Friday, December 12, 2014

kepercayaan di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      LATAR BELAKANG


Seiring terus berkembangnya zaman, pola pemikiran manusia pun semakin berkembang maju. Tak terkecuali dalam hal kepercayaan. Bukanlah suatu hal yang aneh ketika suatu masyarakat meyakini suatu kepercayaan tertentu yang oleh masyarakat luas bahkan tidak dianggap bahwa itu adalah agama
Agama asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).
Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama "resmi" (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.
Diantara aliran-aliran kepercayaan di indonesia  yang masih sangat terkenal hingga sekarang ialah diantaranya kejawen di jawa tengah dan jawa timur, tolottang di sulawesi selatan, kaharingan di kalimantan dan marapu di sunda.


1.2.          Rumusan masalah

1.     Apa pengertian aliran kepercayaan ?
2.     Bagaimana sejarah munculnya aliran kepercayaan ?
3.     Berapa banyak aliran kepercayaan di Indonesia ?
4.     Bagaimana perkembangan aliran kepercayaan di Indonesia ?

1.3.          Tujuan masalah

1.     agar mahasiswa mengetahui arti dari aliran kepercayaan
2.     untuk mengetahui sejarah munculnya aliran kepercayaan
3.     agar mahasiswa mengetahui banyaknya aliran kepercayaan di Indonesia
4.     agar mahasiswa mengetahui perkembangan aliran kepercayaan di Indonesia





















BAB II

PEMBAHASAN


2.1.   Pengertian aliran kepercayaan

Menurut apa yang bisa kita ketahui baik dari pihak aliran kepercayaan maupun pengertian umum,  aliran kepercayaan merupakan suatu ajaran pandangan hidup berkepercayaan kepada Tuhan YME yang tidak bersandarkan sepenuhnya kepada ajaran agama-agama yang ada. Dengan kata lain, dalam kehidupan moralnya maupun dalam rangka menyembah kepada Tuhan penganut paham aliran kepercayaan tidak berpegang ataupun tidak menganut pada suatu ajaran agama tertentu.
Karena tidak menganut sesuatu ajaran agama tertentu, maka terbukalah suatu kondisi bagi para penganjur suatu gerakan "aliran kepercayaan" untuk merumuskan atau menafsirkan ajaran hidup moral dan penembahan kepada Tuhan sesuai dengan pendapat dan pengalaman hidupnya sendiri. Hal ini mengakibatkan berbagai gerakan kebatinan yang bernaung dalam sebutan "aliran kepercayaan kepada Tuhan YME" itu ternyata tidak mempunyai guru dan ajaran yang sama satu dengan lainnya.
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, aliran kepercayaan tidak dapat dibenarkan secara teologis (akidati), walau dalam tinjauan HAM. Dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan al Qur an, telah ditentukan "tidak ada paksaan dalam agama". Adapun sikap dakwah praksis para ulama dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama sikap purifikasi dan kedua adalah islamisasi. Sikap pertama cenderung menolak sama sekali terhadap budaya kejawen misalnya, dan sikap kedua cenderung mengakomodir budaya "aliran" setelah melakukan improvisasi (islamisasi) terlebih dahulu. Tentu saja, kedua sikap ini ditempuh setelah terjalinnya kesepakatan akan kebatilan "aliran kepercayaan".






2.2 .  Asal usul munculnya aliran kepercayaan

Seiring terus berkembangnya zaman, pola pemikiran manusia pun semakin berkembang maju. Tak terkecuali dalam hal kepercayaan. Bukanlah suatu hal yang aneh ketika suatu masyarakat meyakini suatu kepercayaan tertentu yang oleh masyarakat luas bahkan tidak dianggap bahwa itu adalah agama.
Entah apa yang menbedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Apakah konsep tentang ketuhanan mereka berbeda? Atau bahkan mungkin keberagaman budayakah yang membuat pemahaman tentang Tuhan itu berbeda-beda? Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multi kultural baik dari segi bahasa, suku, ras, dan sebagainya. maka tak heran jika pemahaman mereka tentang apa itu Tuhan (baca: sesuatu yang dianggap harus disembah). Tentunya kita tidak bisa menyamakan begitu saja dalam masyarakat umum bahwa apa yang biasa dipuja itu bernama Tuhan. Nyatanya bagi masyarakat pedalaman, mereka bahkan tak mengenal apa itu artinya Tuhan.
Dari dulu hingga sekarang kehidupan manusia tak lepas dari berbagai kebutuhan. Tentunya spiritualitas pun menjadi suatu kebutuhan tersendiri bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Berbagai hal dilakukan untuk dapat memenuhi apa yang mereka anggap sebagai kepuasan spiritual. Dalam suatu ajaran jawa misalnya. Seseorang dianggap telah mempunyai daya spriritual yang bagus dan dekat dengan Tuhannya ketika telah melakukan berbagai macam puasa.
Bagi sebagian penganut ajaran tertentu, biasanya ada semacam ritual yang dilakkan oleh para penganutnya. Entah itu ketika ada suatu kejadian besar atau bahkan ketika memperingati suatu kejadian tertentu dimasa lampau. Biasanya ritual-ritual itu dilakukan dengan menyajikan beragam sesajen, makanan, buah-buahan, beberapa jenis bunga tertentu dan tak lupa kemenyan dan arangnya. Tentunya sebelum sesajen itu siap untuk disajikan, terlebih dahulu diberi jampi-jampi oleh seseorang yang dianggap tetua atau yang paling mengerti tentang hal tersebut.
Beragam kegiatan spiritual yang lainnya masih sangat banyak di nusantara ini. Sedangkan agama asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia). Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama "resmi" (agama yang diakui) Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli.

2.3. Aliran kepercayaan di Indonesia
Diantara aliran-aliran kepercayaan di indonesia  yang masih sangat terkenal hingga sekarang ialah diantaranya kejawen di jawa tengah dan jawa timur, tolottang di sulawesi selatan, kaharingan di kalimantan dan marapu di sunda.
1.     Kejawen
Kejawen bahasa Jawa Kejawèn  adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan sukubangsa lainnya yang menetap di Jawa.
Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut "Agami Jawi".
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan.
Simbol-simbol "laku" biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
          Banyak pula pertanyaan dari masyarakat seputar ajaran Kejawen. Pertanyaan tersebut tidak semata disampaikan oleh orang yang awam terhadap Islam, akan tetapi juga oleh para dai, takmir masjid, dan tokoh masyarakat. Dari ‘nada’ pertanyaan mereka, penulis menangkap bahwa masyarakat masih menganggap Kejawen merupakan bagian dari Islam, sehingga mereka sering menyebut dengan nama Islam Kejawen.
Rahnip M., B.A. dalam bukunya Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan menjelaskan, “Kebatinan adalah hasil pikiran dan angan-angan manusia yang menimbulkan suatu aliran kepercayan dalam dada penganutnya
dengan membawakan ritus tertentu, bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang gai, bahkan untuk mencapai persekutuan dengan sesuatu yang mereka anggap Tuhan secara perenungan batin, sehingga dengan demikian (menurut anggapan mereka) dapat mencapai budi luhur untuk kesempurnaan hidup kini dan akan datang sesuai dengan konsep sendiri.
Dari pengertian di atas didapat beberapa istilah kunci dari ajaran kebatinan yaitu :

a.       Merupakan hasil pikiran dan angan-angan manusia.
b.      Memiliki cara beribadah (ritual) tertentu
c.       Yang dituju adalah pengetahuan ghaib dan terkadang juga malah bertujuan menyatukan diri dengan tuhan.
d.       Hasil akhir adalah kesempurnaan hidup dengan konsep sendiri.
Aliran kejawen, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam beberapa tahun terakhir berkembang cukup pesat. Hingga kini tercatat sejumlah 7 aliran yang berkembang di berbagai wilayah Kabupaten Temanggung.
Ketujuh aliran tersebut adalah Subud, Sapto Darmo, dan Mardi Santosaning Budi yang banyak berkembang di Kecamatan Kaloran serta Kranggan. Selain ketujuh aliran tersebut, berkembang pula suatu perkumpulan yang mirip dengan aliran kepercayaan yakni Pangestu. Jumlah anggota ketujuh aliran ini di Temanggung mencapai ribuan
Aliran yang lainnnya diantaranya Cahya Buana yang banyak berkembang di sekitar Kecamatan Ngadirejo, dan Palang Putih Nusantara yang tumbuh pesat di wilayah Kedu. dan aliran Sumarah yang berkembang di daerah Tlogomulyo dan sekitarnya, serta Hidup Betul dengan pusat di Kecamatan Selopampang.
Namun diantara aliran-aliran tersebut yang sangat jelas dan sangat terkenal adalah, subud, sapto darmo, sumarah, palang putih nusantara, cahya buana.

a.      Subud
Jika boleh dibedakan, aliran kepercayaan di Indonesia itu ada yang berbentuk suatu ajaran dan adapula yang tidak. Agama termasuk kedalam aliran kepercayaan yang berbentuk ajaran karena dalam suatu agama, ilmu itu haruslah diberikan diajarkan dikembangkan. Hal tersebut membuat suatu agama bisa bertahan turun menurun antar generasi. Kalaupun tidak demikian, agama bisa dipelajari lewat kitab sucinya dan kitab-kitab pendukung lainnya.
Adapun aliran kepercayaan yang tidak berbentuk suatu ajaran ada yang namanya Subud. Subud, merupakan kelompok atau Aliran Kepercayaan yang berasal dari Negara Indonesia yang kini telah banyak di kenal oleh dunia Internasional. Meskipun Subud bersumber pada pengalaman-pengalaman dalam bidang keagamaan, Subud sendiri bukanlah agama atau ajaran. Subud merupakan pengakuan terhadap kekuasaan Tuhan, yang meliputi dan menguasai seluruh alam raya, baik yang kasatmata maupun yang gaib. Subud juga merupakan pengalaman tentang faal kekuasaan Tuhan di dalam kepribadian manusia. Di dalam Subud sama sekali tidak terdapat dogma atau pendeta. Tidak terdapat pula penguasa selain Tuhan Yang Maha Esa.
Berpadanan dengan ajaran semua agama besar, maka para anggota Subud berkeyakinan bahwa Tuhan tidak dapat tercapai oleh akal-pikiran manusia. Untuk itu kita hanya perlu berserah diri kepada-Nya dengan sabar, tawakal, dan ikhlas sambil memasrahkan kehendak pribadi kita kepada kehendak Tuhan. Subud tidak bersifat ketimur-timuran ataupun kebarat-baratan. Subud adalah milik umat manusia yang esa dalam menghadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Subud juga bukan sesuatu yang baru, karena hal-hal yang dialami di dalam Subud, yaitu pencurahan kemurahan Tuhan kepada manusia sesuai dengan kehendak-Nya.
Sejarah Subud mulai di sekitar tahun 1925, ketika almarhum R. M. Muhammad Subuh Sumohadiwijoyo secara tak terduga dijamah dengan hebat oleh kekuasaan Tuhan. Kontak dahsyat ini disusul dengan masa tiga tahun yang ditandai gejolak luar biasa di dalam jiwanya. Pada akhir masa itu, doanya terkabul dengan diperolehnya petunjuk bahwa karunia yang telah diterima beliau tidak hanya untuk dirinya sendiri dan dapat dibagi-bagikan kepada siapa saja yang berminat. Hanya disyaratkan bahwa anggota tidak boleh dicari-cari. Perlu menunggu kedatangan para peminat atas prakarsa mereka sendiri. Mula-mula kontak itu hanya disampaikan kepada anggota keluarga dan tetangga dekat, tetapi lama kelamaan ternyata ada peminat yang datang dari lain-lain tempat di Indonesia untuk menerima kontak.
dan lambat laun anggota-anggota tertentu pada gilirannya juga diizinkan menyampaikan kontak kepada para peminat.

Nama Subud mulai dipakai pada tahun 1947, dan sejak tahun 1956 latihan kejiwaan Subud mulai menyebar ke hampir seluruh dunia. Karena sama sekali tidak mencari publisitas, Subud semata-mata menjalar melalui pengenalan dan keteladanan pribadi.

pemimpin kejiwaan yang hanya membimbing para anggota dan memberi keterangan serta nasihat yang dimintanya. Seluruh ajaran yang dibutuhkan manusia telah tersedia, tuturnya, dalam agama-agama besar. Di dalam Subud Bapak Subuh tidak berfungsi sebagai guru atau penguasa, melainkan sebagai Subud tidak bermaksud memisahkan manusia dari agamanya, malah kebalikannya. Subud, melalui proses pembersihan diri, memungkinkan para anggotanya mengamalkan ajaran agama masing-masing, karena lambat laun mereka dapat menjadi manusia sejati sesuai dengan kehendak Tuhan. Dan Bapak subuh wafat di Indonesia pada tahun 1987, dalam umur 86 tahun.

Nama Subud tidak mempunyai hubungan langsung dengan nama pribadi Bapak Subuh. Subud merupakan singkatan tiga kata Sanskerta, yaitu Susila, Budhi, dan Dharma. Di dalam Subud ketiga kata tersebut ditafsirkan sebagai berikut: Susila berarti budi pekerti manusia yang baik, sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Budhi berarti daya kekuatan diri pribadi yang ada pada diri manusia. Dharma berarti penyerahan, ketawakalan, dan keikhlasan terhadap kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Setelah kontak dengan daya atau kekuatan Tuhan (Budhi) diterimanya, pelatih menyerah kepada bimbingan Tuhan (Dharma), dan, dengan demikian, dituntun kepada budi pekerti yang utama (Susila). Bimbingan Tuhan seperti itu dialami baik di dalam latihan kejiwaan maupun di dalam kehidupan sehari-hari.

Latihan kejiwaan Subud merupakan kebaktian sejati kepada Tuhan melalui penyerahan kita kepada kehendak-Nya, dan faal latihan adalah proses pembersihan dan perkembangan batin. Banyak unsur di dalam diri kita yang kotor, baik yang ternoda oleh kesalahan turun-menurun maupun yang ternoda oleh kesalahan kita pribadi. Banyak hal yang masih perlu diperbaiki, dan latihan kejiwaan Subud dapat memperbaikinya dengan cara yang di luar kemampuan kita sendiri. Hanya kekuasaan Tuhan yang dapat merasuk sampai lubuk jiwa, tempat perbaikan diri perlu dikerjakan, Hanya Tuhan yang tahu apa yang kita butuhkan.

Selama paroan kedua tahun 1957, ratusan orang masuk Subud, banyak di antaranya warga Afrika, Australia, dan Amerika, serta negeri-negeri lain di Eropa, dan mereka pun mengundang Bapak Subuh untuk mengunjungi negerinya masing-masing.

b.      Sapto dharmo

Secara umum kejawen (kebatinan) banyak bersumber dari ajaran nenek moyang bangsa Jawa yaitu animisme dan dinamisme, yang diwariskan secara turun temurun sehingga tidak dapat diketahui asal-muasalnya.

            Sapto Darmo (salah satu aliran besar kejawen), sejarahnya pertama kali dicetuskan oleh Hardjosaputro dan selanjutnya dia ajarkan hingga meninggalnya, 16 Desember 1964. Nama Sapto Darmo diambil dari bahasa jawa; sapto artinya tujuh dan darmo artinya kewajiban suci. Jadi sapto darmo artinya tujuh kewajiban suci. Sekarang aliran ini banyak berkembang di Yogya dan Jawa Tengah, bahkan sampai luar Jawa. Aliran ini mempunyai pasukan dakwah yang dinamakan Corps Penyebar Sapto Darmo, yang dalam dakwahnya sering dipimpin oleh ketuanya sendiri (Sri Pawenang) yang bergalar Juru Bicara Tuntunan Agung.
Penganut Sapto Darmo meyakini bahwa manusia hanya memiliki 7 kewajiban atau disebut 7 Wrwarah Suci yaitu :
1.      Setia dan tawakal kepada Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan Maha Kekal).
2.    Jujur dan suci hati menjalankan undang-undang Negara.
3.    Turut menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa bangsa.
4.    Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih.
5.    Berani hidup atas kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri.
6.    Hidup dalam masyarakat dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti.
7.    Yakin bahwa dunia ini tidak abadi, melainkan berubah-ubah

Dalam sudut pandang aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, ajaran Sapto Darmo hanya berisi keimanan kepada Allah sebatas beriman terhadap Rububiyah Allah; itupun dengan pemahaman yang salah.
Inti ajaran Sapto Darmo hanya mengajarkan iman kepada Allah saja. Hal itu menunjukkan batilnya ajaran Sapto Darmo dalam pandangan Islam. Aqidah Islam memerintahkan untuk mengimani enam perkara yang dikenal dengan rukun iman, yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir yang baik maupun buruk.
Menurut Sapto Darmo, manusia harus memiliki 5 (lima) sifat dasar yaitu:
1.       Berbudi luhur terhadap sesama umat lain.
  1. Belas kasih (welas asih) terhadap sesama umat yang lain.
  2. Berperasaan dan bertindak adil.
  3. Sadar bahwa manusia dalam kekuasaan (purba wasesa) Allah.
  4. Sadar bahwa hanya rohani manusia yang berasal dari Nur Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.
                                        Salah satu dari ajaran Sapto Darmo dalam Panca Sifat Manusia yang perlu dikritisi adalah bahwa hanya ruhani manusia yang berasal dari sinar cahaya Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.
Bantahanya :
Dalam pandangan Islam keyakinan seperti ini sangat bathil. Sebab semua yang ada di alam semesta ini selain Allah adalah makhluk, dan semua makhluk adalah tidak kekal, termasuk juga manusia, baik ruhnya maupun jasadnya. Manusia adalah makhluk; yang diciptakan oleh Allah dari tanah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat ash-Shaffat:
Artinya: “…Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (QS. ash-Shaffat 37 :11)
Keyakinan Sapto Darmo tentang keabadian ruh manusia muncul dari anggapan mereka bahwa pada diri manusia terdapat ‘persatuan dua unsur’ yaitu unsur jasmani -dari tanah- dan unsur ruhani -yang mereka dakwakan sebagai- cahaya Allah yang abadi. Dalam terminologi kebatinan hal itu disebut dengan ajaran Panteisme, yakni bersatunya unsur Tuhan (Laahut) dan unsur manusia (Naasut).
Kitab suci penganut Sapto Darmo adalah yang diusahakan oleh Bopo Panuntun Gutama, yang tidak lain adalah pendirinya itu sendiri, Hardjosapuro. Menurut pandangan mereka, kitab ini berasal dari kumpulan ‘wahyu’ dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah.
Bantahannya:                  
Kitab Suci penganut Sapto Darmo sebagaimana disebutkan di muka adalah yang diusahakan oleh Bopo Panuntun Gutama, yaitu Hardjosapuro. Menurut pandangan mereka, kitab suci mereka itu berasal dari ‘wahyu’ yang berasal dari Tuhan yang memiliki sifat Pancasila Allah. Itu berarti bahwa ‘kitab suci’ tersebut baru, lahir sekitar 40 tahun yang lalu.
Bagaimana kalau dikembalikan kepada ajaran Islam? Aqidah Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup kenabian dan kerasulan. Dan al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala; karena tidaklah kitab suci itu diturunkan melainkan melalui para Rasul; dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan Rasul. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Ahzab [33] : 40)
Konsep alam dalam pandangan Sapto Darmo adalah meliputi 3 alam:
  • Alam Wajar yaitu alam dunia sekarang ini.
  • Alam Abadi yaitu alam langgeng atau alam kasuwargan. Dalam terminologi Islam maknanya mendekati alam akhirat.
  • Alam Halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.
Bantahannya:                                                                                     
Aliran Sapto Darmo meyakini adanya    yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan atau berkeliaran karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Kata mereka, roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa.
Dalil-dalil tentang Aqidah Islam tidak mengenal alam yang demikian itu. Setelah manusia meninggal dunia –bagaimanapun cara meninggalnya– maka selanjutnya ia berada dalam suatu alam yang disebut dengan alam kubur atau alam barzakh, sebagaimana dijelaskan oleh al-Allamah Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil ‘Izzi. “Ketahuilah, bahwa adzab kubur adalah adzab barzakh. Semua orang yang mati dalam keadaan membawa dosa berhak mendapat adzab sesuai dengan dosa yang dilakukannya.
Sedangkan, Konsep peribadatan Sapto Darmo tercermin dalam ajaran ‘Sujud Dasar’ yang pengikutnya diwajibkan satu kali dalam sehari semalam. Dari konsep ini diketahui bahwa Sapto Darmo tidak semata-mata berupa ajaran moral atau etika, tetapi aliran ini disamping memiliki sistem aqidah; juga memiliki sistem ibadah tersendiri yang semuanya bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu tidak perlu kaget kalau mendengar penganut aliran ini menolak untuk melaksanakan shalat karena memang mereka mempunyai sistem ibadah (shalat) tersendiri. Pada hakikatnya, penolakan mereka terhadap shalat sudah cukup untuk menggolongkan mereka ke dalam barisan orang-orang di luar Islam (kafir).

c.    Sumarah
Guru serta pendiri pertama dari aliran kebatinan sumarah adalah R.Ng. Soekirnohartono, seorang pegawi Kesultanan Yogyakarta. Awal mula penyebaran ajaran kebatinan Sumarah adalah ketika R.Ng. Soekirnohartono merasa menerima wahyu yang diturunkan padanya dari Tuhan YME, dan berkewajiban untuk menyampaikan ajaran sumarah kepada semua manusia.
Ajaran kebatinan ini merupakan ilmu kebatinan dengan jalan sujud sumarah (Menyerahkan Diri) mempelajari sampai terwujudnya penyatuan jiwa dengan Zat YME, tujuan utama ajaran ini adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Kesempurnaan hidup akan diperoleh manusia jika mereka berbuat baik terhadap sesama manusia, alam, dan berbakti terhadap Tuhan YME. Perbuatan baik akan mendapat balasan yang baik, demikian pula sebaliknya. Selain itu, juga diajarkan tentang wahyu, jati diri, patuh pada perintah, reinkarnasi, persekutuan dengan Allah dan bagaimana menjadi manusia seutuhnya.
Makna Sumarah dalam bahasa Jawa memiliki arti pasrah atau berserah diri yang apabila dikaitkan dengan perilaku hubungan antara manusia dengan Tuhan YME, maka sikap sumarah mengandung arti sikap batin yang pasrah total kepada Tuhan YME (Allah). Sikap batin yang demikian hanya akan terwujud pada manusia yang memiliki keyakinan akan adanya Tuhan YME, yang telah memberi kita hidup dan kehidupan, Tuhan yang menciptakan dunia raya seisinya. Tentu saja kadar ke-sumarah-an masing-masing orang akan berbeda satu sama lain, hal ini kiranya terjadi karena faktor tingkat keyakinan, tingkat kedewasaan jiwa, dan juga tingkat kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing pribadi.
            Konsep Manusia SumarahManusia yang pertma kali diciptakan oleh Tuhan YME adalah Adam dan Hawa. Namun keduanya tidak dipandang sebagai manusia riil, tetapi merekaadalah roh suci yang berasal dari Zat Yang MahaEsa dan badan nafsu yang berasal dari iblis.. firdaus sebagai alam kehidupan Adam dan Hawa yang pertama, menurut ajaran Sumarah, diartikan sebagai Alam Suci. Godaan Iblis kepada Adam dan Hawa ketika masih bermukim di Firdaus, pada dasarnya adalah godaan badan nafsu untuk kepada roh suci agar menyekutukan Tuhan.
Manusia menurut ajaran Sumarah terdiri dari: badan wadah (jasmani), badan nafsu,, dan jiwa (roh). badan wadah, merupakan unsur jasmani atau fisik manusia yang tersusun dari empat anasir, yaitu tanah, air, dan udara. badan nafsu (emosiaonal body) merupakan percikan Tuhan dengan perantara iblis. menurut ajaran Sumarah, manusia emiliki empat macam nafsu, yaitu:

1.       nafsu mutmainah, sebagai sumber semua perbuatan baik dan alat untuk menemukan   Tuhan.
2.       nafsu Amarah, yaitu sumber kemarahan dan kedurhakaan.
3.       nafsu Suwiyah, merupakan sumber erotik, pengundang birahi.
4.       nafsu Lawamah, sumber egoisme dalam diri manusia.

Sujud Sumarah adalah bentuk perilaku peribadatan (ritual) bagi para warga Paguyuban Sumarah dalam rangka berkomunikasi dengan Tuhan YME yang pada hakekatnya merupakan aktivitas batin/rohani/spiritual/jiwa si manusia untuk bermohon, menghaturkan bakti/sembah, menghaturkan puja dan puji serta serah diri total kepada Tuhan YME, melalui kehendak dan tuntunan /bimbingan Tuhan YME sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran Sumarah mengajarkan pada umatnya untuk dituntut berbuat baik terhadap siapa saja, tanpa memandang agama, ras, etnis, atau bangsa. Berbuat baik terhadap siapa saja berarti berbuat baik terhadapa diri sendiri dan juga Tuhan. Oleh sebab itu ajaran etika yang sekaligus menjadi keyakinan Sumarah adalah mereka percaya penuh adanya karma (buah dari amal perbuatan). Istilah karma (dari bahasa Sansekerta) yang berarti perbuatan dan pahala (hasil), akan didapat oleh setiap orang sesuai perbuatannya. Hasil atau karma dari setiap perbuatan akan diterima oleh si pelaku bahkan sampai keturunannya, baik dalam kehidupan di dunia sekarang atau setelah mati.

Selain ajaran karma, etika hidup Sumarah juga dilandaskan pada konsep reinkarnasi (kelahiran kembali). Ajaran reinkarnasi yang bermula dari ajaran agama Hindu, yaitu samsara yang berarti kelahiran manusia yang berulang-ulang atau disebetu juga menitis.
Manusia akan mengalami kelahiran kembali ke alam dunia ini karena selama hidup di dunia dia lebih banyak bebuat buruk atau jahat.

Dalam kebatinan Sumarah terdapat berbagai hal yang berasal dari Islam, namun tidak di terima begitu saja, maka terjadilah akulturasi kebudayaan, baik dalam sisitem kepercayaan maupun yang lain. Di dalam ajaran Sumarah sendiri terdapat banyak hal yang masih mempunyai unsur keislaman seperti percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Adam dan Hawa sebagai makhluk pertama di bumi, Sumarah sendiri mempunyai makna yang kurang lebih sama dengan kata Tawakkal dalam Islam.

Namun tidak dapat di pungkiri, di dalam ajaran Sumarah masih banyak juga ajaran yang berasal dari Hindu-Budha, semisal adanya Reinkarnasi setelah kematian, ini adalah kepercayaan yang di pahami oleh Hindu-Budha, namun masih di pakai dalam ajaran Sumarah.

            Paguyuban Sumarah merupakan perpaduan antara kedua kebudayaan diatas, antara budaya Islam dengan budaya Jawa yang mana Jawa disini sudah tercampur dengan paham Hindu-Budha. Maka pada akhirnya munculah suatu kepercayaan yang didalamnya mengandung unsur Islam sekaligus unsur budaya Jawa.


d.      Palang putih nusantara
palang putih nusantara adalah suatu kepercayaan mementaskan seni tari tradisional. Tidak lagi takut dibubarkan petugas keamanan, penghayat kepercayaan Palang Putih Nusantara (PPN) menggelar sarasehan dan pentas seni budaya di dusun Kalipan Desa Gondang wayang Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung, Sarasehan ini digelar untuk mempererat tali persaudaraan dan bukti adanya keselarasan diantara penghayat PPN dengan masyarakat sekitar.
Sarasehan budaya juga sebagai bukti keberhasilan dalam pelestarian seni budaya terhadap lingkungan tersebut, Perkembangan PPN di wilayah tersebut  dalam  beberapa tahun  terakhir tergolong pesat. Diperkirakan jumlahnya mencapai seribuan dan untuk di desa Gondangwayang sendiri tidak kurang dari empat ratusan. "Tidak hanya kaum tua, yang muda pun banyak yang masuk Palang Putih Nusantara,
Sejarah PPN, dikemukakan PPN di Temanggung ada sejak tahun 1950-an, pada masa orde baru karena banyak tekanan dari penguasa lantas bersembunyi dan baru banyak kegiatan di era reformasi. dan Pada 1992 aliran PPn  digelandang ke kantor polisi karena diduga aliran sesat.
Pada saat ini, warga penghayat PPN telah berani menggelar pernikahan dengan upacara ritual sesuai PPN.  Sampai pernah suatu kejadian, seorang penghulu di PPN sering kualahan untuk menikahkannya.
Akan tetapi pihak atasan juga selalu mengingatkan agar mereka tidak terjebak dalam kepentingan politik sesaat yang hanya menjadikan terkotak-kotak. Telah terbina keselaran antara penghayat kepercayaan dengan warga, sehingga tidak ada kekisruhan dan pertikaian sosial.
e.       Cahya buana
Cahya buana adalah suatu aliran kepercayaan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Ribuan penganut kepercayaan Cahya Buana dari berbagai daerah menggelar tradisi kirab bumi. Mereka menempuh rute sejauh tiga kilometer keliling Kota Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Peserta berasal dari Jakarta, Cirebon, Bandung, Surabaya, Temanggung, Magelang dan Kendal. Kirab ini sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan serta memohon agar seluruh makhluk hidup selamat dan setiap jengkal bumi tetap subur. Usai kirab, janur kuning yang dipasang di tandu menjadi rebutan peserta. Konon, keinginan pemegang janur akan terkabul. Acara ini sempat memacetkan arus lalu lintas hingga berjam-jam. Aliran ini adalah salah satu aliran yang sudah menjadi tradisi di jawa tengah,

2.       Tolottang
Amparita, salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Sidrap, kini masih banyak warganya menganut kepecayaan Toani Tolotang. Sekitar 5000 warga di wilayah itu yang menganut kepercayaan yang sudah turun temurun. Ini merupakan penganut terbesar kedua setelah penganut Agama Islam yang jumlahnya lebih 200 ribu jiwa. penganut Tolotang tidak mau disebut sebagai aliran kepercayaan, mereka menggabungkan diri dengan Agama Hindu. Itulah sampai sekarang dikenal dengan nama Hindu Tolotang.
Penganut Toani Tolotang ini juga mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE. PatotoE diakui memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, baik di dunia atas maupun dunia bawah. Dialah yang menciptakan alam raya dan seluruh isinya. Penganut Tolotang percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah. Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua, setelah manusia pertama musnah.

Ajaran Tolotang sama sekali tidak mengenal konsep neraka, nasib manusia sepenuhnya digantungkan pada Uwatta. Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya dituntut mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya. Kewajiban dimaksud adalah : Mappianre Inanre, yakni persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritus/upacara, dengan cara menyerahkan daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke rumah uwa dan uwatta. Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritus pada waktu tertentu guna meminta keselamatan pada Dewata.

Tolotang juga mengenal empat unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin. Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan yang lebih dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam). Yakni nasi putih diibaratkan air, nasi merah diibaratkan api, nasi kuning diibaratkan angin dan nasi hitam diibaratkan tanah. Itulah sebabnya, setiap upacara selalu menyediakan empat jenis makanan tersebut.
pada abad ke-16, ketika Islam berpengaruh di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, jumlah penganut Tolotang tidak berubah bahkan cenderung menurun. Pada Tahun 1609, Addatuang Sidenreng, La Patiroi dan mantunya La Pakallongi, secara resmi menerima Islam sebagai agamanya dan menjadikannya sebagai agama kerajaan. Pengaruh Islam terus berkembang hingga banyak masyarakat yang tadinya menganut Hindu Tolotang beralih ke agama Islam. Hingga kini sekitar 98 % warga Sidrap memeluk agama Islam.


3.   Kaharingan
Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah religi suku atau kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan.  Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),  maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warga negara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980.
mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat Ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau balai kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara.
Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak, Sabah), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun. Pada tanggal 20 April 1980 Kaharingan dimasukan ke dalam agama Hindu Kaharingan. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
4.       Marapu
          Agama Marapu adalah agama asli yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adapun yang dimaksud dengan agama Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi.

            Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Pencipta dan Pembuat Manusia, Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja.

            Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya.

Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada sang pencipta. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala yang telah ditetapkan oleh para leluhur

            Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati.

              Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala peraturan sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara.
















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
aliran kepercayaan merupakan suatu ajaran pandangan hidup berkepercayaan kepada Tuhan YME yang tidak bersandarkan sepenuhnya kepada ajaran agama-agama yang ada. Dengan kata lain, dalam kehidupan moralnya maupun dalam rangka menyembah kepada Tuhan penganut paham aliran kepercayaan tidak berpegang ataupun tidak menganut pada suatu ajaran agama tertentu.
dalam ajaran Islam, aliran kepercayaan tidak dapat dibenarkan secara teologis (akidati), walau dalam tinjauan HAM. Dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan al Qur an, telah ditentukan "tidak ada paksaan dalam agama". Adapun sikap dakwah praksis para ulama dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama sikap purifikasi dan kedua adalah islamisasi. Sikap pertama cenderung menolak sama sekali terhadap budaya kejawen misalnya, dan sikap kedua cenderung mengakomodir budaya "aliran" setelah melakukan improvisasi (islamisasi) terlebih dahulu. Tentu saja, kedua sikap ini ditempuh setelah terjalinnya kesepakatan akan kebatilan "aliran kepercayaan".
Diantara aliran-aliran kepercayaan di indonesia  yang masih sangat terkenal hingga sekarang ialah diantaranya kejawen di jawa tengah dan jawa timur, tolottang di sulawesi selatan, kaharingan di kalimantan dan marapu di sunda.
Aliran kejawen, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam beberapa tahun terakhir berkembang cukup pesat. Hingga kini tercatat sejumlah 7 aliran yang berkembang di berbagai wilayah Kabupaten Temanggung.
Ketujuh aliran tersebut adalah Subud, Sapto Darmo, dan Mardi Santosaning Budi yang banyak berkembang di Kecamatan Kaloran serta Kranggan. Aliran yang lainnnya diantaranya Cahya Buana yang banyak berkembang di sekitar Kecamatan Ngadirejo, dan Palang Putih Nusantara yang tumbuh pesat di wilayah Kedu. dan aliran Sumarah yang berkembang di daerah Tlogomulyo dan sekitarnya, serta Hidup Betul dengan pusat di Kecamatan Selopampang.
Namun diantara aliran-aliran tersebut yang sangat jelas dan sangat terkenal adalah, subud, sapto darmo, sumarah, palang putih nusantara, cahya buana.
DAFTAR PUSTAKA

Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi agama, Yogyakarta. Penerbit kanisius (Anggota IKAPI)
Beatty, Andrew. 2001. Variasi agama di jawa. Jakarta,  penerbit pt raja grafindo persada



No comments:

Post a Comment