MOH.KAMILUS
ZAMAN Spd.I (085755107987)
BAB I
1.1. PENDAHULUAN
Sejak awal
perkembangan pendidikan islam telah berdiri tegak diatas dua sumber pokok yang
amat penting yaitu Al-Qur’an dan sunnah nabi. Di dalam kitab suci terkandung
ayat-ayat mufasshalaat (terinci) dan ayat-ayat mubayyinaat (yang memberikan
bukti-bukti kebenaran) yang mendorong kepada orang untuk belajar membaca dan
menulis serta untuk menuntut ilmu, memikirkan, merenungkan, dan menganalisis
penciptaan langit dan bumi. Oleh karena itu maka tujuan da’wah islamiyah adalah
untuk memberi cahaya terang kepada hati nurani dan pikiran serta menambah
kemampuan umat islam dalam melakukan proses pengajaran dan pendidikan.
Walaupun sasaran,
metode dan tujuan-tujuan pendidikan islam sangat berbeda dengan apa yang
terdapat dalam pendidikan umum, karena pendidikan islam berlandaskan pada
Al-Qur’an dan sunnah rosul-Nya,tetapi sistem pendidikan islam selalu
mengkaitkan pola dan sistem pendidikan umum. Dalam hubungan ini Al-Qur’an telah
memberikan penjelasan tentang ketentuan-ketentuan hukum yang memperhatikan
kepentingan umat manusia, yaitu antara lain: mengkaitkan antara ketentuan
agama, dengan norma-norma akhlak, meletakkan kaidah-kaidah yang mengatur
kehidupan manusia sehari-hari,meciptakan kondisi kehidupan yang ideal bagi
manusia dalam mencapai kesatuan hidup sosial. Disamping itu dijelaskan pula
tentang akidah/kepercayaan, ibadah dan muamalah,dan lain-lain[1].
Tujuan pendidikan
islam pada dasarnya ialah mempersiapkan perkembangan anak agar mampu berperan
serta secara berkesinambungan dalam pembangunan manusia yang berkembang terus
dan mampu beramal kebajikan selama dalam upaya mencari kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
1.2. RUMUSAN
MASALAH
a.
Siapakah Ibnu Kholdun itu ?
b.
Bagaimana konsep pendidikan menurut oleh Ibnu Kholdun ?
c.
Bagaimana konsep pendidikan Nasional Indonesia ?
d.
Bagaimana perbedaan dan persamaan antara konsep pendidikan menurut
Ibnu Kholdun dan Pendidkan Nasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Biografi Ibnu Kholdun
Tokoh ini
mempunyai nama lengkap Abd. Al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad
Al-Hasan Ibn Jabir Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Khalid Ibn Usman Ibn Hani Ibn
Al-Khattab Ibn Kuraib Ibn Ma’dikarib Ibn Al-Haris Ibn Uwail Ibn Hujr.
dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H / 27 Mei 1332 M, dan beliau
meninggal dunia pada 26 Ramadan 808 H / 18 Mac 1406 M di Kaherah. Kawasan
Khalduniyah di Tunisia masih ada sekarang hampir-hampir tidak berubah, dengan
rumah yang dipercayai tempat kelahirannya. Keluarga Ibn Khaldun telah berpindah
ke Tunisia dimana Ibn Khaldun dilahirkan, dan juga beliau mendapat pendidikan
awalnya.
Sejarawan yang
mempunyai nama kecil Abd. Al-Rahman ini biasanya dipanggil dengan nama keluarga
(kunyah) Abu Zaid, yang diambil dari nama putra sulungnya, Zaid. Dia pun sering
disebut dengan gelar (laqab) wali al-din,
sebuah gelar yang dibeikan kepadanya suatu memangku jabatan Hakim Agung di
Mesir. Akan tetapi, lebih populer dengan nama Ibn Kholdun, yang didnisbatkan
kepada nama kakeknya yang ke-9, yaitu Khalid. Khalid Ibn Usman adalah nenek
moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk
berkebangsaann Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ia menetap di Karmona,
sebuah kota kecil yang terletak diantara segitiga Kordova, Sevilla, Granada.
Dengan demikian, karmona adalah kota pertama yang dijadikan tempat tinggal
nenek moysng Ibn Kholdun. Setelah ekspansi ke Andalusia. Kemudian keturunan
Khalid di kenal dengan sebutan Banu khaldun[2].
Muhammad
ibn Muhammad adalah ayah Ibnu khaldun yang namanya sama dengan nama kakeknya,
yang lebih suka bergelut dalam bidang ilmu pengetahuan. Dia telah layak
menerima pengaruh dari ayahnya yang pada akhir hidupnya lebih memfokuskan diri
pada bidanh ini, dia memiliki pandangan bahwa dalam keadan yang serba tidak
menentu ini,sangatlah berbahaya bermain dalam dunia politik. Oleh karena itu,
ayah Ibnu Khaldun lebih serius menekuni dunia ilmu pengetahuan, sehingga dalam
sejarah ia terkenal sebagai orang yang yang mahir bidang bahasa
arab,tasawuf,tafsir dan saatra. Dia meninggal dunia pada tahun 1349 M,pada saat
Ibnu Khaldun berusia 17 tahun. Dari latar belakang kluarga yang banyak bergerak
dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan separtininilah Ibni Khaldun dilahirkan
di tunis pada awal ramadhan 732 H. Menuntut perhitungan para sejarawan, hal ini
bertepatan dengan 27 Mei 1332 M. kondisi kluarga seperti itu kiranya teleh
berperan dominan dalam membentuk Ibnu Khaldun. Dunia politik dan ilmu
pengetahuan telah begitu menyatu dalam diri Ibnu Khaldun. Ditambah lagi
kecerdasan dalam otaknya yang juga bertanggung jawab bagi pengembangan
karirnya.[3]
a. Corak pemikiran Ibnu
Kholdun
Sebagai
seorang pemikir , Ibnu Khaldun adalah produk sejarah. Oleh karena itu, untuk
membaca pemikirannya,aspek historis yang mengitarinya tidak dapat dilepaskan
begitu saja. Namun yang jelas, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan
dari pakar pemikiran Islamnya. Di sinilah letak alasan mengapa Iaqbal
mengetakan bahwa seluruh semangat Muqaddimah, yang merupakan manifestasi
pemikiran Ibnu Khaldun, diilhami pengarangnya Al-Quran sebagai sumber utama dan
pertama ajaran Islam. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Khaldundapat di baca
melalui setting sosial yang mengitarinya yang diungkapkan,baik secara lisan
maupun tulisan, sebagai sebuah kecenderungan.
Sebagai
seorang filosof muslim, pemikiran Ibnu Khaldun sangatlah rasional dan banyak
berpegang teguh pada logika. Hal ini sangat dimungkinkan, karena Ibnu Khaldun
pernah belajar filsafat pada masa mudanya.banyak pemikiranj para filosof
sebelumnya telah mempengaruhi pamikiran filsafatnya, ada pandangan lain yang
mengutarakan bahwa Ibnu Khaldun mendapat pengaruh dari Ibnu Rusydi(1126-1198 M)
dalam masalh hubungan filsafat dan agama. Menurut Watt, ada kesan bahwa
pemikiran Ibnu Khaldun merupakan kelanjutan dari Ibnu Rusyd dalam masalah ini.
Akan tetapi pada sisi lain, Ibnu Khaldun juga berbeda dengan Ibnu Rusd dalam
hal mencela filsafat,terutama dalam metafisika. Bahkan karena tajamnya kritik
Ibnu Khaldun terhadap filsafat, banyak orang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun
memusuhi filsafat, meskipunsesungguhnya Ibnu Khaldun sendiri adalah seorang
filosof.
Ibnu
Khaldun sebagai seorang filosof kiranya mendukung posisinya sebagai seorang
ilmuan. Selain sebagai seorang rasionalis, Ibnu Khaldun juga sebagai seorang
empiris. Ibnu Khaldun telah berhasil memadukan antara metode induksi dan
deduksi dalam pengetahuan islam. sebagai seorang ilmuan, Ibnu Khaldun berhasil
membuat pemikiran sintesis antara aliran Rsionalisme dengan aliran Empirisme,
antara induksi dan diduksi. Perpaduan antara kedua aliran pemikiran inilah yang
kini disebut metode ilmiah. Dengan demikian, corak pemikiran Ibnu
Khaldun dapat di katakan “modern” pada
masanya.
Bebeda
dengan posisinya sebagai seorang filosof dan ilmuan, pemikiran Ibnu Khaldun
dalam bidang keagamaan sangatlah
religious. Bahkan menuru Fua BaaliAli Wardi, Ibnu Khaldun memiliki
sufistik yang sangat kuat, karena
dpengaruhi oleh doktrin sufi. Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir yang teguh memegang ajaran islam. Ibnu
Khaldun telah berhasil memperlihatkan hubungan yang erat antara sains dan
agama, sehingga meskipun berpandangan empiris,tetapi diliputi jiwa ketuhanan
yang berasal dari semangat keagamaan. Semua gaya pemikiran Ibnu Khaldun di atas,
baik selaku filosof, ilmuwan, maupun agamawan, terbentuk sebagai hasil dari
kondisi sosio-kultiral yang ada pada masanya. Corak pemikirannya yang
rasionalistik-empiristik-sufistik inilah yang dijadikan dasar pijakan Ibnu
Khaldun dalam membangun konsep-konsep mengenai penhdidikan.
b. Cara
memperoleh ilmu pengetahuan
Ilmu
pengetahuan menurut Ibnu Khaldun merupakan kemampuan manusia untuk membuat
analisis dan sintesis sebagai hasil dari proses berpikir. Ada tiga tingkatan
proses berpikir menurut Ibnu K haldun. Tingkatan pertama disebut Al-aql
Al-tamyizi, yaitu pemahaman iitelektual manusi terhadap segala sesuatu yang
ada di luar alam semesta dalam tatanan alam yang berubah, dengan maksud supaya
manusia mampu menyeleksinya dengan dengan kemampuannya sendiri. Bentuk
pemikiran seperti ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi(tasbawwur),
yang dapat membantu manusia membedakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi
dirinya, dengan menolak yang tidak bermanfaat.
Tingkatan
kedua disebut Al-‘aql Al-tajribi ,yaitu pemikiran yang memperlengkapi
manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan
orang lain. Bentuk pemikiran seperti ini kebanyakan berupa apersepsi(tasbdik)yang
di capai manusia melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya.
Tingkatan
ketiga disebut Al-‘aql Al-nazbari, yaitu pikiran yang memperlengkapi
manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau pengetahuan hipotesis (dzann)
mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indra dalam tindakanpraktis
yang menyertainya, bentuk pemikiran seperti ini merupakan gabungan persepsi dan
apersepsi yang tersusun secara khusus yang dapat membentuk sebuah pengetahuan.
Dengan tiga tingkatan cara memperoleh
ilmu pengetahuan tersebut, Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan dalam dua
katagori, yaitu Al-‘ulum Al-aqliyah dan Al-‘ulum Al-‘aliyah. Al-‘ulum
Al-‘aqliyah bersifat alami (thabi’i) yang diperoleh manusia melalui
kemampuan berpikirnya. Ilmu-ilmu ini mencakup empat ilmu pokok, yaitu logika,
fisika, metafisika dan matematika.
Adapun Al-‘ulum Al-naqliyyh bersifat wadb’i (berdasarkan
otoritas syariat) yang dalam batas-batas tertentu, akal tidak mendapat tempat,
ilmu-ilmu ini diantaranya mencakup ilmu tafsir,ilmu kalam, ilmu balaghah,ilmu
nahwu, kalam dan tasawuf[4].
c. Pendidikan
Menurut Ibnu khaldun pendidikan itu adalah proses menstransformasi
yang di peroleh dari nilai-nilai Al-qur’an dan Hadist serta berlandaskan
filosofis dan empiris atau pengalaman agar dapat mempertahankan eksistensi
manusia dalam peradaban masyarakat. [5]
c. Metode pendidikan menurut Ibnu Khaldun
Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita
simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan
metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar
bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak
didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku atau kitab
karangannya yang monumental yaitu “Muqaddimahnya”.
Didalam kitab tersebut kita dapat memberikan pengetahuan kepada anak didik kita.
a.
pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat
umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
b.
Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari
pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
c.
Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada
anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua
persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang
sempurna. Beliau berpendapat : ”....dan cara yang paling gampang dalam
menumbuhkan kemampuan memahami ilmu adalah kelancaran dalam berbicara dalam
diskusi dan pembahasan tentang problema ilmiah, maka ia akan dapat mendekati
seluk beluk yang terkandung dalam problema dan dapat memperoleh pengetahuan
tentang maksud tujuan sebenarnya“.
Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses
belajar mengajar.[6]
Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena
dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan
mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan
berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak
didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang
menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang
benar.
Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga
menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan
lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu
hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa
belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan
berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan
kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat
orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan
paham terhadap apa yang dipelajarinya.
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu
berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang
masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1.
Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan
ilmu kalam.
2.
Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu
Ketuhanan (metafisika)
3.
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang
terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu
mempelajari agama.
4.
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah
merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri.
Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan
alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan
yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah
(filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal
itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk
hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di
tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu
pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak
tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan
berbagai metode yang tepat dan baik.[7]
d. Tujuan pendidikan
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam
Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi
dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di
dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya
dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan
menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:[8]
a.
Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan
syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu
potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika
kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.
b.
Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan
apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam
sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna
melalui budi luhur dan akhlak mulia.
c.
Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
d.
Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia, sedang
pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara
ketrampilan-ketrampilan itu.
e.
Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran
seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
f.
Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik,
syair, khat, seni bina dan lain-lain.[9]
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan
bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk
mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan
dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah
jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan
bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif
dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya
pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat
kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip
keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus
ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan
yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri
khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan
pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga
secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan
telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang
bernafaskan agama dan moral.[10]
e. Hakikat Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai
tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat
membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam
melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui
kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi
menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta
didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka
akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan
yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran
yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu
menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan
6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a.
Prinsip pembiasaan
b.
Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.
Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.
Prinsip kontinuitas
e.
Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.
Menghindari kekerasan dalam mengajar[11]
f. Hakikat Peserta Didik
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki
sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun
rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun
perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat,
kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik
merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain
(pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang
dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi
memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan
terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan
orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan,
sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi
perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap
peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh
faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang
dimilikinya.[12]
Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik
menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan
individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor
pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani
dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan
pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani
memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal
maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk
mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.[13]
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
2.2 . Pendidikan nasional
Pendidikan nasional itu berdasarkan kepada :
1.
Dasar ideal : pancasila
2.
Dasar konstitusional : UUD 1945
3.
Dasar operasional :
i.
UUPP No. 4 tahun 1950 jo UUPP No. 12 tahun 1954.
ii.
TAP MPR No. II/MPR/1978(Penjabarannya pada P-4 )
iii.
TAP MPR No.IV/MPR/1983(penjabarannya pada GBHN)
iv.
Keputusan Presiden No. 145 Tahun 1965
4.
Dasar sosio budaya.[14]
Menurut Ki Hajar Dewantoro Pendidikan nasional itu berlandaskan
pada garis hidup dari bangsanya seperti corak budayanya atau latar belakang bangsanya .
2.3 . Metode Pendidikan Nasional
Sebagai metode pendidikan nasional, pendidik dalam menyampaikan
pelajaran pada peserta didik memiliki beberapa unsur antara lain :
1.
Komunikasi
2.
Kesengajaan
3.
Kewibawaan
4.
Normatif
5.
Kasih Sayang dan Perhatian
6.
Kedewasaan[15]
2.4 . Tujuan pendidikan nasional
Tujuan pendidikan nasional secara umum yaitu membangun kualitas
manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan
kebudayaan-Nya sebagai warga negara yang berjiwa pancasila, mempunyai semangat
dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur, dan berkepribadian yang
kuat, cerdas, terampil, dapat mengembangkan dan menyuburkan sikap demokrasi,
dapat memelihara hubungan yang baik antara manusia dan lingkungannya, sehat
jasmani, mampu mengembangkan daya estetik, berkesanggupan untuk membangun diri
dan masyarakatnya.
Dengan demikian dapatlah kita kemukakan buti-butir tujuan
pendidikan nasional sebagai berikut :
1.
Meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2.
Memperkuat kepribadian pancasia
3.
Mempertebal semangat kebangsaan
4.
Meningkatkan kecerdasan
5.
Meningkatkan keterampilan
6.
Meningkatkan keahlian
7.
Meningkatkan kebudayaan
8.
Meningkatkan kesadaran yang tinggi
9.
Mempertinggi budi pekerti
10.
Mengembang suburkan sikap demokrasi
11.
Memelihara kerukunan hidup
12.
Mampu memngembangkan daya estetik
13.
Berkesanggupan untuk membangun diri dan masyarakatnya
2.5 . Hakikat pendidik
1.
Pendidik harus mengetahui tujuan pendidikan yang bdianut oleh suatu
negaranya, kalau di Indonesia mengetahui tujuan pendidikan Nasional yang
tertuang di dalam GBHN
2.
Pendidik harus mengenal peserta didik
3.
Pendidik harus mempunyai prinsip dp dalam menggunakan alat
pendidikan. Dapat memilih alat mendidik yang sesuai dengan situasinya
4.
Pendidik harus mempunyai sikap bersedia membantu peserta didik
dalam arti lebih sabar (ingat, terutama untuk pendidik anak luar biasa)
5.
Pendidik harus mengidentifikasikan diri dengan peserta didik dalam
arti mampu menyesuaikan diri dengan anak guna mencapai tujuan pendidikan. Jadi,
pendidik tetap harus sebagai pendidik yang berpribadi tetap cara melakukan proses
pendidikan dapat menyesuaikan dalam dunia anak/peserta didik
6.
Pendidik harus mampu bermasyarakat yang berarti pendidik dan
keterampilan dapat diterapkan di dalam masyarakat sehingga baik langsung maupun
tidak langsung peserta akan ikut merasakan manfaatnya.[16]
2.6 . Hakikat peserta didik
Manurut pendidikan nasional, peserta didik adalah anak
didik/seseorang yang memperoleh pendidikan dari seorang dan/atau beberapa
pendidik.[17]
4.1. persamaan antara konsep pendidikan Ibnu
khaldun dengan konsep pendidikan nasional
2.7. Perbandingan konsep Ibnu Kholdun dan Pendidikan Nasional
Persamaan antara konsep pendidikan Ibnu
khaldun dengan konsep pendidikan nasional banyak sekali antara lain :
a. Harus ada pendidik
b. Harus ada peserta didik
c. Harus ada pentransformasian ilmu dari
pendidik ke peserta didik
Perbedaan antara konsep pendidikan Ibnu
khaldun dengan konsep pendidikan nasional:
a.
Ibnu Koldun lebih mendasarkan pada dalil Al-Qur’an dan Hadis Nabi
b.
Pendidikan Nasional mendasarkan konsep pendidikan pada Pancasila
dan UU Pendidikan
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
a.
Tokoh ini mempunyai nama lengkap Abd. Al-Rahman Ibn Muhammad Ibn
Muhammad Ibn Muhammad Al-Hasan Ibn Jabir Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Khalid
Ibn Usman Ibn Hani Ibn Al-Khattab Ibn Kuraib Ibn Ma’dikarib Ibn Al-Haris Ibn
Uwail Ibn Hujr. dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H / 27 Mei 1332 M, dan
beliau meninggal dunia pada 26 Ramadan 808 H / 18 Mac 1406 M di Kaherah.
Kawasan Khalduniyah di Tunisia masih ada sekarang hampir-hampir tidak berubah,
dengan rumah yang dipercayai tempat kelahirannya. Keluarga Ibn Khaldun telah
berpindah ke Tunisia dimana Ibn Khaldun dilahirkan, dan juga beliau mendapat
pendidikan awalnya.
b.
Menurut Ibnu khaldun pendidikan itu adalah proses menstransformasi
yang di peroleh dari nilai-nilai Al-qur’an dan Hadist serta berlandaskan
filosofis dan empiris atau pengalaman agar dapat mempertahankan eksistensi
manusia dalam peradaban masyarakat.
c.
Menurut UUD 1945 pendidikan adalah proses pengajaran yang dilakukan
pendidik kepada anak didik yang berlandaskan Pancasila dan UU Pendidikan agar
anak didik menjadi insan yang berjiwa Pancasila, berbudi tinggi, menjunjung
tinggi sikap pratriotik.
d.
Konsep pendidikan menurut Ibnu Koldun dan Sistem Pendidikan
Nasional sama-sama berazaskan ilmu pengetahuan untuk mewujudkan nk didik yang
berilmu pengetahuan tinggi dan berbudi luhur. Hanya saja dasar yang keduanya
gunakan berbeda, yakni Ibnu Kholdun berpacu pada Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan
sistem Pendidikan Nasional berpacu pada Pancasila dan Undang-Undang.
3.2.
Kritik dan saran
Sistem pendidikan nasional yang ada di Indonesia merupakan sistem
penyerapan dari system pendidikan islam dan sistem pendidikan modern yang pada
awal mulanya kemerdekaan pemerintahan bangsa Indonesia yang mewarisi sistem pendidikan yang bersifat dualistis, yaitu :
a)
Sistem pendidikan yang dan pengajaran modern yang bercorak sekuler
atau sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum, yang merupakan
warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
b)
Sistem pendidikan islam, yang tumbuh dan berkembang di kalangan
umat islam sendiri, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlansung di
surau/langgar, masjid dan pesantren serta madrasah yang bersifat tradisional
yang bercorak keagamaan.
Sedangkan bangsa indonesia adalah bangsa yang mempunyai banyak
agama yang sebagian besar beragama islam, dan penduduk indonesia bersepakat
untuk membentuk satu negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasiala dan UUD 1945,dan bukan berdasarkan islam. Namun Pancasila dan UUD
1945, menjamin kemerdekaan bagi umat islam untuk mengembangkan pendidikan
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,Abu, 1991, ilmu pendidikan, Jakarta: Rineka cipta.
Muchsin,Bashori, 2009, pendidikan islam kontemporer,
Bandung: Refika aditama.
Nasir, Ridlwan, 2005, format pendidikan ideal, Yogyakarta:
Pustaka pelajar.
[1] H.M. Ridwan Nasir,MA, mancari tipologi format pendidikan ideal (Yogyakarta:
pustaka pelajar) cet: 1, hal: 35.
[3] Toto Suharto,”Filsafat
pendidikan islam” penerbit: Ar-ruzzs media,jogjakarta September 2005cet: 1, hal:
220
[5] Saepul anwar “konsep
pemikiran ibnu khaldun (refleksi pemikiran seorang sosiolog muslim abad 14 M
tentang pendidikan) “ jurnal indonesia maret tahun 2008.
[6] Konsep pendidikan islam
menurut ibnu khaldun “sustu kajian terhadap elemen-elemen kemasyarakatan islam
[7] Konsep pendidikan islam
menurut ibnu khaldun “sustu kajian terhadap elemen-elemen kemasyarakatan islam
[8] Saepul anwar “konsep
pemikiran ibnu khaldun (refleksi pemikiran seorang sosiolog muslim abad 14 M
tentang pendidikan) “ jurnal indonesia maret tahun 2008.
[9] Saepul anwar “konsep
pemikiran ibnu khaldun (refleksi pemikiran seorang sosiolog muslim abad 14 M
tentang pendidikan) “ jurnal indonesia maret tahun 2008.
[11] Asma Hasan Fahmi, sejarah dan filsafat pendidikan islam,alih
bahasa Ibrahim Husein (Jakarta: bulan bintang 1979),cet: 1, hal: 107.
[14] H. Abu Ahmadi,ilmu pendidikan,(jakarta: rineka cipta), cet: 1,
hal: 195.
[15] Ibid,hal: 93.
[16] H. Abu Ahmadi,ilmu pendidikan,(jakarta: rineka cipta), cet: 1,
hal: 49
[17] Tim dosen FKIP – UNS, pengantar ilmu pendidikan, hal: 114.
No comments:
Post a Comment