Friday, December 12, 2014

PENGERTIAB FIKKIH



1.      Pengertian fiqih menurut bahasa
Kata fiqh berasal dari bahasa arab yaitu, الفهم yang artinya adalah faham, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-taubah ayat 122.

وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طا ئفة ليتفقهوا في الدين لينذروا قومهم اذا رجعوا اليهم لعلهم يحذرون

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Pengertian fiqih menurut istilah
Fiqih menurut istilah mengandung dua arti, yaitu :
·         Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at
·         Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at ini digunakan untuk mengetahui hukum-hukum dalam islam. Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada.
Hukum-hukum syari’at itu sendiri yaitu hukum apa saja yang terkandung didalam suatu hukum fiqih. Seperti, apa saja yang terkandung didalam shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya yang berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya

2.      Lima prinsip syari’at yang menjadi syarat mengeluarkan produk hukum dalam kehidupan sehari-hari.
                                 
A.    Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj

Dalam menetapkan syariat Islam, al-Qu’ran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam a-Quran,

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 286)

Al-Yatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia melihat prinsip ini tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).

Dalam menetapkan hukum, Allah swt. Senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis dari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan,“Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at)
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam pelaksanaannya.Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat.
Misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan saja.

Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearama.

B. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)

Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa di dasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.

Umat manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan memperberat diri sendiri. Allah swt. Berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ ١٠١

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah: 101)

Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Qur’an menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat tiu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah kalian melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian merusaknya, serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”

C. Penetapan Hukum secara Periodik

Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tasyri’ sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial uamt. Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu mempertimbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kesua, yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran

Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammaf saw) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.

Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lebih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)

Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)

Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy. Sebagaimana disebutkan dalam surat Qaf: 39

فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ (٣٩)

“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”
Lalu surat al-Mu’min: 55

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ

“Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”

Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam.

Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum (QS. Al-Maidah: 6), serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.

D. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal

Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.

Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu yang ada di mayapada ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’I menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding dengan hukum tersebut.

E. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)

Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam.

Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.... (QS. Al-Nisa: 58)

Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah).


3.      Apakah benar fiqh itu hasil dari kreatifitas berfikir ulama’.?
Benar, karena
4.      Syarat-syarat dalam menentukan suatu hukum.
a)      Hakim
Hakim adalah: pembuat, yang menetapkan dan yang memunculkan sumber hukum yang menemukan, memperkenalkan dan menyingkakan hukum. Hakim merupakan persoalan mendasar dalam usul fiqh, karena berkaitan dengan “siapa pembauat hukum sebenarnya dalam syari’at islam”, “siapa yang menentukan hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu”. Apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang berbuat buruk dikenakan sanksi.
Dengan demikian yang dimaksud hakim adalah: yang menetapkan hukum atau penguasa hukum. Dalam ajaran islam para ulama’ telah sepakat bahwa Allah adalah sebagai hakim terhadap segala tingkah laku dan perbuatan orang-orang mukallaf.
b)      Mahkum Fih
Pengertian mahkum fih. para ulama’ menyatakan bahwa ayang dimaksud dengan mahkum fih adalah: objek hukum, yaitu: perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya) yang bersifat tuntutan mengerjakan; dan yang bersifat syari’at, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah, serta batal.
Jadi, mahkum fih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat hubungannya atau bersangkutan dengan hukum syara’ atau agama islam. Misalnya: perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama islam. seperti masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah: mahkum fih, sebab bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib firman Allah yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji“
Jelaslah apabila diperhatikan semua perbuatan manusia itu hubungannya dengan hukum syara’, berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan huuk syara’. Jadi, perbuatan manusia, yang beraitan dengan hukum syara’ itulah yang dinamakan mahkum fih dalam hukum islam.
c)      Mahkum Alaih.
Para ualama’ usul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah: seorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah, yang disebutkan dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaiah (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan perintah Allah maupun dengan larangannya, seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggung jawabkan apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajinnya belum terpenuhi.
Syarat-Syarat Orang Mukallaf Itu Ada Dua Bagian:
a)      Harus sanggup dan dapat memahami khitab atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya. tidak semua orang mukallaf yang dapat memahami bahasa arab, agar takhlif dibebani secara merata diwajibkan kepada kita menerjemahkan al-qur’an dan sunnah Nabi, yang menjadi sumber takhlif kedalam bermacam-macam bahasa yang dapat dipahami mereka. dalil kewajiban itu berdasarkan “hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir di antara kamu”.
Dalam masalah ini, termasuk kepada orang yang ghaib adalah orang yang tidak mengetahui bahasa arab (al-qur’an) dan hadist, atau tidak sanggup memahami dalil –dalil hukum syara’ yang dibebankan kepada orang takhlif.
b)      Ahli dan patut di takhlif, yang dimaksud dengan ahli adalah; orangyang pantas atau patut dibebani dengan takhlif yang diamaksud dengan mukllaf itu pantas atau patut dibabani dengan takhlif.

 ahli yang dimaksud terdiri atas dua bagian antara lain:

       I.            Ahli Yatul Wujub
Ahli yatul wujub adalah keputusan seseorang untuk mempuanyai hak dan kewajiban.
- Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya oleh orang lain.
- Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain jadi, ahli yatul wujud adalah keputusan seseorang untuk memenuhi haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain keputusan itu adalah ialah kemanusiaan. oleh karena itu, sesama manusia, laki-laki, perempuan, baik janin maupun baligh, gila ataupun sehat otaknya sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya adalah ahli yautul wujub.
    II.            Ahli Yatul Ada’
Adalah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’ dengan pengertian, apabila seorang mengajarkan sholat wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur darinya, tuntutan itu, sebagai dasar untuk menumbuhkan ahliyatul ada’: a. tamyis, oleh karana itu manusia tergolong kepada ahliyatul ada’ hanyalah manusia yang memayyis saja.

5.      Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara (yang sudah ada ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini ada kesamaan illat (pemicu hukum). Menurut ulama ushul qiyas adalah, “Memberlakukan suatu hukum yang sudah ada nashnya kepada hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kesamaan 'illat."

Sebagai contoh, yang Allah haramkan hanya khamar saja di dalam Al-Quran. Khamar adalah perasan buah anggur yang sudah sampai pada kondisi tertentu sehingga peminumnya bisa mabuk. Terus terang tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang mengharamkan bir dan beragam minuman keras lainnya. Apakah hukumnya menjadi tidak haram? Tentu saja semua jenis minuman keras haram hukumnya dengan diqiyaskan kepada khamar. 'Illatnya adalah karena memabukkan, maka segala makanan dan minuman yang memabukkan hukumnya sama dengan khamar dengan jalan diqiyaskan. Sehingga hukumnya haram.

Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengambilan hukum yang dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan harus disepakai semua ulama di suatu waktu dan tempat tertenu. Sementara Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-masing ulama memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para ulama.

Kenapa harus ada Qiyas?

Sebab teks-teks Al-Quran dan Sunnah sangat terbatas, artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian hukum syariat dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari muncul kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijihad dari para ulama fiqh. Salah satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.

Hukum-hukum jual beli misalnya, Al-Quran dan Sunnah menyebutkan lebih banyak dibanding dengan soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian melakukan Qiyas pada hukum-hukum sewa-menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini memiliki kesamaan; dari sisi keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.

No comments:

Post a Comment