BAB 1
PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi membawa dua dampak yaitu dampak positif dan negatif.
Sisi positifnya dapat dilihat dengan masuknya informasi lewat media massa baik
elektronik maupun cetak. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tersebut
dapat membawa kemudahan bagi manusia untuk memperkaya informasi, menambah
wawasan kecerdasan dan lain-lain. Selain sisi positif tersebut juga membawa
dampak negatif seperti halnya apa yang disaksikan melalui realitas yang ada
sekarang. Kedua dampak inilah yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat.
Islam sebagai agama
dakwah melalui ajarannya telah memberikan solusi alternatif dalam pemecahan masalah.
Dakwah pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempengaruhi seseorang dalam
bertindak dan berperilaku. Dengan dakwah diharapkan mampu mengubah kepribadian
secara individu maupun kolektif. (Bahri Ghazali, 1997: 45)
Dalam pengertian
immaterial, dakwah sebagai aktivitas yang mampu melakukan perubahan perilaku dan
pola pikir, sehingga orientasi pemikiran manusia menuju ke arah yang lebih
positif. Oleh Karena itu dakwah dalam Islam adalah aktivitas yang sangat mulia dalam istilah al-Qur’an
yakni perkataan dan perbuatan yang terbaik. (Q.S. Fushilat : 33).
Dalam Islam,
sasaran dakwah adalah seluruh umat manusia (masyarakat). Keberhasilan dakwah
ditentukan oleh faktor-faktor yang berpengaruh, salah satunya adalah adanya
lingkungan mad’u yang dikenal sebagai masyarakat.[1]
1.2
Rumusan Masalah
D.
Bagaimana pemecahan problematika dakwah tersebut?
A. Ingin mengetahui dan memahami
pengertian Dakwah menurut tafsir
{surat Al-lahab & An-nasr}
B.
Ingin mengetahui dan memahami pengertian Dakwah
C.
Ingin mengetahui dan memahami problematika dakwah
D.
Ingin memecahkan problematika dakwah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 pengertian Dakwah menurut tafsir { An-nasr & surat Al-lahab }
A. Tafsir surat An-nasr
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْح. وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا . فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, Dan kamu Lihat manusia masuk agama
Allah dengan berbondong-bondong, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
1.
(Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan).Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).Yang
dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, menurut Ibnu Rajab ialah pertolongan-Nya
bagi Rasulullah saat
berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga beliau berhasil menundukkan bangsa Arab
semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya.
Secara
eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi Rasulullah dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman
as-Sa’di berkata,"Dalam
surat ini terdapat bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya dan pada saat
kemunculannya. Kabar gembira ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan
peristiwa penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah dengan berbondong-bondong.
Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi
mengungkapkan: "Jika telah datang pertolongan Allah bagimu wahai Muhammad,
hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap peperangan yang
engkau jalani, dan datang anugerah penaklukkan, yaitu penaklukan kota Mekkah,
Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi wilayah Islam, yang sebelumnya merupakan
daerah kekufuran”.[2]
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah pendapat yang sudah bulat.”
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah pendapat yang sudah bulat.”
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul
Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan pendapat
senada.
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
2. (Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).
Disebutkan
dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:
وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
(Dahulu)
bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk
Islam. Mereka berkata: "Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika
beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi yang jujur".
Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk
Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya.
Menurut Imam al Qurthubi, peristiwa tersebut terjadi ketika kota Mekkah
berhasil dikuasi. Bangsa Arab berkata: "Bila Muhammad berhasil mengalahkan
para penduduk kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah
dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya).
Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”.
Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi
penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk
agama Allah secara berbondong-bondong. Belum
lewat dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada
simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.
Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi
agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya tasbih, tahmid dan
istighfar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini
merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada masa
khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.
Pertolongan
Allah Subhanahu wa Ta'ala itu akan berlangsung terus-menerus sampai Islam masuk
ke daerah yang belum pernah dirambah oleh agama lainnya. Dan ada kaum yang
masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke agama lainnya. Sampai akhirnya
dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini terhadap perintah Allah, sehingga
mereka dilanda bencana, yaitu berupa perpecahan dan terkoyaknya keutuhan.
فَسَبِّحْ
بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
3.
(Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya.Sesungguhnya
Dia adalah Maha Menerima taubat).
Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: "Jika engkau
shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan kemenangan dan
penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada
Allah”. Inilah keterangan yang beliau rajihkan.[3]
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ
اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Dari ‘Aisyah
Radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Tidaklah Rasulullah mengerjakan shalat
setelah turunnya surat ini, kecuali membaca Subhanaka Rabbana wa bihamdika
Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian kepada-Mu, ya Allah ampunilah
aku)".
Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata: "(Maksudnya)
Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya, manakala
pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi
kita". Pernyataan ini muncul, saat 'Umar bin al
Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka mengenai kandungan
surat an-Nashr.
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan berkata:
"Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama Umar
Radhiyallahu 'anhum ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan
bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan
benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan memohon
ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat. Terdapat
bukti penguat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat delapan
raka'at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa
beliau mengucapkan salam pada setiap dua raka'at di hari penaklukan kota Mekkah.
Demikianlah
yang dilakukan Sa’ad bin Abil Waqqash Radhiyallahu 'anhu pada hari penaklukan
kota Mada-in".
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
4.
(Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, [4]
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, [4]
B. Tafsir surat Al-lahab
surat
Al-lahab
تَبَّتْ يَدَا أَبِي
لَهَبٍ وَتَبَّ. مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ. سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ.
Binasalah
kedua tangan abu Lahab dan Sesungguhnya dia akan binasa.Tidaklah berfaedah
kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak.Dan (begitu pula) istrinya,
pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.
Ringkasan Tafsir
:
1.
Abu Lahab adalah paman nabi Muhammad SAW. Dia
sangat memusuhi dan menyakiti nabi. Jadi, dia tidak punya moral dan tidak pula punya jiwa melindungi terhadap
kerabatnya, maka Allah SWT mencelanya dengan celaan
yang keras ini, yang merupakan kehinaan baginya sampai hari kiamat. Dia SWT
berfirman, ‘Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan celakalah dia, dia tidak akan
beruntung.’
2.
Kemudian
Allah SWT memberitahukan bahwa harta dan anaknya tidak akan dapat menolak siksa
Allah ketika siksa itu datang kepadanya.
3.
Dan dia
akan masuk ke dalam neraka yang bergejolak, yang akan membakar dan mengepungnya
dari semua arah.
4.
Dia dan
isterinya yang juga sangat memusuhi Rasulullah SAW dan saling tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Perempuan itu memasang kayu berduri di
jalan yang dilalui Rasulullah SAW, dan berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi
beliau. Dengan begitu, berarti dia mengumpulkan kayu bakar.
5.
Dan Allah
SWT telah menyiapkan baginya di lehernya tali dari sabut yang keras dan kasar
di neraka jahannam. Tali itu bagaikan kalung yang digantungkan di lehernya
sebagai balasan atas apa yang dia lakukan terhadap Rasulullah SAW di dunia.[5]
2.2. Pengertian Dakwah
Dakwah
secara etimologis {da’a, yad’u, du’a} berarti mengajak, menyeru, memanggil dan
menyeru. Dakwah di Indonesia berarti seruan kepada Islam atau seruan Islam.
Secara terminology berarti ajakan
positif baik aspek dunia maupun akhirat. Dalam berdakwah terdapat beberapa hal pokok yang saling
mengikat, diantaranya:
A. UNSUR-UNSUR DAKWAH
1. Da’i
2. Mad’u { penerima dakwah}
3. Maddah
4. wasilah/ media
5. thariqah/ metode
6. atsar/ efek
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ
هُمُ
الْمُفْلِحُون
Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah
orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104].
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
"Serulah
(manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik". [An Nahl:125].[6]
7. Tujuan Dakwah
Intisari dari da’wah itu ialah mengubah
pandangan hidup :
يَا
اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا
اِسْتَجِيْبُوْا لِلهِ وَلِلرَّسُوْلِ اِذَا دَعَا كُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْ.....(
الأنفال :24)
Artinya :”wahai
orang-orang yang beriman, perkenankanlah seruan dari Allah dan seruan dari
Rosul, apabila Dia telah menyeru kamu kepada apa yang akan menghidupkan kamu “
( Surah, Al-Anfal :24 )
Ahli
tasawuf menyebut kesadaran manusia akan itu dengan “sadar akan diri”, ungkapan
bahasa modern ialah menghayati segala amal perbuatan, ibadah dan mu’amalat
(pergaulan hidup) semua kita kerjakan dengan sadar, atau semuanya kita hayati
maka tidaklah amal yang kita kerjakan semata-mata urutan, yang menjadi sama
saja dikerjakan atau ditinggalkan. Hidup yang demikian sama dengan mati! Sebab
itu jelaslah da’wah ialah membawa kepada yang berarti.
Maksud
da’wah ialah mengeluarkan dari gelap gulita kepada terang benderang. Maka orang
yang bertugas da’wah haruslah berusaha supaya da’wahnya mebawa terang, bukan
membawa gelap. Maka da’wah Islam sejak Rasulullah S.A.W diutus menjadi Rosul,
sejak zaman makka yang belum mempunyai kuasa apa-apa, bahkan dikejar-kejar dan
disakiti namun da’wah telah dimulai. Karena belum dapat berterang-terangan,
Nabi Muhammad melakukanya secara rahsia dirumah Arqam bin Arqam. Setelah Umar
bin Khattab masuk Islam barulah da’wah dilakukan secara nyata, dan setelah
berkuasa Islam dan menjadi kekuasaan nyata di Madinah barulah da’wah menjadi
populer.
Pada
mulanya bahwa ummat yang telah menerima seruan Rosul adalah ummat yang ummi,
tak pandai tulis baca. Nabi sendiri diutus dari kalangan mereka, senasib
seberuntungan dengan mereka. Tetapi ummat itu diajar kitab dan hikmat yaitu
sabda Allah dan hikmat pengalaman Nabi S.A.W dan materi yang diajarkan bukan
hanya itu saja, melainkan juga dipentingan sekali YUZAKKIHIM yang berarti
pensucian batin, pembersihan jiwa.
2.3 Problematika
Dakwah
Bagaimanakah Makna
Dakwah Dewasa ini ?
Dakwah
ibarat lentera kehidupan, yang memberi cahaya dan menerangi hidup manusia dari
nestapa kegelapan. Tatkala manusia dilanda kegersangan spiritual, dengan
rapuhnya akhlak, maraknya korupsi, kousi dan manipulasi, dakwah diharapkan
memberikan cahaya terang. Maraknya berbagai ketertimpangan, kerusuhan,
kecurangan dan sederet tindakan tercela lainya, disebabkan terkikisnya
nilai-nilai agama dalam diri manusia. Tidak berlebihan jika da’wah merupakan
bagian yang cukup penting bagi umat saat ini.
Namun
dalam realitanya, dakwah yang hadir ditengah-tengah umat saat ini masih dominan
dengan retorita, artinya kita belum bisa mewujudkan satunya kata dengan
tindakan. Betapa banyak orang yang begitu fasih mengucapkan kejujuran,
keadilan, anti korupsi. Kalau demikian, maka pesan-pesan dakwah yang
disampaikan pun tampaknya barulah sebatas kata-kata indah, sementara esensinya
belum teraktualisasikan.
Dalam
menyampaikan pesan-pesan dakwah, juru dakwah (da’i) yang kini banyak dikalangan
birokrat dan politisi, selalu menganjurkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Mereka menganjurkan pola hidup sederhana, mencanakan pemberantasan korupsi
sampai keakar-akarnya, menjembatani kesenjangan sosial ekonomi, menghindari
monopoli, menegakkan keadilan dan kebenaran, mengenyahkan kemiskinan dan
lainya. Namun dapat dibayangkan apa reaksi dan dampaknya bagi masyarakat, jika
fakta tidak sesuai dengan tindakan.
Berhasilnya
dakwah mencapai sasaran, apabila juru dakwah juga menjalankan moral dan etika
Islam, yang ditunjukan oleh kadar keimana dan ketaqwaanya secara konkrit dalam
kehidupan sehari hari. Mral dan etika pada hakekatnya bukanlah sesuatu yang
dipaksakan dari luar, melainkan hadir dari dalam kesadaran diri atas dasar
sistem nilai yang ditentukan oleh pengalaman batin dan akar budaya seseorang di
suatu lingkungan masyarakat.
2.4 Solusi
Problematika Dakwah
Untuk mengetahui bagaimana
dakwah pada hakekatnya kita harus mengetahui dan mengerti metode dakwah yang
relevan di masyarakat, yaitu dakwah bil lisan, dakwah bil-kalam, dan
dakwah bil hal. Dalam peraktiknya saat ini, barulah dakwah bil lisan yang
sering dilakukan. Sementara dakwah bil-kalam dan bil-hal jauh dari harpan.
Itulah sebabnya kualitas dakwah hingga kini masih tetap memprihatinkan.
Dakwah
yang baik bukanlah dakwah yang bersifat menggurui,
betapa pun misalnya di sampaikan
oleh seorang dengan kualifikasi yang cukup memiliki bobot. Seorang juru dakwah
yang baik, haruslah jujur pada dirinya sendiri terlbih dahulu. Bagaimana pesan
yang terkandung dalam Al-Qur’an melalui dakwah dapat menggungah kesadaran dan
menggerakkan partisipasi khalayak pendengar, apabila disampaikan oeh orang yang
dalam kedudukan dan jabataya justru memiliki cira satunya kata dan tindakan.
Bukan seperti model kampanye yang banyak mengumbar janji muluk, tapi belum
tentu kualitasnya.
Padahal
kalau kita mau bercermin pada sejarah Nabi, dalam teladan dakwahnya beliau
senantiasa menunjukkan satunya tindakan. Nabi menunjukkan adanya kesatuan
antara ucapan dengan perbuatan. Beliau tidak hanya hidup berdo’a dan
berkhutbah, tanpa melakukan aksi sosial kemasyarakatan. Mengkaji kembali
sejarah nabi ternyata beliau melakukan kegiatan kemasyarakatanya guna
mewujudkan misi akbarnya.
Dari
teladan dakwah yang demikian, maka sesungguhnya dakwah bukanlah sekedar
retorika belaka, tetapi harus mampu menjadi eladan tindakan sebagai dakwah
pembangunan secara nyata. Lembaga dakwah tidak anya berpusat dimasjid, kampus,
forum diskusi, pengajian dan semacamnya. Dakwah harus mengalami desentralisasi
kegiatan. Ia harus berada dibawah , dipermukiman kumuh, dipinggir kali,
dipedesaan, dimana kemiskinan struktural seakan takkan dapat terlepaskan.
Kearah sanalah nampaknya kegiatan dakwah dan ukhuwah harus dilangkahkan. Itu
juga berarti dakwah dan ukhuwah lebih direkayasa untuk mengulangi gejala
ke’arifan yang membawa kekufuran pada lapisan bawah.
Selain
itu, da’i pun hendaknya menghindari diri dari keberpihakan. Da’i hendaknya
mampu mewujudkan dirinya sebagai milik umat dan menjadi teladan dalam
mewujudkan ukhuwah islamiyah. Sebab realita yang ada saat ini, terutama pada
musim kampanye, justru dakwah terkotak-kotak pada kepentingan politik tertentu.
Padahal sesungguhnya, da’i sebagai penyampai kebenaran ditenggah umat, haruslah
mejadi teladan ukhuwah, bukan justru sebaliknya. Itulah sebabnya, umat yang semakin
kritis saat ini, sering menolak dan menbenci kehadiran seorang da’i karena ia
telah terjebak pada kepentingan politik tertentu. Akibat yang lebih fatal lagi,
misi dakwah sebagai tujuan utama gagal akibat tak mempunyai da’i memberi taulad
ukhuwah.
Kualitas Da’i
Da’i
sebagai teladan moralitas, juga dituntun lebih berkualitas dan mampu
menafsirkan pesan-pesan dakwah kepada masyarkat. Sesuai dengan tuntutan
pembagian umat, maka da’i pun hendaknya tidak hanya terfokus pada
masalah-masalah agama semata, tapi mampu memberi jawaban dari tuntunan realita
yang dihadapi masyarakat saat ini.
Umat
Islam pada lapisan bawah, tak sanggup menghubungkan secara tepat isi dakwah
yang sering didengar melalui dakwah bil lisan dengan realita sulitnya
kehidupan sosial ekonomi sehari-hari. Untuk itu da’i dituntut secara maksima
agar mampu melakukan dakwah bil hal (dalam bentuk nyata). Artinya
tatkala masyarakat mengharapkan keadilan dan kejujuran. Maka da’i mampu memberi
jalan keluar yang terbaik. Dalam hal ini, da’i juga harus mampu berdakwah
kepada para oknum yang sering mempermainkan keadilan dan kejujuran untuk
kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Dakwah
sekarang dan di masa mendatang haruslah mencakup dakwah bil hikamtil hasanah,
meskipun tidak perlu menerapkan ketrampilan yang terlau teknis. Ceramah-ceramah
agama idealnya adalah ceramah-ceramah yang bertemakan kebutuhan nyata
masyarakat.
Dakwah
harus mencakup perbuatan nyata, berupa uluran tangan si kaya pada si miskin,
pengayoman hukum, penegakan keadilan dan sebagainya. Perluasan kegiatan dakwah
atau desentralisasi yang dibarengi oleh diversifikasi mubaligh, relevan dengan
kebutuhan masyarakat yang juga semakin beraneka ragam karena meluasnya krisis
moral.
Konsep
dakwah idealnya adalah dakwah yang tidak menyempitkan cakrawala umat dalam
emosi keagamaan dan terpencilnya sosial. Dakwah yang diperlukan adalah yang
mendorong pelaksana partisipasi sosial. Dakwah yang demikian juga akan memenuhi
tuntutan individual untuk saling menolong dalam berbagai kesulitan sehari-hari.
Kini
setalah Islam memasuki usia 15 abad, dakwah seolah semakin redup ditengah
gemerlapnya arus modernisme dan materialisme. Kegersangan spritual pun semakin
parah melanda umat manusia. Sehingga nafsu angkara murka semakin merajalela.
Kebrutalan, kesadisan, korupsi, kolusi dan penindasan semakin memprihatinkan. Padahal sesungguhnya,
esensi dakwah yang terkandung dalam ayat-ayat suci dan hadis-hadis nabi tak
pernah mengenal redup dan luntur. Namun karena keangkuhan dan kealfaan
manusialah yang membuat ayat-ayat suci yang agung itu hanya menjadi retorika
yang indah. Untuk mewujudkan keberhasilan dakwah, pesan-pesan dakwah hendaknya
harus di transformasikan dari retorika ke realita. Dengan demikian, umat yang
didakwahi pun akan merasa makna satunya kata dengan tindakan.
MEMPERTANYAKAN KETELADANAN DAKWAH ELITE
POLITIK
Dalam
konsep Islam, setiap muslim sesungguhnya adalah juru dakwah yang mengemban
tugas untuk menjadi teladan moral ditengah masyarakat. Tugas dakwah yang
demikian berat dan luhur itu mencakup pada dua aspek, yaitu amar ma’ruf
(mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah kemungkaran). Dengan
demikian, kalau setiap muslim konsisten pada tugas luhur terebut, maka
seyogianya krrisis moral bisa di eliminasi.
Melaksanakan
tugas dakwah ditengah masyarakat tentu tidak cukup hanya dengan retorika dan
kefasihan mengucapkan berbagai dalil agama. Justru yang lebih penting dalam
kegiatan dakwah adalah keteladanan dari juru dakwah itu sendiri. Dakwah akan
lebih efektif dan membuahkan hasil yang maksimal manakala juru dakwah bisa
mewujudkan satunya kata dan tindakan. Kalau juru dakwah hanya pandai bermain
retorika, tapi tidak sesuai dengan tindakan, akan membuat masyarakat eggan
untuk mengikutinya.
Membicarkan
keteladanan dakwah dengan perilaku elite politik saat ini tampaknya menjadi
suatu kajian yang menarik dan relevan. Sebab latar belakang para elite politik
saat ini sangat erat dengan tugas-tugas dakwah. Sebelum menjadi elite politik
di tanah air, mereka tokoh-tokoh ormas Islam. Gus Dur adalah mantan ketua umum
PBNU, Amien rais mantan ketua umum PP Muhammadiyah dan Akbar Tanjung mantan
ketua umum PB HMI. Masing-masing ormas Islam itu mempunyai komitmen yang kuat
dalam mengembankan tugas dakwah.
Persoalan
yang muncul sekarang adalah, ditengah krisis politik dan ekonomi yang melanda
masyarakaat saat ini, dimana keteladanan dakwah dari para elite politik ?
apakah nilai-nilai dakwah yang begitu luhur tercerabut dari perilaku para elite
politik ? sebab, seandainya para elite politik mempunyai komitmen yang tinggi
pada nilai dakwah, maka konflik politik tidak akan berkepanjangan.
Keteladanan
Kondisi
politik yang sedang carut marut dewasa ini, tentu erat kaitanya dengan perilaku
para elite politik. Disatu sisi, elite politik mengiginkan terwujudnya
kerukunan ditangan masyarakat. Namun di sisi lain, para elite politik sendiri
tidak bisa menunjukan teladan kerukunan. Justru mereka sendiri seolah tidak
pernah berhenti dari konflik politik. Wajar kalau perilaku yang ditunjukkan
para elite politik itu merambah ke lapisan bawah. Akibatnya, kita melihat
pemandangan yang sangat memprihatinkan dengan munculnya berbagai konflik di
tengah masyarakat. Konflik yang terjadi itu tidak lagi sekedar konflik biasa,
tapi sudah sangat memprihatinkan, dengan terjadinya saling bunuh, saling bakar,
saling fitnah dan saling dendam antara satu dengan yang lain.
Kalau
garis konflik yang berkepanjangan ini ditarik pada kajian dakwah dengan
pentingnya sebuah keteladanan moral, barangkali bisa menjadi solusi yang tepat.
Para elite politik yang nota bene adalah tokoh-tokoh dakwah perlu kembali pada
konsep dakwah dalam etika politiknya. Konsep-konsep dakwah dalam mengatasi
perbedaan pendapat dikenal dengan istilah islah dan ukhuwah islamiyah perlu
dijadikan model baru untuk membangun kerukunan. Islah sebagai upaya untuk
membangun kembali hubungan antara sesama muslim dari berbagai pertentangan
perlu dibudidayakan. Demikian pula dengan konsep ukhuwah islamiyah, adalah
merupakan alternatif yang tepat dalam membangun keutuhan persatuan yang tepat dalam
membangun keutuhan persatuan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam
konsep ukhuwah islamiyah ditekankan betapa pentingnya menjalin tali
persaudaraan. Umat Islam boleh berbeda pendapat antara satu dengan yang lain,
namun tali persaudaraan jangan sampai putus karena perbedaan tersebut. Hal
inilah tampaknya yang diabaikan oleh para elite politik dewasa ini. Karena
alasan perbedaan pendapat dan perbedaan pandangan politik, membuat tali ukhuwah
islamiyah rapuh dan bahkan terputus. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan
kalau terus dibiarkan berkepanjangkan.
Elit
politik yang nota bene tokoh-tokoh ormas Islam sesungguhnya adalah juru dakwah,
dengan demikian, sebagai juru dakwah, mereka hendaknya bisa menjadi tauladan
moralitas ditengan masyarakat. Setiap ucapan dan tindakan yang mereka lakukan
akan menjadi panutan masyarakat. Perilaku yang ditunjukkan oleh para elite akan
menjadi cermin masyarakat. Kalau elite politik, mampu menunjukan perilaku yang
baik, maka masyarakat pun tentu akan bisa berperilaku baik. Sebaliknya,
manakala para elite politik itu menunjukkan perilaku yang buruk, maka
masyarakat pun akan melakukan hal yang sama dan bahkan lebih buruk lagi.
Ketegangan
dan berbagai konflik politik yang terjadi saat ini adalah cermin buram dari
perilaku para elite politik. Untuk mengakhiri kondisi yang tidak menguntungkan
itu, tampaknya perlu bahasa agama (dakwah) sebagaia solusinya. Manakala para
elite politik kembali pada konsep dakwah dalam membangun keutuhan persatuan dan
kesatuan bangsa, maka sesungguhnya tidak perlu terjadi konflik karena alasan
perbedaan pandangan politik. Para elite politik hendaknya menyadari bahwa
mereka juru dakwah yang dituntun bisa menjadi teladan ditengah masyarakat.
Dakwah
akan membuahkan hasil manakala juru dakwah bisa mewujudkan satunya kata dengan
tindakan. Demikian pula kaitanya dengan politik yang carut marut dewasa ini,
kata kuncinya adalah terletak pada keteladanan dakwah dari para elite
politik.
BAB
III
PENUTUP
Dari
tinjauan Islam ada dua jenis politik, yaitu Politik kualitas tinggi (High
politics) dan politik berkualitas rendah (low politics). Paling tidak ada tiga
ciri yang harus dimiliki politik berkualitas tinggi atau oleh mereka yang
mengizinkan terselenggaranya high politics Yakni:
Pertama, Setiap jabatan politik hakekatnya
berupa amanah dari masyrakat yang harus dipelihara sebaik baiknya. Amanah itu
tidak boleh disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri atau menguntungkan
kepentingan golongan sendiri dan menelantarkan kepentingan umum.
Kedua, erat yang disebut
di atas, setiap jabatan politik mengandung dalam dirinya Mas uliyyah atau
pertanggung jawaban (accountability), sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW, setiap orang pada dasarnya pemimpin yang harus mempertanggung jawabkan
kepemimpinannya dan tugas-tugasnya.
Kesadaran akan tanggung jawab ini bukan terbatas dihadapkan pada institusi-institusi atau lembaga yang bersangkutan, lebih penting lagi adalah tanggung jawab dihadapan Allah SWT, dan dihadapan mahkamah yang lebih adil besok yakni Akhirat.
Kesadaran akan tanggung jawab ini bukan terbatas dihadapkan pada institusi-institusi atau lembaga yang bersangkutan, lebih penting lagi adalah tanggung jawab dihadapan Allah SWT, dan dihadapan mahkamah yang lebih adil besok yakni Akhirat.
Bagi
umat Islam mutlak pentingnya Iman kepada Allah SWT dan pertanggung jawaban kita
dihadapannya. Seorang politikus, pejabat, atau negarawan yang kesadaran
tanggung jawabnya pada tuhan sangat dalam secara otomatis memiliki built-in control
yang tidak ada takarannya. Ia memiliki kendali dari (self restrain) yang sangat
kuat untuk tidak terperosok kedalam rawa-rawa kemunafikan.
Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan
secara ketat dengan prinsip uhkuwah (brotherhood), yakni persaudaraan diantara
sesama umat manusia. Dalam arti luar meliputi batas-batas etnik, rasial, agama,
latar belakang social, keturunan dan lain sebagainya. Misalnya, setiap orang
terlepas dari latar belakang manapun ia datang, jika di pukul pasti merasa
sakit, jika tidak makan pasti akan merasa lapar dan seterusnya. Oleh karena
itu, kegiatan politik kualitas tinggi akan menyadari gaya politik konfrontatif
yang penuh dengan konflik dan melihat pihak lain sebagai pihak yang harus
dieliminasi. Sebaliknya, gaya politik yang diambil adalah penuh dengan uhkuwah
mencari saling pengertian dan membangun kerjasama dunia seoptimal mungkin dalam
menunaikan tugas-tugas kekhalifahan.High politik Dengan ciri-ciri minimal
seperti disebutkan diatas sangat kondusif bagi pelaksanaan Amar ma’ruf nahi
munkar sebagaimana yang dimaksud dalam QS. Al-Hajj: 4
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Hamdan, dakwah ditengah
persoalan budaya dan politik, Yogyakarta, LESFI, 2001
Hamka, prinsip dan kebijaksanaan
da’wah islam, Jakarta, UMMINDA, 1982
Yahya Omar, Toha, ilmu
da’wah, Jakarta, WIDYA KARSA
PRATAMA, 1983
Tombak Alam, Datuk, kunci sukses
penerangan dan dakwah, Jakarta, RINEKA CIPTA, 1990
Munir & Wahyu Ilaihi, manajemen
dakwah, Jakarta, Prenada Media, 2006
[1]
Jurnal Al-tajdid STAIN PALOPO: Masmuddin
[2] Al
Jami li Ahkamil-Qur`an (20/211).
Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 42.
Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
. Aisarut-Tafasir (2/1500).
Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
. Aisarut-Tafasir (2/1500).
[3]
Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
Jami’ul Bayan ‘an Ta`wili Ayil-Qur`an (15/426), Zadul-Masir (4/ 501), al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211), Aisarut-Tafasir (2/1500).).
Jami’ul Bayan ‘an Ta`wili Ayil-Qur`an (15/426), Zadul-Masir (4/ 501), al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211), Aisarut-Tafasir (2/1500).).
[4] HR al
Bukhari, Kitabut-Tafsir (4967) dan Muslim.
Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/215)
Tafsir Quranil Azhim 8/511-512 dengan dirigkas
Al-Jami Li Ahkamil Qur'an (20/215)
Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/215)
Tafsir Quranil Azhim 8/511-512 dengan dirigkas
Al-Jami Li Ahkamil Qur'an (20/215)
[5] at-Tafsir al-Yasir:
Suuratu al-Faatihah Wa Juz ‘Amma, karya Yusuf bin
Muhammad al-Owaid, hal.131-132
HR al Bukhari di dalam al Maghazi, 4302, dan
lainnya.
Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/212)
Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211
Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/212)
Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211
[6] Ad
Dakwah Ila Allah, hlm. 115-116, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari.
Hukmul Intima’, hlm. 132.
Hukmul Intima’, hlm. 132.
No comments:
Post a Comment