PENAFSIRAN AL QUR’AN MENURUT CORAK FIQIH
ARTIKEL
Ditulis untuk memenuhi tugas matakuliah Studi Hadist
yang dibina oleh
Oleh
MOH.KAMILUS ZAMAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Penafsiran Al Qur’an Menurut Fiqih
1.Corak pemikiran Masa Tabi’in
Kalau di kalangan sahabat banyak
yang di kenal pakar dalam bidang tafsir, di kalangan tabi’in yang nota benenya
menjadi murid mereka pun, banyak pakar di bidang tafsir. Dalam menafsirkan,
para tabi’in berpegang teguh pada sumber-sumber yang ada pada masa
pendahuluanya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Menurut
Adz-Dzahabi, dalam memahami Kitabullah, para musafir dari kalangan tabi’in
berpegang teguh pada Al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para
sahabat yang berasal dari Rasullualllah, penafsiran para sahabat, ada juga yang
mengambil dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. di samping itu
mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan nalar sebagaimana yang telah di
anugrahkan Allah kepada mereka.
Kitab-kitab
tefsir menginformasikan kepada kita pendapat-pendapat tabi’in tentang tafsir
yang mereka hasilkan melalui proses penalaran
dan dan ijtihad yang independen. Artinya penafsiran mereka ini sedikit pun
tidak berasal dari rasulluah atau dari sahabat.
Pada
uraian di muka telah di kemukakan, tafsir yang di nukil dari Rasuluallah dan
para sahabat tidak mencakup semua ayat Al Qur’an. Mereka hanya menafsirkan
bagian-bagian yang di pahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka.
kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia
bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang
tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya
mereka pun menambahkkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat
menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu munculllah generasi sesudah
tabi’in. generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir Al-Qur’an secara
terus-menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa arab dan
cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunya
Al-Qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana
pengkajian lainnya.
Ketika
penaklukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke
daerah-daerah taklukan. Mereka memabawa ilmu masing-masing. Dari tangan mereka
inilah tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga
selanjutnya timbuhlah berbagai madzhab dan perguruan tafsir.
Di
makkah., misalnya, berdiri perguruan Ibnu Abbas. Di antara muridnya yang
terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin
Kisan AL Yamani dan Atha’bin Abi Rabah, mereka ini semuanya dari golongan maula
( sahaya yang telah di bebaskan ). Periwatanya tefsir dari Ibnu Abbas, yamg
sampai ke tamgan murid-muridnya itu tidak sama, ada yang sedikit fdan ada pula
yang banyak, sebagaimana para ulama pun berbeda mengenai kadar “keterpercayaan”
dan kredebilitas mereka. dan yamg mempunyai kelebihan di antara mereka tetapi
mendapat sorotan adalah ‘Ikrimah. Para ulama berbeda pandangan di sekitar
penilaian terhadap kredibitasnya meskipun meereka mengakui keilmuan dan
keutamaannya.
Di
madinah, Ubay bin Ka’ab terkenal di bidang tafsir darinoramg lain.
Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak di nukil generasi sesudahnya. Di
antara muridnya dari kalangan tabi’in ialah Zaid bi Aslam, Abu ‘Aliyah dan
Muhamad bin Ka’ab Al Quranzi.
Di
irak berdiri perguruan Ibnu Masud yang di pandang para ulama sebagai cikal
bakal mazhab Ahli Ra’yi. Dan banyak tabi’in di Irak di kenal dalam bidang
Tafsir. Yamg mashur di antaranya ialah Alqamah bin Qais, masruq, Al Aswad bin
Yazid,Murrah bin Al Hazani, ‘Amir Asy Sya’bi, Hasan Al Basri dan Qatadah bin
Di’amah As-Sadusi.
Itulah
para mufasir terkenal dari kalangan Tabi’in yang ada di berbagai wilayah Islam,
dan dari mereka pulahlah generasi setelah tabi’in belajar. Mereka yelah mewariskan
warisan ilmiah yang abadi bagi kita.
Segolongan
ulama berpendapat, tefsir mereka tidak harus di jadikan pegangan, sebab mereka
tidak menyaksiakan peristiwa-peristiwa , situasi atau kondisi yang berkenaan
debgab turunya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah
dalm mengikuti apa yang di maksud. Sebaliknya, banyak mufasir berpendapat,
tafsir mereka dapat dipegangi sebab pada umumnya mereka menerimanya pada para
sahabat.
Pendapat
yang kuat adalah ialah jika para tabi’in sepakat atas sesuatu pendapat maka
bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh emninggalkanya untuk mengambil jalan
yang lain.
Ibnnu
Taimiyah menukil pendapat. Syu’bah bin Al Hajjaj dan lainya katanya ‘pendapat
para tabi’in itu bukan hujjah.’ Maka bagaimana pula pendapat –pendapat tersebut
dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya. Pendapat-pendapat itu tidak
menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sepedapat dengan mereka. inilah
pendapt yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan
lagi bahwa kesepakatan itu termasuk hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda
pendapat maka pendapat sebagaian mereka tidak menjadi hujjah, baik dari
kalangan tabi’in sendiri atau generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian,
persoalanya di kembalikan kepada bahasa Al Qur’an, Sunnah,keumuman bahasa Arab
dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.
Pada
masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi’ wa talqi
(penerimaan dan periwayatan ). Tetapi setelah banyak ahli kitab masul Islam
hanya para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra’ilyat yang
kemudian di masukkan ke dalam tafsir. Misanya, yang di riwayatkan dari Abdullah
bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar, Wahab Bin Munahbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz
bin juraij. Di samping itu, pada masa ini mulai timbul silang pendapat mengenai
status tafsir yang di tiwayatkan dari mereka kerenya benyaknya
pendapat-pendapat mereka. namun demikian pendapat-pendapt tersebut sebenarnya
hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan
perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat
kontradiktif.
2. Tafsir Para Fuqaha’
Di
masa Rasulluallah para sahabat memehami Al Qur’an dengan”insting”kearaban
mereka. jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Mereka kembali
kepada Rasullualaah Alaihi wa Sallam, lalu beliau menjelaskanya kepada mereka.
Setelah
Rasulluallah SAW wafat, para fuqaha’dari kalangan sahabat mengendalikan umat di
bawah kepemimpinan Khulafa’ Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru
yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Quran merupakan tempat kembali
mereka dalam menginstinbatkan hukum-hukum syara’nya. Mereka sepakat atas hal
tersebut. Jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi
dalam memahami sesuatu lafadzh, seperti perselisihan mereka mengenai ‘iddah
bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya; apakah ‘iddah itu berakhir dengan melahirkan atau empat
bulan sepuluh hari ataukah dengan waktu paling lama diantara keduanya? Ini
semua mengingat Allah berfirman:
والذين يتو فون منكم ويذرون ازواجا يتر بصن باء نفسهن أربعة
أشهروعشرا (234)البقرة
“Dan mereka yang meninggal dunia diantara kamu
dengan meninggalkan istri, hendaklah si istri ber’iddah empat bulan sepuluh
hari.” (Al-Baqarah: )
“ Dari perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka ialah sampai
mereka melahirkan kandungan mereka.” (Ath-Thaubah: )
Keadaan demikian, sekalipun jarang terjadi, merupakan
awal dari suatu perbedaan pendapat di bidang fiqih dalam memahami ayat-ayat
hukum.
Ketika tiba
masa empat imam fiqih dengan kaedah-kaedah istnbath hukum masing-masing, di
tambah lagi berbagai peristiwa dengan membawa persoalan barunya yang banyak dan
belum pernah terjadi sebelumnya, maka semakin bertambah pula sisi perbedaan
pendapat dalam memahami ayat, hal inidi sebabkan perbedaan segi dalalahnya,yang
setiap ahli fiqih tentu berpegang pada apa yang dipandangnya benar, tetapi
bukan karena fanatisme terhadap suatu madzhab tertentu,. Kerena itu tidak memandang dirinya hina jika ia
mengetahui kebenaran pada pihak lain, untuk merujuknya kepadanya.
Keadaan ini
tetap berjalan demikian,sampai datanglah masa taklid an fanatisme madzhab. Pada
masa ini aktifitas para pengikut imam hanya terfokus pada penjelasan dan
pembelaan madzhab mereka sekalipun untuk ini mereka harus membawa ayat-ayat Al
Qur’an kepada maknanya yang lemah dan jauh. Akibatnya, muncullah tafsir fiqih
yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Di dalamnya fanatisme
madzhab terkadang menjadi semakin memanas dan terkadang pula mereda.
Penulisan
tafsir dengan metode dan corak demikian terus berlangsung sampai masa kini. Dan
itulah yang kita namakan dengan tafsir Fikih. Di antara kitab-kitabnya yang
terkenal ialah :
1.
Ahkam Al
Qur’an, oleh Jahsshash
2.
Ahkam Al
Qur’an, oleh Al-Kiya’AL Harras
3.
Ahkam Al
Qur’an, oleh Ibnu ‘Arabi
4.
Jami’Li Ahkam
Al Qur’an
5.
Al-Iklil fi
Istinbath At-Tanzil
6.
At-tafsirah Al
Ahmadiyah fi Bayani Ayat Asy-Syar’iah
7.
Tafsiru ayat Al
Hakam
8.
Tafsiru ayat Al
Hakam
9.
Adhwa’u Al
Bayan.
No comments:
Post a Comment