaka, 1976, hal. 624
[13] Mahmud Syaitut, Al-fatawa, Mesir,
Darul Qalam, s.a, hlm. 356
[14] H. Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, Jakarta, PT Midas Surya Grafindo. Hal.127
[16] Ibid, hal 128
No comments:
Post a Comment