Moh.Kamilus Zaman Spd.I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Muhammad Dahlan
dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan
agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun
(1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah
selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha,
dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang
besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran
pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan eorak keagamaan yang
sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih
bersifat ortodoks (kolot).
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
riwayat hidup dan pendidikan K.H. Ahmad Dahlan?
2. Bagaimana
Konsep Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan?
3. Apa
saja inovasi yang dilakukan Ahmad Dahlan dalam dunia Pendidikan?
1.3. Tujuan
1. Mengenal
sejarah hidup dan pendidikan K.H. Ahmad Dahlan.
2. Memahami
konsep pemikiran K.H. Ahmad Dahlan khususnya tentang pendidikan.
3. Mengetahui
dan menambah wacana dengan inovasi pendidikan yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Riwayat Hidup dan Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di
Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921.
Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama.
Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar
KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.Ia adalah putra keempat
dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad
Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir. Semenjak kecil, Dahlan diasuh
dan dididik sebagai putera kiyai.
Pendidikan dasarnya
dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab
agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia
mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu
itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu),
K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu
hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru
lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu
menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang
tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah
dipelajarinya dan terus berupaya untuk mendalaminya.
Selelah beberapa waktu
belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk
melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas
dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat
lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini,
ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang
bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib
al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih
Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan
yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer
Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab,
Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan.
Sekembalinya dari
Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama
seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini
Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah
menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi
gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ulama atau
intelektual.
Tidak berapa lama dan
kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai
Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya
sampai akhir hayat.
Semenjak ayahnya
wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib
Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang
secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi
dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar
Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga
berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan).
Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi
ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai
kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7
Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.
Mendirikan
Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H.
Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah
(organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia
termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah
Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di
Magelang.
Selain berdagang pada
hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok
orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia
juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di
lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada
tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di
lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh
beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini
barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan
untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya
K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi
sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji
Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah
terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan
menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini,
organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat
dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid
serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban
terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan
zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang
digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan
model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan
penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk
mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak
diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara
realitis.
Pada tanggal 20
Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada
tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914.
izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda
timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya
dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang
Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di
Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang
mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta
sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan
pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan
jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya
ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul
Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu
alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin,
Syahratul Mubtadi.
2.2. Latar Belakang dan Konsep Pemikiran
Ahmad Dahlan tentang Pendidikan
a) Latar Belakang
Sejarah pemikiran
dalam Islam memang merupakan bawaan dari ajaran Islam sendiri. Karena dalam
Al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan untuk membaca, berfikir,
menggunakan akal, yang kesemuanya medorong umat Islam terutama pada ahlinya
untuk berfikir mengenai segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran dan
kebijaksanaan.
Kebangkitan pemikiran
dalam dunia Islam baru muncul abad 19 yang dipelopori oleh Sayyid Jamalludin
al-Afghani di Asia Afrika, Muhammad Abduh di mesir. Bias kedua tokoh ini di
bawa oleh pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah seperti diantaranya
K.H. Ahmad Dahlan. Berbekal ilmu agama yang ia kuasai dan ide-ide pembaru dari
Timur Tengah, K.H. Ahmad Dahlan mencoba menerapkannya di bumi Nusantara.
Cita-cita K.H. Ahmad
Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia
berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup
beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah
terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
a) Konsep
pemikiran tentang sistem pendidikan
1. Pendidikan
bertujuan untuk membentuk manusia yang:
1) Baik
budi, yaitu alim dalam agama;
2) Luas
pandangan, yaitu alim dalam ilmu-ilmu umum;
3) Bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakat.
2. Komponen-komponen
pendidikan yang harus ada adalah:
a) Guru
pengajar agama dan pelajaran umum;
b) Murid;
c) Kurikulum
yang berbasis Islam;
d) Metode
pendidikan islam modern;
e) Media
belajar yaitu Kitab-kitab klasik dan modern berbahasa Arab;
f) Sarana yaitu menggunakan meja dan kursi.
3. Kurikulum
pendidikan Islam
Memberi Muatan
Pengajaran Islam pada Sekolah sekolah Umum Modern Belanda. Yaitu memberikan pengajaran mata
pelajaran wajib yaitu; Akidah, Alquran, Tarikh, Akhlak. Ilmu bahasa dan ilmu
pasti sebagai pengimbang mata pelajaran wajib
4. Metode
Metode yang
ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan
tradisional. Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama. Yaitu, mengambil beberapa komponen pendidikan
yang dipakai oleh lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan
dengan dapat menerapkan metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam
sekolah yang didirikannya dan madrasah-madrasah tradisional.
5. Kelembagaan
Ahmad Dahlan membuat pembaharuan dalam
kelembagaan pendidikan yang semula pesantren menjadi sistem sekolah. Dahlan
menciptakan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai lembaga yang mengajarkan pendidikan
agama secara wajib. Dengan Muhammadiyah Dahlan berhasil mengembangkan lembaga
pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dan dari
sekolah agama hingga sekolah umum.
2.3. Inovasi dalam dunia pendidikan
oleh Ahmad Dahlan
1. Ide
pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di
Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar
dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia
pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada
umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen
masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu
ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi
Kanjeng Kiai Penghulu turun tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya.
K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga
ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi
maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat
mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa
demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara
pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan
pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
2. Memang
tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya
yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan
sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum
punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah
arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang
diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
3. Terobosan
dan Strategi Ahmad Dahlan
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen.
4. Gerakan
Pembaruan Ahmad Dahlan
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah).
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah).
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai
disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah
satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2
derajat ke Utara.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M.
Pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah
Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum
diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen.
Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi
persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Suharto
Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-ruz Media.
Ihsan
Fuad, Hamdani. Filsafat Pendidikan Islam.Bandung: Pustaka Setia.
Nata
Abuddin. 1999. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Wikipedia
Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan. Jakarta. 2002)
Mujib,
A. 2003. Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva pustaka.
No comments:
Post a Comment