MOH.KAMILUS
ZAMAN Spd.I (085755107987)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap agama memposisikan dirinya sebagai sebuah tatanan nilai yang
mulia yang menjiwai apapun yang terdapat di dunia ini, termasuk di dalamnya
pendidikan. Para penganut agama Islam, Kristen, dan Katolik misalnya, akhirnya
memaksakan integrasi agama-pendidikan hingga kepada simbol keagamaan
lembaga-lembaga pendidikan yang mereka kelola. Awal sejarah pendidikan di
negeri inipun sebenarnya sudah diawali dengan fenomena itu. Jauh sebelum
Indonesia merdeka, mereka telah menyebarkan agama melalui penyelenggaraan pendidikan.
Salah satu tujuan dari pendidikan nasional
adalah meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan YME. Untuk mencapai tujuan itu,
pendidikan agama perlu diberikan pada semua jenjang dan jenis sekolah dan
dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dasar sampai dengan tingkat tinggi.
Dengan demikian, pembelajaran Pendidikan Agama
sangatlah penting mengingat bahwa pembelajaran agama sejatinya untuk membentuk
perilaku keagamaan atau moralitas peserta didik sehingga akhirnya terbentuk
masyarakat beradab yang Islami.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pendidikan Agama Islam di
sekolah-sekolah umum?
2.
Mengapa PAI di sekolah umum masih belum
memenuhi standar?
3.
Bagaimana relevansi antara pemikiran
Pendidikan Islam dengan prakteknya?
1.3 Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui bagaimana Pendidikan Agama Islam
di sekolah umum
2.
Untuk mengetahui alasan PAI di sekolah umum
belum bisa memenuhi standar
3.
Untuk mengetahui relevansi antara pemikiran
Pendidikan Islam dengan prakteknya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Agama Islam
di Sekolah Umum
Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui penataan
pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan
harkat dan martabat manusia Indonesia. Untuk mencapai itu, pendidikan harus
adaptif terhadap perubahan.
Dalam konteks
pembaharuan pendidikan, ada tiga isu utama yang perlu disoroti, yaitu
pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran dan efektifitas metode
pembelajaran khususnya pembaharuan di bidang Agama Islam.
Pendidikan Agama
Islam adalah upaya sadar, terencana dalam menyiapkan anak didik untuk mengenal,
memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan
ajaran Agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al Qur’an dan Al Hadits
melalui bimbingan, pengajara. Latihan serta penggunaan pengalaman (Muhaimin,
2002: 75). Dibarengi tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama.
Fungsi pendidikan
Agama Islam di sekolah adalah untuk pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah serta akhlak mulia, penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, penyesuaian mental peserta didik
terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan Islam.
Berdasarkan
fungsinya itu, maka tujuan pendidikan agama Islam di sekolah adalah untuk
menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan,
penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan,
ketaqwaan kepada Allah serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi.
Pendidikan Agama
Islam (PAI) di sekolah yang sedang berlangsung belum semuanya memenuhi harapan
kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan kendala yang dihadapi, maka
diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan agama Islam. Ini semua
mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis kebijakan umum Direktorat
Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama yaitu peningkatan mutu khusus
mengenai pendidikan agama Islam di sekolah, peningkatan mutu itu sendiri
terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran pendidikan agama Islam
pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah.
Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan
kita. Artinya kalau pendidikan itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan
dan keinginan-keinginan kita. Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga
sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat, orang
tua.
2.2
Permasalahan PAI di Sekolah Umum
Dalam kenyataan pendidikan agama Islam di sekolah masih banyak hal
yang belum memenuhi harapan. Misalnya kalau guru memberikan pendidikan agama
Islam kepada peserta didik, maka tentu yang kita inginkan adalah peserta didik
bukan hanya mengerti tetapi juga dapat melaksanakan praktek-praktek ajaran
Islam baik yang bersifat pokok untuk dirinya maupun yang bersifat
kemasyarakatan. Karena di dalam pendidikan agama Islam bukan hanya
memperhatikan aspek kognitif saja, tetapi juga sikap dan keterampilan peserta
didik. Peserta didik yang mendapatkan nilai kognitifnya bagus belum bisa
dikatakan telah berhasil jika nikai sikap dan ketrampilannya kurang. Begitu
pula sebaliknya, jika sikap dan/atau keterampilannya bagus tetapi kognitifnya
kurang, belum bisa dikatakan pendidikan agama Islam itu berhasil. Inilah yang
belum memenuhi harapan dan keinginan kita.
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah penuh tantangan,
karena secara formal penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2 jam pelajaran
per minggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang hanya 2 jam
pelajaran. Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama Islam yang lebih
menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau
memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan
keterampilan, guru akan mengalami kesulitan.
Kita tahu bahwa sekarang di kota-kota pada
umumnya mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena orang-orangnya
sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka belajar agama
Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik pendidikan agama Islam
di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab moral. Oleh karena itu
jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya mengajar di sekolah saja, akan
lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang
memungkinkan mereka bisa belajar agama Islam lebih banyak lagi.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah bagi peserta didik
mengandalkan pendidikan agamanya hanya dari sekolah. Namun bagi peserta didik
yang tinggal di daerah yang ada madrasah diniyah atau pesantren mengikuti
pendidikan agama Islam di sekolah tidak terlalu banyak menghadapi masalah,
karena mereka bisa sekolah dan bisa juga belajar agama Islam di diniyah atau
pesantren. Tetapi kondisi semacam ini pada masa sekarang sudah sulit dijumpai.
Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi oleh peserta didik, yaitu peserta didik
belajar agama Islam dari sisa waktu yang dimiliki oleh orang tuanya. Peserta
didik belajar agama Islam dengan mengundang ustadz ke rumahnya. Ada pula
peserta didik yang hanya mengandalkan pendidikan agama Islam dari sekolahnya
tanpa mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat lain.
Dalam pendidikan agama Islam banyak yang harus
dikuasai oleh peserta didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman
akidah, praktek ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang
disebut pembinaan akhlak mulia. Kendala
dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran agama Islam di sekolah antara lain
karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya 2 jam pelajaran per minggu.
Menghadapi kendala dan tantangan ini, maka guru yang menjadi ujung tombak
pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan model pembelajaran sebagai
implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya kurikulum
mikro pada kurikulum agama Islam di sekolah.
Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah pembelajaran pendidikan
agama Islam melalui pembelajaran ekstra kurikuler dan tidak hanya pembelajaran
formal di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau
di mushala. Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya
tentu diluar jam pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan
fasilitas, waktu, dan tenaga guru, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya
mengajar tetapi memiliki semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu di mana pun dan
kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik antara guru
dengan orang tua.
Gambaran umum tentang mutu pendidikan agama Islam di sekolah belum memenuhi harapan-harapan
dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah yang menjadi agama
sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh
tiga faktor, yaitu pertama, sumber daya
guru, kedua, pelaksanaan pendidikan agama Islam, dan ketiga, terkait
dengan kegiatan evaluasi dan pengujian tentang pendidikan agama Islam di
sekolah.
1. Sumber daya manusia berupa guru
Pendidikan mutu guru sebagai pendidik dan tenaga kependikan
dilaksanakan dengan mengacu pada standar pendidik dan tenaga kependidikan mata
pelajaran dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Untuk itu dilakukan
kegiatan-kegiatan penyediaan guru pendidikan agama Islam untuk satuan
pendidikan peserta didik usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Dilakukan
pula pendidikan dan pelatihan metode pembelajaran pendidikan agama Islam, pemberian
bea peserta didik Strata 1 (S1) untuk guru pendidikan agama Islam, dan juga
melakukan sertifikasi guru pendidikan agama Islam.
Ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas
kemampuan guru, pertama adanya jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua
yang rutin mengikuti kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP). Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan agama Islam di sekolah
tidak berjalan begitu saja dan kemampuannya juga tidak meningkat.
Sebagai orang
Islam kita berpegang kepada suatu kaidah yang menyatakan bahwa kalau hari ini
lebih jelek dari hari kemarin, maka celaka. Kalau hari ini sama dengan
hari kemarin, maka rugi, dan kalau hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka
beruntung. Maka harus ada upaya-upaya untuk terus menerus belajar minal mahdi
ilallahdi. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa jadilah kalian orang yang
mengajar, atau jadilah orang-orang belajar atau kalau tidak kedua-duanya
sekurang-kurangnya mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat yaitu tidak
mengajar, tidak belajar, dan tidak mendengar. Untuk itulah guru yang harus
selalu meningkatkan kualitas dirinya.
2.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam
berorientasi pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu dilakukan
kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pmbelajaran pendidikan agama
Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan
pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan ekstrakurikuler.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih
menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan
keprihatinan itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan
oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam
pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata
pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya bagi
peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas. Sedangkan
implikasi bagi guru itu sendiri adalah guru dituntut untuk melaksanakan
kewajiban menyelenggarakan proses pembelajaran sebanyak 24 jam per minggu. Yang
jadi persoalan adalah kalau seorang guru agama ditugasi mengajar di sekolah,
misalnya di sekolah dasar (SD) ada 6 kelas kemudian di satu kelas guru mengajar
3 jam pelajaran, sehingga maksimal pembelajaran yang dilaksanakan guru adalah
18 jam pelajaran. Berarti guru tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan tugas
yang diberikan oleh pemerintah. Implikasinya adalah guru tersebut tidak berhak
memperoleh tunjangan-tunjangan sebagai guru karena kewajiban mengajarnya belum
memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Tuntutan itu harus
benar-benar diperhitungkan karena pemerintah memberikan dan menaikkan tunjangan-tunjangan
bukan hanya gaji kepada guru yang melaksanakan tugas kewajibannya sesuai dengan
jumlah jam pelajaran yang sudah ditentukan.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam tidak hanya disampaikan
secara formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru agama, namun dapat pula
dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa
memberikan pendidikan agama ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta
didik. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua guru.
Artinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru agama saja melainkan juga
guru-guru bidang studi lainnya. Guru-guru bidang studi itu bisa menyisipkan
pendidikan agama ketika memberikan pelajaran bidang studi. Dari hasil
pendidikan agama yang dilakukan secara bersama-sama ini, dapat membentuk
pengetahuan, sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan yang baik dan benar.
Peserta didik akan mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan
semangat keagamaan sehingga menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.
3.
Melakukan Evaluasi.
Mengenai evaluasi pendidikan agama Islam ini terkadang
terjadi hal-hal yang di luar dugaan. Misalnya ada peserta didik yang jarang
sekolah, malas dan merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama, tetapi ketika
dievaluasi dia mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta
didik yang rajin belajar agama. Artinya yang salah itu adalah evaluasinya
karena yang dilakukan hanyalah mengukur unsur kognitifnya saja. Oleh karena itu
evaluasi pendidikan agama Islam jangan hanya mengandalkan evaluasi kemampuan
kognitif saja, tetapi harus dievaluasi juga sikap, prakteknya atau keterampilan
(psikomotor) dan sikapya (afektif).
Guru melakukan pengamatan terhadap perilaku sehari-hari
peserta didik tersebut apakah peserta didik itu shalat? Kalau dilaksanakan apakah
shalatnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi ini sebetulnya menentukan status
peserta didik tentang hasil belajarnya itu apakah sudah mencapai tujuan yang
ingin dicapai atau tidak. Kalau tujuan agama itu adalah supaya peserta didik
bisa menjalankan agama Islam dengan baik maka evaluasinya harus sesuai, dan
evaluasinya itu bukan hanya hafal tentang kaidah-kaidah tentang kemampuan
kognitif saja tetapi juga yang bersifat praktikal.
Berkaitan dengan evaluasi pendidikan agama Islam, ada usulan
yang kuat dari berbagai kalangan agar pendidikan agama Islam sebaiknya masuk
pada ujian nasional, sehingga menjadi bahan untuk dipertimbangkan peserta didik
lulus atau tidak lulus di suatu lembaga pendidikan. Ujiannya jangan sekedar
mengukur kemampuan kognitif melainkan juga kemampuan yang bersifat psikomotor,
praktek dan perilaku, serta sikap peserta didik sebagai orang yang menganut
ajaran agama Islam.
Namun, dalam
pelaksanaan program pedidikan agama di berbagai sekolah di indonesia, belum
berjalan seperti yang di harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang
kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik dan nonfisik, di samping suasana
lingkungan pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan
mental-spiritual dan moral.
v Faktor –Faktor Eksternal
- Timbulnya sikap orang tua di beberapa lingkungan sekitar sekolah yang kurang menyadari pentingnya pendidikan agama.
- Situasi lingkungan sekitar sekolah di pengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai macam bentuknya, seperti: judi, dan tontonan yang menyenangkan nafsu.
- Serbuan dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negeri semakim melunturkan perasaan religius dan melebarkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai rasional teknologis.
v Faktor-Faktor Internal
Sekolah
Perangkat input instrumen yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan menjadi sumber kerawanan karena:
- Guru kurang kompeten untuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru yang di sandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tampa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan pendidikan.
- Hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tampa berlanjut dalam situasi informal di luar kelas.
- Pendekatan metodologi guru masih terpaku pada orientasi tradisional sehingga tidak mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.
- Belum mantapnya landasan perundangan yang menjadi dasar terpijaknya pengelolaan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional, termasuk pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan islam.
2.3 Relevansi antara Pemikiran Pendidikan Islam
dengan Prakteknya
Kerusakan yang lama ada pada pola pendidikan di negara Barat
sepatutnya ditinggalkan oleh kaum muslimin. Kerusakan tersebut timbul
dikarenakan tidak adanya muatan ruhiyah dalam penelitian dan pengembangan sains
dan teknologinya. Sehingga dampak yang bisa dirasakan, pola pendidikan tersebut
menghasilkan output berpikir dan bersikap berdasarkan pada prinsip materialisme
dengan menanggalkan prinsip syari’at Islam. Dari sinilah problem sosial
kemasyarakatan muncul dan kerusakan tatanan kehidupan.
Segala urusan dunia jika solusinya diserahkan pada hasil pemikiran
manusia tanpa melibatkan hukum-hukum Allah didalamnya, maka solusi tersebut
tidak bisa menuntaskan masalah. Sehingga yang terjadi adalah fenomena tambal
sulam ataupun gali lubang, tutup lubang atas masalah yang ada. Maka dari itu jika ingin menyelesaikan
masalah tanpa masalah termasuk pendidikan harus berujung pangkal pada
Islam.
Islam diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad tidak
sekadar melakukan perbaikan akhlaq. Namun lebih jauh lagi, turunnya Islam
menjadi penyempurna dari semua agama yang ada dan memuat semua tata aturan
kehidupan secara paripurna. Islam menjelaskan aturan mulai dari masuk kamar
mandi hingga masuk parlemen, mulai dari menegakkan sholat hingga menegakkan
Negara Islam. Demikian pula, Islam menjelaskan secara total bagaimana kaidah
pendidikan sesuai dengan Khitab As-Syaari’. Jadi sangat disayangkan jika
kaum muslimin berpaling dari Islam malah meniru total pendidikan ala Barat
karena silau dengan kemajuannya.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqoroh
: 208)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat,
sesat yang nyata”(QS.Al-Ahzab : 36)
Sepanjang sejarah dunia, Islam telah terbukti mampu membangun
peradaban manusia yang khas dan mampu menjadi pencerah serta penerang hampir
seluruh dunia dari masa-masa kegelapan dan kejayaannya +13 abad lamanya.
Faktor paling menentukan atas kegemilangan Islam membangun peradaban
dunia adalah keimanan dan keilmuannya. Tidak ada pemisahan ataupun dikotomi
atas kedua faktor tersebut dalam pola pendidikan yang diterapkan. Sehingga
generasi yang dihasilkan juga tidak diragukan kehanda lannya
hingga kini.
Sebut saja tokoh Ibnu Sina sebagai sosok yang
dikenal peletak dasar ilmu kedokteran dunia namun beliau juga faqih ad-diin
terutama dalam hal ushul fiqh. Masih ada tokoh-tokoh dunia dengan perannya yang
penting dan masih menjadi acuan perkembangan sains dan teknologi berasal dari
kaum muslimin yaitu Ibnu Khaldun(bapak ekonomi), Ibnu Khawarizm (bapak
matematika), Ibnu Batutah (bapak geografi), Al-Khazini dan Al-Biruni (Bapak
Fisika), Al-Battani (Bapak Astronomi), Jabir bin Hayyan (Bapak Kimia), Ibnu
Al-Bairar al-Nabati (bapak Biologi) dan masih banyak lagi lainnya. Mereka dikenal tidak sekadar paham terhadap sains dan teknologi
namun diakui kepakarannya pula di bidang ilmu diniyyah.
Kalau begitu pola pendidikan seperti apa yang mampu mencetak
generasi islam berkualitas sekaliber tokoh-tokoh dunia tersebut? Penting
kiranya menyatukan persepsi tentang pendidikan sesuai kaidah Syara’. Hakekat
pendidikan adalah proses manusia untuk menjadi sempurna yang diridhoi Allah
SWT. Hakikat tersebut menunjukkan pendidikan sebagai proses menuju kesempurnaan
dan bukannya puncak kesempurnaan, sebab puncak kesempurnaan itu hanyalah ada
pada Allah dan kemaksuman Rasulullah SAW. Karena itu, keberhasilan pendidikan
hanya bisa dinilai dengan standar pencapaian kesempurnaan manusia pada tingkat
yang paling maksimal. Setelah diketahui hakikat pendidikan maka berikutnya bisa
dirumuskan tujuan dari pendidikan Islam yang diinginkan yaitu :
- Membangun kepribadian islami yang terdiri dari pola piker dan pola jiwa bagi umat yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa Aqidah, pemikiran, dan perilaku Islami kedalam akal dan jiwa anak didik. Karenanya harus disusun dan dilaksanakan kurikulum oleh Negara.
- Mempersiapkan generasi Islam untuk menjadi orang ‘alim dan faqih di setiap aspek kehidupan, baik ilmu diniyah (Ijtihad, Fiqh, Peradilan, dll) maupun ilmu terapan dari sains dan teknologi (kimia, fisika, kedokteran, dll). Sehingga output yang didapatkan mampu menjawab setiap perubahan dan tantangan zaman dengan berbekal ilmu yang berimbang baik diniyah maupun madiyah-nya.
Kedua tujuan dari pola pendidikan Islam bisa terlaksana jika
ditopang dengan pilar yang akan menjaga keberlangsungan dari pendidikan Islam
tersebut. Pilar penopang pendidikan Islam yang dibutuhkan untuk bekerja
sinergis terdiri dari :
1.
Keluarga
Dalam pandangan
Islam, keluarga merupakan gerbang utama dan pertama yang membukakan pengetahuan
atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluarga-lah yang memiliki
andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar
bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan
mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor
taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama
untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga
sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru. Sebagaimana Rasulullah SAW
bersabda :
كلّ مولود يولد
على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصّرانه أو يمجّسانه
“Setiap anak dilahirkan atas fitrah.
Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani,
atau Majusi.” (HR. Bukhari)
رضى الرّبّ في
رضى الوالدوسخط الرّبّ في سخط الولد
“Ridho Tuhan terletak pada ridho
orang tua, demikian juga kemurkaan Tuhan terletak pada kemurkaan orang tua.”
(HR.Al-Bukhori no.6521)
2.
Masyarakat
Pendidikan
generasi merupakan aktivitas yang berkelanjutan tanpa akhir dan sepanjang hayat
manusia. Oleh karena itu, pola pendidikan Islam tidak berhenti dan terbatas
pada pendidikan formal (sekolah), namun justru pendidikan generasi Islami yang
bersifat non formal di tengah masyarakat harus beratmosfer Islam pula. Kajian
tsaqofah islam serta ilmu pengetahuan dan sarana penunjangnya menuntut peran
aktif dari masyarakat pula. Ada beberapa peran yang bisa dimainkan masyarakat
sebagai pilar penopang pendidikan generasi islami yaitu sebagai control
penyelenggaraan pendidikan oleh negara dan laboratorium permasalahan kehidupan
yang kompleks.
خذاالحكمة ممن
سمعتموها فانه قديقول الحكمة غير الحكيم وتكون الرمية من غير رام
“Ambillah hikmah yang kamu dengan
dari siapa saja, sebab hikmah itu kadang-kadang diucapkan oleh seseorang yang
bukan ahli hikmah. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa
disengaja?” (HR. Al-Askari dari Anas ra dalam kitab Kashful Khafa’ Jilid
II, h.62))
العلم ضالة
المؤمن حيث وجده أخذه
Hikmah laksana hak milik seorag
mukmin yang hilang. Dimanapun ia mejumpainya, disana ia mengambilnya (HR.
Al-Askari dari Anas ra)
3.
Madrasah
Tempat untuk
mengkaji keilmuan lebih intensif dan sistematis terletak pada Madrasah. Semasa
Rasulullah SAW, masjid-masjid yang didirikan kaum muslimin menjadi lembaga
pendidikan formal bagi semua manusia. Didalamnya tidak semata-mata membahas
ilmu diniyah, namun juga ilmu terapan. Rasulullah menjadikan masjid untuk
menyampaikan ajaran-ajaran Islam, tapi penyusunan strategi perang pun juga
seringkali dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat didalam masjid.
Sedangkan dimasa modern saat ini pendidikan bisa dialihkan yang semula masjid
ke tempat dengan fasilitas yang menunjang dalam proses pembelajaran lebih
efektif baik itu sekolah maupun perguruan tinggi. Hal ini sah-sah saja dan
tidak bisa dianggap sebagai upaya memisahkan anak didik dari masjid.
Perkembangan
sikap dan pemahaman yang terdapat pada anak didik merupakan tanggung jawab
terbesar pada para tenaga pendidik. Lebih dari itu, syakhsiyah Islamiyah yang
dicita-citakan pada anak didik menjadi sempurna apabila para tenaga pendidiknya
lebih dahulu memiliki syakhsiyah islamiyah tersebut dan mampu meningkatkan
secara berkelanjutan. Madrasah meletakkan harapan besar kepada para tenaga
pendidik untuk memberikan proses yang tidak sekadar transfer of knowledge
tapi juga cultivate of spirit and value. Maka dari itu arti guru yaitu
digugu dan ditiru benar-benar bisa terlaksana dan terjaga dengan baik.
4.
Negara
Negara sebagai
pilar penopang bisa mewujudkan pola pendidikan Islami akan lebih optimal,
efektif dan sempurna jika didukung dengan semua kebijakan yang dikeluarkan
terhadap aspek kehidupan ini berlandaskan syari’at Islam. Peran yang bisa
diambil oleh Negara dalam mewujudkan pola pendidikan Islami diantaranya :
- Menyusun kurikulum berdasarkan aqidah islam untuk semua institusi pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi). Filterisasi terhadap paham-paham sesat dan menyesatkan bisa dijalankan melalui standar kurikulum Islami. Sehingga harapannya tidak lagi masuk di materi sekolah tentang teori Darwin, ekonomi ribawi, serta filsafat liberal-sekuler dan lainnya yang tidak sesuai dengan Aqidah Islam.
- Seleksi dan kontrol ketat terhadap para tenaga pendidik. Penetapan kualifikasi berupa ketinggian syakhsiyah islamiyah dan kapabilitas mengajar. Jika sudah didapatkan tenaga pendidikan yang sesuai kualifikasi, negara harus menjamin kesejahteraan hidup para tenaga pendidik agar mereka bisa focus dalam penelitian dan pengembangan ilmu bagi anak didik dan tidak disibukkan aktivitas mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
- Menyajikan content pendidikan dengan prinsip Fikru lil Amal (Link and Match / ilmu yang bisa diamalkan). Artinya jangan sampai isi materi pendidikan tidak membumi (tidak bisa diterapkan) sehingga tidak berpengaruh dan tidak memotivasi anak didin untuk mendalaminya.
- Tidak membatasi proses pendidikan dengan batasan usia dan lamanya belajar. Karena hakekat pendidikan adalah hak setiap manusia yang harus dipenuhi oleh Negara. Allah mengamanahkan penguasa negara untuk benar-benar memenuhi kebutuhan umat tanpa syarat termasuk pendidikan.
الامام
راع وهو مسؤول عن رعيته
“Seorang imam (pemimpin) adalah
bagaikan penggembala, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas
gembalaannya.” (HR. Ahmad,
Syaikhan, Tirmidzi, Abu Dawud, dari Ibnu Umar)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa Pendidikan
Agama Islam di sekolah mempunyai fungsi untuk pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah serta akhlak mulia, penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat,
penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan social melalui pendidikan Islam.
Adapun tujuan dari pendidikan agama di sekolah berdasarkan fungsinya yaitu untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan,
melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan,
penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang
agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaan kepada Allah serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
serta untuk dapat melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi.
Segala urusan dunia jika solusinya diserahkan pada hasil pemikiran
manusia tanpa melibatkan hukum-hukum Allah didalamnya, maka solusi tersebut
tidak bisa menuntaskan masalah. Sehingga yang terjadi adalah fenomena tambal
sulam ataupun gali lubang, tutup lubang atas masalah yang ada. Maka dari itu jika ingin menyelesaikan
masalah tanpa masalah termasuk pendidikan harus berujung pangkal pada
Islam.
Islam telah
terbukti mampu membangun peradaban manusia yang khas dan mampu menjadi pencerah
serta penerang hampir seluruh dunia dari masa-masa kegelapan dan kejayaannya +13
abad lamanya. Faktor paling menentukan atas kegemilangan Islam membangun peradaban dunia
adalah keimanan dan keilmuannya. Tidak ada pemisahan ataupun dikotomi atas
kedua faktor tersebut dalam pola pendidikan yang diterapkan. Sehingga
generasi yang dihasilkan juga tidak diragukan kehanda lannya
hingga kini.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: PSAPM
Ø
Fuad Yusuf, Choirul. 2007. Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
(SMP). Jakarta: PT. Pena Citasatria.
Ø
Kholid Fathoni, Muhammad. 2005. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional
[Paradigma baru]. Jakarta: Depag RI.
Ø Abdurrahman, Hafidz. 2008. Membangun Kepribadian Pendidik Umat. Jakarta: Wadi
Press.
Ø Ahmed, Shabir, Anas Abdul
Muntaqim, Abdul Satar. 1999. Islam
dan Ilmu Pengetahuan. Al-Izzah.
Ø Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah
Islam Al-Izzah.
No comments:
Post a Comment