BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar BelakangMasalah
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam
mencapai keberhasilan proses pendidikan karena lembaga berfungsi sebagai
mediator dalam mengatur jalannya pendidikan. Dan pada zaman sekarang ini
tampaknya tidaklah disebut pendidikan jika tidak ada lembaganya.
Lembaga pendidikan dewasa ini juga sangat mutlak
keberadaannya bagi kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu
dikaitkan dengan konsep islam. Lembaga pendidikan islam merupakan suatu wadah
dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman melaksanakan tugasnya demi
tercapainya cita-cita umat islam.
Keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah merupakan
lembaga-lembaga pendidikan islam yang mutlak diperlukan di suatu negara secara
umum atau disebuah kota secara khususnya, karena lembaga-lembaga itu ibarat
mesin pencetak uang yang akan menghasilkan sesuatu yang sangat berharga, yang
mana lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri akan mencetak sumber daya manusia
yang berkualitas dan mantap dalam aqidah keislaman. Oleh karena itu, dalam
makalah ini kami akan membahas masalah yang berkaitan dengan lembaga pendidikan
islam tersebut, yaituterkaitkonsepdanjenis-jenisLembagaPendidikan
Islam.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas kami dapat memberikan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. BagaimanakahkonsepLembagaPendidikan Islam
secarasingkat?
2. Apa saja jenis-jenis lembaga
pendidikan islam?
C.
TujuanMasalah
1.
MengetahuikonsepLembagaPendidikan
Islam secarasingkat.
2.
Memahamijenis-jenis lembaga pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Lembaga Pendidikan Islam
1. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Secara etimologi lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu
yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan
mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu: 1)
pengertian secara fisik, materil, kongkrit, dan 2) pengertian secara non-fisik,
non-materil, dan abstrak.[1]
Dalam bahasa inggris, lembaga disebut institute
(dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan
tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution,
yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian
fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian nonfisik
disebut dengan pranata.[2]
Secara terminologi, Amir Daiem mendefinisikan
lembagapendidikan dengan orang atau badan yang secara wajar mempunyai
tanggung jawab terhadap pendidikan. Rumusan definisi yang dikemukakan Amir
Daiem ini memberikan penekanan pada sikap tanggung jawab seseorang terhadap
peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu keharusan yang wajar
bukan merupakan keterpaksaan. Definisi lain tentang lembaga pendidikan adalah
suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah
laku, peranan-peranan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang
mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum, guna tercapainya
kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.[3]
Daud Ali
dan Habibah Daud menjelaskan bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam
pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik, materil, kongkrit dan
kedua pengertian secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi
pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik
menampakkan suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang
menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu
sistem yang berperan membantu mencapai tujuan.[4]
Adapun lembaga pendidikan islam secara terminologi dapat
diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam. Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung
pengertian kongkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang
abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta
penananggung jawab pendidikan itu sendiri.[5]
Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga
dalamkelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada.Lembaga
tersebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosialadalah suatu
bentuk organisasi yang tersusun realatif tepat atas pola-polatingkah laku,
peranan-peranan dan relasi-relasi yang yang terarah dalammengikat individu yang
mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum,guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan
sosial dasar.
Menurut Pius Partanto, M. Dahlan Al Barry ”lembaga
adalah badanatau yayasan yang bergerak dalam bidang penyelenggaraan
pendidikan,kemasyarakatan dan sebagainya”[6]
Menurut Muhaimin ”lembaga pendidikan Islam adalah
suatu bentukorganisasi yang mempunyai pola-pola tertentu dalam
memerankanfungsinya, serta mempunyai struktur tersendiri yang dapat
mengikatindividu yang berada
dalam naungannya, sehingga lembaga ini mempunyaikekuatan hukum sendiri”.[7]
Merujuk dari pendapat di atas lembaga pendidikan
Islam adalahtempat berlangsungnya proses pendidikan Islam bersama dengan
prosespembudayaan serta dapat mengikat individu yang berda dalamnaungannya,
sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan hukum.
Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses
operasionalmenuju tujuannya, memerlukan sistem yang konsisten dan dapatmendukung nilai-nilai moral
spiritual
yang melandasinya. Nilai-nilaitersebut diaktualisasikan berdasarkan otentasi
kebutuhan perkembanganfitrah siswa yang dipadu dengan pengaruh lingkungan
kultural yang ada.
2. Tujuan Lembaga Pendidikan Islam
Tujuan lembaga pendidikan Islam (madrasah) maka
tidak terlepasdari tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan pendidikan Islam
digalidari nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Menurut Muhaimin, ”Lembaga pendidikan Islam secara
umumbertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayalan danpengalaman
peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusiamuslim yang beriman
dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlakmulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat berbangsa danbernegara”.[8]
Lembaga pendidikan Islam mempunai tujuan untuk
mengembangkansemua potensi yang dimiliki manusia itu, mulai dari tahapan
kognisi, yaknipengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran Islam,
untukselanjutnya dilanjutkan dengan tahapan afeksi, yakni terjadinya
prosesinternalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri siswa, dalam
artimenghayati dan meyakininya. Melalui tahapan efeksi tersebut
diharapkanbertumbuh motivasi dalam diri siswa dan bergerak untuk mengamalkandan
menaati ajaran Islam ( tahap psikomotorik) yang telahdiinternalisasikan dalam
dirinya. Dengan demikian, akan terbentukmanusia muslim yang bertakwa dan
berakhlak mulia.
3. Tugas Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan Islam seperti halnya pada sekolah
umumnya,adalah merupakan lembaga pendidikan kedua setelah keluarga.Menurut
An-Nahkawi, ”Tugas-tugas yang ditambah oleh lembagapendidikan Islam adalah: 1.)
merealisasikan pendidikan Islam yangdidasarkan atas prinsip pikir, aqidah dan
tasyri’ (sejarah) yang diarahkanuntuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk dan
realisasi itu adalah agaranak didik beribadah, mentahidkan Allah SWT, tunduk
dan patuh kepadaperintah dan syariat-Nya. 2.) Memelihara fitrah anak didik
sebagai insanyang mulia, agar tidak menyimpang dari tujuan Allah
menciptakannya. 3.)Memberikan kepada anak didik seperangkap peradaban dan
kebudayaanIslami dengan cara mengintengrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu
sosial,ilmu eksak, dengan landasan ilmu-ilmu agama, sehingga anak didikmampu
melibatkan dirinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dantehnologi. 4.)
Membersihkan pikiran dan jiwa anak didik dari pengaruhsubyektivitas (emosi)
karena pengaruh zaman yang terjadi pada dewasaini lebih mengarahkan pada
penyimpangan fitrah manusia. 5.)Memberikan wawasan nilai dan moral, dan
peradaban manusia yangmembawa khasanah pemikiran anak didik menjadi berkembang.
6.)Menciptakan suasana kesatuan dan kesamaan antara anak didik. 7.)
tugasmengkoordinasi dan membebani kegiatan pendidikan. 8.)Menyempurnakan
tugas-tugas lembaga pendidikan keluarga, masjid danpesantren”
Tugas lembaga pendidikan pada intinya adalah sebagai
wadah untukmemberikan pengarahan, bimbingan dan pelatihan agar manusia
dengansegala potensi yang dimilikinya dan dapat dikembangkan dengan
sebaikbaiknya.Tugas lembaga pendidikan Islam yang terpenting adalah
dapatmengantarkan manusia kepada misi penciptaannya sebagai hamba Allahsebagai
kholifah fi Al-Ardhi, yaitu seorang hamba yang mampu beribadahdengan baik dan
dapat mengembangkan amanah untuk menjaga dan untukmengelolah dan melestarikan bumi dengan mewujudkan
kebahagiaan dankesejahteraan seluruh alam.
B. JENIS-JENIS
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir (2008) mengemukakan beberapa
jenis lembaga pendidikan islam, yaitu keluarga, masjid, pondok pesantren dan
madrasah.Selain yang di ungkapkandari Abdul
MujibdanjusufMudzakkirjugaakandipaparkantentanglembagapendidikan Islam
MajelisTa’limdanPerguruanTinggi Islam (IAIN).
Keluarga
Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl,
‘ali, dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan (anak, cucu),
perkawinan (suami, istri), persusuan, dan pemerdekaan.[9]
Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan islam
disyaratkan dalam al-Quran:[10]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”. (Q.S. al-Tahrim : 6)
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu memiliki
kewajiban dan memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah
berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhaan keluarganya melalui
pemanfaatan karunia Allah SWT di muka bumi (QS. Al-Jumu’ah : 10) dan
selanjutnya dinafkahkan pada anak istrinya (QS. al-Baqarah: 228, 233).
Kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara dan mengelola keluarga di rumah
suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Dalam sabda Nabi SAW.
dinyatakan: “Dan perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan
ditanyai dari pimpinannya itu” (HR. Bukhari-Muslim).[11]
Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan
keluarga dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat
dikembangkan dalam lembaga-lembaga berikutnya, sehingga wewenang
lembaga-lembaga tersebut tidak diperkenankan mengubah apa yang telah
dimilikinya, tetapi cukup dengan mengombinasikan antara pendidikan yang
diperoleh dari keluarga dengan pendidikan lembaga tersebut, sehingga masjid,
pondok pesantren dan sekolah merupakan tempat peralihan dari pendidikan
keluarga.[12]
Secara umum, kewajiban orang tua pada anak-anaknya adalah
sebagi berikut:[13]
1.
Mendo’akan anak-anaknya dengan do’a yang baik. (QS.
al-Furqan: 74)
2.
Memelihara anak dari api neraka. (QS. at-Tahrim: 6)
3.
Menyerukan shalat pada anaknya. (QS. Thaha: 132)
4.
Menciptakan kedamaian dalam rumah tangga. (QS. an-Nisa’:
128)
5.
Mencintai dan menyayangi anak-anaknya. (QS. ali Imran: 140)
6.
Bersikap hati-hati terhadap anak-anaknya. (QS. al-Taghabun:
14)
7.
Mencari nafkah yang halal. (QS. al-Baqarah: 233)
8.
Mendidik anak agar berbakti pada bapak-ibu (QS. an-Nisa’:
36, al-An’am: 151, al-Isra’: 23) dengan cara mendo’akannya yang baik.
9.
Memberi air susu sampai 2 tahun. (QS. al-Baqarah: 233)
Peranan para orang tua sebagai pendidik adalah:[14]
1. korektor, yaitu bagi perbuatan yang
baik dan yang buruk agar anak memiliki kemampuan memilih yang terbaik bagi
kehidupannya;
2. inspirator, yaitu yang memberikan
ide-ide positif bagi pengembangan kreativitas anak;
3. informator, yaitu memberikan ragam
informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan kepada anak agar ilmu pengetahuan anak
didik semakin luas dan mendalam;
4. organisator, yaitu memiliki keampuan
mengelola kegiatan pembelajaran anak yang baik dan benar;
5. motivator, yaitu mendorong anak
semakin aktif dan kreatif dalam belajar;
6. inisiator, yaitu memiliki pencetus
gagasan bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan anak;
7. fasilitator, yaitu menyediakan
fasilitas pendidikan dan pembelajaran bagi kegiatan belajar anak;
8. pembimbing, yaitu membimbing dan
membina anak ke arah kehidupan yang bermoral, rasional, dan berkepribadian
luhur sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam dan semua norma yang berlaku di
masyarakat.
Masjid
Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Secara harfiah, masjid adalah “tempat untuk bersujud”. Namun,
dalam arti terminologi, masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan
aktivitas ibadah dalam arti yang luas[15].
Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang
Islam. Di dalam bahasa inggris, kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque.[16]
Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan di
masjid sebagai lembaga pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu
dibutuhkan sutau lingkaran (lembaga) dan ditumbuhkannya. Dewasa ini, fungsi
masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi SAW. Hal itu terjadi
karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid
terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan
sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat
pendidikan, dan pusat pemukiman, serta sebagai tempat ibadah dan I’tikaf.[17]
Al-‘Abdi
menyatakan bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan.
Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam masjid, akan terlihat hidupnya
Sunnah-sunnah Islam, menghilangkan segala bid’ah, mengembangkan hukum-hukum
Tuhan, serta menghilangnya stratafikasi status sosial-ekonomi dalam pendidikan.
Karena itu, masjid merupakan lembaga kedua setelah lembaga pendidikan keluarga.[18]
Fungsi masjid dapat lebih efektif bila di dalamnya
disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas
yang diperlukan adalah sebagai berikut:[19]
1. Perpustakaan, yang menyediakan
berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.
2. Ruang diskusi, yang digunakan untuk
berdiskusi sebelum dan sesudah shalat jamaah. Program inilah yang dikenal
dengan istilah “I’tikaf ilmiah”.
3. Ruang kuliah, baik digunakan untuk
traning (tadrib) remaja masjid, atau juga untuk Madrasah Diniyah. Omar Amin
Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut dengan
Sekolah Masjid. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi
keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya
lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum.
4. Apabila memungkinkan, teknik ceramah
dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni antara penceramah dengan
para audien, terjadi dialog aktif satu sama lain, sehingga situasi dalam ceramah
menjadi semakin aktif dan tidak monoton.
Menurut Abuddin Nata, terdapat dua peran yang
dilakukan oleh masjid. Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan
informal dan nonformal. Peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat
dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, shalat
Idul Fitri, Idul Adha, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan ibadah
tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat dalam.
Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat dari
sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqoh (lingkaran
studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu
agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir
sedemikian rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan mengikat secara
kaku. Kedua, peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial
kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan
masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan diri dalam
berbagai kegiatan yang bersiafat amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif
dalam berbagai kegiatan di masjid akan memiliki bekal pengetahuan,
keterampilan, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan
kepemimpinan.[20]
Pondok
Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu
pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid
tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “kuttab” (pondok
pesantren). Kuttab, dengan karateristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga
pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem
halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan
pesat karena didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana
yang harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta didik.[21]
Di Indonesia, istilah kuttab lebih dikenal dengan
istilah “pondok pesantren” yaitu suatu lemabaga pendidikan Islam yang di
dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para
santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk
menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokon atau
asrama sebagai tempat tinggal para santri.[22]
Menurut para ahli pesantren baru dapat disebut pesantren
bila memenuhi lima syarat, yaitu: (1) ada kiai, (2) ada pondok, (3) ada masjid,
(4) ada santri, (5) ada pelajaran membaca kitab kuning.[23]
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah:[24]
1. Tujuan umum, yaitu membimbing anak
didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu
agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu
dan amalnya,
2. Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan
para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai
yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok
pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu
model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan serogan.
Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan benndungan, sedangkan
di Sumatera digunakan istilah halaqah.[25]
1. Metode wetonan (halaqah).
Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam
waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama lalu santri
mendengar dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses
belajar mengaji secara kolektif.
2. Metode serogan. Metode yang
santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada
kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenari
kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum
yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab,
morfologi Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi islam, Hadis, tafsir
Al-Quran, teologi islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu
tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah “kitab
kuning”.[26]
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan
eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang terdapat, yaitu di dalamnya
didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok
pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka inovasi
terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:[27]
1. Mulai akrab dengan metodelogi
modern.
2. Semakin berorientasi pada pendidikan
yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
3. Diversifikasi program dan kegiatan makin
terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak absolute, dan sekaligus dapat
membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama
maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja
4. Dapat berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat.
Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi
kultur, sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno)
kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai
jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus
transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan
yang drastis, misalnya:[28]
1. perubahan sistem pengajaran dari
perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal
dengan istilah madrasah (sekolah);
2. pemberian pengetahuan umum disamping
masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab;
3. bertambahnya komponen pendidikan
pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan
agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami;
4. Lulusan pondok pesantren diberikan
syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian
syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
Madrasah
Sebagai Lembaga Pendidiakan Islam
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang
berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya,
madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.
Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada
ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan
fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun
negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.[29]
Sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya
melalui Perdana Menteri Bani Saljuk yang bernama Nidzam al-Muluk, melalui
Madrasah Nidzamiah yang didirikannya pada tahun 1065 M.[30]
Selanjutnya, Gibb dan Kramers menuturkan bahwa pendiri madrasah
terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Shalah al-Din al-Ayyubi.[31]
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
setidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu:[32]
1. sebagai manifestasi dan realisasi
pembaharuan sistem pendidikan Islam;
2. usaha penyempurnaan terhadap sistem
pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya
untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah
kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah;
3. adanya sikap mental pada sementara
golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem
pendidikan mereka; dan
4. sebagai upaya untuk menjembatani
antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem
pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Menurut Abuddin Nata, khususnya di Indonesia dinamika
pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan
dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara lain. Selain terdapat
madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: Al-quran,
al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga terdapat
madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat
Ibtidaiyah hingga Aliyah. Madrasah Diniyah dimaksudkan untuk membangun sikap
keberagamaan dan pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya
berlangsung hingga kelas empat. Adapun madrasah sebagai sekolah umum yang
berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan
(riligiusitas) bagi para pelajar yang nantinya akan menekuni bidang keahlian
sesuai dengan pilihannya. Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata
lebih dari 80% berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.[33]
Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan wahana yang benar-benar memenuhi elemen-elemen institusi secara
sempurna, yang tidak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Frank
P. Besag dan Jack L. Nelson menyatakan elemen institusi sekolah terdiri
atas tujuh macam, yaitu:[34]
1. Utility (kegunaan dan fungsi). Suatu lembaga
sekolah diharapkan memberi kontribusi terhadap tuntutan masyarakat yang
ada, tuntutan kelembagaan sendiri dan aktor.
2. Actor (pelaku). Actor berperan dalam
pelaksanaan tujuan dan fungsi kelembagaan, sehingga actor tersebut mempunyai
status dalam institusi tempat ia berada.
3. Organisasi. Organisasi dalam institusi tergambar
dengan beberapa bentuk dan hubungan-hubungannya antar-aktor.
4. Share in
society (tersebar
dalam masyarakat). Institusi memberikan seperangkat nilai, ide, dan sikap
dominan dalam masyarakat, serta mempunyai hubungan-hubungan dengan institusi
lain, baik terhadap sistem politik, ekonomi masyarakat, kebudayaan,
pengetahuan, dan kepercayaan.
5. Sanction (sanksi). Institusi memberikan
penghargaan dan hukuman bagi actor. Wewenang sanksi diperlakukan bila
berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tempat institusi
berada, dan sanksi dijatuhkan sesuai dengan ukurannya.
6. Ceremony (upacara, ritus, dan simbol).
Upacara dalam pendidikan dilakukan sebagai pengikat tentang status,
pengetahuan, dan nilai seperti acara wisuda.
7. Resistance
to change
(menentang perubahan). Institusi berorientasi terhadap status quo akan
menimbulkan problem baru. Institusi didirikan untuk tujuan sosial tertentu,
sehingga ia hidup dengan cara tertentu pula. Oleh karena itu, actor sering
khawatir melakukan kesalahan, walaupun hal-hal yang dilakukan mengandung
inovasi positif. Perubahan yang terjadi akan menjadi sorotan masyarakat.
MajlisTa’limSebagai Lembaga Pendidiakan Islam
1.
Pengertian Majlis Ta’lim
Dalam Kamus Bahasa
Indonesia pengertian majlis adalah
Lembaga (Organisasi) sebagai
wadah pengajian dan kata Majlis dalam kalangan ulama’ adalah lembaga masyarakat
nonpemerintah yang terdiri atas para ulama’ Islam.
Adapun arti Ta’lim
adalah Pengajaran , jadi menurut arti
dan pengertian di atas maka secara istilah Majlis Ta’lim adalah Lembaga
Pendidikan Non Formal Islam yang memiliki kurikulum sendiri/aturan sendiri,
yang diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang
relatif banyak dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang
santun dan serasi antara manusia dan Allah, manusia dan sesamanya dan manusia
dan lingkungannya, dalam rangka membina masyarakat yang bertaqwa kepada Allah
SWT.
Dari pengertian di atas tentunya Majlis Ta’lim mempunyai
perbedaan dengan lembaga lembaga
lainnya, tentunya sebagai lembaga nonformal memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Sebagai lembaga non formal maka
kegiatannya dilaksanakan dilembaga-lembaga khusus masjid, mushola, atau
rumah-rumah anggota bahkan sampai ke hotel-hotel.
2. Tidak ada aturan kelembagaan yang
ketat sehingga sifatnya suka rela. Tidak ada kurikulum, yang materinya adalah
segala aspek ajaran agama.
3.
Bertujuan mengkaji , mendalami dan mengamalkan ajaran Islam
disamping berusaha menyebarluaskan.
4.
Antara ustadz pemberi materi dengan jamaah sebagai penerima
materi berkomonikasi secara langsung.[35]
Berarti Majlis Ta’lim adalah wadah pembentuk jiwa dan
kepribadian yang agamis yang berfungsi sebagai stabilisator dalam seluruh gerak
aktivitas kehidupan umat Islam Indonesia, maka sudah selayaknya
kegiatan-kegiatan yang bernuansa Islami mendapat perhatian dan dukungan dari
masyarakat, sehingga tercipta insan-insan yang memiliki keseimbangan antara
potensi intelektual dan mental spiritual dalam upaya menghadapi perubahan zaman
yang semakin global dan maju.
2.
Tujuan dan Fungsi Majlis Ta’lim
Setelah kita tahu tentang pengertian Majlis Ta’lim sebagai
lembaga non formal yang mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai alat dan sekaligus sebagai media
pembinaan dalam beragama ( da’wah Islamiyah ), hal ini dapat dirumuskan fungsi
Majlis Ta’lim sebagai berikut :
1. Membina dan mengembangkan ajaran
Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT.
2. Sebagai taman rekreasi rohaniyah karena penyelenggaraanya
bersifat santai
3. Sebagai
ajang berlangsungnya silaturrohnmi masa yang dapat menghidupsuburkan da’wah dan
ukhuwah Islamiyah.
4. Sebagai sarana dialog
berkesinambungan antara ulama’ dan umara’ dengan umat.
5. Sebagai media penyampaian gagasan
yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa pada umumnya.[36]
Dilihat dari segi tujuan, majlis ta’lim termasuk sarana
dakwah Islamiyah yang secara self . standing dan self disciplined mengatur dan
melaksanakan berbaga ikegiatan berdasarkan musyawarah untuk mufakat demi untuk
kelancaran pelaksanaan ta’lim Islami sesuai dengan tuntutan pesertanya. Dilihat
dari aspek sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia sampai sekarang banyak
terdapat lembaga pendidikan Islam memegang peranan sangat penting dalam
penyebaran ajaran Islam di Indonesia. Disamping peranannya yang ikut menentukan
dalam membangkitkan sikap patriotismedan nasionalisme sebagai modal mencapai
kemerdekaan Indonesia, lembaga ini ikutserta menunjang tercapainya tujuan
pendidikan nasional. Dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut
ada yang berbentuk langgar, surau, rangkang.[37]
3.
Peranan Majlis Ta’lim
Majlis Ta’lim merupakan lembaga pendidikan masyarakat yang
tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat Islam itu sendiri yang
kepentingannya untuk kemaslahatan umat manusia.
Pertumbuhan Majlis Ta’lim dikalangan masyarakat menunjukkan
kebutuhan dan hasrat anggota masyarakat tersebut akan pendidikan agama. Pada
kebutuhan dan hasra masyarakat yang lebih luas yakni sebagai usaha memecahkan
masalah–masalah menuju kehidupan yang lebih bahagia. Meningkatkan tuntutan
jamaah dan peranan pendidikan yang bersifat nonformal, menimbulkan pula
kesadarana dari dan inisiatif dari para ulama beserta anggota masyarakat untuk
memperbaiki , meningkatkan dan
mengembangkan kwalitas dan kemampuan , sehingga eksistensi dan peranan serta
fungsi majlis ta’lim benar benar berjalan dengan baik.[38]
Disamping peranan Majlis Ta’lim terdapat pada fungsi di atas
, namun disini H.M. Arifin mengatakan bahwa “ Peranan secara fungsional majelis
taílim adalah mengokohkan landasan hidup
manusia muslim Indonesia
pada khususnya
di bidang mental
spiritual keagamaan Islam dalam
upaya meningkatkan kualitas
hidupnya secara integral, lahiriah dan
batiniahnya, duniawi dan
ukhrawiah
Institit Agama Islam Negeri (IAIN)SebagaiLembagaPendidikan
Islam
1.
LatarBelakangHistoris
IAIN
KelahiranInstitit Agama Islam Negeri
(IAIN) tidaklainkarenausahagigihummat Islam, yangmayoritas di Indonesia ini,
dalamusahamengembangkan system pendidikan Islam yang lengkap, yang dimulaidari
system pendidikanpesantren yang sederhanasampaiketingkatperguruantinggi.[39]
Secara
formal pendirian lemabaga pendidikan tinggi Islam baru dapat direalisasikan
oleh pemerintah pada tahun 1950 dengan peraturan pemerintah No. 37/1950 dengan
menegrikan fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN)
dipimpin oleh KH. Muhammad Adnan dengan tiga jurusan yaitu, tarbiyah, Qadha,
dan Dakwah. Tidak lama berselang pemerintah juga mendirikan Akademi Dinas Ilmu
Agama (ADIA) di Jakarta tepatnya tanggal 1 Juni 1957 sebagai lembaga yang
mendidik dan menyiapkan pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan seni
akademik tingkat diploma sebagai guru Agama di SLTP
Untuk
mengakomodasi perkembangan IAIN di daerah-daerah maka dikeluarkan
peraturan-peraturan presiden nomor 963 sebagai pengganti Peraturan Presiden
Nomor 11 tahun 1960 yang memungkinkan terbentuknya IAIN di daerah-daerah diluar
Yogyakarta dan Jakarta. Menurut peraturan yang baru itu sekurang-kurangnya tiga
jenis fakultas dapat digabungkan menjadi IAIN. Dengan adanya peraturan itu maka
bermunculanlah beberapa IAIN di luar Jakarta dan Yogyakarta. Sampai dengan
tahun 1973 tercatat ada 14 buah IAIN di seluruh Indonesia.
Menyikapi
era global dengan tuntutan yang semakin berkembang serta cita-cita untuk
mengintegrasikan ilmu yang tergolong perennial knowledge dengan ilmu yang
tergolong acquired knowledge maka Keempat belas IAIN dalam perkembangan
berikutnya sebagian telah berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Sampai sekarang sejak tahun 2002 telah ada enam IAIN yang berubah menjadi UIN
yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN
Malang, UIN Syarif Qasim Pekan Baru, UIN sunan Gunung Jati Bandung dan UIN
Alauddin Makassar. Dengan adanya UIN maka pengembangan ilmu pun menjadi
bervariasi pula. Melihat tuntutan perkembangan zaman maka pengembangan
keilmuwan tidak lagi hanya pada itu tidak lagi hanya terbatas pada ilmu agama
saja, akan tetapi semakin kuat munculnya tuntutan kebutuhan pengembangan yang
bervariasi. Berdasarkan hal tersebutlah maka kehadiran Universitas Islam Negeri
adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan saat sekarang ini.
Melihat sejarah IAIN yang dipaparkan secara singkat tersebut tamapak bahwa IAIN merupakan lembaga pendidikan agama yang diarahkan untuk mencetak intelektual-intelektual muslim . studi Islam merupakan wilayah kajian IAIN dari sejak lembaga ini berdiri sampai saat ini. Di satu sisi, kuatnya studi islam di IAIN menjadi menjadi cirri kha tersendiri lembaga pendidikan ini. Namun di sisi lain hal itu telah memunculkan persepsi dikalanag masyarakat muslim bahwa IAIN lebih merupakan lembaga agama bahkan lembaga dakwah daripada lembaga akademik.
Melihat sejarah IAIN yang dipaparkan secara singkat tersebut tamapak bahwa IAIN merupakan lembaga pendidikan agama yang diarahkan untuk mencetak intelektual-intelektual muslim . studi Islam merupakan wilayah kajian IAIN dari sejak lembaga ini berdiri sampai saat ini. Di satu sisi, kuatnya studi islam di IAIN menjadi menjadi cirri kha tersendiri lembaga pendidikan ini. Namun di sisi lain hal itu telah memunculkan persepsi dikalanag masyarakat muslim bahwa IAIN lebih merupakan lembaga agama bahkan lembaga dakwah daripada lembaga akademik.
2.
Peranan
IAIN dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dalam rangka memenuhi harapan
dan kebutuhan masyarakat di dalam mendorong dan mengembalikan perubahan sosial
dalam proses pembengunan nasional melahirkan kader-kader (tenaga sarjana) yang
ahli dibidang Ushuluddin, Syariah, Tarbiyah, dakwah dan Adab. Kader-kader
inilah yang akan mewujudkan fungsi dan peranan agama dalam mengendalikan.
Mendorong, dan mengarahkan perubahan sosial dalam proses pembangunan nasional
melalui berbagai kesempatan pengabdian masyarakat yang dilakukan secara organisatoris
maupun individualis.
Kebijakan yang ditempuh IAIN dalam melakukan pengabdian masyarakat
dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat seta fungsi dan peranan agama dalam
mendorong dan mengendalikan perubahan sosial seperti tersebut dahulu, antara
lain berbagai kegiatan. Fungsi dan peran yang dilakukan oleh IAIN sebagai
lembaga pendidikan tinggi Islam, yaitu:
1. IAIN setiap tahun mencetak sarjana-sarjana yang berkualifikasi
kader ulama intelektual di bidang Agama Islam. Alumni ini kemudan akan
mengintegrasikan dirinya dalam semua lapangan di pemerintah dan masyarakat
sesuai dengan profesinya masing-masing dalam mewujudkan fungsi
dan peran agama dalam mendorong dan mengendalikan perubahan sosial.
2. IAIN melalui kegiatan-kegiatan penelitian, meneliti perkembangan
dan perubahan masyarakat. Perubahan-perubahan yang timbul dimasyarakat sebagai
akibat dari perubahan sosial dan pembangunan nasional, terutama yang
mengguncangkan nilai-nilai yang telah dianut dan baku dalam masyarakat yang
bersumberkan ajaran agama, dibahas, dan dicarikan solusinya di IAIN.
3. IAIN melalui kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan
oleh mahasiswa-mahasiswanya di setiap tahun, melaksanakan kegiatan-kegiatan
pendidikandan penyuluhan masyarakat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga pendidikan Islam adalahtempat berlangsungnya
proses pendidikan Islam bersama dengan prosespembudayaan serta dapat mengikat
individu yang berda dalamnaungannya, sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan
hukum.
Pendidikan Islam yang
berlangsung melalui proses operasionalmenuju tujuannya, memerlukan sistem yang
konsistem dan dapatmendukung nilai-nilai moral apiritual yang melandasinya.
Nilai-nilaitersebut diaktualisasikan berdasarkan otentasi kebutuhan perkembanganfitrah
siswa yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada.
Lembaga pendidikan
Islam secara umumbertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayalan
danpengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusiamuslim
yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlakmulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat berbangsa danbernegara.
Tugas lembaga pendidikan pada intinya adalah sebagai
wadah untukmemberikan pengarahan, bimbingan dan pelatihan agar manusia dengansegala
potensi yang dimilikinya dan dapat dikembangkan dengan sebaikbaiknya.Tugas
lembaga pendidikan Islam yang terpenting adalah dapatmengantarkan manusia
kepada misi penciptaannya sebagai hamba Allahsebagai kholifah fi Al-Ardhi,
yaitu seorang hamba yang mampu beribadahdengan baik dan dapat mengembangkan
amanah untuk menjaga dan untukmengelolah dan melesarikan bumi dengan mewujudkan
kebahagiaan dankesejahteraan seluruh alam.
Beberapa jenis lembaga pendidikan islam, yaitu keluarga,
masjid, pondok pesantren dan madrasah.Selain yang di ungkapkandari Abdul
MujibdanjusufMudzakkirjugaakandipaparkantentanglembagapendidikan Islam
MajelisTa’limdanPerguruanTinggi Islam (IAIN).
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu
Pendidikan Islam. Cet. Ke-2.Jakarta: Kencana.
Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana.
Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet.
Ke-9. Jakarta: Kalam Mulia.
Salahudin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan.
Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2010. Ilmu Pendidikan Islam
Dalam Perspektif Islam. Cet. K-10.Bandung: Rosda.
Pius Partanto,
M. Dahlan Al Barry, kamus ilmiah populer (Surabaya: Arkola, 1994) hlm. 406
Muhimin, Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda
Karya, 1993), hlm. 231
Abdul Mujib dan
Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 231.
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia,
Bandung, 1996, hal 40
Dra.Hj.Enung K Rukiati dan Dra.Fenti
Hikmawati,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( Bandung : Pustaka Setia ,
2006 ), Cet. 1, hal. 134
Zuhairi, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1997), hal. 192
Hasbullah.
1996. KapitaselektaPendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja
GrafindoPersada, hlm: 102-103
[1]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2011), Cet ke.9, hlm. 277.
[2]Ibid.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Pius Partanto,
M. Dahlan Al Barry, kamus ilmiah populer (Surabaya: Arkola, 1994) hlm. 406
[7]Muhimin,
Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm.
231
[8]Muhimin,
op.cit., hlm. 127
[9]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke 2, hlm. 226.
[10]Ramayulis, Op Cit., hlm. 283.
[11]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Loc Cit.
[14]Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan,
(Bandung: Pustaka Setia, 2011). hlm. 216.
[15]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm.
231.
[16]Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2010). Hlm. 102.
[17]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Loc. Cit.
[20]Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 195.
[21]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit.,
hlm. 234.
[22]Ibid.
[23]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam
Perspektif Islam, (Bandung: Rosda, 2010), Cet ke 10. hlm. 191.
[24]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit.,
hlm. 235.
[26]Ibid.
[28]Ibid.
[29]Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 199.
[30]Ibid.
[31]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit.,
hlm. 241.
[32]Ibid.
[33]Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 201.
[34]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit.,
hlm. 242.
[36]Dra.Hj.Enung K Rukiati dan Dra.Fenti
Hikmawati,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( Bandung : Pustaka Setia ,
2006 ), Cet. 1, hal. 134
[37]Zuhairi,
dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal. 192
[38]Dra.Hj.Enung
K Rukiati dan Dra.Fenti Hikmawati,op.cit., hal. 132
[39]Hasbullah. 1996. KapitaselektaPendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, hlm: 102-103
No comments:
Post a Comment