BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Agama merupakan suatu adat
kepercayaan bagi setiap pemeluk- pemeluknya. Sepanjang sejarah kehidupannya
dari fase ke fase, manusia selalu berhubungan erat dengan agama. Agama
mempunyai peranan besar dalam memberi arah dan sisi bagi kehidupan
manusia,sehingga sifat dan perilaku mereka selalu diwarnai ajaran agama yang
dipeluknya.
Sebagai contoh adalah agama di Jepang yang biasanya disebut dengan agama Shinto. Sebagai agama asli bangsa Jepang,
agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya,
bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan
perkembangan yang ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang suka dialih
bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya.
Kata-kata Shinto itu sendiri
sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan
para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau ägama para dewa”. Dan nama Shinto itu
sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa
Jepang itu ketika agama Budha dan agama konfusius (Tiogkok) sudah memasuki
Jepang pada abad keenam Masehi. Istilah agama, di samping
merupakan keyakinan dan kepercayaan juga mengandung syariat (aturan) yang
sempurna. Oleh karena itu Shinto dapat dipandang sebagai faham yang berbau
keagamaan, Shinthoisme. (HM. Arifin, 1981 : 39).
Pertumbuhan dan perkembangan
agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang
asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai
macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu
tidak menghilangkan tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut
justru memperkaya kehidupan spritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli
dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi sesuatu bentuk
tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang
terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melaikan suatu kelangsungan
dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang
dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru
yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana asal usul agama
Shinto ?
1.2.2 Siapakah pendiri agama Shinto
?
1.2.3 Bagaimana sistem ketuhanan
dalam agama Shinto ?
1.2.4 Apa kitab suci agama Shinto ?
1.2.5 Bagaimanakah sekte-sekte dan
doktrin-doktrin dalam agama Shinto ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk
mengetahui asal usul agama Shinto .
1.3.2
Untuk
mengetahui pendiri agama Shinto.
1.3.3
Untuk
mengetahui sistem ketuhanan agama Shinto .
1.3.4
Untuk
mengetahui kitab suci agama Shinto.
1.3.5
Untuk
mengetahui sekte-sekte dan doktrin- doktrin dalam agama Shinto .
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Agama Shinto
Shinto
adalah kata menjemuk daripada “Shin”dan “to. Arti kata “Shin” adalah “roh”dan
“toh” adalalah “jalan”. Jadi “Shinto”mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”,
baik roh-roh orang yang telah meniggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata
“to”berdekatan dengan kata “tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya dewa”atau
“jalannya bumi dan langit”.
Sedang kata
“Shin”atau “Shen” identik dengan kata “Yin”dalam taoisme yang berarti gelap,
basah, negatif dan sebagainya; lawan dari kata “yang. Dengan melihat hubungan
nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari
Tiogkok.
Sedangkan
Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang.
Shintoisme merupakan filsafat relegius yang bersifat tradisional sebagai
warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya
rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga
pemerintahannya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran
ini.
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara
faham serta jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam.
Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan
nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang. Karena yang menyebabkan
timbulnya faham ini tibul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan
terjadinya negara Jepang. Lantar belakang historis timbulnya faham ini adalah
budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi
kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama
alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Budha ke Jepang pada abad ke enam
mesehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama
berabad-abad antara agama Shinto dari agama Shinto dan agama Budha telah
terjadi pencampuran yang sedemikian rupa bahkan agama Shinto senantiasa disebutkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama budha dengan
kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhirnya mengakibatkan muculnya persaingan yang cukup hebat
antara pendeta bangsa Jepang (shinto) dengan para pendeta agama budha, maka
untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima
dan memasukkan unsur-unsur Budha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat
aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bagunan tempat
suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Budha. Patung-patung dewa yang
semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan
tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan
gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.
Tentang pengaruh agama budha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan
bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Budha (penjelmaan dari Budha dan
Bodhisatwa), dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan
dengan waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam budhisme
Mahayana) hal ini berlangsung sampai abad ketujuh belas mesehi.
Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali
ajaran Shinto murni di bawah pelopor kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan
lain-lain dengan tujuh bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo”(jalannya Budha)
dengan “kami”(roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk
memperthankan kelansungan kepercayaannya. Agama Shinto merupakan
agama yang memuja dan menyembah hewan, orang-orang suci, roh nenek moyang, para
dewa, dewa tertinggi (Ameterasu Omi Kami), patung dan berhala.[1]
2.2 Pendiri Agama Shinto
Shintoisme (agama Shinto) pada
mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan
pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang
sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad
hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan
dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme
adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya
negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah
budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi
kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama
alamiah.
Hasil penelitian tentang agama baru
di Jepang banyak sekali. Menurut karya Prof. SHIMAZONO Susumu (jurusan ilmu
agama Universitas Tokyo), agama baru Jepang itu didefinisikan seperti berikut
ini.
1. Agama itu muncul dan berkembang pada masa modern
atau pada masa peralihan ke modern.
2. Agama itu didirikan dari, oleh dan
untuk rakyat.
3. Agama itu dipisah dari agama tradisi
dalam bidang baik organisasi maupun ajarannya.
Agama ini muncul pada zaman prasejarah, dan siapa pembangunnya tidak
dapat dikenal dengan pasti. Nama Shinto muncul setelah masuknya agama
Buddha ke Jepang yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa
Jepang, penyebarannya adalah di asia dan terbanyak di jepang, kira kira pada
abad 6 masehi agama budha masuk ke jepang dari tiongkok dengan melalui korea.
Satu abad kemudian agama itu telah berkembang dengan pesat bahkan lama
kelamaan agama itu dapat mendesak agama shinto akan tetapi karena agama shinto
mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti kepada raja maka raja pun
berusaha untuk melindunginya , sehingga apada tahun 1396 agama Shinto di
tetapkan sebagai agama Negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10
sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham
Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab
saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula
berbakti kepada negara dan politik Negara, kemudian agama Shinto bercampur
dengan Agama Budha demikian pula dengan agama Konghucu yang masuk
ke Jepang langsung dari tanah asalnya kira kira pada abad pertengahan ke 7.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti
anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari
Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang
disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam
Budhisme Mahayana), hal ini berlangsung sampai abad ketujuh belas Masehi.
2.3 Sistem Ketuhanan Agama Shinto
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan
antara faham serta jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam
mempercayain bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap
memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk
bicara, semua ruh atau sprit itu dianggap memiliki daya kekusaan tersebut
mereka puja dan disebut dengan “kami”.[2]
Istilah “kami”dalam agama Shinto dapat diartikan
dengan “di atas”atau ünggul,sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan
sesuatu kekuatan spritual, maka kata “kami”dapat dialihkan dengan “dewa”(tuhan,
God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “kami”tersebut berarti suatu
objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek
pemujaan yang ada dalam agama lain.
Pengikut-pengikut agama Shinto mempunyai
semboyan yang berbunyi “kamu negara no mishi”yang artinya: tetap mencari jalan
dewa. Kepercayaan kepada “kami”daripada benda-benda dan seseorang, keluarga,
suku, raja-raja sampai kepada “kami”alam raya menimbulkan kepercayaan kepada
dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adannya dewa langit (dewa surgawi)
dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan
dengan pemberi kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang
pertaniaan.
Di samping mempercayai adanya dewa-dewa yang
memberi kesejahteraan hidup mereka juga mempercayai adanya
kekuatan gaib yang mencelakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan
Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada
pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain salaing berlawanan
yakni “kami”versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan
dualisme dalam agama Zarathustra.
Dari kutipan diatas dapat dilihat adanya tiga
hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu:
a. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala –gejala
alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja
secara langsung.
b. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah
meninggal.
c. Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan
berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Kami terebut ada yang berasal dari orang yang telah meninggal dunia tetapi
ada juga yang berasal dari benda alam yang berasal dari orang yang telah
meninggal, misalnya:
a. “kami” dari
para leluhur tiap tiap suku (biasanya kami ini dipunyai oleh anggota dari tiap
tiap suku tersebut).
b. “kami” dari
para pahlawan
c. “kami” dari
nenek moyang tiap keluarganya sendiri (biasanya dianggap sebagai pelindung
rumah tangga ).
Sedangkan kami kami yang lain yang berasal dari benda benda alam dan
kekuatan alam misalnya :
a. “kami” dari
matahari
b. “kami” dari
petir
c. “kami” dari
bulan,
d. “kami”
kilat,
e. “kami”
sungai,
f. “kami”
gunung,
g. “kami”
pohon, dan sebagainya
Demikian pula jumlah dewa dewa yang mereka hormati banyak sekali, kira kira
lebih dari 800 dewa, yang terpenting adalah amterasu omi kami (dewi matahari)
yang merupakan pelindung dewa dan juga pertanian.
Di dalam penyembahan terhadap kami biasnya di pimpin oleh pendeta pendeta,
para pendeta tersebut di rancang khusus untuk memuja kami tertentu dan
mendapatkan bantuann dari kami yang sedang di puja dan pada saat memimpin
upacara mereka berpakaian khusus, dua kali sehari pendeta tersebut menyajikan
sajian di dalam kuil dengan membaca mantera mantera dan pujian pujian.
Kuil Shinto di Jepang banyak sekali terhitung lebih dari 200.000 buah kuil,
bahkan ada juga yang menyebutkan terdapat lebih dari 80 juta kami di jepang dan
para pendeta tersebut yang mengurusi kuil adalah turun menurun, setelah agama
budha masuk ke jepang pada abad ke VI maka mendesaklah unsur -unsur agama budha
tersebut ke dalam agama Shinto lama kelamaan terjadilah percampuran antara
kedua unsur agama tersebut yang kemudian
aliran ini disebut “Ryobu Shinto” .
Nama yang di pakai untuk menunjukan berbagai
kegiatan dan kepercayaan di Jepang. Pada jaman dahulu, shinto merupakan agama
rakyat yang berpusat di sekeliling keluarga pagoda- pagoda lokal, tetapi
kemudian, hingga sekarang menjadi pemujaan kepada negara dan dihubungkan dengan
Kaisar dan istana.
Agama Shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan
berkembang dalam lingkugan penduduk, bukan datang dari luar. Nama asli bagi
agama itu ialah Kami no Michi, yang bermakna : Jalan Dewa.
Pada Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok
maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru
itu perubahan bunyi itu serupa halnya dengan Aliran Chan, sebuah sekyta
agama Budha madzab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang
di Jepang.
Agama Shinto itu berpangkal pada mitos bahwa
bumi Jepang itu ciptaan dewata yang pertama–tama dan Jimmu
Tenno (660 sM), Kaisar Jepang yang pertama itu, adalah turunan langsung
dari Amaterasu Omu Kami, yankni Dewi Matahari, dalam perkawinanya dengan
Touki Lomi, yakni Dewa Bulan. Sekalian upacara dan kebaktian terpusat.
Seluruhnya pada pokok keyakinan tersebut.
2.4 Kitab Suci Agama Shinto
Dalam agama Shinto ada dua kitab
suci yang tertua, tetapi di susun sepuluh abad sepeninggal Jimmi Temmo (660 SM),
kaisar jepang yang pertama. Dan dua buah lagi di susun pada masa yang lebih
belakangan, keempat empat kitab itu adalah
sebagi berikut :
2.4.1 Kojiki
Kojiki bermakna : catatan peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 M,
sesudah kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara, yang ibukota Nara itu dibangun
pada tahun 710 M menuruti model ibukota Changan di Tiongkok.
2.4.2 Nihonji
Nihonji
bermakna : riwayat Jepang. Disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dan
dibantu oleh seorang pangeran di istana.
2.4.3 Yeghisiki
Yeghiski bermakna : berbagai lembaga pada masa Yengi, kitab ini disusun
pada abad kesepuluh Masehi terdiri atas 50 bab. Sepuluh bab yang pertama
berisikan ulasan kisah kisah yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa
selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti isinya adalah 25 norito
yakni do’a-do’a pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara keagamaan.
2.4.4 Manyosiu
Manyosiu bermakna : himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai,
yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad kelima dengan abad
kedelapan masehi.
Kitab pertama itu menguraikan tentang alam kayangan tempat kehidupan para dewa dan dewi sampai kepada amaterasu omi kami (dewi matahari ) dan tsukiyomi (dewa bulan ) diangkat menguasai langit dan puteranya Jimmu Tenno diangkat menguasai “tanah yang subur ” (Jepang) di bumi, lalu disusul silsilah keturunan kaisar Jepang itu beserta riwayat hidup satu persatunya selanjutnya upacara upacara keagamaan yang dilakukan dalam masa yang panjang itu berkenaan dengan pemujaan terhadap kaisar beserta para dewa dan dewi.
Kitab pertama itu menguraikan tentang alam kayangan tempat kehidupan para dewa dan dewi sampai kepada amaterasu omi kami (dewi matahari ) dan tsukiyomi (dewa bulan ) diangkat menguasai langit dan puteranya Jimmu Tenno diangkat menguasai “tanah yang subur ” (Jepang) di bumi, lalu disusul silsilah keturunan kaisar Jepang itu beserta riwayat hidup satu persatunya selanjutnya upacara upacara keagamaan yang dilakukan dalam masa yang panjang itu berkenaan dengan pemujaan terhadap kaisar beserta para dewa dan dewi.
Menurut cerita dari kitab kojiki dan nihongi, mula mula bumi dan langit
serta seisinya dijadikan oleh para dewa (kami), dua diantara dewa dewa itu
turun dari langit akan menjadikan bumi Jepang, dua dewa tersebut adalah isanaga
no kami (laki laki) dan isonami no kami (perempuan), dua dewa ini kemudian
menurunkan beberapa dewa termasuk juga dewa matahari yang bernama amaterasu omi
kami.
Dewa langit ini kemudian mengirim seorang dewa kebumi bernama: ninigi no
mikoto yang kemudian bercucu: jimmi tenno, raja Jepang yang pertama kali,
itulah sebabnya maka nama resmi raja Jepang adalah tenno yang artinya “raja
langit” , jimmi tenno naik tahta kerjaan pada tahun 660 sebelum masehi, dan dia
itulah yang menurunkan raja raja jepang sampai sekarang ini.
Hal ini dikarenakan penganut agama Shinto pada umunya percaya bahwa temmo
raja jepang itu adalah keturunan dewa surya, amaterasu omi kami, maka para
penganut agama Shinto percaya dan patuh pada temmo, memuja alam dan roh, begitu
pula bendera kebangsaan jepang berbentuk tanda matahari untuk menunjukan bahwa
negaranya tercipta dari matahari tempat kediaman amaterasu omi kami (dewi
matahari).[3]
Sekalian kitab suci itu berisikan kisah kisah legendaris, nyanyian nyanyian
kepahlawanan serta sajak sajak tentang asal usul kedewaan, asal usul kepulauan
Jepang dan kerajaan Jepang. Ragam kisah tentang hal hal yang berkaitan dengan
kehidupan para dewa dan dewi dalam kayangana dilangit, catatan pada masa masa
terakhir barulah didasarkan pada kenyataan sejarah.
Buat pertama kalinya didalam sejarah jepang yang puluhan abad lamanya bahwa
seorang sarjana jepang pada tahun 1893 M, yakni Prof. Kume dari imperial
university di Tokyo, berani mengemukakan kritiknya dan menolak banyak peristiwa
dalam kedua kitab itu untuk dinyatakan sebagai peristiwa atau sejarah, karena
tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. atas pendiriannya itu, yang
dipandang merendahkan kepercayaan yang hidup dalam agama Shinto dia pun dipecat
dari jabatannya.
2.5 Sekte dan Doktrin- doktrin dalam Agama Shinto
2.5.1 Shinto dan Ajarannya
Shinto tidak mengenal ajaran apapun. Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran
dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada
kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh
dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan musim,
seperti musim panen, roh, spirit dll. Sejak awal sebenarnya secara natural
manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar mereka
ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak langsung
berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman,
ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan Besar" yang
disebut dengan nama Kami atau Kami Sama itu diwujudkan dalam bentuk tarian,
upacara, festival dll. Dari sinilah sepertinya agama Shinto berawal.
Layaknya suatu suatu kepercayaan yang berakar dari
Animisme, umumnya tidak memiliki ajaran khusus yang harus dipelajari, demikian
juga halnya dengan agama Shinto. Jadi agama ini sama sekali tidak memiliki buku
khusus ataupun kitab suci yang harus dipelajari sehingga pelajaran ataupun
ceramah agama dan sejenisnya tentu saja tidak ada. Disamping
itu Shinto juga tidak mengenal istilah nabi yang berfungsi sebagai
"founding father" karena dari awal agama ini muncul secara alami di
masyarakat.
Tujuan agama Shinto dalah untuk memuja dewi matahari(Ameterasu
Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan
dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada bulan Juni
dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
Jadi kalau kami coba memberikan rangkuman awal
tentang agama Shinto, maka bisa ditulis sebagai berikut :
1.
Tidak mengenal ajaran apapun.
2.
Tidak mengenal nabi, orang suci ataupun tokoh agama sebagai pemimpin dan
penyebar agama.
3.
Tidak mengenal kiblat atau arah sembahyang.
4.
Tidak mengenal lambang sebagai identitas agama. Sebagian orang mungkin memakai
Torii atau pintu gerbang sebagai ikon Shinto. Icon tentu saja
tidak sama dengan simbol dan disamping itu bangunan Torii ini juga dipakai pada
beberapa kuil Buddha di Jepang.
Sedangkan khusus tentang ajaran Shinto yang menyebutkan
Kaisar sebagai Dewa Matahari sepertinya mulai muncul dan populer pada masa
Periode Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai agama
resmi negara dan Kaisar sebagai "Living God" atau dewa yang hidup di
dunia. Yang
jelas tidak ada catatan tertulis pada buku atau kitab suci tentang hal
tersebut.
Dalam agama Shinto ada beberapa proses ritual atau ibadah yang bertujuan
untuk mensucikan diri mereka, Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan
memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis
Menurut agama Shinto watak manusia
pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan
kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian
(Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai
dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian
(Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain
dalam agama Shinto.
2.5.2 Ritus- Ritus dalam Agama Shinto
Ritus-ritus yang dilakukan dalam
agama Shinto diantaranya adalah :
1.
Pemujaan dewi
Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan
serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang
pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
2.
Perayaan yang
diadakan untuk tujuan yang berkenaan dengan pusaka leluhur, pengudusan,
pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak puncak perayaan diadakan pada tahun
baru, saat menanam padi pada musim semi dan pada saat panen pada musim gugur.
3.
Selain itu pada
zaman purbakala dulu masyarakat jepang juga mengenal korban manusia bahkan
sering terjadi tradisi bunuh diri secara suka rela akan tetapi tradisi ini
sekarang dilarang dan diganti dengan tanah liat atau kayu.
4.
Harae
adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto atau
penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau atau yang artinya
membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih
banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting
dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, Harae merupakan bentuk
biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara
mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan
dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki
maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi.
5. Omairi - Mengunjungi sebuah Kuil
Temizu Basin
- Itsukushima Jinja Temizu
Cekungan - Itsukushima Jinja
Sama
seperti umat agama lain, Shinto juga mempunyai tempat ibadah suci yang disebut
dengan kuil. Seperti gambar di atas adalah daerah depan kuil biasanya
disediakan air sebagai penyucian. Upacara penyucian yang
dilaksanakan masyarakat Jepang memiliki Upacara fungsi dan tujuan supaya
terciptanya hubungan harmonis antara kami dengan manusia, serta tindakan
atau aktivitas yang dilakukan manusia mendapatkan pertolongan dan berkat dari kami.
2.5.3
Doktrin- Doktrin dalam Agama Shinto
Doktrin-
Doktrin dalam Agama Shinto adalah sebagai berikut :
1.
Kepercayaan
Shinto menurut Noma Seiroku (1967 : 13) berkaitan erat dengan keharmonisan pada
alam dan dengan perlahan-lahan berkembang menjadi tradisi berdasarkan
keindahan. Menurut agama Shinto, kebersihan atau kesucian adalah hal yang
utama, hal-hal tanpa tipu daya adalah suci.
2.
Sebagian orang sependapat unutk
menyebutkan Shinto sebagai (agama) pemuja alam. Sebutan ini sepertinya yang
paling tepat untuk dipakai menurut saya. Hal ini bisa dilihat dari tradisi
Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar
misalnya tidak boleh sembarangan ditebang karena dipercaya ada Kami yang
berdiam di dalamnya.
3.
Tujuan utama
bagi pemeluk agama Shinto adalah kebahagiaan dalam kehidupan dunia, mereka
menganggap bahwa orang yang sudah mati dapat membantu mereka dalam menjalankan
hidup ini dari abad ke-abad kultus (kebaktian) terhadap roh nenek moyang selalu
berubah bentuknya tetapi sifat kultus yang khas masih tetap sama.
4.
Orang Jepang tidak
mengenal aliran aliran yang dating kemereka karena itu agama budha dan lainnya
yang datang di jepang dapat berkembang dengan baik kalau kita perhatikan mula
mula agama Shinto itu memuja dewa, kamudian memilih satu diantaranya yang
terpenting yaitu “amaterasu omi kami“ maka dapat dikatakan bahwa agama Shinto
adalah politeisme yang monotheisme.
2.5.4 Perkembangan Agama Shinto
Sejarah Perkembangan agma Shinto di jepang dapat dibedakan menjadi bebrapa
tahap masa sebagai berikut :
a. Masa perkembangan dan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di jepang yaitu dari tahun 660 sebelum Masehi sampai tahun 552 Masehi dalam masa 12 abad lamanya.
b. Masa agama Budha dan Konghucu dan ajaran tao masuk ke Jepang yaitu tahun 552 masehi sampai tahun 800 masehi yang dalam masa dua setengah abad itu agama Shinto memperolah saingan yang sangat berat, pada than 645 masehi kaisar kotoku merestui agma budha dan mengenyampingkan kami no michi, pada tahun 671 masehi sang kaisar membelakangi dunia dan mengenakan pakaian rahib.
c. Masa singkronisasi agama Shinto dengan tiga ajaran lainnya yaitu dari tahun 800 masehi sampai 1700 masehi yang dalam sembilan abad itu lahir ryobu Shinto (Shinto paduan) .
Kemunduran pengaruh agama Shinto pada masa belakangan itu dapat disaksikan pada kenyataan bahwa upacara keagmaan yang terpandang sangat amat penting dalam agama Shinto yaitu upacara oho-line (penabalan mahkota) antara tahun 1465 masehi sampai tahun 1687 masehi, sudah dikesampingkan oleh upacara keagamaan budha.
a. Masa perkembangan dan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di jepang yaitu dari tahun 660 sebelum Masehi sampai tahun 552 Masehi dalam masa 12 abad lamanya.
b. Masa agama Budha dan Konghucu dan ajaran tao masuk ke Jepang yaitu tahun 552 masehi sampai tahun 800 masehi yang dalam masa dua setengah abad itu agama Shinto memperolah saingan yang sangat berat, pada than 645 masehi kaisar kotoku merestui agma budha dan mengenyampingkan kami no michi, pada tahun 671 masehi sang kaisar membelakangi dunia dan mengenakan pakaian rahib.
c. Masa singkronisasi agama Shinto dengan tiga ajaran lainnya yaitu dari tahun 800 masehi sampai 1700 masehi yang dalam sembilan abad itu lahir ryobu Shinto (Shinto paduan) .
Kemunduran pengaruh agama Shinto pada masa belakangan itu dapat disaksikan pada kenyataan bahwa upacara keagmaan yang terpandang sangat amat penting dalam agama Shinto yaitu upacara oho-line (penabalan mahkota) antara tahun 1465 masehi sampai tahun 1687 masehi, sudah dikesampingkan oleh upacara keagamaan budha.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari
uraian-uraian yang sudah dikemukakan diatas tampak bahwa agama rakyat merupakan
sistem kepercayaan dan peribadatan yang benar-benar hidup di kalangan rakyat
Jepang dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka seperti
yang terlihat dalam kegiatan-kegiatan keluarga, rukun tetangga dan hari-hari
libur nasional Jepang.
Dari hasil
penelitian yang dilakukan terhadap kepercayaan tradisional Jepang dan tempat
agama rakyat, dalam kehidupan masyarakat Jepang modern yang termuat dalam
laporan hasil penelitian yang diberi judul Nihonjin-no-kokuminsei (sifat
nasional Jepang), maka pemujaan terhadap arwah nenek moyang menempati kedudukan
utama dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Di samping itu
rangkaian upacara dan perayaan tahunan masih tetap memainkan peranan penting
dalam agama rakyat, terutama dalam lingkungan masyarakat pertanian yang umumnya
terdapat dalam agama rakyat fungsinya sudah jauh berkurang, namun berbagai
rangkaian kegiatan yang sepanjang tahun menjadi salah satu diantara
ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama yang sudah melembaga seperti agama
Shinto.
Dalam agama
Shinto terdapat banayak keprcayaan terhadap dewa dewa ada banyak sekali dewa
yang di percayai oleh penganut agama Shinto namun yang paling popular adalah
dewi matahari (amaterasu omi kami) yang menjadi dewanya para dewa dan juga dewa
bulan, penganut Shinto juga sangat patuh terhadap raja mereka yakni tenno, hal
ini dikarenakan mereka percaya bahwa tenno adalah keturunan dewa jadi wajib
bagi mereka untuk patuh pada tenno.
3.2 Kritik dan Saran
Adapun kritik dan saran sangat kami harapkan dari para
pembaca. Penyusun makalah ini masih
merasa jauh dari tingkat kesempurnaan. Kritik dan saran dari anda sangatlah
bermanfaat bagi kami untuk menjadikan kami lebih faham dan menguasai. Dan
permohonan maaf sebesar- besarnya dari kami mungkin ada salah kata baik tulisan
atau penjelasan dari kami. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT Tuhan
semesta alam.
No comments:
Post a Comment