BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pendidikan
mempunyai peran yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan
kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan juga menjadi tolak ukur
kemajuan suatu bangsa, dan menjadi cermin kepribadian masyarakatnya. Dalam
konteks ini Mohammad Noer Syam dalam bukunya Filsafat Pendidikan,
mengemukakan bahwa:
“Hubungan masyarakat dengan pendidikan menampakkan hubungan
korelasi positif. Artinya, pendidikan yang maju dan modern akan menghasilkan
masyarakat yang maju dan modern pula. Sebaliknya pendidikan yang maju dan
modern hanya ditemukan dan diselenggarakan oleh masyarakat maju dan modern.”[1]
Memang bangsa yang maju selalu diawali dengan keberhasilan di
bidang pendidikannya, sebab pendidikanlah yang mencetak sumber daya manusia
(SDM) yang pada prinsipnya sebagai penggerak roda pemerintahan. Kalau demikian,
mustahil negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman
dan Perancis maju tanpa dimulai dengan keberhasilan di bidang pendidikan.[2]
Dunia pendidikan Islam dengan pendidikan pada umumnya,
kadang-kadang memang mempunyai persamaan dan kadang-kadang mempunyai perbedaan.
Persamaan akan timbul karena sama-sama berangkat dari dua arah pendidikan yakni
dari diri manusia sendiri yang memang fitrahnya untuk melakukan proses
pendidikan, kemudian adalah dari budaya yakni masyarakat yang memang
menginginkan usaha warisan nilai, maka semuanya memerlukan pendidikan.[3]
Mengenai
pendidikan agama itu sendiri (Islam) pada dasarnya cukup mewarnai perjalanan
bangsa Indonesia, apalagi bila dilihat dari dimensi historis, sebelum
pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Barat yang
sekuler, diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan
formal yang ada di Indonesia, dan hal ini berlangsung berabad-abad lamanya.
Karena itulah dalam perjalanan dan perkembangan berikutnya pendidikan agama
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, kendatipun dalam operasionalnya senantiasa
mengalami pasang surut dengan segala dinamikanya. Tetapi yang jelas pendidikan
agama merupakan mata pelajaran pokok atau wajib dari saruan pendidikan yag
diajarkan mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi.
Pendidikan
nasional menggalakkan potensi individu secara menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan
insan yang seimbang dan harmonis dari segi intelektual, rohani dan iman,
berdasarkan kepada kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memang
adanya penekanan di bidang pembentukan manusia seutuhnya baik jasmani maupun
rohani dalam sistem pendidikan nasioanl merupakan ciri pendidikan Islam. Karena
itu, dalam kurikulum pendidikan, pendidikan keagamaan merupakan bagian terpadu
yang dimuat dalam kurikulum pendidikan maupun yang melekat pada setiap mata
pelajaran sebagai bagian dari pendidikan nilai.
Oleh sebab itu, nilai-nilai agama akan selalu memberikan corak dan
warna kepada pendidikan nasional di Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian dari pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
pengembangan pendidikan Islam?
3.
Bagaimana
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?
4.
Apakah
fungsi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian pendidikan Islam.
2.
Untuk
mengetahui pengembangan pendidikan Islam.
3.
Untuk
mengetahui pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.
4.
Untuk
mengetahui fungsi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam menurut Zarkowi Soejoeti terbagi dalam tiga pengertian. Pertama,
“Pendidikan Islam” adalah jenis pendidikan yang pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk
menjewantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya,
maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Di sini kata Islam
ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan
pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus menjadikan
ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di
sini kata Islam ditempatkan sebagai
bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagai ilmu yang lain.
ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata
Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang
ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan.[4]
Ciri khas pendidikan Islam itu ada dua macam : (1) Tujuannya : Membentuk individu menjadi bercorak diri tertinggi menurut
ukuran Allah. (2) Isi pendidikannya : ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam Al
Qur’an yang pelaksanaannya dalam praktek hidup sehari-hari dicontohkan oleh
Muhammad Rasulullah SAW.
Teori-teori pendidikan Islam yang
berkembang di Indonesia secara umum mendefinisikan pendidikan Islam dalam dua
tataran : idealis dan pragmatis. Pada tataran idealis,
pendidikan Islam diandaikan sebagai suatu sistem yang independen (eksklusif)
dengan sejumlah kriterianya yang serba Islam. Definisi ini secara kuat
dipengaruhi oleh literatur Arab yang masuk ke Indonesia baik dalam bentuk teks
asli, terjemahan, maupun sadurannya. Sedangkan pada tataran pragmatis,
pendidikan Islam ditempatkan sebagai identitas (ciri khusus) yang tetap berada
dalam konteks pendidikan nasional. Perkembangan-perkembangan aktual di
Indonesia khususnya selama tiga dekade terakhir sangat mempengaruhi munculnya
definisi pragmatis ini.[5]
Penulis-penulis Indonesia kontemporer berusaha
menjelaskan definisi pendidikan Islam dengan melihat tiga kemungkinan hubungan
antara konsep pendidikan dan konsep Islam. Dilihat dari sudut pandang kita
tentang Islam yang berbeda-beda, istilah pendidikan Islam tersebut dapat
dipahami sebagai :
1.
Pendidikan (menurut) Islam,
2.
Pendidikan (dalam) Islam,
3.
Pendidikan (agama) Islam.
Dalam
hubungan yang pertama, pendidikan Islam bersifat normatif, sedang dalam
hubungan yang kedua, pendidikan Islam lebih bersifat sosio-historis. Adapun
dalam hubungan yang ketiga, pendidikan Islam lebih bersifat proses-operasional
dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam. Dalam kerangka akademik,
pengertian yang pertama merupakan lahan filsafat pendidikan Islam, dan
pengertian yang ketiga merupakan kawasan ilmu pendidikan Islam teoritis.
2.2.
Pengembangan Pendidikan Islam
Kajian-kajian
historis menunjukkan bahwa sampai abad ke-19, pendidikan Islam, dalam bentuk
masjid dan pesantren, masih menjadi lembaga pendidikan yang dominan bagi
masyarakat Indonesia. Pergeseran mulai terjadi pada masa penjajahan. Sekitar tahun 1865 masyarakat pribumi, khususnya
di Jawa, disediakan model pendidikan yang dirancang berdasarkan kebijakan
pemerintah Hindia-Belanda. Kebijakan ini pada awalnya untuk mempersiapkan
kalangan pribumi menjadi pegawai gubernurmen (kantor-kantor pemerintah
Hindia-Belanda). Pola pendidikan yang dijalankan pemerintah Hindia-Belanda
untuk kepentingan ini sama sekali bukan merupakan penyesuaian-penyesuaian
terhadap sistem pendidikan Islam pada masa itu, tetapi malah lebih menyerupai
sekolah-sekolah zending yang berkembang di wilayah Minahasa dan Maluku.
Menurut
Karel A. Steenbrink sebagaimana yang ditulis M. Ali Hasan-Mukti Ali Alasan-alasan tidak dipakainya sistem pendidikan
Islam oleh pemerintah Hindia-Belanda itu semata-mata karena pertimbangan aspek
didaktis-metodiknya yang tidak baik.[6]
Terlepas
dari alasan itu, sangat boleh jadi penyebab utama diasingkannya sistem
pendidikan Islam karena kemungkinan konsekuensinya tidak menguntungkan
kepentingan politik Hindia-Belanda, karena dalam prakteknya pendidikan Islam
lebih menekankan kepada aspek keimanan dan keyakinan dalam beragama. Praktek
pendidikan seperti ini memberi rangsangan dan motivasi untuk melawan penjajah
dan pemerintahan kafir.
Pemberlakuan
pendidikan pribumi oleh pemerintah Hindia-Belanda dapat dianggap awal dari
dualisme sistem pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan Islam tetap
berjalan sesuai dengan karakternya dan secara tradisional menjadi andalan
masyarakat Indonesia, khususnya kaum muslimin. Sementara sistem pendidikan
pribumi ala Belanda terus berkembang dan menjadi pusat pengajaran dan pelatihan
bagi kaum elit pribumi yang mempunyai hubungan dengan pemerintah
Hindia-Belanda. Dan dalam perkembangannya, dualisme pendidikan ini membawa
orientasi wawasan masyarakat Indonesia yang terbelah sesuai dengan
karakter masing-masing pendidikan yang ditempuhnya. Namun demikian, orientasi
kaum terpelajar yang berlatar pendidikan ala Belanda secara politis lebih siap
menangani masalah-masalah kenegaraaan, karena pola pendidikannya sejak awal
mempersiapkan mereka untuk menjadi tenaga-tenaga pemerintah.
Kesadaran
perlunya mengembangkan orientasi pendidikan Islam yang menyangkut
masalah-masalah sosial politik dan ekonomi (keduniawian) akhirnya muncul di
kalangan kaum muslimin. Hal ini kemudian mendorong dilakukan penyesuaian
pendidikan Islam, kurikulum, kelembagaan dan sistem pengajarannya.[7]
Upaya penyesuaian
pendidikan Islam tersebut terbukti dengan perkembangan modern secara luas
dilakukukan baik di Minangkabau maupun di Jawa seperti oleh Muhammadiyah, dan
Jam’iat Khair di Jakarta.
Masalah
pendidikan Islam baru muncul pada segi lingkup sejauh mana pendidikan
Islam dikembangkan. Apakah terbatas pada pendidikan Islam dalam pengertian
agama secara murni, atau pendidikan Islam dalam pengertian sistem yang
mengajarkan berbagai aspek kehidupan yang berdasarkan agama. Hal ini
menjadi serius karena akan sangat menentukan pola dan sistem pendidikan
nasional secara menyeluruh. Kalangan Islam berpendapat bahwa pendidikan Islam
harus dikembangkan di Indonesia sejauh mungkin, sementara kalangan non-Islam
membatasinya dalam lingkup pengajaran agama. Namun demikian, akhirnya
ketentuan-ketentuan yang lebih tegas tentang pendidikan agama dalam pendidikan
nasional telah direkomendasikan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat
(BPKNP), antara lain :
1.
Pelajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada
jam pelajaran sekolah.
2.
Para guru dibayar oleh pemerintah.
3.
Pada sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai
kelas IV.
4.
Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali
pada jam tertentu.
5.
Para guru diangkat oleh Departemen Agama.
6.
Para guru agama diharuskan juga cakap dalam
pendidikan umum.
7.
Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama.
8.
Diadakan latihan bagi guru agama.
9.
Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
10. Pengajaran
bahasa Arab tidak dibutuhkan.[8]
Berdasarkan
rekomendasi itu, pendidikan Islam berarti sangat terbatas pada pengajaran agama
di sekolah mulai kelas IV, waktunya pun seminggu sekali, dan tidak termasuk
pelajaran bahasa Arab. Dalam rekomendasi itu, pendidikan Islam dalam pengertian
lembaga seperti pesantren dan madrasah tidak mendapat perhatian khusus, kecuali
kalimat nomor 9 : kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
2.3.
Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan Islam di Indonesia sebagai subsistem pendidikan
nasional, secara emplisit akan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia
Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat kita pahami dari hasil rumusan
seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian bahwa
pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan
jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih,
mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Dalam hal ini Ahmad D.
Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam.[9]
Dengan melihat
kedua tujuan pendidikan di atas, baik tujuan pendidikan nasional maupun tujuan
pendidikan Islam, tampaknya ada dua dimensi kesamaan yang ingin diwujudkan,
yaitu:
a.
Dimensi
transendental (lebih dari hanya sekedar ukhrawi) yang berupa ketakwaan,
keimanan dan keikhlasan.
b.
Dimensi
duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarananya, seperti pengetahuan,
kecerdasan, keterampilan, keintelektualan dan sebagainya.
Dengan demikian
keberhasilan pendidikan Islam akan membantu terhadap keberhasilan pendidikan
nasional. Juga sebaliknya keberhasilan pendidikan nasional secara makro turut
membantu pencapaian tujuan pendidikan Islam. Sebab itu keberadaan lembaga
pendidikan Islam oleh pemerintah dijadikan mitra untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan undang-undang
yang mengatur penyelenggaraan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana
dikehendaki oleh UUD 1945. Melalui proses penyusunannya sejak tahun 1945,
ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya sampai tahun 1989, tampaknya
undang-undang tersebut juga merupakan puncak dari usaha mengintegrasikan
pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional, sebagai usaha untuk
menghilangkan dualisme sistem pendidikan yang selama ini masih berjalan.
Karenanya, masalah-masalah pendidikan terutama yang menyangkut kurikulum
pendidikan, maka semuanya di bawah koordinasi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Dengan demikian
berarti UU No. 2 Tahun 1989 tersebut merupakan wadah formal terintegrasinya
pendidikan Islam dalan sistem pendidikan nasional dan dengan adanya wadah
tersebut, pendidikan Islam mendapatkan peluang serta kesempatan untuk terus
berkembang.
Adanya peluang dan kesempatan untuk berkembangnya pendidikan Islam
secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional tersebut dapat kita lihat
pada pasal-pasal, seperti berikut ini:[10]
1.
Di
dalam pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Kenyataannya
tidak bisa dipungkiri, bahwa pendidikan Islam baik sebagai sistem maupun
kelembagaannya, merupakan warisan budaya bangsa, yang berurat akar pada
masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan Islam
akan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.
2.
Pada
pasal 4 diungkapkan tentang tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk
mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Apa
yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional tersebut terutama yang
menyangkut nilai-nilai dan aspek-aspeknya, sepenuhnya adalah nilai-nilai dasar
ajaran Islam, tidak ada yang bertentangan dengan tujuan pendidikan Islam.
Oleh
karena itu, perkembangan pendidikan Islam akan mempunyai peran strategis dan
menentukan dalam keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.
3.
Selanjutnya
pada pasal 10 dinyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur
pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan
keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.
Menurut
ajaran Islam, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama,
yang berperan besar dalam upaya pembentukan kepribadian anak.
Dengan
masuknya lembaga pendidikan keluarga menjadi bagian dasar sistem pendidikan
nasional, maka pendidikan keluarga muslim pun menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari sistem pendidikan nasional yang berlaku.
4.
Pada
pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa jenis pendidikan yang termasuk jalur
pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan,
pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik dan pendidikan profesional.
Yang
dimaksud dengan pendidikan agama sebagaimana yang dijelaskan pada ayat tersebut
adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang
bersangkutan.
Kita
mengetahui bahwa setiap orang Islam berkepentingan dengan pengetahuan tentang
ajaran-ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan,
moral dan sosial budayanya. Oleh karenanya, pendidikan Islam dengan
lembaga-lembaganya, tidak bisa dipisahkan dari sisten pendidikan nasional.
5.
Sementara
itu pada pasal 39 ayat 2 dinyatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis dan jalur
serta jenjang pendidikan, wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama
dan pendidikan kewarganegaraan.
Berkenaan
dengan ini, dijelaskan bahwa pendidikan agama (termasuk pendidikan agama Islam)
merupakan bagian dari dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional, dan dengan
demikian pendidikan agama Islam pun terpadu dalam sistem pendidikan nasional.
Kenyataan
tersebut pada dasarnya cukup menguntungkaan bagi pendidikan Islam, sebab
posisinya akan tambah kuat. Kalau selama ini mungkin pendidikan agama merasa
tersisih, dengan UU Nomor 2 tahun 1989 ini status pendidikan agama adalah sama
kuatnya.
6.
Kemudian
pasal 47, terutama ayat 2 dinyatakan bahwa ciri khas satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. Dengan pasal ini,
satuan-satuan pendidikan Islam baik yang berada pada jalur sekolah maupun pada
jalur luar sekolah akan tetap tumbuh dan berkembang secara terarah dan terpadu
dalam sistem pendidikan nasional.
Sehubungan
dengan satuan pendidikan yang berciri khas ini, pada Peraturan Pemerintah No.
28 tahun 1990, tentang Pendidikan Dasar, pasal 4 ayat 3 ditegaskan bahwa SD dan
SLTP yang berciri khas Agama Islam, yang diselenggarakan oleh Departemen Agama,
masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Dengan
demikian madrasah diakui sama dengan sekolah umum, dan merupakan satuan
pendidikan yang terintegarasi dalam sisteeem pendidikan nasional.
Demikianlah bagaimana posisi pendidikan Islam dalam kerangka Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam konteks ini yang mungkin jadi pertanyaan adalah
mengapa sistem pendidikan Islam diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan
nasional. Secara konsepsional, sistem pendidikan nasional sebagaimana
dikehendaki oleh UUD 1945, adalah sejalan atau paling tidak, tidak ada
pertentangannya dengan konsep dasar pendidikan Islam.
2.4.
Fungsi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Secara eksplisit fungsi
pendidikan agama telah dituangkan dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU Nomor 2
Tahun 1989, yang menyebutkan “pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat
iaman dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama yang
dianut peserta didiknya yang bersangkutan, dengan memperhatikan tuntutan untuk
menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam
masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[11]
Dari rumusan tersebut, tampaknya terdapat konsistensi dan
keterkaitan langsung antara rumusan fungsi pendidikan agama dengan tujuan
pendidikan nasional yang tertuang pada pasal 4 UU Nomor 2 tahun 1989 yaitu: “Mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa…”
Dalam upaya membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa,
maka pendidikan agama memiliki peranan yang sangat penting. Untuk itulah maka
pendidikan agama wajib diberikan pada semua satuan, jenjang dan jenis
pendidikan, baik melalui jalur sekolah maupun jalur luar sekolah.[12]
Gambaran tentang peranan madrasah dan pondok pesantren adalah
sebagai berikut:[13]
1.
Madrasah
dan pondok pesantren telah menunjukan kemampuanya untuk tumbuh dan berkembang
dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, serta kemampuanya untuk memasuki
pelosok daerah terpencil disamping kemampuanya untuk tetap tumbuh dan
berkembang di daerah perkotaan yang modern dan sangat maju.
2.
Madrasah
dan pondok pesantren sebagian besar adalah perguruan swasta yang berkemampuan
tinggi untuk berswakarsa dan berswakarya dalam menyelenggarakan pendidikan.
Dengan kata lain, madrasah dan pondok pesantren telah menunjukan kemampuanya
untuk tumbuh dan berkembang diatas kemampuan kekuatan sendiri, dengan
memobilisasi sumber daya yang tersedia di masyarakat pendukungnya.
3.
Madrasah
dan pondok pesantren yang memiliki ciri khas sebagai pusat pendidikan,
pengembangan dari penyebaran agama Islam, diharapkan dan telah membuktikan diri
dapat menghasilkan keluaran atau out put yang berkualitas dan potensial untuk
menjadi pendidik, khususnya di bidang pendidikan agama Islam.
4.
Madrasah
dan pondok pesantren memiliki potensi yang cukup besar untuk bersama-sama
satuan pendidikan lainnya di dalam system pendidikan nasional untuk menuntaskan
wajib belajar tingkat SLTP dan pelaksana pendidikan dasar 9 tahun. Dan atas
dasar inilah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah merupakan lembaga
pendidikan dasar.
Adapun madrasah umumnya didirikan atas inisiatif masyarakat Islam
yang tujuan umumnya adalah untuk mendidik para peserta didik memahami dan
mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Dengan dikeluarkanya PP Nomor 28
tahun 1990 dimana pada pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa SD dan SLTP yang
berciri khas agama Islam yang dikelola oleh Departemen Agama disebut Madrasah
Ibtidaiah dan Madrasah Tsanawiyah. Dengan kenyataan ini, tugas dan fungsi MI
dan MTs menjadi ganda, yaitu:
1.
Sebagai
sekolah pendidikan Islam
2.
Sebagai
sekolah pendidikan dasar.
Karenanya,
keberdayaan fungsi Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah makin kuat dan
penting.
Dengan keadaan yang demikian, orang tidak bisa lagi menomor duakan
lembaga-lembaga pendidikan agama, terlebih-lebih bila lembaga pendidikan agama
terutama madrasah mampu memacu diri dengan berupaya maksimal meningkatkan
kualitas dalam berbagai aspeknya, tidak mustahil madrasah nantinya akan menjadi
alternative pertama, pilihan masyarakat untuk memasukan anak-anaknya. Sebab
bagaimanapun disaat globalisasi melanda dunia seperti sekarang ini, nilai-nilai
etik dan moral sudah mulai luntur dan bergeser. Dalam konteks ini madrasah
sangat strategis untuk membendung arus demoralisasi yang sangat merugikan.[14]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pendidikan Islam terbagi dalam tiga pengertian. Pertama“Pendidikan Islam” sebagai
sumber nilai adalah jenis pendidikan yang pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan
nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya, maupun dalam
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Kedua,
“Pendidikan Islam” sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagai
ilmu yang lain adalah jenis pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus
menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang
diselenggarakan. Ketiga,
jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata Islam
ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan
melalui program studi yang diselenggarakan.
Pengembangan Pendidikan Islam lebih menekankan kepada aspek keimanan
dan keyakinan dalam beragama dan selanjutnya mengembangkan
orientasi pendidikan Islam yang menyangkut
masalah-masalah sosial politik dan ekonomi (keduniawian) yang kemudian
mendorong dilakukan penyesuaian pendidikan Islam, kurikulum, kelembagaan dan
sistem pengajarannya.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan
Nasional, merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalan sistem
pendidikan nasional dan dengan adanya wadah tersebut, pendidikan Islam
mendapatkan peluang serta kesempatan untuk terus berkembang.
Fungsi pendidikan agama telah dituangkan dalam penjelasan pasal 39
ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 1989, yang menyebutkan “pendidikan agama merupakan
usaha untuk memperkuat iaman dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sesuai
dengan agama yang dianut peserta didiknya yang bersangkutan, dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan
antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
D. Marimba, Ahmad. 1986. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung : PT. Al-Ma’arif.
Departemen Agama RI. 1992. Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Dirjen. Binbaga Islam.
Hasan,
Chalidjah. 1995. Kajian Perbandingan Pendidikan. Surabaya : Al-Ikhlas.
Hasan,
M. Ali dan Mukti Ali. 2003. Kapita Selekta Pendidikan (Jakarta : Pedoman
Ilmu Jaya,
Hasbullah.
1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Hasbullah. 2001. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Noer
Syam, Mohammad. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya : Usaha Nasional,.
[1] Mohammad Noer
Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila
(Surabaya : Usaha Nasional, 1986), hlm : 348.
[2] Hasbullah, Kapita
Selekta Pendidikan Islam (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm :
27.
[3] Chalidjah
Hasan, Kajian Perbandingan Pendidikan (Surabaya : Al-Ikhlas , 1995), hlm
: 49.
[4]
M. Ali Hasan
dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya,
2003), hlm : 45.
[5] Ibid, hlm: 46
[6] Ibid, hlm: 47
[7] Ibid, hlm: 48
[8] Ibid, hlm: 50
[9] Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung : PT.
Al-Ma’arif,1986), hlm: 23.
[10] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 1996), hlm: 30-33
[11]
Departemen
Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional
(Jakarta: Dirjen. Binbaga Islam, 1992), hlm: 41
[12] Hasbullah, Dasar-dasar
Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm: 177.
[13] Ibid, hlm: 178
[14] Ibid, hlm : 179
No comments:
Post a Comment