MOH.KAMILUS
ZAMAN Spd.I (085755107987)
BAB
I
PENDAHULUAN
I.I. Latar
Belakang
Pendidikan
Islam merupakan salah satu ilmu yang perlu dititik beratkan. Berbagai jenis kitab fiqh, tauhid, tafsir, hadith, ilmu-ilmu
‘ulum, sirah nabawi, akhlak, balaghah dan bahasa Arab telah ditulis
oleh para ulama. Antara tokoh-tokoh ilmu Pendidikan Islam seperti Ibnu
Maskawaih, al-Qabisi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Shahnun, Al-Ghazali dan
masih banyak lagi. Dalam makalah ini hanya kami bahas secara singkat model
pemikiran pendidikan Islam menurut pemikiran
Al-Ghozali saja.
Al-Ghazali merupakan tokoh filosof
Islam yang terkenal bukan hanya dalam kalangan umat Islam tetapi juga terkenal
dikalangan orang non Islam.Kehebatan al-Ghazali telah memberi
kesan mendalam di jiwa umat Islam dari segi pemikiran, budi pekerti, dan
pendidikan. Keilmuannya
sangat meluas dalam berbagai bidang ilmu terutama dalam bidang falsafah, akidah, fiqh, ilmu kalam, tasawuf, pendidikan,
politik dan sebagainya. Serta dengan berbagai karya tulis ilmiah yang
dikarangnya.
Makalah ini akan membahas mulai dari biografi al-Ghazali,
latar belakang pendidikan,
karya-karya yang dikarang oleh beliau dan model pemikiran pendidikan menurut
beliau. Dalam kurikulum Pendidikan Islam pula
menyentuh tujuan pendidikan, tugas dan tanggungjawab guru dan pelajar, metode
yang disarankan dan digunakan oleh al-Ghazali.
I.II. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Siapa itu imam ghozali?
2. Bagaimana
pemikiran Al Ghozali tentang pendidikan ?
a. Peranan pendidikan
b. Tujuan pendidikan
c. Pendidik
d. Murid
e. Kurikulum
f. Metode pendidikan
g. Hadiah Dan Hukuman Menurut Pandangan Al-Ghozali.
h. Pendapat Ghozali tentang Mendidik Anak.
3. Bagaimana
Relevansi antara pendikan menurut imam ghozali dan pendidikan nasional?
I.III. Tujuan
Penulisan
Adapun maksud dan
tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari
mata kuliah Studi Al – Qur’an, tapi juga bertujuan diantaranya :
1.
Mengetahui siapa itu imam Ghozali.
2.
Menetahui pemikiran Al Ghozali
tentang pendidikan.
a. Peranan pendidikan
b. Tujuan pendidikan
c. Pendidik
d. Murid
e. Kurikulum
f. Metode pendidikan
g. Hadiah Dan Hukuman Menurut Pandangan Al-Ghozali.
h. Pendapat Ghozali tentang Mendidik Anak.
3. Mengetahui
Relevansi antara pendikan menurut imam ghozali dan pendidikan nasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
II.1 BIOGRAFI AL-GHAZALI
II.II PEMIKIRAN
PENDIDIKAN MENURUT AL GHOZALI
A. Peranan pendidikan
Al-ghazali
termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar
terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak
kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.
Dalam
masalah pendidikan al-ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. hal ini
antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap
anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan anaknya
yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang
amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan
dengan pesan Rasulullah SAW yang menegaskan : “bahwa setiap anak yang
dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanya lah yang menyebabkan anak
itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani atau Majusi (H.R. Muslim).
Al-ghazali
mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak
itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk
dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.
Pentingnya pendidikan ini di dasarkan pada pengalaman hidup al-ghazali sendiri,
yaitu sebagai orang yang tumbuh menjai ulama besar yang menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan.[1]
B. Tujuan pendidikan
Al-ghazali
mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan islam
mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan tugas pendidikan adalah mengarah
kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana fadhilah (keutamaan) dan
taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.
Sesuai penegasan beliau : “ Manakala seorang ayah menjaga anaknya dari siksaan
dunia hendaknya ia menjaganya dari siksaan api neraka / akhirat, dengan cara
mendidik dan melatihnya serta mengajarnya dengan keutamaan akhirat, karena akhlak
yang baik merupakan sifat Rasulullah SAW dan sebaik-baik amal perbuatan
orang-orang yang jujur, terpercaya, dan merupakan realisasi dari pada buahnya
ketekunan orang yang dekat kepada Allah.”
Selanjutnya
beliau mengatakan : ”wajiblah bagi seorang guru untuk mengarahkan murid kepada
tujuan mempelajari ilmu, yaitu taqarrub kepada Allah bukannya mengarah kepada
pimpinan dan kemegahan” Sebab-sebab yang mendorong Al-ghazali sangat
memperhatikan tujuan keagamaan ialah karena pada waktu kerusakan akhlak orang
banyak telah merajalela (yang ditimbulkan oleh gerakan yang merusak) agama
seperti gerakan yang dipimpin oleh Al-Hasan bin Shabah.
Al-ghazali
telah menjelaskan tentang tujuan sistem pendidikan dengan menerangkan tentang
berbagai ilmu yang wajib dipelajari oleh murid, yang sesuai dengan kurikulum
pengajaran masa kini dan juga mungkin metode-metode mengajar yang harus diikuti
oleh guru dalam mendidik anak dan dalam menyajikan ilmu pengetahuan kepada
murid sehingga menarik minat dan perhatian mereka serta sesuai dengan
kecenderungan mereka. [2]
Tujuan
pendidikan islam dapat diklasifikan kepada tiga, yaitu : (1) tujuan mempelajari
ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud
ibadah kepada Allah, (2) tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan
akhlaq karimah, (3) tujuan pendidikan islam islam adalah mengantarkan pada
peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan
pendidikan (jangka pendek) menurut al-ghazali ialah diraihnya profesi manusia
sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia
harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan bakat yang
dimilikinya.
Berhubungan
dengan jangka pendek, yaitu terwujudnya kemampuan manusia untuk melaksanakan
tugas-tugas keduniaan dengan baik, al-ghazali menyinggung masalah pangkat,
kedudukan, kemegahan, popularitas, dan kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu
bukan menjadi tujuan dasar seseorang yang melibatkan diri dalam dunia
pendidikan.
Adapun
tujuan pendidikan (jangka panjang), menurut ghazali adalah untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan, kegagahan, atau
mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Jika tujuan pendidikan bukan
diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan
kedengkian, kebencian dan permusuhan.[3]
C. Pendidik
Sejalan
pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana yang telah disebutkan,
al-ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan
pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah :
a. Guru harus mencintai muridnya seperti
mencintai anak kandungnya sendiri
b. Guru jangan mengharapkan materi (upah)
sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas
yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah terletak pada
terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang di ajarkannya.
c. Guru harus mengingatkan muridnya agar
tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari
keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah
d. Guru harus mendorong muridnya agar
mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia
dan akhirat
e. Di hadapan muridnya, guru harus
memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah
hati dan berakhlak terpuji lainnya.
f. Guru harus mengajarkan pelajaran yang
sesuai dengan tingkat intelektual dan
daya tangkap anak didiknya.
g. Guru harus mengamalkan yang
diajarkannya, karena ia menjadi idola dimata anak didiknya
h. Guru harus memahami minat, bakat, dan
jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga
akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dan anak didiknya
i.
Guru
harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal
pikiran anak didik tersebut akan dijiwai keimanan itu.[4]
D. Murid
Murid
atau anak didik yang mengikuti pendidikan menurut al-ghazali harus memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a) Memuliakan guru dan bersikap rendah hati
atau tidak takabbur
b) Merasa satu bangunan dengan murid
lainnya sehingga merupakan satu bangunan yang saling menyayangi, menolong dan
saling kasih sayang
c) Menjauhkan diri dari mempelajari
berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
d) Tidak hanya mempelajari satu jenis ilmu
yang bermanfaat saja, melainkan berbagai ilmu dengan berupaya sungguh-sungguh
guna mencapainya.
E. Kurikulum
Secara
tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik
untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan
lingkungannya. Kurikulum tersebut disusun agar dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Pandangan
ghozali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu
pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib
dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelpmpok yaitu :
a. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit.
Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia dan di akhirat, misalnya
ilmu sihir, nujum dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa
mudarat dan akan meragukan terhadap kebenaran adanya tuhan. Oleh karena itu
ilmu ini harus di jauhi.
b. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit.
Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa
seseorang kepada jiwa yang suci, bersih dari kerendahan dan keburukan serta
dapat mendekatkan diri kepada Allah.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu,
yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kegoncangan iman dan
ilhad (meniadakan Tuhan) seperti filsafat.
Dari ketiga kelompok
ilmu tersebut, al-ghazali membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok, ilmu
dilihat dari segi kepentingannya, yaitu :
1) Ilmu yang wajib yang diketahui oleh
semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
2) Ilmu yang hukummempelajarinya fardhu
kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi seperti ilmu
hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik,ilmu pertanian dan industri.[5]
F. Metode pendidikan
Metode
pendidikan diklasifikasikan al-ghazali menjadi dua bagian :
Pertama,
metode khusus pendidikan Agama, metode khusus pendidikan agama ini memiliki
orientasi terhadap pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya
lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan lainnya, karena pendidikan agama
menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan
personality peserta didik. Dengan demikian pendidikan akal yang kohesif pada
diri peserta didik selama dalam proses pendidikan akan dapat dikendalikan,
sehingga bukan hanya mementingkan rasio, rasa, berpikir sebenar-benarnya tanpa
dzikir. Tetapi peserta didik yang memiliki kepribadian yang kamil. Dengan
demikian, agama bagi peserta didik menjadi pembimbing akal. Dari sinilah
kemudian letak kesempurnaan hidup manusia dalam keseimbangan.
Kedua,
metode khusus pendidikan Akhlak, Al-ghazali mengungkapkan :” Sebagaimana
dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan
membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkan jalan
kepada murid dengan satu macam saja dari latihan, niscaya membinasakan hati
mereka. Akan tetapi seyogyanyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang
keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupimya. Berdasarkan
yang demikian itu, dibina latihan”. Dan berikutnya jika guru melihat murid yang
sombong, keras kepala dan congkak maka suruhlah ia ke pasaruntuk meminta-minta.
Sesungguhnya sifat bangga diri egois tidak akan hancur selain dengan sifat
mandiri.
Dari
keterangan tersebut, al-ghazali menegaskan bahwa untuk membuat diagnosis dan
melakukan perbaikan akhlak tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan sebaliknya.
Layaknya bila badan sakit obatnya ialah dengan cara menurunkan panas atau
obatnya ialah membuang penyakiy itu.[6]
G.
Pendapat
Ghozali tentang Mendidik Anak
Al-ghazali
mengingkari teori heroditas (faktor keturunan), yang oleh pendidikan modern
akhir-akhir ini banyak diperhatikan dan dipandang penting namun hal ini
Al-ghazali tidak antusias dalam menganalisa masalah ini. Pada hal ini nampak
nampak jelas kepada kita bahwa ilmu jiwa modern
dengan pandangan barunya menganggap penting tentang teori heroditas ini,
dan menetapkan sebagai suatu faktor yang berpengaruh. Sedang al-ghazali
berpendapat lain, yaitu bahwa anak dilahirkan tanpa dipengaruhi oleh
sifat-sifat heriditer kecuali hanya sedikit sekali, karena faktor pendidikan,
limgkungan dan masyarakat merupakan faktor yang paling kuat mempengaruhi
sifat-sifat anak. Pendapat beliau ini sejalan dengan pendapat para ahli
psikologi yang mengingkari adanya pengaruh faktor keturunan.
Sebenarnya
Al-ghazali dalam pendapat-pendapatnya yang mengaitkan dengan pengaruh faktor
keturunan dan lingkungan itu telah mendahului para ahli ilmu jiwa dan
pendidikan berabad-abad sebelumnya. Pendapat beliau ini diperkuat oleh
kedalaman pengaruh agama yang beliau analisa mengenai pembentukan akhlak anak,
atas dorongan keinginan beliau menjaga anak dari dampak lingkungan, maka beliau
membuat program khusus untuk pendidikan anak.
H. Hadiah Dan Hukuman Menurut Pandangan
Al-Ghozali.
Sebelum
lebih jauh dalam membahas masalah hadiah dan hukuman, Al-Ghozali membagi alat
pendidikan langsung menjadi dua komponen; alat pendidikan preventif dan alat
pendidikan kuratif. Namun pembahasan tentang hadiah dan hukuman hanya kita
batasi pada alat pendidikan kuratif. Karena keduanya termasuk dalam kategori
alat pendidikan kuratif.
Dalam
alat pendidikan langsung kuratif Al-Ghozali mengkalsifikasikannya lagi menjadi
beberapa kategori sebagai berikut :
1.Peringatan.
2.Teguran.
3.Sindiran.
4. Ganjaran dan,
2.Teguran.
3.Sindiran.
4. Ganjaran dan,
5. Hukuman.
Seperti
yang telah dijelaskan pada subtema diatas, pembahasan hanya mengenai hadiah dan
hukuman maka, yang akan kita kaji hanya pada alat pendidikan kuratif yang pada
urutan keempat (ganjaran/hadiah) dan kelima(hukuman).
1. Ganjaran Atau Hadiah.
Ganjaran
atau hadiah menjadi salah satu alat pendidikan yang diberikan kepada peserta
didik sebagai imbalan atas prestasi atau tugas yang tela ia selesaikan dengan
baik sehingga hasil yang diharapkan oleh pendidik tercapai.
Dalam
hal ini al-Ghozali menjelaskan sebagai berikut :
“
kemudian sewaktu-waktu pada si anak telah nyata budi pekerti yang baik dan
perbuatan yang terpuji maka seyoyanya ia dihargai, dibalas dengan sesuatu yang
menggembirakan dan di puji di hadapan orang banyak (diberi hadiah)”.
Dari
keterangan diatas dapat dipahami bahwa menurut Al-Ghozali ada tiga macam
ganjaran yang di berikan kepada peserta didik, yaitu:
a. Penghormatan (penghargaan), baik
menggunakan kat-kata maupun isyarat.
Adapun yang dimaksud dengan penghormatan lewat kata-kata, misalnya, ucapan baik, bagus sekali, pintar, dan kata-kata lain yang mengandung makna penghormatan. Selanjutnya, penghormatan dengan cara isyarat, bisa seperti, menganggukkan kepala, mengacungkan jempol, tepuk tangan, menepuk bahu dan lain-lain.
Adapun yang dimaksud dengan penghormatan lewat kata-kata, misalnya, ucapan baik, bagus sekali, pintar, dan kata-kata lain yang mengandung makna penghormatan. Selanjutnya, penghormatan dengan cara isyarat, bisa seperti, menganggukkan kepala, mengacungkan jempol, tepuk tangan, menepuk bahu dan lain-lain.
b. Hadiah, yaitu ganjaran yang berupa
pemberian sesuatu/ materi yang bertujuan untuk menggembirakan hati anak. Hadih
tidak perlu berupa barang yang mahal harganya yang penting pantas saja.
Sebaiknya hadiah jangan terlalu sering diberikan, dan hanya melihat kondisi
yang pantas saja, misalnya pada anak yang orang tuanya kurang mampu tapi
berprestasi.
c. Pujian di hadapan orang banyak.
Hadiah yang berupa
pujian ini dapat diiberikan dihadapan teman-teman sekelas satu sekolahan
ataupun di hadapan teman-teman dan orang tua/wali murid, seperti pada waktu
penerimaan rapor atau kenaikan kelas.
Pada
dasarnya, secara didaktis, ganjaran/hadiah ataupun beserta segala macamnya yang
dibahas oleh Al-Ghozali tersebut, telah menjadi acuan dan anutan oleh pakar
ahli pendidikan. Bahkan menurut istilah didaktik, hadiah sebagai “fungsi
reinforcement” atau fungsi penguatan yang akan lebih mendorong peserta didik
untuk lebih giat dan meningkatkan prestasi yang pernah ia capai.
2. Hukuman
Hukuman
ialah suatu perbuatan sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain
dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan
jasmani dan rohani,sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.
Dalam hal ini Al-Ghazali tidak sependapat dengan orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah hukuman yang paling aqir apabila teguran, peringatan, dan nasihat-nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelaggaran. Demikian itu harus melalui proses untuk memberi hukuman yang secara terinci
dijelaskan oleh Al-Ghazali :
Dalam hal ini Al-Ghazali tidak sependapat dengan orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah hukuman yang paling aqir apabila teguran, peringatan, dan nasihat-nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelaggaran. Demikian itu harus melalui proses untuk memberi hukuman yang secara terinci
dijelaskan oleh Al-Ghazali :
“kalau anak itu satu
kali menyimpang dari budi dan perbuatan baik tersebut dalam satu keadaan, maka
sebaiknya orang tua pura-pura lupa dari hal itu dan tidak membuka rahasianya,
tidak menjelaskan sianak bahwa tergambarlah keberanian orang lain untuk
melakukan perbuatan seperti itu. Sianak itu itu sendiri akan menutup rahasia
dirinya dengan sungguh-sungguh, sebab membuka rahasia yang demikian, mungkin
menyebabkan ia berani (berbuat kagi) sampai ia tidak dipedulikan lagi biarprpun
dibukakan rahasianya”.
Pada
tahap pertama, anak diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya,
sehingga ia mempunyai rasa kepercayaan terhadap dirinya kemudian ia merasakan
akibat perbuatannya tersebut. Akhirnya ia
sadar dan insaf terhadap kesalahannya dan berjanji dalam hatinya tidak akan
mengulangi kesalahannya.
Apabila dalam tahap pertama ini belum berhasil maka
dilanjutkan tahap yang kedua, yaitu berupa teguran, peringatan, dan
nasihat-nasiahat sebagaimana penjelasan Al-Ghazali .
“maka dalam tindakan
yang demikian kalau si anak masih kembali lagi berbuat tidak baik untuk kedua
kalinya, maka sebaiknya ia tegur dengan sembunyi dan persoalan itu dianggap
besar (akibatnya) terhadap anak itu. Kepadanya dikatakan awas setelah ini engkau
jangan berbuat sepertt ini lagi ya, kalau sampai ketahuan engkau berbuat
demikian, rahasiamu akan diberitahukan kepada orang banyak. Selanjutnyya setiap
kali orang tua menegur anak, janganlah banyak bicara dengan hal ini, sebab
banyak bicara disini akan menyebabkan si anak enteng mendengar celaan,
menganggap mudah melakukan kejahatan-kejahatan dan perkataan (nasihat) itu
tidak meresap dalam hati si anak”.
Pada
tahap yang kedua ini apabila masih belum berhasil, maka Al-Ghozali
memperbolehkan untuk memberikan hukuman kepada anak anak denagan cara yang
seringan-ringannya dan tidak terlalu menyakitkan badannya.
II.III PENDIDIKAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN MENURUT
AL GHOZALI
Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar
Negara republic Indonesia tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman,
untuk mewujudkan cita- cita ini, diperlukan pejuangan oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Dalam
pendidikan nasional mempunyai tujuan yang tertera dalam UU 20/2003 pasal 3
yaitu tentang sistem pendidikan nasional. Didalamnya disebutkan bahwa ‘
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembanya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berlimu, cakap kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Tujuan
pendidikan nasional diatas juga tidak banyak berbeda dengan tujuan pendidikan
yang disebutkan oleh imam Ghozali, meskipun imam ghozali lebih menekankan pada
agama dan syariah karena lebih mendekatkan manusia kepada tuhannya. Tujuan
pendidikan menurut imam Ghozali yaitu lebih mengarah kepada realisasi tujuan
keagamaan dan akhlak, dimana fadhilah (keutamaan) dan taqorrub kepada Allah
merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.
Imam
ghozali Ghozali juga merumuskan tujuan pendidikan dalam jangka pendek dan
jangka panjang, yang diman jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia
sesuai dengan kemampuannya, dan untuk mencapai tujuan itu terdapat syarat yaitu
harus memanfaatkan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan sesuai bakatnya masing-masing.
Sedangkan
dalam jagka panjang itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT bukan
untuk mencari kedudukan, kemegahan, kegagahan, atau mendapatkan kedudukan yang
menghasilkan uang. Jika tujuan pendidikan bukan diarahkan untuk mendekatkan
diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
Sistem
pendidikan nasional pada saat ini beda dengan dengan sistem yang di ungkapkan
oleh imam Ghozali, yang dimana sistem pemerintahan saat ini kurang baik dan
cenderung lebih bersifat parsial, juga
sering terjadi pergantian pemimpin yang sehingga mengakibatkan sering
terjadi pergantian kurikulum. Hal semacam itulah yang menjadi perbedaan antara
pendidikan nasional dengan pendidikan oleh imam Al Ghozali.
Karakteristik
kurikulum saat ini nampak kurang bersifat progresif, rumusannya masih berkisar
menjawab persoalan kekinian yang terjadi, dan belum mampu memeprediksikan
persoalan dalam jangka waktu lima atau sepuh tahun yang akan datang, sedangkan
dinegara-negara maju kurikulumnya bersifat progresif karena bersifat
antisipatif terhadap tantangan kehidupan dalam jangka panjang.[7]
Memang
adanya pergantian kurikulum merupakan suatu terobosan yang diharapkan menjadi
kegembiraan dalam aspek kurikulum, namun harapan itu nampaknya masih jauh untuk
terwujud. Dengan adanya kurikulum baru tidak serta merta memberikan perubahan
secara drastis. Justru adanya kurikulum baru membawa masalah tersendiri, desain
kurikulum baru tidak mudah untuk di implementasikan. Banyak kendala yang harus
dihadapi untuk mengimplementasikannya. Banyak kalangan yang belum memiliki
kesiapan yang memadai untuk mengimplementasikannya.
Memang
kurikulum dibuat dengan sesungguhnya, berusaha untuk mengikuti tuntutan
tantangan baru, tetapi substansi, metode, setrategi dan capaian yang dilakukan
masih mengikuti standart kurikulum lama. Sehingga secara umum belum banyak
perubahan yang terjadi
Adapun
pandangan imam ghozali tentang kurikulum yaitu dengan membagi ilmu pengetahuan
kepada yang terlarang dan ilmu pengetahuan yang diwajibkan untuk dipelajari
murid-muridnya. Antara lain missal:
1. Ilmu pengetahuan tersebut jika
dipelajari akan timbul mudharat dan menjadikan keraguan terhadap adanya tuhan,
maka diperintahkan untuk menjauhi ilmu tersebut.
2. Jika ilmu yang dipelajari akan
menimbulkan kesucian jiwa dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka ilmu tersebut
diwajibkan untuk dipelajari.
3. Dan membatasi ilmu yang terpuji untuk diperdalam,
karena dikhawatirkan akan menggoncang iman iman dan ilhad (meniadakan Tuhan),
seperti filsafat.
Dari
beberapa hal di atas, imam ghozali membagi ilmu lagi menjadi dua kelompok.
Yakni:
3) Ilmu yang wajib yang diketahui oleh
semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
4) Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu
kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi seperti ilmu
hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik,ilmu pertanian dan industri.
Sistem
Pendididikan nasional berbeda dengan pendidikan oleh imam ghozali, pada
pendidikan nasional penekanan pada proses belajar mengajar memang kreatif, akan
tetapi sayangnya evaluasi belajar mengajar hanya melalui ujian nasional yang
tetap menitik beratkan pada hasil. Hal semacam itu tidak ada dalam pemikiran
pendidikan yang dikemukakan oleh imam Al- Ghozali.
BAB III
PENUTUP
III.I KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
1. Nata,
Abuddin
Nata,MA, filsafat pendidikan islam 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997,
2. Al-jumbulati Ali, Abdul futuh
At-tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta:PT. RINEKA CIPTA,
3. Syar’I Ahmad, filsafat Pendidikan Islam, Jakarata
: Pustaka Firdaus,2005
4. Nizar Samsul,filsafat
pendidikan islam, Jakarta:Ciputat Press,2002
5. Naim Ngainun, rekontruksi pendidikan nasional
{membangun paradigma yang mencerahkan}
yogyakrta:
TERAS, Yogyakarta.
[1] Drs. H. Abuddin Nata,MA, filsafat pendidikan islam 1, Jakarta :
Logos Wacana Ilmu,1997,hlm.161
[2] Ali Al-jumbulati, Abdul futuh At-tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan
Islam, Jakarta:PT. RINEKA CIPTA,hlm.134
[3] Dr. H. Samsul Nizar,filsafat pendidikan islam, Jakarta:Ciputat
Press,2002,hlm.87
[4] H. Ahmad Syar’i, filsafat Pendidikan Islam, Jakarata : Pustaka
Firdaus,2005,hlm.99
[5] Ibid,hlm.166
[6] Ibid,hlm.101
[7] ) Ngainun naim, rekontruksi pendidikan nasional (membangun
paradigm yang menceahkan), Yogyakarta, TERAS,2009 hal 34.
No comments:
Post a Comment