moh.kamilus Zaman SPd.I
PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG PENDIDIKAN
ISLAM
1. Biografi
Singkat Ibnu Khaldun
Keluarga
Khaldun lahir di
kota Carmon, Andalus
di mana kakeknya bernama Khalid bin Al-Khattab, yang
kemudian dikenal dengan
nama Khaldun bin Usman bin Hani
bin Al-Khattab bin Kuraib Maadi
Karib bin Al-Haris bin Hijr.[1]
Sebuah ciri khas yang melatarbelakangi
kehidupan Ibnu Khaldun adalah ia berasal dari keluarga politis, intelektual,
dan aristokrat. Suatu latar belakang kehidupan yang jarang dijumpai orang. Keluarganya,
sebelum menyeberang ke afrika, adalah para pemimpin politik di Moorish,
Spanyol, selama beberapa abad.[2]
Dalam kelurga elit semacam inilah ia dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 di
Tunisia. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdur Rahman Abu Zayd ibn Muhammad ibn
Khaldun.
Latar belakang keluarga dan saat ia
dilahirkan serta menjalani hidupnya nampaknya merupakan factor yang menentukan
dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi
intelektual ke dalam dirinya, sedangkan masa ketika ia hidup yang ditandai oleh
jatuh bangunnya dinasti-dinasti islam, terutama dinasti Umayah dan Abbasiyah
memberikan kerangka berfikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.
Sebagaimana para pemikir lainnya,
pendidikan masa kecilnya berlangsung secara tradisional. Artinya ia harus
belajar membaca al-Quran, hadust, Fiqh, sastra, dan nahwu sharaf dengan
sarjana-sarjana terkenal waktu itu. Pada umur 20 tahun ia telah bekerja sebagai
sekretaris Sultan Fez di Maroko. Selanjutnya pada tahun 1362 Ibnu Khaldun
menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Karena kecakapannya yang
luar biasa, ia ditawari bekerja oleh penguasa Sevilla saat itu.
Khaldun tidak lama di Granada, karena
prestasi dan kecakapannya yang luar biasa itu, ia sering menimbulkan iri hati
Perdana Menteri. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk kembali ke Afrika. Dan
tak lama setelah itu, ia diangkat menjadi Perdana menteri oleh Sultan Aljazair,
Bongi
Ketenangan hidup baru ia rasakan setelah
melepaskan semua jabatannya resminya. Dan pada waktu itulah ia menciptakan
karya monumental , yaitu Muqaddimah dan Sejarah alam semesta. Setelah itu, pada
tahun 1382 ia pergi ke Iskandariah, dan singgah di Mesir. Raja dan rakyat Mesir
yang cukup mengenal reputasi Khaldun lewat karyanya Muqaddimah jauh sebelum
ibnu Khaldun singgah ke Mesir, menawari jabatan sebagai guru kemudian ketua
mahkamah agung di bawah pemerintahan dinasti mamluk.
Ia meninggal pada tahun 1406 dalam usia 74
tahun, bersama jabatan yang dipegangnya.[3]
Kini Ibnu Khaldun selain dikenal sebagai filosof, juga sebagai sosiolog yang
memiliki perhatian yang besar terhadap bidang pendidikan. Hal ini antar lain
terlihat dari pengalamannya sebagai guru yang berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lainnya.[4].
2. Pandangan
Tentang manusia Didik
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu
menekankan pada segi kepribadiannya, sebagaimana yang acapkali dibicarakan para
filosof, baik islam maupun luar islam. Ia lebih banyak melihat manusia dalam
hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiologi
dan antropologi.
Apa yang terkesan tentang konsep manusia
menurut Ibnu Khaldun adalah, karena ia seorang muslim. Ia telah mempunyai
asumsi-asumsi kemanusiaan sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dari
Islam. Oleh karena itu konsepsi-konsepsi kemanusiaannya adalah hasil dari
derivasi upaya intelektual Ibnu Khaldun
untuk membuktikan dan memahami asumsi al-Quran tersebut lewat gejala dan
aktifitas kemanusiaan. Ibnu Khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang
berbeda dengan makhluk yang lainnya. Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah
makhluk yang berfikir. Oleh karena itu, ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan )
dan teknologi. Sifat-sifat ini tidak dimiliki makhluk-makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berfikirnya itu manusia atidak hanya membuat kehidupannya, tetapi
juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses yang semacam ini melahirkan peradaban. [5]
Menurut Ibnu Khaldun, manusia memiliki
perbedaan dengan makhluk lain, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain
karena manusia di samping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk
menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap bermasyarakat yang
kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lainnya dapat
saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu, maka timbullah ilmu
pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut dalam suatu saat diperlukan
dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu
yang demikian mesti diperoleh dari orang lain yang lebih dahulu mengetahuinya.
Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang
demikian itu, maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.
Pada bagialn lain Ibnu khaldun berpendapat
bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia di samping
harus sungguh-sungguh jugs harus mempunyai bakat. Menurutnya dalam mencapai
pengetahuan yang bermacaqm-macam itu seseorang tidak hanya memerlukan
ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu
atau disiplin memerlukan pengajaran.
3. Pandangan Tentang Ilmu
Selanjutnya Ibnu Kgaldun berpendapat bahwa
pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Hal ini
dapat dilihat pada Negara Qairawan dan Cordova yang keduanya berperadaban
Andalus dan luas pula problematikanya atu heterogen. Di situ terdapat pertumbuhan
ilmu, pabrik-pabrik, pasar yang tersusun rapi. Keadaan ini akan berpengaruh
terhadap corak pendidikannya.
Pada bagian lain, Ibnu Khaldun mengatakan
bahwa adanya perbedaan lapisan social timbul dari hasil hasil kecerdasannya
yang diproses melalui pengajaran.
Dalam Ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun
membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ilmu Lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata
bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (syair)
b. Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari
kitab suci dan sunnah Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci al-Quran dan
tafsirnya, sanad dan hadist. Serta istimbat tentang kaidah-kaidah fiqih.
c. Ilmu ‘aqli, yaitu ilmu yang dapat
menunjukkan manusia dengan daya pikir atau kecerdasannya kepada filsafat dan
semua ilmu pengetahuan.
Di antara ilmu tersebut ada yang harus
diajarkan kepada anak didik, yaitu:
a) Ilmu syariah dengan semua jenisnya
b) Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu
ketuhanan
c) Ilmu alat yang membantu ilmu agama (seperti
ilmu bahasa, matematika, dan lain-lain)
d) Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah
seperti ilmu mantiq
Selain itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa
Al-Quran adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena
mengajarkan Al-Quran kepada anak termasuk syari’at islam yang dipegang teguh
oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap Negara Islam. Al-Quran
yang telah ditanamkan pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena
pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih.
4. Metode pengajaran
Menurut Ibnu khaldun bahwa mengajarkan
pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat apabila dilakukan dengan
berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Pertama-tama
ia harus diberi pelajaran tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan
yang dipelajarinya. Keterangan-keterangan diberikan harus secara umum, dengan
memperhatikan kekuatan pikiran pelajar dan dengan kesanggupannya memahami apa
yang diberikan kepadanya. Apabial dengan jalan itu seluruh pembahasan pokok
telah dipahami, maka ia telah memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan
tersebut, tetapi itu baru sebagian keahlian yang belum lengkap. Ssedangkan
hasil keseluruhan dari keahliannya itu adalah ia memahami pembahasan pokok itu
seluruhnya dengan segala seluk-beluknya. Untuk itu jika pembahasan yang pokok
itu belum dicapai dengan baik, maka harus diulanginya kembali hingga dikuasai
benar.
Padahal jika kita menyaksikan fenomena
pendidikan saat ini, maka kita lihat banyak guru-guru dari generasi kita ini
yang tidak tahu sama sekali tentang cara-cara mengajar, akibatnya guru
memberikan kepada pelajar sejak semula adalah masalah-masalah yang sukar dan
menuntutnya supaya memecahkan masalah-masalah tersebut.
Dalam hubungannya mengajarkan ilmu kepada
anak didik, Ibnu Khaldun menganjurkan agar para guru mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada anak didik dengan metode yang baik dan mengetahui faedah
yang dipergunakannya dan seterusnya. Ibnu Khaldun lebih lanjut mengemukakan
kesulitan yang dihadapi para pelajar yang dijumpainya. Kesalahan tersebut
disebabkan karena para pendidik tidak menguasai ilmu jiwa anak. Menurutnya
seseorang yang dahulunya diajarkan denga kasar, keras, cacian, akan dapat
mengakibatkan gangguan jiwa pada si anak. Anak yang demikian cenderung menjadi
pemalas dan pendusta, murung dan tidak percaya diri serta berpengarai busuk,
mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang
disebabkan ia merasa takut dipukul.
Sejalan dengan pemikirannya itu, Ibnu
khaldun menganjurkan agar pendidik bersikap sopan dan dan halus pada muridnya.
Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah
pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak,
maka pukulan tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali.
5. Cara memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun
merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan sintesis sebagai hasil
dari proses berpikir. Proses berpikir seperti ini disebut ibnu Khaldun sebagai
af’idah (jamak dari fu’ad). Ada tingkatan proses berpikir menurut Ibnu Khaldun.
Tingkatan yang pertama disebut al-aql al-tamyizi yaitu pemahaman intelektual
manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan
alam yang berubah, dengan maksud supaya manusia mampu menyeleksinya dengan
kemampuannya sendiri.
Tingkatan kedua disebut al-aql al-tajribi,
yaitu pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang
dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang lain. Bentuk pemikiran seperti ini
kebenyakan berupa apersepsi (tashdiq) yang dicapai manusia melalui pengalaman,
hingga benar-benar dirasa manfaatnya.
Tingkatan ketiga disebut al-aql al-nazhari,
yaitu pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau
pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi
indra tanpa tindakan praktis yang menyertainya.
Dengan tiga tingkatan cara memperoleh ilmu
pengetuan tersebut, Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan dalam dua kategori,
yaitu al-ulum al-aqliyyah dan al-ulum al-naqliyyah. Al-ulum al-aqliyyah
bersifat alami (thabi’i) yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikirnya.
Inilah ilmu-ilmu hikmah falsafi yang menjadi milik semua peradaban manusia.
Ilmu-ilmu ini mencakup empat ilmu pokok, yaitu logika, fisika, metafisika, dan
matematika.
Adapun al-ulum al-naqliyyah bersifat wadh’I
(berdasarkan otoritas syariat) yang dalam batas-bats tertentu, akal tidak
mendapat tempat. Ilmu-ilmu ini mencakup ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qira’at,
ilmu ushul fiqh dan fiqh,ilmu kalam, tasawuf dan berbagai ilmu alat yang
menyertainya seperti ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah, dan lain-lain.
6. Tujuan Pendidikan
Fathiyyah Hasan Sulaiman dalam Pandangan
Ibnu Khaldun tentang ilmu dan pendidikan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan
menurut Ibnu Khaldun adalah:
1) Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk
aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya pikiran dan
kematangan individu, yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat
bagi masyarakat.
2) Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan,
sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka
terwujudnya masyarakat yang maju dan berbudaya.
3) Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat
digunakan untuk mencari penghidupan.
Dari tujuan di atas, Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa “ pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian
dalam membangun masyarakat manusia. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud
pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang
diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam
peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, agar masyarakat tersebut bisa tetap
eksis. Inilah kiranya tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Dalam
konteks ini, Ibnu Khaldun telah memandang pendidikan sebagai bagian dari proses
peradaban manusia.
[2] NJ. Dawood, “The
Muqaddimah an introduction to History” dalam Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 171
[3] Fachry Ali, “Realitas
manusia: Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun” dalam Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 173
No comments:
Post a Comment