Moh.Kamilus Zaman SPd.I
Merancang
Strategi Pendidikan Islam Masa Depan
Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan
jiwa. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, hasil yang
ingin dicapai dari pendidikan Islam adalah menciptakan manusia beradab dalam
pengertian yang menyeluruh meliputi kehidupan spiritual dan material. Orang yang terpelajar dalam pandangan Islam adalah orang
yang beradab, yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggungjawab dirinya
kepada Allah, memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri sendiri dan orang
lain dalam masyarakat, dan terus berupaya untuk meningkatkan setiap aspek dalam
dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Berangkat dari
pengertian di atas ada dua misi yang harus ditempuh dalam pendidikan Islam, pertama
menanamkan pemahaman Islam secara komprehenship agar peserta didik mampu
mengetahui ilmu-ilmu Islam sekalugus mempunyai kesadaran untuk mengamalkannya.
Pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam secara
teoritik sehingga hanya menghasilkan seorang islamolog, tetapi pendidikan Islam
juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang islami dengan kata
lain membentuk manusia Islamist. Kedua, memberikan bekal kepada
peserta didik agar nantinya dapat berkiprah dalam kehidupan masyarakat yang
nyata, serta suvive menghadapi tantangan kehidupan melalui cara-cara
yang benar.
Untuk kepentingan ini, pendidikan Islam harus mampu mengakses perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat. Pendidikan Islam tidak boleh mengasingkan diri dari
realitas kehidupan yang senantiasa berkembang dan terus berubah sejalan dengan
perkembangan peradaban manusia. Maka dalam kerangkan ini dituntut adanya
stategi dan taktik dalam mengelola pendidikan Islam. Strargei ini mutlak harus
disiapkan agar pendidikan Islam tidak terlibas oleh hegemoni perubahan itu
sendiri.
1. Visi dan Orientasi Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata, dapat dijumpai
sekurang-kurangnya delapan penyakit yang menimpa masyarakat modern. Pertama desintegrasi
antar ilmu pengetahuan (spesialisasi yang terlampau kaku) yang berakibat pada
terjadinya pengkotak-kotakannya akal fikiran manusia dan cenderung
membingunkan masyarakat. Kedua, kepribadian yang terpecah (splite
personality) sebagai akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu
pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak berwatak nilai-nilai
ketuhanan. Ketiga dangkalnya rasa keimanan, ketaqwaan, serta
kemanusiaan, sebagai akibat kehidupan yang terlampau rasionalistik dan
individualistik. Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistik
sebagai akibat dari kehidupan yang mengejar duniawi yang berlebihan. Kelima,
cenderung menghalalkan segala cara, sebagai akibat dari paham hedonisme yang
melanda kehidupan. Keenam, mudah stres dan frustasi, sebagai akibat dari
terlampau percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya, tanpa dibarengi
sikap tawakal dan percaya pada ketentuan Tuhan. Ketujuh, perasaan
terasing di tengah-tengah keramaian (lonely), sebagai sifat individualistik,
dan kedelapan kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai akibat
dari perbuatan yang menyimpang.
Ke- delapan pont yang dikemukakan oleh Abuddin Nata tersebut
merupakan akibat dari kehidupan yang telah begitu jauh terhegemoni oleh budaya
global yang didominasi oleh peradaban Barat. Sekularisasi ilmu pengetahuan
adalah ciri khas dari peradaban Barat yang sekuler dan liberal. Demikian juga
munculnya sifat hedonistik dan individualistik merupakan implikasi dari
kapitalisme yang materialistik.
Dampak globalisai yang begitu kuat harus diantisipasi oleh
dunia pendidikan khususnya Islam jika tidak ingin terlibas oleh arus
hegemoniasi budaya global Barat. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu
menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh yang tidak sekedar sebagai
penerima arus informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada
mereka agar dapat mengolah, menfilter, menyesuaikan dan mengembangkan segala
hal yang diterima melalui arus informasi itu tanpa terhegemoni oleh kekuatan
eksternal.
Berkenaan dengan hal di atas para pengelola pendidikan Islam
harus menyadari terhadap ancaman ini. Orientasi pendidikan Islam yang sejak
awal tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak, tetapi juga pengisian
jiwa, pembinaan akhlaq dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah tidak boleh
bergeser. Disamping itu juga harus dipikirkan upaya menciptakan manusia yang
kreatif, inovatif produktif dan mandiri sehingga mempunyai ketegaran dalam
menghadapi tantangan tanpa mudah terhegemoni. Visi pendidikan Islam harus
mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak ke dalam ikatan
Tauhid. Di samping itu pendidikan Islam harus mampu memberikan filter dan
arahan dalam penyerapan ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan kaidah Islam.
2. Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Ide Islamisasi ilmu
pengetahuan atau lebih tepatnya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer lahir
berangkat dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai dan
tidak universal. Prof. M. Naquib Al-Attas yang selama ini sebagai penggagas
konsep Islamisisasi Ilmu Pengetahuan sebelum gagasan ini dipopulerkan oleh
Ismail al-Faruqi, menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan modern sangat dipengaruhi
oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan
kesadaran dan pengalaman Barat.
Sejalan dengan Al-Attas, Al-Faruqi menjelaskan bahwa klaim
Barat yang mengatakan sains kemanusiaannya bersifat saintifik disebabkan
sifatnya yang netral yakni sengaja menghindari dari pertimbangan dan
kecenderungan manusia dengan menganggap fakta sebagai fakta dan membiarkan
berbicara untuk dirinya sendiri adalah klaim yang kosong dengan kata lain
bohong, karena tidak terdapat satu persepsi teoritis bagi segala fakta tanpa
persepsi ciri dan hubungan aksiomanya.
Pemikiran Barat yang paling banyak mempengaruhi terhadap
kelahiran ilmu pengetahuan modern adalah pemikiran sekularisme dan
materialisme. Sekularisasi di sini melibatkan tiga komponen terpadu; “penolakan
unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari politik, dan
nilai-nilai yang tidak mutlak atau relatif, artinya penolakan terhadap adanya
nilai-nilai yang mutlak”. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan
makna ilmu itu sendiri.
Samsul Nizar mengidentifikasi ciri metode sains Barat;
antara lain pertama, rasionalisme filosofis yang hanya merupakan
persepsi inderawi; kedua, rasionalisme sekular yang cenderung lebih
bersandarkan pada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi,
serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar; ketiga,
empirisme filosofis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat
diamati, bangunan logika dan analisis bahasa, dan menelantarkan aspek non
empiris sebagai zat supranatural; keempat, sistem etika Barat bercorak
antroposentris yaitu menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya
sebagai sosok individu yang merdeka tanpa batas.
Ciri-ciri tersebut sangat berbeda dengan metode sains Islam yang mengakui
otoritas, intuisi, dan wahyu sebagai sumber ilmu. Demikian juga etika Islam
bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku sejarah
yang sekaligus sebagai makhluk Tuhan.
Metode sains Barat yang sekular tersebut bukan saja
bertentangan dengan fitrah manusia yang merupakan worldview Islam,
tetapi juga memutus ilmu dari pondasinya dan mengalihkannya dari tujuannya yang
hakiki. Ilmu yang bermasalah ini dapat membawa pada kekacauan dalam kehidupan
manusia dan bukan kedamaian dan keadilan. Ilmu yang nampaknya benar tetapi
lebih produktif ke arah kekeliruan dan skeptisme.
Atas dasar inilah ilmu pengetahuan kontemporer tidak bisa diadopsi begitu saja
tanpa disibghah dengan nilai-nilai Islam. Tugas Islamisasi ilmu menurut
Al-Attas mencakup; pengujian kritis terhadap metode-metode sains modern,
konsep-konsep, perkiraan-perkiraan, lambang-lambangnya, aspek empiris dan
rasionalnya, serta apa saja yang mengenai nilai-nilai dan etika, tafsiran
tentang asal muasal, teori tentang ilmu, perkiraan mengenai dunia eksternal, keseragaman
alam, dan kerasionalan proses-proses natural, serta teorinya tentang jagad
raya, klasifikasi sains, batasan-batasan dan saling hubungan antara sains
dengan lainya dan hubungannya-hubungan sosial.
Sedangkan menurut Al-Faruqi, islamisasi dapat dicapai melalui pemaduan ilmu
baru ke dalam khazanah Islam dengan membuang, menata, menganalisis, menafsirkan
ulang, dan menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam.
Cakupan Islamisasi ilmu di atas menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu utamanya
adalah urusan epistemologi dan metodologi, dan bekerja menciptakan ilmu baru
melalui penggabungan ilmu dengan cara tertentu berdasarkan sumber-sumber Islam
dan dihasilkan melalui metode-metode riset dan teori yang membangun usaha,
ditujukan untuk memulihkan kegiatan saintifik secara umum dan sain sosial
secara khusus, untuk memperbaiki jalur penggabungan antara wahyu dan observasi
nyata, ia ini bukanlah proses penambahan dan pengurangan secara sepele tetapi
sebuah proses penyandingan kreatif yang serius.
3. Penguatan Woldview Islam
Telah dimaklumi bahwa
problem utama dari ilmu pengetahuan kontemporer adalah problem wodlview.
Adopsi pengetahuan modern tanpa memperhatikan aspek voldwiew jelas akan
menghasilkan keterkikisan.
Istilah woldview menurut Alparslan Acikgence sebagaimana dikutip oleh
Hamid Fahmi Zarkasyi diartikan sebagai asas yang melandasi setiap aktifitas
manusia termasuk aktifitas ilmiyah dan teknologi.
Sedangkan Islamic woldview menurut Al-Attas diartikan sebagai pandangan Islam
tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati dan menjelaskan
hakekat wujud. Dari woldview inilah akan lahir ilmu
pengetahuan.
Penguatan woldview berarti penguatan pemahaman terhadap Islam dalam arti
seutuhnya. Islam dijadikan sebagai tolok ukur dalam setiap aktivitas dan
gerakan. Islam sebagai landasan berfikir, bertindak dan beramal, termasuk
didalamnya sebagai landasan dalam menjelajah pengetahuan. Dengan ini
pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang terarah sesuai dengan visi
dan misi Islam.
4. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
Peran lembaga
pendidikan Islam adalah pelaksana operasional dalam menjalankan fungsi
pendidikan Islam. Dengan demikian misi lembaga pendidikan Islam harus sejalan
dengan misi pendidikan Islam yakni membentuk manusia beradab yaitu
manusia yang sadar atas hak dan kewajiban atas Tuhannya, atas dirinya dan atas
lingkungannya. Karena itulah manajemen pendidikan Islam harus berangkat dari
pemikiran bagaimana menciptakan manusia beradab.
Dalam kerangka mengemban misi pembentukan manusia beradab, ada tawaran yang
bisa diadobsi dalam opersionalisasi Lembaga Pendidikan Islam, yaitu manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) atau School Based Manajement
(SBM). Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat
diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada
sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru,
siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh
masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Catatan: MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku). Esensi MPMBS= otonomi sekolah + fleksibilitas
+ partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi di sini diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak
tergantung. Sedangkan fleksibilitas, dapat diartikan sebagai
keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan
dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu
sekolah. Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan
lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru,
siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan
evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Konsep MPMBS ini patut diterima oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia
terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan pendidikan selama ini terlalu banyak
dicampuri oleh kepentingan politik penguasa khususnya penguasa Orde Baru.
Kebijakan pendidikan orde baru yang cenderung bersifat homogenisasi serta
berorientasi pada teknologi pendidikan telah melenyapkan kekhasan dari lembaga
pendidikan Islam. Karena itulah tawaran MPMBS adalah mengembalikan Lembaga
Pendidikan Islam pada habitat semula dengan segala kekhasannya. Dengan MPMBS
lembaga pendidikan Islam di Indonesia seharusnya dapat menata diri sesuai
dengan visi dan misi yang diembannya.
5. Kilas Balik
Setelah mencermati
kerangka ideal strategi pengelolaan organisasi pendidikan Islam patut kiranya
menelaah kondiri lembaga pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Kondisi
organisasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum sembuh dari kondisi
patologis baik yang disebabkan oleh pengaruh global yang didominasi oleh
peradaban Barat, maupun kondiri lokal akibat dari kebijaksanaan pendidikan Orde
Baru yang sentralistik. Kondisi patologis tersebut dapat dirinci sebagai
berikut:
a.
Masih kuatnya pola dikotomi ilmu agama dan umum yang merupakan ciri khas dari
pengembangan ilmu yang dipengaruhi oleh woldview Barat yang sekularistik. Hal
ini tampak sekali dari adanya sistem penjurusan yang yang mengelompokkan
kedalam jurusan agama dan umum. Jurusan agama seolah-olah terlepas dari umum
dan sebaliknya. Hal ini sangat berbeda dengan pengajaran ilmu dalam tradisi
Islam yang tidak mengenal dikotomi ini. Pengajaran ilmu dalam Islam disusun
secara hierarkis yang dikenal dengan ilmu wajib a’in dan ilmu wajib
kifayah. Setiap peserta didik akan menerima pengajaran ilmu wajib a’in
sedangkan ilmu wajib kifayah adalah spesialisasi.
Konsep wajib a’in dan wajib kifayah ini bukanlah konsep dikotomi, tetapi
lebih kepada skala prioritas.
b.
Dalam beberapa hal telah dilakukan upaya pengintegrasian, tetapi sifatnya masih
artifisial, tambal sulam, dan tidak integral. Hal ini terlihat dari kebijakan
beberapa lembaga pendidikan tinggi Islam antara lain IAIN dan STAIN yang
membuka tidak hanya jurusan agama tetapi juga umum, demikian juga dengan
bermunculan sekolah-sekolah Islam di tingkat menengah dan dasar. Namun, keberadaan
jurusan-jurusan yang bersangkutan masih terpaku pada jebakan dikotomi ilmu.
Walaupun pendidikan umum yang dikelola oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam
baik tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat yang lebih bawah memiliki ciri
muatan pengetahuan agama lebih banyak tetapi belum terdapat pengintegrasian
ilmu secara metodologis lebih-lebih epistemologis. Hal ini terlihat sekali
bahwa ilmu pengetahuan umum masih berjalan seperti wujud semula tidak
diislamisasi. Berbagai teori-teori ilmu pengetahuan kontemporer diadopsi begitu
saja tanpa dikritisi. Bahkan dalam pengkajian filsafat ilmu yang banyak
bersentuhan dengan epistemologi yang merupakan teori ilmu yang sangat mendasar
ternyata masih secara utuh diadopsi dari teori-teori Barat tanpa pengkritisan.
c.
Kondisi lebih parah
justru terletak pada pola metode studi Islam terutama diperguruan tinggi. Studi
Islam yang semestinya menjadi pondasi malah terhegemoni oleh metode studi Barat
yang sekuler dan liberal. Akibatnya, pendidikan Islam yang semestinya
menghasilkan manusia-manusia yang bertaqwa tetapi yang terjadi malah
menciptakan orang-orang yang ragu pada ajaran agama. Contoh adalah penggunaan
hermeneutika khususnya dalam studi Al-Qur’an yang mampu menggeser keyakinan
bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci.
Ainul Yaqin, Merancang Strategi Pendidikan Islam Masa Depan,
Kamis, 29 Juli 2010 23:51
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=442:merancang-strategi-pendidikan-islam-masa-depan&catid=31:pendidikan-islam&Itemid=96,
(online) selasa, 04 Oktobber 2011, 07.30
No comments:
Post a Comment