Friday, December 12, 2014

AGAMA SHNTO



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Agama merupakan suatu adat kepercayaan bagi setiap pemeluk- pemeluknya. Sepanjang sejarah kehidupannya dari fase ke fase, manusia selalu berhubungan erat dengan agama. Agama mempunyai peranan besar dalam memberi arah dan sisi bagi kehidupan manusia,sehingga sifat dan perilaku mereka selalu diwarnai ajaran agama yang dipeluknya.
Sebagai contoh adalah agama di Jepang yang biasanya disebut dengan agama Shinto. Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang suka dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya.
Kata-kata Shinto itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau ägama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Budha dan agama konfusius (Tiogkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam Masehi. Istilah agama, di samping merupakan keyakinan dan kepercayaan juga mengandung syariat (aturan) yang sempurna. Oleh karena itu Shinto dapat dipandang sebagai faham yang berbau keagamaan, Shinthoisme. (HM. Arifin, 1981 : 39).
Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi sesuatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melaikan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1  Bagaimana asal usul agama Shinto ?
1.2.2  Siapakah pendiri agama Shinto ?
1.2.3  Bagaimana sistem ketuhanan dalam agama Shinto ?
1.2.4  Apa kitab suci agama Shinto ?
1.2.5  Bagaimanakah sekte-sekte dan doktrin-doktrin dalam agama Shinto ?

1.3  Tujuan

1.3.1        Untuk mengetahui asal usul agama Shinto .
1.3.2        Untuk mengetahui pendiri agama Shinto.
1.3.3        Untuk mengetahui sistem ketuhanan agama Shinto .
1.3.4        Untuk mengetahui  kitab suci agama Shinto.
1.3.5        Untuk mengetahui sekte-sekte dan doktrin- doktrin dalam agama Shinto .






















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Asal Usul Agama Shinto
Shinto adalah kata menjemuk daripada “Shin”dan “to. Arti kata “Shin” adalah “roh”dan “toh” adalalah “jalan”. Jadi “Shinto”mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meniggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “to”berdekatan dengan kata “tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya dewa”atau “jalannya bumi dan langit”.
Sedang kata “Shin”atau “Shen” identik dengan kata “Yin”dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya; lawan dari kata “yang. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiogkok.
Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat relegius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahannya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serta jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini tibul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Lantar belakang historis timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Budha ke Jepang pada abad ke enam mesehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dari agama Shinto dan agama Budha telah terjadi pencampuran yang sedemikian rupa bahkan agama Shinto senantiasa disebutkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhirnya mengakibatkan muculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (shinto) dengan para pendeta agama budha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Budha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bagunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Budha. Patung-patung dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.
Tentang pengaruh agama budha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Budha (penjelmaan dari Budha dan Bodhisatwa), dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam budhisme Mahayana) hal ini berlangsung sampai abad ketujuh belas mesehi.
Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuh bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo”(jalannya Budha) dengan “kami”(roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk memperthankan kelansungan kepercayaannya. Agama Shinto merupakan agama yang memuja dan menyembah hewan, orang-orang suci, roh nenek moyang, para dewa, dewa tertinggi (Ameterasu Omi Kami), patung dan berhala.[1]


2.2  Pendiri Agama Shinto
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Hasil penelitian tentang agama baru di Jepang banyak sekali. Menurut karya Prof. SHIMAZONO Susumu (jurusan ilmu agama Universitas Tokyo), agama baru Jepang itu didefinisikan seperti berikut ini.
1. Agama itu muncul dan berkembang pada masa modern atau pada masa peralihan ke modern.
2. Agama itu didirikan dari, oleh dan untuk rakyat.
3. Agama itu dipisah dari agama tradisi dalam bidang baik organisasi maupun ajarannya.
Agama ini muncul pada zaman prasejarah, dan siapa pembangunnya tidak dapat dikenal dengan pasti. Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang, penyebarannya adalah di asia dan terbanyak di jepang, kira kira pada abad 6 masehi agama budha masuk ke jepang dari tiongkok dengan melalui korea.
Satu abad kemudian agama itu telah berkembang dengan pesat bahkan lama kelamaan agama itu dapat mendesak agama shinto akan tetapi karena agama shinto mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti kepada raja maka raja pun berusaha untuk melindunginya , sehingga apada tahun 1396 agama Shinto di tetapkan sebagai agama Negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik Negara, kemudian agama Shinto bercampur dengan Agama Budha demikian pula dengan agama Konghucu yang masuk ke Jepang langsung dari tanah asalnya kira kira pada abad pertengahan ke 7.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal ini berlangsung sampai abad ketujuh belas Masehi.
2.3  Sistem Ketuhanan Agama Shinto
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serta jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayain bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau sprit itu dianggap memiliki daya kekusaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “kami”.[2]
Istilah “kami”dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas”atau ünggul,sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kekuatan spritual, maka kata “kami”dapat dialihkan dengan “dewa”(tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “kami”tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.
Pengikut-pengikut agama Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi “kamu negara no mishi”yang artinya: tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada “kami”daripada benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada “kami”alam raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adannya dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertaniaan.
Di samping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain salaing berlawanan yakni “kami”versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra.
Dari kutipan diatas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu:
a.    Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala –gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
b. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
c. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Kami terebut ada yang berasal dari orang yang telah meninggal dunia tetapi ada juga yang berasal dari benda alam yang berasal dari orang yang telah meninggal, misalnya:
a. “kami” dari para leluhur tiap tiap suku (biasanya kami ini dipunyai oleh anggota dari tiap tiap suku tersebut).
b. “kami” dari para pahlawan
c. “kami” dari nenek moyang tiap keluarganya sendiri (biasanya dianggap sebagai pelindung rumah tangga ).
Sedangkan kami kami yang lain yang berasal dari benda benda alam dan kekuatan alam misalnya :
a. “kami” dari matahari
b. “kami” dari petir
c. “kami” dari bulan,
d. “kami” kilat,
e. “kami” sungai,
f. “kami” gunung,
g. “kami” pohon, dan sebagainya
Demikian pula jumlah dewa dewa yang mereka hormati banyak sekali, kira kira lebih dari 800 dewa, yang terpenting adalah amterasu omi kami (dewi matahari) yang merupakan pelindung dewa dan juga pertanian.
Di dalam penyembahan terhadap kami biasnya di pimpin oleh pendeta pendeta, para pendeta tersebut di rancang khusus untuk memuja kami tertentu dan mendapatkan bantuann dari kami yang sedang di puja dan pada saat memimpin upacara mereka berpakaian khusus, dua kali sehari pendeta tersebut menyajikan sajian di dalam kuil dengan membaca mantera mantera dan pujian pujian.
Kuil Shinto di Jepang banyak sekali terhitung lebih dari 200.000 buah kuil, bahkan ada juga yang menyebutkan terdapat lebih dari 80 juta kami di jepang dan para pendeta tersebut yang mengurusi kuil adalah turun menurun, setelah agama budha masuk ke jepang pada abad ke VI maka mendesaklah unsur -unsur agama budha tersebut ke dalam agama Shinto lama kelamaan terjadilah percampuran antara kedua unsur  agama tersebut yang kemudian aliran ini disebut “Ryobu Shinto” .
Nama yang di pakai untuk menunjukan berbagai kegiatan dan kepercayaan di Jepang. Pada jaman dahulu, shinto merupakan agama rakyat yang berpusat di sekeliling keluarga pagoda- pagoda lokal, tetapi kemudian, hingga sekarang menjadi pemujaan kepada negara dan dihubungkan dengan Kaisar dan istana.
Agama Shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkugan penduduk, bukan datang dari luar. Nama asli bagi agama itu ialah Kami no Michi, yang bermakna : Jalan Dewa.
Pada Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi itu serupa halnya dengan Aliran Chan, sebuah sekyta agama Budha madzab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.
Agama Shinto itu berpangkal pada mitos bahwa bumi Jepang itu ciptaan dewata yang pertama–tama dan Jimmu Tenno (660 sM), Kaisar Jepang yang pertama itu, adalah turunan langsung dari Amaterasu Omu Kami, yankni Dewi Matahari, dalam perkawinanya dengan Touki Lomi, yakni Dewa Bulan. Sekalian upacara dan kebaktian terpusat. Seluruhnya pada pokok keyakinan tersebut.
2.4  Kitab Suci Agama Shinto
Dalam agama Shinto ada dua kitab suci yang tertua, tetapi di susun sepuluh abad sepeninggal Jimmi Temmo (660 SM), kaisar jepang yang pertama. Dan dua buah lagi di susun pada masa yang lebih belakangan, keempat empat kitab itu adalah sebagi berikut :
2.4.1  Kojiki
Kojiki bermakna : catatan peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 M, sesudah kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara, yang ibukota Nara itu dibangun pada tahun 710 M menuruti model ibukota Changan di Tiongkok.
2.4.2  Nihonji
Nihonji bermakna : riwayat Jepang. Disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dan dibantu oleh seorang pangeran di istana.
2.4.3  Yeghisiki
Yeghiski bermakna : berbagai lembaga pada masa Yengi, kitab ini disusun pada abad kesepuluh Masehi terdiri atas 50 bab. Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah kisah yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti isinya adalah 25 norito yakni do’a-do’a pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara keagamaan.

2.4.4  Manyosiu
Manyosiu bermakna : himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai, yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad kelima dengan abad kedelapan masehi.
Kitab pertama itu menguraikan tentang alam kayangan tempat kehidupan para dewa dan dewi sampai kepada amaterasu omi kami (dewi matahari ) dan tsukiyomi (dewa bulan ) diangkat menguasai langit dan puteranya Jimmu Tenno diangkat menguasai “tanah yang subur ” (Jepang) di bumi, lalu disusul silsilah keturunan kaisar Jepang itu beserta riwayat hidup satu persatunya selanjutnya upacara upacara keagamaan yang dilakukan dalam masa yang panjang itu berkenaan dengan pemujaan terhadap kaisar beserta para dewa dan dewi.
Menurut cerita dari kitab kojiki dan nihongi, mula mula bumi dan langit serta seisinya dijadikan oleh para dewa (kami), dua diantara dewa dewa itu turun dari langit akan menjadikan bumi Jepang, dua dewa tersebut adalah isanaga no kami (laki laki) dan isonami no kami (perempuan), dua dewa ini kemudian menurunkan beberapa dewa termasuk juga dewa matahari yang bernama amaterasu omi kami.
Dewa langit ini kemudian mengirim seorang dewa kebumi bernama: ninigi no mikoto yang kemudian bercucu: jimmi tenno, raja Jepang yang pertama kali, itulah sebabnya maka nama resmi raja Jepang adalah tenno yang artinya “raja langit” , jimmi tenno naik tahta kerjaan pada tahun 660 sebelum masehi, dan dia itulah yang menurunkan raja raja jepang sampai sekarang ini.
Hal ini dikarenakan penganut agama Shinto pada umunya percaya bahwa temmo raja jepang itu adalah keturunan dewa surya, amaterasu omi kami, maka para penganut agama Shinto percaya dan patuh pada temmo, memuja alam dan roh, begitu pula bendera kebangsaan jepang berbentuk tanda matahari untuk menunjukan bahwa negaranya tercipta dari matahari tempat kediaman amaterasu omi kami (dewi matahari).[3]
Sekalian kitab suci itu berisikan kisah kisah legendaris, nyanyian nyanyian kepahlawanan serta sajak sajak tentang asal usul kedewaan, asal usul kepulauan Jepang dan kerajaan Jepang. Ragam kisah tentang hal hal yang berkaitan dengan kehidupan para dewa dan dewi dalam kayangana dilangit, catatan pada masa masa terakhir barulah didasarkan pada kenyataan sejarah.
Buat pertama kalinya didalam sejarah jepang yang puluhan abad lamanya bahwa seorang sarjana jepang pada tahun 1893 M, yakni Prof. Kume dari imperial university di Tokyo, berani mengemukakan kritiknya dan menolak banyak peristiwa dalam kedua kitab itu untuk dinyatakan sebagai peristiwa atau sejarah, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. atas pendiriannya itu, yang dipandang merendahkan kepercayaan yang hidup dalam agama Shinto dia pun dipecat dari jabatannya.
2.5  Sekte dan Doktrin- doktrin dalam Agama Shinto­­
2.5.1  Shinto dan Ajarannya
Shinto tidak mengenal ajaran apapun. Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan musim, seperti musim panen, roh, spirit dll. Sejak awal sebenarnya secara natural manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan Besar" yang disebut dengan nama Kami atau Kami Sama itu diwujudkan dalam bentuk tarian, upacara, festival dll. Dari sinilah sepertinya agama Shinto berawal.
Layaknya suatu suatu kepercayaan yang berakar dari Animisme, umumnya tidak memiliki ajaran khusus yang harus dipelajari, demikian juga halnya dengan agama Shinto. Jadi agama ini sama sekali tidak memiliki buku khusus ataupun kitab suci yang harus dipelajari sehingga pelajaran ataupun ceramah agama dan sejenisnya tentu saja tidak ada. Disamping itu Shinto juga tidak mengenal istilah nabi yang berfungsi sebagai "founding father" karena dari awal agama ini muncul secara alami di masyarakat.
Tujuan agama Shinto dalah untuk memuja dewi matahari(Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada bulan Juni dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
Jadi kalau kami coba memberikan rangkuman awal tentang agama Shinto, maka bisa ditulis sebagai berikut :
1. Tidak mengenal ajaran apapun.
2. Tidak mengenal nabi, orang suci ataupun tokoh agama sebagai pemimpin dan penyebar agama.
3. Tidak mengenal kiblat atau arah sembahyang.
4. Tidak mengenal lambang sebagai identitas agama. Sebagian orang mungkin memakai Torii atau pintu gerbang sebagai ikon Shinto. Icon tentu saja tidak sama dengan simbol dan disamping itu bangunan Torii ini juga dipakai pada beberapa kuil Buddha di Jepang.
Sedangkan khusus tentang ajaran Shinto yang menyebutkan Kaisar sebagai Dewa Matahari sepertinya mulai muncul dan populer pada masa Periode Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai agama resmi negara dan Kaisar sebagai "Living God" atau dewa yang hidup di dunia. Yang jelas tidak ada catatan tertulis pada buku atau kitab suci tentang hal tersebut.
Dalam agama Shinto ada beberapa proses ritual atau ibadah yang bertujuan untuk mensucikan diri mereka, Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis
Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.

2.5.2  Ritus- Ritus dalam Agama Shinto
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto diantaranya adalah :
1.    Pemujaan dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
2.    Perayaan yang diadakan untuk tujuan yang berkenaan dengan pusaka leluhur, pengudusan, pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak puncak perayaan diadakan pada tahun baru, saat menanam padi pada musim semi dan pada saat panen pada musim gugur.
3.    Selain itu pada zaman purbakala dulu masyarakat jepang juga mengenal korban manusia bahkan sering terjadi tradisi bunuh diri secara suka rela akan tetapi tradisi ini sekarang dilarang dan diganti dengan tanah liat atau kayu.
4.     Harae adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau atau yang artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, Harae merupakan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi.
5.      Omairi - Mengunjungi sebuah Kuil
Temizu Basin - Itsukushima Jinja Temizu Cekungan - Itsukushima Jinja
Sama seperti umat agama lain, Shinto juga mempunyai tempat ibadah suci yang disebut dengan kuil. Seperti gambar di atas adalah daerah depan kuil biasanya disediakan air sebagai penyucian. Upacara penyucian yang dilaksanakan masyarakat Jepang memiliki Upacara fungsi dan tujuan supaya terciptanya hubungan harmonis antara kami dengan  manusia, serta tindakan atau aktivitas yang dilakukan manusia mendapatkan  pertolongan dan berkat dari kami.

2.5.3  Doktrin- Doktrin dalam Agama Shinto
Doktrin- Doktrin dalam Agama Shinto adalah sebagai berikut :
1.    Kepercayaan Shinto menurut Noma Seiroku (1967 : 13) berkaitan erat dengan keharmonisan pada alam dan dengan perlahan-lahan berkembang menjadi tradisi berdasarkan keindahan. Menurut agama Shinto, kebersihan atau kesucian adalah hal yang utama, hal-hal tanpa tipu daya adalah suci.
2.    Sebagian orang sependapat unutk menyebutkan Shinto sebagai (agama) pemuja alam. Sebutan ini sepertinya yang paling tepat untuk dipakai menurut saya. Hal ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak boleh sembarangan ditebang karena dipercaya ada Kami yang berdiam di dalamnya.
3.    Tujuan utama bagi pemeluk agama Shinto adalah kebahagiaan dalam kehidupan dunia, mereka menganggap bahwa orang yang sudah mati dapat membantu mereka dalam menjalankan hidup ini dari abad ke-abad kultus (kebaktian) terhadap roh nenek moyang selalu berubah bentuknya tetapi sifat kultus yang khas masih tetap sama.
4.    Orang Jepang tidak mengenal aliran aliran yang dating kemereka karena itu agama budha dan lainnya yang datang di jepang dapat berkembang dengan baik kalau kita perhatikan mula mula agama Shinto itu memuja dewa, kamudian memilih satu diantaranya yang terpenting yaitu “amaterasu omi kami“ maka dapat dikatakan bahwa agama Shinto adalah politeisme yang monotheisme.
2.5.4  Perkembangan Agama Shinto
Sejarah Perkembangan agma Shinto di jepang dapat dibedakan menjadi bebrapa tahap masa sebagai berikut :
a. Masa perkembangan dan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di jepang yaitu dari tahun 660 sebelum Masehi sampai tahun 552 Masehi dalam masa 12 abad lamanya.
b. Masa agama Budha dan Konghucu dan ajaran tao masuk ke Jepang yaitu tahun 552 masehi sampai tahun 800 masehi yang dalam masa dua setengah abad itu agama Shinto memperolah saingan yang sangat berat, pada than 645 masehi kaisar kotoku merestui agma budha dan mengenyampingkan kami no michi, pada tahun 671 masehi sang kaisar membelakangi dunia dan mengenakan pakaian rahib.
c. Masa singkronisasi agama Shinto dengan tiga ajaran lainnya yaitu dari tahun 800 masehi sampai 1700 masehi yang dalam sembilan abad itu lahir ryobu Shinto (Shinto paduan) .
Kemunduran pengaruh agama Shinto pada masa belakangan itu dapat disaksikan pada kenyataan bahwa upacara keagmaan yang terpandang sangat amat penting dalam agama Shinto yaitu upacara oho-line (penabalan mahkota) antara tahun 1465 masehi sampai tahun 1687 masehi, sudah dikesampingkan oleh upacara keagamaan budha.

















BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan

Dari uraian-uraian yang sudah dikemukakan diatas tampak bahwa agama rakyat merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang benar-benar hidup di kalangan rakyat Jepang dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka seperti yang terlihat dalam kegiatan-kegiatan keluarga, rukun tetangga dan hari-hari libur nasional Jepang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kepercayaan tradisional Jepang dan tempat agama rakyat, dalam kehidupan masyarakat Jepang modern yang termuat dalam laporan hasil penelitian yang diberi judul Nihonjin-no-kokuminsei (sifat nasional Jepang), maka pemujaan terhadap arwah nenek moyang menempati kedudukan utama dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Di samping itu rangkaian upacara dan perayaan tahunan masih tetap memainkan peranan penting dalam agama rakyat, terutama dalam lingkungan masyarakat pertanian yang umumnya terdapat dalam agama rakyat fungsinya sudah jauh berkurang, namun berbagai rangkaian kegiatan yang sepanjang tahun menjadi salah satu diantara ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama yang sudah melembaga seperti agama Shinto.
Dalam agama Shinto terdapat banayak keprcayaan terhadap dewa dewa ada banyak sekali dewa yang di percayai oleh penganut agama Shinto namun yang paling popular adalah dewi matahari (amaterasu omi kami) yang menjadi dewanya para dewa dan juga dewa bulan, penganut Shinto juga sangat patuh terhadap raja mereka yakni tenno, hal ini dikarenakan mereka percaya bahwa tenno adalah keturunan dewa jadi wajib bagi mereka untuk patuh pada tenno.

3.2  Kritik dan Saran

Adapun kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca.  Penyusun makalah ini masih merasa jauh dari tingkat kesempurnaan. Kritik dan saran dari anda sangatlah bermanfaat bagi kami untuk menjadikan kami lebih faham dan menguasai. Dan permohonan maaf sebesar- besarnya dari kami mungkin ada salah kata baik tulisan atau penjelasan dari kami. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT Tuhan semesta alam.


[1]  Sukardji. 1992. Agama –Agama Yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya,  Bandung : Penerbit Angkasa Bandung. Hlm 3

[2]  Rifa’i, Muhammad. Ilmu Perbandingan Agama. 1980. Semarang : Penerbit Wicaksana. Hlm 103

[3] Aripin, Muhammad, H, Prof, M.Ed,. Mengguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, 2007.  Jakarta : GT. Press Jakarta. Hlm 178

No comments:

Post a Comment