Friday, December 12, 2014

PENAFSIRAN AL QUR’AN MENURUT CORAK FIQIH ARTIKEL



PENAFSIRAN AL QUR’AN MENURUT CORAK FIQIH
ARTIKEL
Ditulis untuk memenuhi tugas matakuliah Studi Hadist
yang dibina oleh


 









Oleh
MOH.KAMILUS ZAMAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Penafsiran Al Qur’an Menurut Fiqih
1.Corak pemikiran Masa Tabi’in
Kalau di kalangan sahabat banyak yang di kenal pakar dalam bidang tafsir, di kalangan tabi’in yang nota benenya menjadi murid mereka pun, banyak pakar di bidang tafsir. Dalam menafsirkan, para tabi’in berpegang teguh pada sumber-sumber yang ada pada masa pendahuluanya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
            Menurut Adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para musafir dari kalangan tabi’in berpegang teguh pada Al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasullualllah, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah di anugrahkan Allah kepada mereka.
            Kitab-kitab tefsir menginformasikan kepada kita pendapat-pendapat tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan  melalui proses penalaran dan dan ijtihad yang independen. Artinya penafsiran mereka ini sedikit pun tidak berasal dari rasulluah atau dari sahabat.
            Pada uraian di muka telah di kemukakan, tafsir yang di nukil dari Rasuluallah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat Al Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang di pahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya mereka pun menambahkkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu munculllah generasi sesudah tabi’in. generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir Al-Qur’an secara terus-menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunya Al-Qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya.
            Ketika penaklukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka memabawa ilmu masing-masing. Dari tangan mereka inilah tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya timbuhlah berbagai madzhab dan perguruan tafsir.
            Di makkah., misalnya, berdiri perguruan Ibnu Abbas. Di antara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan AL Yamani dan Atha’bin Abi Rabah, mereka ini semuanya dari golongan maula ( sahaya yang telah di bebaskan ). Periwatanya tefsir dari Ibnu Abbas, yamg sampai ke tamgan murid-muridnya itu tidak sama, ada yang sedikit fdan ada pula yang banyak, sebagaimana para ulama pun berbeda mengenai kadar “keterpercayaan” dan kredebilitas mereka. dan yamg mempunyai kelebihan di antara mereka tetapi mendapat sorotan adalah ‘Ikrimah. Para ulama berbeda pandangan di sekitar penilaian terhadap kredibitasnya meskipun meereka mengakui keilmuan dan keutamaannya.
            Di madinah, Ubay bin Ka’ab terkenal di bidang tafsir darinoramg lain. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak di nukil generasi sesudahnya. Di antara muridnya dari kalangan tabi’in ialah Zaid bi Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhamad bin Ka’ab Al Quranzi.
            Di irak berdiri perguruan Ibnu Masud yang di pandang para ulama sebagai cikal bakal mazhab Ahli Ra’yi. Dan banyak tabi’in di Irak di kenal dalam bidang Tafsir. Yamg mashur di antaranya ialah Alqamah bin Qais, masruq, Al Aswad bin Yazid,Murrah bin Al Hazani, ‘Amir Asy Sya’bi, Hasan Al Basri dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.
            Itulah para mufasir terkenal dari kalangan Tabi’in yang ada di berbagai wilayah Islam, dan dari mereka pulahlah generasi setelah tabi’in belajar. Mereka yelah mewariskan warisan ilmiah yang abadi bagi kita.
            Segolongan ulama berpendapat, tefsir mereka tidak harus di jadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksiakan peristiwa-peristiwa , situasi atau kondisi yang berkenaan debgab turunya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalm mengikuti apa yang di maksud. Sebaliknya, banyak mufasir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi sebab pada umumnya mereka menerimanya pada para sahabat.
            Pendapat yang kuat adalah ialah jika para tabi’in sepakat atas sesuatu pendapat maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh emninggalkanya untuk mengambil jalan yang lain.
            Ibnnu Taimiyah menukil pendapat. Syu’bah bin Al Hajjaj dan lainya katanya ‘pendapat para tabi’in itu bukan hujjah.’ Maka bagaimana pula pendapat –pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya. Pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sepedapat dengan mereka. inilah pendapt yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu termasuk hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagaian mereka tidak menjadi hujjah, baik dari kalangan tabi’in sendiri atau generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalanya di kembalikan kepada bahasa Al Qur’an, Sunnah,keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.
            Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi’ wa talqi (penerimaan dan periwayatan ). Tetapi setelah banyak ahli kitab masul Islam hanya para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra’ilyat yang kemudian di masukkan ke dalam tafsir. Misanya, yang di riwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar, Wahab Bin Munahbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin juraij. Di samping itu, pada masa ini mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang di tiwayatkan dari mereka kerenya benyaknya pendapat-pendapat mereka. namun demikian pendapat-pendapt tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.
2. Tafsir Para Fuqaha’
            Di masa Rasulluallah para sahabat memehami Al Qur’an dengan”insting”kearaban mereka. jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Mereka kembali kepada Rasullualaah Alaihi wa Sallam, lalu beliau menjelaskanya kepada mereka.
            Setelah Rasulluallah SAW wafat, para fuqaha’dari kalangan sahabat mengendalikan umat di bawah kepemimpinan Khulafa’ Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Quran merupakan tempat kembali mereka dalam menginstinbatkan hukum-hukum syara’nya. Mereka sepakat atas hal tersebut. Jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi dalam memahami sesuatu lafadzh, seperti perselisihan mereka mengenai ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya; apakah ‘iddah itu berakhir dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh hari ataukah dengan waktu paling lama diantara keduanya? Ini semua mengingat Allah berfirman:
والذين يتو فون منكم ويذرون ازواجا يتر بصن باء نفسهن أربعة أشهروعشرا  (234)البقرة    

Dan  mereka yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri, hendaklah si istri ber’iddah empat bulan sepuluh hari.” (Al-Baqarah: )

Dari perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungan mereka.” (Ath-Thaubah: )

Keadaan demikian, sekalipun jarang terjadi, merupakan awal dari suatu perbedaan pendapat di bidang fiqih dalam memahami ayat-ayat hukum.
Ketika tiba masa empat imam fiqih dengan kaedah-kaedah istnbath hukum masing-masing, di tambah lagi berbagai peristiwa dengan membawa persoalan barunya yang banyak dan belum pernah terjadi sebelumnya, maka semakin bertambah pula sisi perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal inidi sebabkan perbedaan segi dalalahnya,yang setiap ahli fiqih tentu berpegang pada apa yang dipandangnya benar, tetapi bukan karena fanatisme terhadap suatu madzhab tertentu,. Kerena  itu tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain, untuk merujuknya kepadanya.
Keadaan ini tetap berjalan demikian,sampai datanglah masa taklid an fanatisme madzhab. Pada masa ini aktifitas para pengikut imam hanya terfokus pada penjelasan dan pembelaan madzhab mereka sekalipun untuk ini mereka harus membawa ayat-ayat Al Qur’an kepada maknanya yang lemah dan jauh. Akibatnya, muncullah tafsir fiqih yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Di dalamnya fanatisme madzhab terkadang menjadi semakin memanas dan terkadang pula mereda.
Penulisan tafsir dengan metode dan corak demikian terus berlangsung sampai masa kini. Dan itulah yang kita namakan dengan tafsir Fikih. Di antara kitab-kitabnya yang terkenal ialah :
1.      Ahkam Al Qur’an, oleh  Jahsshash
2.      Ahkam Al Qur’an, oleh Al-Kiya’AL Harras
3.      Ahkam Al Qur’an, oleh Ibnu ‘Arabi
4.      Jami’Li Ahkam Al Qur’an
5.      Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil
6.      At-tafsirah Al Ahmadiyah fi Bayani Ayat Asy-Syar’iah
7.      Tafsiru ayat Al Hakam
8.      Tafsiru ayat Al Hakam
9.      Adhwa’u Al Bayan.

No comments:

Post a Comment