Friday, December 12, 2014

APLIKASI KREATIVITAS PEMECAHAN PROBLEM DALAM UPAYA MEMECAHKAN MASALAH TERHADAP SISWA SMA YANG TIDAK BERMINAT TERHADAP MATERI PAI



Makalah Terapan

APLIKASI KREATIVITAS PEMECAHAN PROBLEM DALAM UPAYA MEMECAHKAN MASALAH TERHADAP SISWA SMA YANG TIDAK BERMINAT TERHADAP MATERI PAI

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran
Dosen Pembimbing: Imron Rosyidi, M. Th. M. Ed










Oleh:
moh. kamilus zaman






JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTASTARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALIKI MALANG
2011


1.      Merasakan Adanya Masalah.
Pendidikan Agama Islam adalah upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang.[1] Demikian pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang sengaja didirikan dan diselenggarakan dengan hasrat dan niat (rencana yang sungguh-sungguh) untuk mengejewantahkan ajaran dan nilai-nilai islam, sebagaimana tertuang atau terkandung dalam visi, misi, tujuan, program kegiatan maupun pada praktik pelaksanaan kependidikannya..
Siswa SMA yang merupakan masa remaja adalah suatu periode kehidupan di mana kapasitas untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya. Selama perode ini proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan. Terjadi reorganisasi lingkaran saraf prontal lobe yang berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif remaja, sehingga mereka mengembangkan kemampuan penalaran yang memberiya suatu tingkat pertimbangan moral dan kesadaran sosial yang baru.[2]
Namun, pada realitasnya siswa-siswa di sekolah-sekolah yang berbasis umum seperti SMA, banyak yang kurang berminat dalam mata pelajaran PAI. Mereka mengaku cenderung mengantuk dan malas dengan materi PAI. Siswa memahami materi yang diajarkan dengan asal, yang terkesan meremehkan mata pelajaran PAI dan dianggapnya tidak lebih penting dari mata-mata pelajaran umum yang lain seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA dan lain-lain. Sehingga mereka tidak mampu memenuhi Standar Kompetnsi dari PAI yang diharapkan Lebih dari itu, akibatnya mereka tidak dapat mempertimbangkan perilakunya dengan nilai-nilai yang telah ada.

2.      Eksplorasi Dan Analisis Masalah
Rasdianah mengemukakan beberapa kelemahan dari pendidikan Islam di sekolah, baik dalam pemahaman materi pendidikan islam maupun pelaksanaanya, yaitu; (a) dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada faham fatalistik, (b) bidang akhlak yang berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama, (c) bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian, (d) dalam bidang hukum (fiqh) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa dan kurang mengembangkan rasioalitas serta kecintaan pada masih cenderung diajarkan sebagai sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan, (e) agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan, (6) orientasi mempelajari Al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalan makna.[3]
Usia siswa SMA adalah masa-masa remaja, rata-rata mencapai umur 15-18/19 sebagai masa remaja pertengahan, yang demikian memiliki sifat-sifat kontinuitas dan diskontinuitas. Ditinjau dari perspektif teori piaget, pemikiran masa siswa SMA telah mencapai tahap pemikiran operasional formal.
Pada pemikiran operasional formal ini menyebabkan egosentrisme remaja. Yang mana egosentrisme dapat menerangkan beberapa perilaku yang nampak ceroboh. Masa-masa yang dapat mencemaskan dan bergejolak ini, mereka tetap mempunyai kemampuan mengambil keputusan, yang berarti dapat ceroboh pula. Siswa SMA yang mudah terbawa lingkungan bersama-teman-temannya lebih bersikap materialistik dan kapitalistik,  mampu menganggap bahwa PAI bukan materi yang penting dalam kehidupannya.
3.      Penyajian Masalah
Kemampuan menggunkan pemikiran formal operasional siswa SMA timbul secara gradual (bertahap) dari pada secara orisinil. Pengalaman personal dalam berbagai aspek kehidupan, secara umum mungkin menentukan aplikasi dari pemikiran formal operasioanl tersebut. Oleh karena itu siswa SMA mungkin mampu menggunakan pemikiran formal operasional dalam satu mata pelajaran, tetapi tidak pada mata pelajaran yang lain.
Dari fenomena-fenomena yang tersebut diatas, diperlukan pengajaran dan kreativitas dalam mengajarkan pendidikan agama Islam, agar mereka dapat meningkatkan kreativitas pemikiran dalam pemecahan problem terhadap fenomena-fenomena tersebut, Maka:
Bagaimana kreatifitas pemikiran pemecahan problem siswa SMA yang tidak berminat terhadap pendidikan agama Islam?

4.      Pemecahan Masalah (Problem Solving).
Kreativitas adalah kemampuan berfikir tentang sesuatu dengan cara baru dan tidak bisa menghasilkan solusi yang unik atas suatu problem.[4] Maka dari fenomena yang ada, strategi yang dapat digunakan adalah:
a.       Mengembangkan brainstorming. Ajak para siswa untuk berdiskusi seputar isu atau problem menarik dari PAI yang ada pada waktu itu. Seperti isu tentang Ahmadiyah, konflik karikatur Nabi, kekerasan dalam perilaku agama dan lain-lain. Minta mereka untuk memberikan suatu pendapat seputar permasalahan yang ada dan alasan-alasan yang mereka buat, serta meminta menanggapi satu sama lain dengan situasi yang tetap terkondisikan.
b.      Menyediakan lingkungan yang memicu kreativitas. Belajar di dalam ruangan kelas terkadang membosankan, maka lebih baik mengajak mereka belajar di tempat-tempat yang membuat mereka fress dan berfikir jernih, sehingga mereka merasa menarik dalam mengikuti materi pelajaran PAI. Dengan situasi ini, pemikir yang kreatif bisa memanfaatkan dengan memberi tambahan penjelasan penting dari PAI yang terkait.
c.       Jangan terlalu mengatur siswa. Masa SMA adalah masa gejolak yang mudah berontak dalam jiwanya dan yang tidak dapat dipaksakan dalam pilihannya. Beri kesempatan kepada mereka untuk mengutarakan pendapat bagaimana belajar yang menarik bagi mereka kemudian sesuaikan dan aplikasikan dalam proses belajar mereka.
d.      Mendorong motivasi internal. Lebih terbuka terhadap para siswa, mampu memberikan contoh konkrit yang terjadi diantara masa remaja dan beri kesempatan terhadap permasalahan yang ada pada mereka dan memberikan solusi yang tepat. Sehingga mereka merasa apa yang ada dihadapan mereka memang penting adanya. Mampu memahami esensi dari PAI yang sebenarnya dan menjadikan PAI sebagai kebutuhan bagi mereka.
e.       Memberikan pemikiran yang fleksibel dan main-main. Siswa lebih menyukai keadaan yang tidak formal dan tidak abstrak dalam belajar, sehingga mereka lebih rileks menerima materi, pemikir yang kreatif harus bisa membawa keadaan tersebut.
f.       Memperkenalkan siswa dengan orang-orang kreatif. Siswa SMA yang tidak berminat dengan PAI perlu dikenalkan dengan tokoh-tokoh agama yang mempunyai tingkat nasionalis yang tinggi, yang mempunyai tempat di dalam masyarakat. Karena mereka tidak merasa awam dan dapat menangkap pesan secara mudah. Seperti mengadakan seminar dengan menghadirkan tokoh yang termaksud di atas. Tokoh-tokoh agama yang kreatif lebih memahami strategi dan bahasa dalam penyampaiannya, mereka juga tidak terkesan mendokrin secara besar-besaran dalam menyampaikan topic/materi.
Dari strategi di atas, pemikir yang kratif akan bisa memanfaat kesempatan dan perhatian dari para siswa untuk menyampaikan materi penting PAI sehingga siswa dapat mencapai standar kompetensi yang ditentukan.

5.      Refleksi Terhadap Proses & Hasil Pemecahan Masalah
Pemikir yang kreatif akan bisa membawa siswa dalam situasi belajar yang dapat diminati siswa, seperti yang dikemukakan di atas penemuan dan pemahaman problem adalah aspek penting dalam pemecahan problem. Penting untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan cara, (a) beri kesempatan luas untuk memecahkan problem dunia riil, (b) pantau apakah strategi pemecahan murid efektif atau tidak, (c) libatkan orang dalam pemecahan masalah anak, (d) gunakan teknologi secara efektif.[5]
Selain itu, dalam masa-masa yang sulit bagi siswa yang tidak dapat menyelesaikan masalahnya, maka penting bagi mereka untuk mendapatkan bantuan dari orang tua, guru atau teman sebaya yang lebih kompeten untuk membentuk scaffold, yaitu membentuk anak berpindah dari kesulitan pada satu masalah, pada satu jenjang dimana anak tersebut mampu menyelesaikan masalah secara independent.




Daftar Pustaka
Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. cet ke-2
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. cet ke-4.
Santrock, John W. Psikologi Pendidikan. Edisi kedua,
Santrock, John W. Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005. Edisi 5, jilid I. cet ke-6.



[1] Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. cet ke-4. hlm 30
[2] Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. cet ke-2. hlm 194
[3] Muhaimin, ibid. hlm 89.
[4] John W. Santrock. Psikologi Pendidikan. Edisi kedua, hlm 366
[5] Ibhd, hlm 377.

No comments:

Post a Comment