Wednesday, October 22, 2014

GADAI









BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia baik yang meliputi aspek ritual (ibadah) maupun sosial(muamalah). Dengan demikian akan dapat digali (istimbat) berbagai cara pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan manusia.
Agama Islam juga mengajarkan kepada umatnya supaya hidup saling tolong-menolong, yang kaya harus menolong, bentuk dari tolong-menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagi jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh di jual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam  Fiqh Islam dikenal dengan istilah rahn atau  gadai.
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang). Praktik seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah saw. dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong.
1.2.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dari Gadai ?
2.    Apa dasar hukum Gadai?
3.    Bagaimana pemanfaatan barang Gadai?
4.    Apa dasar hukum samsarah/ makelar dan prosentasenya serta tradisi yang berkembang?
1.3.  Tujuan Masalah
1.    Memahami dan mampu menjelaskan tentang makna Gadai
2.    Mengetahui dasar-dasar hukum bagi transaksi Gadai
3.    Mengetahui  dan dapat pemanfaatan barang Gadai
4.    Mengetahui dasar hukum samsarah/makelar dan prosentasenya serta tradisi yang berkembang


























BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Gadai
Transaksi hukum gadai dalam fiqh Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.[1] Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ­ats-tsubut wa ad-dawam[2], yang berarti “tetap” dan “kekal”.Pengertian “tetap” dan “kekal”, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.[3]
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera atau menahan sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang  atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu, makna gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara’) adalah:Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, yang memungkinkan  untuk  mengambil seluruh atau sebagian hutang dari barang tersebut.[4]
Adapun pengertian gadai (rahn) menurut para ahli hukum Islam sebagai berikut:
1)   Ulama Syafi’iyah mendefinisikan gadai adalahMenjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak snggup membayar utangnya.[5]
2)   Ahmad Azhar Basyir mengatakan, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[6]
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai (rahn) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar.
2.2.  Dasar Hukum Gadai
A.  Al-Qur’an
Ayat  yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan perjalanan (musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya)dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan beliau menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang.[7]Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga dibolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang-piutang.[8]
B.  As-Sunnah
Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah hadits Nabi Muhammad saw, yang antara lain diungkapkan sebagai berikut.
1)   Hadits ‘Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
“Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw. Membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.”[9](HR. Muslim)
2)   Hadits dari Anas bin Malik ra. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:
“Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-Jahdami, ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: Sungguh Rasulullah saw. menggadaikan baju besinyakepada seorang Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk keluarganya.”[10](HR. Ibnu Majah)

C.    Ijma’ Ulama
Jumhur  Ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw. yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para Ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad saw. yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan  oleh Nabi Muhammad saw. kepada mereka.[11]

2.3.  Pemanfaatan Barang Gadai
D.  Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan)
1)   Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
2)   Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkannya.
3)   Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan sebagainya. Tapi jika menyebabkan borg berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin.

E.  Pemanfaatan murtahin atas borg
1)   Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
2)   Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkam oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Syafi’iyah.
3)   Ulama Hanabiyah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Sedangkan borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan tanpa siizin rahin.

2.4.  Hukum Samsarah dan Prosentasenya serta tradisi-tradisi yang berkembang
Samsarah berasal dari bahasa Arab yang berarti Makelar, yaitu orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli),[12] atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. [13]
Kehadiran makelar di tengah-tengah masyarakat terutama masyarakat modern sangat dibutuhkan untuk memudahkan dunia bisnis. Sebab tidak sedikit orang yang pandai dalam tawar menawar, tidak mengerti cara menjual dan membeli barang yang diperlukan.[14] Jelas sekali bahwa makkelar sangat dibutuhkan dan manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijaroh, maksudnya yaitu, suatu perjanjian mamanfaatkan sesuatu barang misalnya rumah, atau orang misalnya pelayan, atau pekerjaan-pekerjaan yang lain, misalnya jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dan menghasilkan imbalan.



Sebagaimana sabda Nabi-Nabi :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Berilah upah kepada para pekerja sebelum keringatnya mengering."[15]
Pekerjaan makelar itu termasuk ijaroh, maka untuk syahnya pekerjaan makelar ini harus memenuhi beberapa syarat, antara lain sebagai berikut:
1)   Persetujuan kedua belah pihak. (Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29):
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
2)   Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3)   Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram, misalnya mencarikan untuk kasino, atau sebagainya.[16]
Makelar harus bersifat jujur, ihlas, terbuka, dan tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram dan yang subhat (yang tidak jelas haram/haramnya). Makelar juga mempuyai hak untuk mendapatkan imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan jasa makelar harus member imbalannya, sesuai dengan hadits Nabi: “Berilah pekerjaan itu upahnya sebelum kering keringatnya”. (H.R Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Abu Ya’la dari Abu Hurairoh, dan Al-Thabrani dari Anas)
Jumlah imbalan yang hrus diberikan kepada makelar, adalah menurut perjanjian, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ma’idah ayat 1,
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ  
 Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”
Apabila jumlah imbalan tidak ditentukan dalam perjanjian, maka hal ini dikembalikan pada adat-istiadat yang berlaku dimasyarakat. Misalnya di Indonesia menurut tradisi makelar berhak menerima imbalan antara 2,5% sampai 5 %, tergantung dengan jumlah transaksi. Bila transaksi jual beli kurang dari Rp 1.000.000,00 imbalannya 5% sedangkan apabila lebih dari Rp 1.000.000.00 imbalan cukup dengan 2,5%.
Berdasarkan kaidah hukum islam adat kebiasaan itu diakui sebagai dasar hukum, tetapi kaidah hukum ini perlu diberi catatan : “Selama adat kebiasan atau hukum adat itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip alam Al-Qur’an dan sunah”.
Hukum Percaloan
Ulama’ ahli fiqih telah sepakat bahwa makelar adalah suatu pekerjaan yang halal, dan telah dikenal sejak dahulu kala.
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي غَرَزَةَ قَالَ كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُسَمَّى السَّمَاسِرَةَ فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Sahabat Qais bin Abi Gharzah radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Dahulu kami ini dijuluki sebagai “para calo” (As Samasirah). Dan pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melintasi kami, maka beliaupun memeberi kami nama yang lebih baik. Beliau bersabda: “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual-beli itu biasanya diiringi oleh perbuatan sia-sia dan sumpah, karenanya campurilah dengan seddekah.”  Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan An Nasa’i.
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya membuat satu bab spesial tentang hukum upah yang dipungut oleh para makelar. Pada bab ini beliau menukilkan fatwa boleh ini dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, Ibnu Sirin, Atha’ bin Abi Rabah, Ibrahim An Nakhai dan Al Hasan Al Basri.
Hukum halal ini juga selaras dengan keumumam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا أو حل حراما
“Seluruh umat islam berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah mereka sepakati. Kecuali persyaratan yang mengharamkan sesuatu yang nyata-nyata halal atau menghalalkan sesuatu yang nyata-nyata haram.” At Tirmizy.
Bentuk Makelar Yang Halal
Anda pasti tahu bahwa tujuan para makelar atau calo ialah mendapatkan upah atau fee dari penjual atau pembeli atau keduanya yang mereka layani. Wajar bila masalah upah makelar memiliki pengaruh sangat besar pada hukum pekerjaan mereka. Yang demikian itu, dikarenakan mereka bukanlah pemilik barang atau jasa yang diperjual-belikan, dan bukan pula sebagai pemilik uang.
Agar anda mengenal hukum makelar berdasarkan ketentuan upah yang mereka peroleh, saya mengajak anda untuk menyimak penegasan ulama’-ulama’ terdahulu tentang ketentuan upah makelar.
1.    Model pertama:  Pengguna jasa makelar tidak membatasi keuntungan
‘Atha’ meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu:
“Dahulu beliau membolehkan anda untuk menyerahkan bajumu kepada makelar, lalu engkau berkata:: Juallah baju ini, dengan harga sekian dan sekian, selebihnya adalah milikmu.”  Ibnu Abi Syaibah
Imam Ahmad bin Hanbal dan juga Ishaq bin Rahuyah rahimahullah menilai bahwa Ibnu Abbas berpendapat demikian, karena beliau memperlakukan ucapan pemilik baju ini sebagai akad mudharabah (bagi hasil). (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 4/451)
Model ini juga dapat berlaku pada pembelian, misalnya pembeli berkata kepada makelar: belikan saya barang dengan harga sekian, dan bila engkau mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah, maka selisih harganya milikmu.
2.    Model Kedua: Dengan keuntungan yang ditentukan.
Diantara model percaloan yang dihalalkan ialah dengan membuat kesepakatan tentang keuntungan atau upah yang diberikan kepada makelar. Misalnya penjual berkata: bila engkau berhasil menjualkan barang ini, maka engkau aku beri upah sekian.
Penentuan upah makelar ini dapat dituangkan dalam bentuk nominal tertentu, misalnya Rp. 100.000 , dan dapat pula dalam bentuk prosentase. Asalkan besaran keuntungan yang dijanjikan disepakati oleh kadua belah pihak, maka semuanya itu halal. Yang demikian itu karena makelar mendapatkan upah atas jasa yang ia berikan, yaitu berupa menjualkan atau membelikan barang. Dan bisa juga jasa yang diberikan oleh makelar hanya sebatas menghubungkan antara pemilik barang dengan pembeli.
3.    Upah Dari Kedua Belah Pihak
Tidak jarang seorang makelar mensyaratkan keuntungan dari kedua belah pihak yang terkait, dari penjual dan juga dari pembeli. Perbuatan semacam ini secara prinsip syari’at tidak masalah, asalkan semuanya dilakukan dengan transparan dan jujur, tanpa ada manipulasi atau penipuan. Kepada penjual anda berterus terang bahwa Anda menginginkan keuntungan dalam jumlah yang jelas, demikian pula anda bersikap di hadapan calon pembeli.
مقاطع الحقوق عند الشروط
“Ketentuan hak terletak pada persyaratan yang telah disepakati.”(Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Said bin Manshur).
Ambisi mengeruk keuntungan besar sering kali menghanyutkan nalar dan iman makelar. Dihadapan pemilik barang ia mengesankan bahwa barang miliknya bernilai sangat rendah, namun dihadapan calon pembeli ia mengesankan bahwa barang tersebut bernilai selangit. Dengan cara ini ia dapat engeruk keuntungan segunung.
Tidak diragukan sikap ini adalah bentuk pengkhianatan nyata kepada penjual dan pembeli sekaligus. Betapa tidak, sejatinya makelar adalah wakil dari keduanya, dengan demikian, seharusnya ia berupaya agar orang yang mempercayainya mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Hendaknya ia memperlakukan orang lain bak memperlakukan dirinya sendiri. Andai ia menjual barang miliknya sendiri, niscaya ia berusaha mencari harga yang peling tinggi. Dan sebaliknya, bila ia membeli untuk dirinya sendiri, niscaya ia berupaya mencari harga yang paling murah.
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidaklah sempurna imanmu, hingga engkau cinta agar saudaramu mendapatkan seperti apa yang engkau dapatkan.” Muttafaqun ‘alaih.
Pantangan Makelar
Dalam syari’at Islam, ada satu pantangan bagi para makelar. Pantangan tersebut ialah menjadi perantara penjualan barang milik orang kampung yang dijual di pasar kota. Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ فَقُلْتُ مَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
3439. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW melarang orang kota menjualkan barang dagangan orang yang tinggal di daerah pelosok (pedalaman). Aku bertanya, "Bagaimana orang kota menjualkan untuk orang yang tinggal di daerah pelosok?" Rasulullah SAW bersabda, "Tidak menjadi makelar bagi orang yang tinggal di daerah pelosok tersebut? " (Shahih: Muttafaq 'Alaih)
Pada riwayat lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan alasan pantangan ini dengan bersabda:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَذَرُوا النَّاسَ يَرْزُقُ اللَّهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ
3442. Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang yang tinggal di daerah pelosok, biarkanlah manusia, karena Allah akan memberi rezeki sebagian mereka dari sebagian yang lain." (Shaltih: Ibnu Majah)2176
Mengapa praktek ini dilarang, padahal menguntungkan pemilik barang, sehingga mendapatkan harga yang pantas.
Ketahuilah saudaraku! bila anda renungkan lebih mendalam, niscaya anda dapatkan bahwa pada kenyataannya, penduduk kampung diuntungkan sekali dan dirugikan berkali-kali. Belum lagi perbuatan makelar ini merugikan masyarakat luas. Biasanya barang dagangan penduduk kampung adalah barang-barang mentah.
Dengan demikian, bila penduduk kota membeli bahan baku produksi dengan harga mahal, maka hasil produksinya dijual dengan harga yang mahal pula. Padahal kebanyakan penduduk kampung bersifat konsumtif, yaitu menjadi pembeli barang hasil olahan penduduk kota. Bahkan tidak jarang penduduk desa, membeli kembali hasil olahan barang yang telah ia jual kepada penduduk kota.
Dengan demikian, tidak sepenuhnya benar bila dinyatakan bahwa percaloan pada kasus ini menguntungkan penduduk desa sebagai pemilik barang.
Disamping itu Islam lebih mendahulukan kepentingan masyarakat luas dibanding kepentingan segelintir orang. Apalagi bila ternyata keuntungan segelintir orang tersebut tidak sepenuhnya dapat ia rasakan, sebagaimana dijelaskan di atas.









BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulan
Gadai dalam arti bahasa ar-rahnartinya adalah tetap dan terus menerus, menurut syara’ definisi ar-rahn/gadai adalah menjamin utang dengan sesuatu yang bisa menjadi pembayar utang tersebut, artinya menjadikan sesuatu yang bernilai uang sebagai jaminan terhadap hutang.
Ar-rahnu diperbolehkan dalam Alqur’an, As-sunah dan Ijma. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 283: ““Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...”.
Pemanfaatan barang gadai dari Rahin atas borg(barang yang digadaikan) menurut para ahli ulama terdapat perbedaan pendapat, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin; Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkannya; Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin, tapi jika menyebabkan borg berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin.
Pemanfaatan murtahin atas borg, Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya; Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkam oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas; Ulama Hanabiyah berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Sedangkan borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan tanpa siizin rahin.
Samsarah berasal dari bahasa Arab yang berarti Makelar, yaitu orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijaroh, maksudnya yaitu, suatu perjanjian mamanfaatkan sesuatu barang misalnya rumah, atau orang misalnya pelayan, atau pekerjaan-pekerjaan yang lain, misalnya jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dan menghasilkan imbalan.



























DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Syafei, Konsep Gadai; Ar-Rahn dalm Fikih Islam antara Nilai Sosial dan Nilai komersial
Huzaimah T.  Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995.
Abi Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Mughny Muhtaj, Mesir: Musthafa Babi Al-Halabi, 1957.
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Dar Al-Fikr, 2002.
Sayyid Sabiq, al-Fiqh As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1995
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesi, Jakarta, Balai pustaka, 1976.
Mahmud Syaitut, Al-fatawa, Mesir, Darul Qalam, tt.
H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, PT Midas Surya Grafindo, tt.
Al Fauzan Saleh, Fiqh Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006




[1]Rahmat Syafei, “Konsep Gadai; Ar-Rahn dalm Fikih Islam antara Nilai Sosial dan Nilai komersial” dalam Huzaimah T.  Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995), cet. II, hlm. 59.
[2]Abi Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Mughny Muhtaj, (Mesir: Musthafa Babi Al-Halabi, 1957), jilid 2, hlm. 121.
[3]Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2002), jilid 4, hlm. 4204.
[4]Sayyid Sabiq, al-Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1995), jilid 3, hlm. 187.
[5]ibid., hlm. 188.
[6]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, (Bandung: Al-Maarif, 1983), hlm. 50.
[7]Ibid., hlm. 176.
[8]Ibid
[9]Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Al-Kusyairy An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Dar Al-Fikr, 1993), juz 2, hlm. 51.
[10]Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwiny, Sunan Ibn Majah, (Dar Al-Fikr, 1995), juz 2, hlm. 18.
[11]Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2002), juz VI, cet. 4, hlm. 4210.
[12] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesi, Jakarta, Balai pustaka, 1976, hal. 624
[13] Mahmud Syaitut, Al-fatawa, Mesir, Darul Qalam, s.a, hlm. 356
[14] H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, PT Midas Surya Grafindo. Hal.127
[15]Shahih. Al Irwa' (1498), Al Misykah (2987), At-Ta'liq Ar-Raghib (3/58), Ahadits Al Buyu'.
[16] Ibid, hal 128

No comments:

Post a Comment