Friday, September 11, 2015

IQ, EQ, dan SQ bagi organisasi profesi



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Peran pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Jika sistem  pendidikannya berfungsi secara optimal maka akan tercapai kemajuan yang dicita-citakanya sebaliknya bila proses pendidikan yang dijalankan tidak berjalan secara baik maka tidak dapat mencapai kemajun yang dicita-citakan.
Namun di dalam dunia pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era globalisasi ini. Baik itu masalah yang bersifat internal maupun eksternal.
Pendidikan yang berhubungan dengan tingkat IQ, EQ, dan SQ seseorang adalah suatu upaya dalam membentuk suatu lingkungan untuk seseorang yang dapat merangsang perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya dan akan membawa perubahan yang diinginkan ke arah yang lebih baik dalam kebiasaan dan sikapnya. IQ, EQ dan SQ memegang peranan penting dalam kehidupan setiap individu baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. ketidakseimbangan antara IQ, EQ dan SQ dapat berdampak negatif baik terhadap individu yang bersangkutan maupun terhadap lingkungan sekitar.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana signifikasi IQ, EQ, dan SQ bagi organisasi profesi?
2.      Apa pengertian dari IQ, EQ, dan SQ?
3.      Bagaimana kontribusi IQ, EQ, dan SQ bagi perkembangan profesi?
4.      Bagaimana perkembangan organisasi profesi guru PAI?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui signifikasi IQ, EQ, dan SQ bagi organisasi profesi.
2.      Untuk mengetahui pengertian dari IQ, EQ, dan SQ.
3.      Untuk mengetahui kontribusi IQ, EQ, dan SQ bagi perkembangan profesi.
4.      Untuk mengetahui perkembangan organisasi profesi guru PAI.
























                                                                                                                                                                                                  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Signifikasi Perkembangan IQ, EQ, dan SQ Bagi Organisasi Profesi
Menurut Daniel Goleman bahwa orang yang mempunyai IQ tinggi tapi EQ rendah cenderung mengalami kegagalan yang lebih besar dibanding dengan orang yang IQ-nya rata-rata tetapi EQ-nya tinggi, artinya bahwa penggunaan EQ atau olahrasa justru menjadi hal yang sangat penting, di mana menurut Goleman dalam dunia kerja, yang berperan dalam kesuksesan karir seseorang adalah 85% EQ dan 15% IQ. Jadi, peran EQ sangat signifikan.[1]
Situasi yang kondusif untuk bekerja bisa dicipta/didesain melalui pemberian motivasi atau menumbuhkan motivasi diri sendiri dengan konsep bekerja yang berfokus pada kelebihan-kelebihan yang dimiliki setiap individu atau kecerdasan-kercerdasan di atas.
Kecerdasan intelektual (IQ) selama ini dipahami sebagai kecerdasan untuk mencerna berbagai masalah. Namun IQ tinggi belum tentu menjamin keberhasilan dan kebaikan seseorang, orang yang cerdas kadang juga bisa menjadi pengacau dan perusak. Banyak orang cerdas yang gagal menjadi pemimpin, orang-orang membangkang dan menentangnya. Pemimpin model ini hanya berfikir untuk mengatasi masalah, tetapi tidak berfikir membangun jembatan emosional dan empati dengan para individu yang dipimpinnya.[2]
Agar seseorang berhasil menapaki kehidupan secara baik dan sehat, dia tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ). Kalau IQ berhubungan dengan proses berfikir dan penalaran, maka EQ berkaitan dengan soal bagaimana seseorang membangun relasi dan pergaulan dengan sesama manusia. Faktor rasa dan emosional yang justru sangat berperan untuk keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Seorang individu akan lengkap keberadaannya jika mempunyai IQ, EQ, dan SQ. Jika hanya mempunyai salah satu atau sebagian saja maka seseorang kurang optimal dalam menjalani kehidupannya.
Dia tidak mampu memerankan diri secara baik sebagai khalifah di muka bumi. Seseorang yang mampu mendayagunakan ketiga kecerdasan itu secara seimbang kemungkinan besar akan mampu menggapai kehidupan yang damai dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Dunia kerja adalah dunia yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Dan setiap individu mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Hambatan dan peluang akan ditemui dalam mencapai cita-cita masa depan. Analisis SWOT merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk menelaah tingkat keberhasilan pencapaian cita-cita/karier.
“S” Strenght (Kekuatan), adalah sebuah potensi yang ada pada diri sendiri yang mendukung cita-cita/karier. “W” Weakness (Kelemahan), adalah seluruh kekurangan yang ada pada diri sendiri dan kurang mendukung cita-cita/karier. “O” Opportunity, (Peluang), adalah segala sesuatu yang dapat menunjang keberhasilan cita-cita/karier. “T” Traits (Ancaman), adalah segala sesuatu yang dapat menggagalkan rencana citacita/karier yang berasal dari diri sendiri atau lingkungan.
Pemecahan masalah dapat dilakukan dengan Zero Mind Proces yaitu melepas belenggu mental, maka emosi terkendali, akal/logika berpikir terjadi ketenangan batin, berserah diri kepada Tuhan. Maka potensi energi dan nilai spiritual muncul dan bangkit, tercipta dalam bentuk aplikasi nyata.
2.2  Pengertian IQ, EQ, dan SQ
Guilford (1967) terkenal dengan SOI-nya, structure of the intellect model. Ia menggolongkan kecerdasan dalam tiga dimensi, yakni operations (apa yang dilakukan orang), contents (materi atau informasi yang ditampilkan oleh operations), dan product (bentuk pemrosesan informasi). Sedangkan GARDENER (2002) memaparkan pengertian kecerdasan mencakup tiga faktor:
a.       Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia.
b.      Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan.
c.       Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang akan memunculkan penghargaan dalam budaya seorang individu.
Ada tiga bentuk kecerdasan yang ada pada manusia di antaranya adalah IQ, EQ, dan SQ.
A.    IQ (Intelligence Quotient)
Kemampuan intelektual merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah. Proses menerima, menyimpan, dan mengolah kembali informasi, (baik informasi yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman) biasa disebut "berfikir". Berfikir adalah media untuk menambah perbendaharaan/khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya, orang-orang di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, manusia berupaya mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya.
Intelegensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak  secara logis, terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Konsep intelegensi yang awalnya dirintis oleh Alfred Bined 1964, mempercayai bahwa kecerdasan itu bersifat tunggal dan dapat diukur dalam satu angka.
Adapun pengukuran/klasifikasi IQ:
1)      Very Superior: 130 lebih
2)      Superior: 120-129
3)      Brght normal: 110-119
4)      Average: 90-109
5)      Dull Normal: 80-89
6)      Borderline: 70-79
7)      Mental Defective: 69 and bellow 
Sedangkan ciri khas IQ (Intelligence Quotient) adalah logis, rasional, linier, dan sistematis. IQ menjadi fakultas rasional dalam kepribadian manusia. Dengan memiliki IQ yang baik dan terstandar maka masing-masing individu memiliki kemantapan pemahaman tentang potensi diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya sebagai pelaksana/pelaku profesi.
Kercerdasan itu multidimensional, banyak cabangnya.  Jadi tidak ada manusia yang bodoh, setiap manusia mempunyai rumpun kecerdasan. Potensi kreatifitas dapat muncul dan disalurkan dalam semua rumpun kecerdasan, maka setiap kehidupan manusia akan diperkaya melalui kecerdasan-kecerdasan di atas.  Setiap pelaksana atau pelaku profesi harus terdorong dan berpeluang melakukan eksplorasi kreatif dengan banyak cara (multi modalitas) yang cocok dengan karakteristik individu masing-masing. 
Frustasi dan kegagalan dalam bekerja dapat berkurang jika pelaku profesi mencari informasi dengan berbagai cara/strategi bekerja, dengan berbagai alternativ, banyak pikiran untuk keberhasilan dalam berkarya. Situasi yang kondusif untuk bekerja bisa dicipta/didesain melalui pemberian motivasi atau menumbuhkan motivasi diri sendiri dengan konsep bekerja yang berfokus pada kelebihan-kelebihan yang dimiliki setiap individu atau kecerdasan-kercerdasan di atas.      
B.     EQ (Emotional Quotient)
Emosi adalah letupan perasaan seseorang. Sedangkan pengertian EQ (Emotional Quotient)/kecerdasan emosi adalah:
1)      Kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik, dan berhubungan dengan orang lain. (Daniel Goldman).
2)      Kemampuan mengerti dan mengendalikan emosi (Peter Salovely dan John Mayer).
3)      Kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan, ketajaman, emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh (Cooper dan Sawaf).
4)      Bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan adaptasi sosial (Seagel).  
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. EQ juga merupakan kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati.
Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya.
Adapun aspek EQ (Salovely dan Goldman) ada lima yaitu:
1)      Kemampuan mengenal diri (kesadaran diri).
2)      Kemampuan mengelola emosi (penguasaan diri).
3)      Kemampuan memotivasi diri.
4)      Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
5)      Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati). 
Sedangkan perilaku cerdas emosi antara lain:
1)      Menghargai emosi negativ orang lain.
2)      Sabar menghadapi emosi negativ orang lain.
3)      Sadar dan menghargai emosi diri sendiri.
4)      Emosi negativ untuk membina hubungan.
5)      Peka terhadap emosi orang lain.
6)      Tidak bingung menghadapi emosi orang lain.
7)      Tidak menganggap lucu emosi orang lain.
8)      Tidak memaksa apa yang harus dirasakan.
9)      Tidak harus membereskan emosi orang lain.
10)  Saat emosional adalah saat mendengarkan. 
          Dan EQ yang tinggi adalah sikap berempati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat.
          Emotional Quotient (EQ) mempunyai peranan penting dalam meraih kesuksesan pribadi dan profesional.  EQ dianggap sebagai persyaratan bagi kesuksesan pribadi. Alasan utamanya adalah masyarakat percaya bahwa emosi-emosi sebagai masalah pribadi dan tidak memiliki tempat di luar inti batin seseorang juga batas-batas keluarga. Dr. Daniel Goleman memberikan satu asumsi betapa pentingnya peran EQ dalam kesuksesan pribadi dan profesional:
1)       90% prestasi kerja ditentukan oleh EQ.
2)      Pengetahuan dan teknis hanya berkontribusi 4%.
Dari banyak penelitian didapatkan hasil atau pendapat bahwa individu yang mempunyai IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber-IQ rendah justru sangat perprestasi. Hal ini dikarenakan individu yang mempunyai IQ tinggi seringkali memiliki sifat-sifat yang buruk sebagai berikut:
1)   Yakin tahu semua hal.
2)   Sering menggunakan pikiran untuk menalar bukan untuk merasakan.
3)   Meyakini bahwa IQ lebih penting dari EQ.
4)   Sering membuat prioritas-prioritas yang merusak kesehatan diri sendiri.
Kemampuan akademik, nilai raport, predikat kelulusan perguruan tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang sesudah bekerja atau seberapa tinggi sukses yang akan dicapai.
C.    SQ (Spiritual Quotient)
Spiritual adalah inti dari pusat diri sendiri. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain.
Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas. SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. Kecerdasan spiritual sebagai sumber yang mengilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu.
Menurut Dimitri Mahayana, ciri-ciri orang yang ber-SQ tinggi adalah:
1.      Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
         Prinsip merupakan pedoman berperilaku, yang berupa nilai-nilai permanen dan mendasar. Ada 3 prinsip utama bagi orang yang tinggi spiritualnya, yakni:
a.       Prinsip kebenaran
b.      Prinsip keadilan
c.       Prinsip kebaikan
2.      Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.
3.      Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
4.      Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.
2.3  Perkembangan Profesi
A.    Kontribusi IQ Bagi Profesi
Keberhasilan manusia menurut pendapat umum dipengaruhi oleh peran besar kecerdasan intelektual atau IQ. Artinya hanya mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, akademis, matematis saja yang mampu mewujudkan keberhasilan seseorang termasuk keberhasilan dalam pekerjaan. Kepintaran banyak dimanfaatkan dalam dunia kerja misalnya dalam level manajemen atas sebagai pihak perencana strategis yang akan menentukan nasib organisasi di masa depan. Kemampuan untuk menyusun program-program jangka panjang, prediksi ke masa depan, menyusun perkiraan-perkiraan strategis, memerlukan kemampuan intelektual tinggi untuk keperluan analisis-analisis mendalam. Hal ini memerlukan intelegensi baik agar segala yang ingin diraih dapat terwujud dengan efektif.
Demikian juga untuk manajemen teknis dan operasional diperlukan kemampuan yang tinggi untuk mensukseskan program-program strategis yang telah disusun oleh top manajemen. Kebanyakan perusahaan memanfaatkan orang-orang yang ber-IQ tinggi dengan memanfaatkan seleksi awal berupa tes kecerdasan intelegensi. Harapan dari perlakuan seleksi seperti ini adalah memperoleh tenaga-tenaga yang berkualitas yang dapat membangun perusahaan ke arah pencapaian kinerja tinggi. Banyak dari mereka yang berhasil lulus dalam seleksi berbasis IQ ini memiliki kinerja yang tinggi dan mendapat karir baik dalam pekerjaannya. Dengan demikian menurut teori kecerdasan kognitif, bahwa IQ seseorang berpengaruh positif terhadap kesuksesan di dalam bekerja dan berkarir. Walaupun IQ adalah tolak ukur dari kepintaran seseorang, IQ bukan merupakan satu-satunya indikator kesuksesan.
IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan. Untuk itu seseorang yang ber-IQ tinggi, belum tentu mutlak akan berhasil memecahkan permasalahan-permasalahan di dalam dunia kerja yang kompleks, tetapi perlu adanya sisi cerdas lain dari diri karyawan tersebut.
B.     Kontribusi EQ Bagi Profesi
Goleman seorang peneliti ilmu-ilmu perilaku dan otak, Doktor dari Harvard University, menyatakan bahwa IQ hanya berpengaruh 5-10 % terhadap keberhasilan, sisanya adalah faktor kecerdasan lain. Lebih lanjut Goleman menyatakan faktor kecerdasan penting yang lain tersebut adalah Emotional Quotient (EQ). EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia. Di dalamnya terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan, ketekunan, menjalin hubungan sosial.[3]
Jika pekerja memiliki kecerdasan rata-rata, sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika adanya kepercayaan terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada orang lain, ketabahan menghadapi beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan kontak-kontak sosial dalam kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi rata-rata menuju tingkat prestasi yang lebih baik. Sebuah penelitian pada hampir 42.000 orang di 36 negara dan mengungkapkan hubungan positif antara kecerdasan emosional dan kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan. Ini menunjukkan bahwa seorang karyawan juga akan berhasil jika di dalam diri mereka terbentuk nilai-nilai EQ yang tinggi.
Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa IQ dapat digunakan untuk memperkirakan sekitar 1-20 % keberhasilan dalam pekerjaan, EQ di sisi lain berperan 27-45 % berperan langsung dalam keberhasilan pekerjaan. Jan Derksen dan Theodore Bogels di Belanda dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan yakni orang-orang yang ber-EQ tinggi dengan kemampuan menghasilkan banyak uang. Penciptaan kesadaran akan EQ ini seperti merupakan penciptaan akan aspek afeksi karyawan untuk siap terjun dalam dunia kerja yang penuh dengan tantangan dan kompetisi tinggi, stress, sehingga memerlukan pengelolaan emosional yang baik.
Seorang pakar sekaligus pengamat sumber daya manusia, Perlindungan Marpaung memberikan solusi untuk mengelola emosional dalam bekerja. Ketika tuntutan EQ menjadi fokus utama dalam pemberdayaan karyawan dalam rangka jenjang karier seseorang maupun pengembangan pribadinya, tentu menjadi satu hal yang menakutkan bagi seseorang setelah dia menyadari bahwa EQnya tidak terlalu menonjol.
Satu hal yang paling berbahaya adalah ketika seseorang tidak menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan bangga dengan gelar/pengetahuan yang dimilikinya (IQ). Oleh karena itu, perlu beberapa langkah praktis untuk membangkitkan kesadaran ini dan meningkatkan kecerdasan emosi menuju kecakapan emosi yang maksimal di tempat kerja. EQ tidak ada yang permanen, dalam arti kata dapat diubah (ditingkatkan) dan inilah tekad pertama untuk memulai langkah pertama.
Pertama, mengenal kekuatan dan kelemahan diri terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa cara dapat dilakukan, di antaranya dengan meminta feedback (umpan balik) dari orang lain (terutama rekan terdekat) tentang tingkah lakunya selama ini. Tingkah laku yang sudah proporsional dipertahankan dan ditingkatkan, sementara yang dirasa kurang dan tidak profesional sebagai seorang karyawan/pimpinan harus diubah (transformasi diri).
Kedua, bergaul dan berelasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan karakter.
Ketiga, belajar setia dan komitmen terhadap tugas-tugas yang sudah disepakati bersama serta dilakukan dengan konsisten.
Keempat, mengurangi waktu untuk sibuk mengurusi orang lain, termasuk yang memiliki kegemaran menyebar gosip dan rumor di kantor.
Kelima, bertingkah laku asertif yaitu menyatakan benar kalau benar dan salah jika salah. Hal itu dilakukan tentu berdasarkan koridor-koridor dan etika perusahaan yang profesional. Karyawan/pimpinan yang safety player demi menyelamatkan kedudukan/fasilitas yang dimilikinya dan membiarkan kondisi yang merusak tatanan perusahaan tetap berlangsung menunjukkan kekerdilan kecerdasan emosinya.
Keenam, terus belajar baik melalui pengalaman pekerjaan sehari-hari, membaca buku pengembangan diri, mengikuti pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan yang sifatnya soft skill.
Ketujuh, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dalam doa permohonan dan ucapan syukur.
BC. Forbes (Founder Forbes) pernah mengemukakan bahwa bekerja merupakan hidangan utama kehidupan, sedangkan kesenangan merupakan hidangan penutup. Lebih memuaskan menjadi sopir truk no. I, daripada jadi eksekutif peringkat kesepuluh.
C.    Kontribusi SQ Bagi Profesi
Dalam hal ini nilai-nilai SQ juga berperan penting akan pembentukan prestasi kerja secara umum. Kesalahan selama ini adalah pendewaan akan IQ walau sebenarnya terdapat kecerdasan lain yang perlu diseimbangkan untuk sebuah kesuksesan. Sekularisasi pemikiran masyarakat mengarahkan orang-orang untuk mengejar kesuksesan secara fisikal dan material, seperti karier, jabatan, kekuasaan, dan uang. Orientasi materi dan pemisahan seperti ini dapat menjadi sebab tumbuhnya pemikiran pesimisme bagi mereka yang memiliki kecerdasan rata-rata, lalu melakukan tindakan tidak etis untuk meraih sebuah kesukesan material.[4]
Kesombongan dapat terjadi bagi mereka yang berintelektual tinggi atau mereka yang pintar, tidak menghargai bawahan jika menjadi pemimpin. Kondisi lain, mereka yang terlibat dalam kehidupan material baik bagi yang pintar ataupun tidak, adalah kemudahan untuk tidak bisa bertahan akan benturan permasalahan kerja, mudah frustasi, stress akibat tidak adanya keseimbangan spiritual di dalam diri manusia-manusia modern. Untuk itu kecerdasan spiritual perlu ada di dalam diri seseorang dalam meraih kesuksesan. Danah Zohar dan Ian Marshal mengartikan SQ sebagai pemahaman akan nilai dan kesadaran, Agustian juga mengkaitkannya dengan masalah ketuhanan.
Seorang karyawan perlu menyadari nilai-nilai kehidupan yang integralistik tidak hanya pada masalah material tapi juga spiritual. Intinya bekerja adalah penting bagi kehidupan dan merupakan ibadah bagi yang melakukannya. Seorang karyawan yang pintar tetap memerlukan SQ, atau jika kemampuan seseorang kurang dapat ditutupi dengan keyakinan adanya Allah yang menolong yakni pada saat keikhlasan bekerja ada di dalam diri. Aspek fisiknya, prestasi hanya dapat dicapai hanya dengan bekerja keras, ketekunan, ketabahan ditambah dengan IQ yang ada pada diri seseorang.
2.4 Pengembangan Organisasi Profesi Guru PAI
A.    Kontribusi Organisasi Pemerintah Bagi Profesi
Organisasi profesi adalah suatu organisasi, yang biasanya bersifat nirlaba, yang ditujukan untuk suatu profesi tertentu dan bertujuan melindungi kepentingan publik atau anggotanya maupun profesional pada bidang tersebut. Organisasi profesi juga merupakan organisasi yang anggotanya adalah para praktisi yang menetapkan diri mereka sebagai profesi dan bergabung bersama untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat mereka laksanakan dalam kapasitas mereka sebagai  individu.
Sedangkan organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.[5] Organisasi profesi guru yang termasuk di dalamnya terdapat berbagai kegiatan, seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG).
1)      MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran.
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) didirikan atas anjuran pejabat-pejabat Departemen Pendidikan Nasional. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan profesionalisasi dari guru dalam kelompoknya atau bidangnya masing-masing.[6]
Peningkatan profesionalisme guru dalam MGMP digunakan antara lain adalah pertama, untuk pertemuan (silaturrahim) antara sesama profesi guru yang mempunyai keahlian yang sama untuk saling mengenal, bertukar fikiran dan berdiskusi berkaitan dengan bidangnya. Kedua, sebagai forum khusus yang difungsikan untuk memecahkan berbagai problem yang menyangkut keprofesian.
2)      KKG (Kelompok Kerja Guru).
Kelompok Kerja Guru (KKG) sebagai kelompok kerja seluruh guru dalam satu gugus. Pada tahap pelaksanaannya dapat dibagi ke dalam kelompok kerja guru yang lebih kecil, yaitu kelompok kerja guru berdasarkan jenjang kelas, dan kelompok kerja guru berdasarkan atas mata pelajaran.
Tujuan organisasi Kelompok Kerja Guru (KKG) yaitu :
a.       Memfasilitasi kegiatan yang dilakukan di pusat kegiatan guru berdasarkan masalah dan kesulitan yang dihadapi guru.
b.      Memberikan bantuan profesional kepada para guru kelas dan mata pelajaran di sekolah.
c.       Meningkatkan pemahaman, keilmuan, keterampilan serta pengembangan sikap profesional berdasarkan kekeluargaan dan saling mengisi (sharing).
d.      Meningkatkan pengelolaan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan (Pakem).
Melalui KKG ini dapat dikembangkan beberapa kemampuan dan keterampilan mengajar, seperti yang di ungkapkan Turney bahwa keterampilan mengajar guru sangat mempengaruhi terhadap kualitas pembelajaran di antaranya; keterampilan bertanya, keterampilan memberi penguatan, keterampilan mengadakan variasi, keterampilan menjelaskan, keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil dan perorangan.
Beberapa contoh organisasi profesi secara umum adalah PGRI, ISPI, ISMaPI, dan lain-lain.[7]
1)      PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia)
PGRI adalah sebuah organisasi profesi kependidikan yang lahir tanggal 25 November 1945, hanya berselang tiga bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932. Pada saat didirikannya, organisasi ini di samping memiliki misi profesi juga ada tiga misi lainnya, yaitu misi politis-ideologis, misi peraturan organisatoris, dan misi kesejahteraan.[8]
PGRI bersifat: unitaristik, tanpa memandang perbedaan ijazah, tempat bekerja, kedudukan, suku, jenis kelamin, agama, dan asal usul, independent, yang berdasarkan pada prinsip kemandirian organisasi dengan mengutamakan kemitrasejajaran dengan berbagai pihak. Nonpartai politik, bukan partai politik, tidak terkait atau mengikat diri pada kekuatan organisasi/partai politik manapun. Anggota PGRI adalah warga Negara Republik Indonesia, khususnya para guru dan tenaga kependidikan lainnya yang secara sukarela mengajukan permohonan menjadi anggota serta memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Anggaran Rumah Tangga.
2)      ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia)
ABKIN adalah organisasi profesi untuk para konselor di Indonesia. Asosiasi ini memberikan lisensi melalui proses sertifikasi bagi para konselor tertentu sebagai tanda bahwa yang bersangkutan berwenang menyelenggarakan konseling dan pelatihan bagi masyarakat umum secara resmi. Asosiasi ini didirikan pada tahun 2003 dalam kongres nasional di Lampung seiring upaya memperkuat konselor sebagai suatu profesi sebagai pengganti Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) yang merupakan organisasi profesi yang menaungi petugas bimbingan dan konseling sebelumnya. Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) didirikan di Malang pada tanggal 17 Desember 1975. Organisasi profesi kependidikan yang bersifat keilmuan dan profesioal ini berhasrat memberikan sumbangan dan ikut serta secara lebih nyata dan positif dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai guru pembimbing.
Organisasi ini merupakan himpunan para petugas bimbingan se-Indonesia dan bertujuan mengembangkan serta memajukan bimbingan sebagai ilmu dan profesi dalam rangka peningkatan mutu layanannya. Secara rinci tujuan didirikannya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) adalah sebagai berikut:
a.       Menghimpun para petugas di bidang bimbingan dalam wadah organisasi.
b.      Mengidentifikasi dan mengiventarisasi tenaga ahli, keahlian dan keterampilan, teknik, alat dan fasilitas yang telah dikembangkan di Indonesia.
c.       Meningkatkan mutu profesi bimbingan, dalam hal ini meliputi peningkatan profesi dan tenaga ahli, tenaga pelaksana, ilmu bimbingan sebagai disiplin, maupun program layanan bimbingan (Anggaran Rumah Tangga IPBI, 1975).[9]
ABKIN memiliki tujuan menyukseskan pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan dengan jalan memberikan sumbangan pemikiran dan menunjang pelaksanaan program yang menjadi garis kebijakan pemerintah, selain itu juga mengembangkan serta memajukan bimbingan dan konseling sebagai ilmu dan profesi yang bermartabat dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
3)      ISPI
ISPI didirikan pada tanggal 17 Mei 1960 yang berkedudukan di Jakarta. Pada awalnya organisasi profesi kependidikan ini bersifat regional karena berbagai hal menyangkut komunikasi antar anggotanya.[10]
ISPI memiliki tujuan untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran kepada pembangunan pendidikan nasional secara profesional agar lebih terarah, berhasil guna, dan berdaya guna melalui pembangunan dan penerapan ilmu pendidikan untuk kemajuan dan kepentingan bangsa dan negara. 
4)      ISMaPI (Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Islam)
ISMaPI adalah organisasi profesi yang independent tampil sebagai pionir dan fasilitator dalam upaya peningkatan dan pengembangan manajemen pendidikan di Indonesia melalui pengembangan disiplin, profesi, dan praktik manajemen pendidikan. ISMaPI lahir untuk melanjutkan cita-cita Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN) dalam menghimpun para ahli profesional dan praktisi di bidang manajemen pendidikan. ISMaPI bertujuan untuk:[11]
a.       Meneliti, menciptakan, mengembangkan, dan menyebarluaskan sitem manajemen pendidikan yang profesional, unggul dan bermutu dalam rangka mengembangkan disiplin manajemen pendidikan.
b.      Menata, membina dan melindungi profesi di bidang manajemen pendidikan, dan
c.       Memberdayakan sistem manajemen pendidikan yang profesional, unggul dan bermutu.
B.     Kontribusi Organisasi Non Pemerintah (LSM)
Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Organisasi ini dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah. Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sebagai berikut:
1.      Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara.
2.      Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan.
3.      Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi.
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di Indonesia berbentuk yayasan. Secara garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sebagai berikut:
2.      Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan organisasi non pemerintah lain.
3.      Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatannya.
4.      Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti organisasi non pemerintah pendidikan, organisasi non pemerintah bantuan hukum, organisasi non pemerintah jurnalisme, organisasi non pemerintah kesehatan, organisasi non pemerintah pengembangan ekonomi dll.
5.      Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Organisasi non pemerintah ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah.
Lembaga swadaya masyarakat secara hukum dapat didirikan dalam dua bentuk:[12]
2.      Organisasi Massa, yakni berdasarkan Pasal 1663-1664 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), serta UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan ("UU Ormas").
3.      Badan Hukum, yakni berdasarkan Staatsblad 1870 No. 64, serta UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 ("UU Yayasan").
Pada era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki peran dalam mengatur dan membina lembaga swadaya masyarakat di daerah.[13] Pemerintah daerah juga dapat membuat Peraturan Daerah untuk mengatur lebih lanjut segala sesuatu tentang LSM. Sebagai contoh adalah Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 09 Tahun 2004 tentang Lembaga Swadaya Masyarakat.[14]























BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.       Seseorang yang berhasil tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ). Kalau IQ berhubungan dengan proses berfikir dan penalaran, maka EQ berkaitan dengan soal bagaimana seseorang membangun relasi dan pergaulan dengan sesama manusia. Seorang individu akan lengkap keberadaannya jika mempunyai IQ, EQ, dan SQ. Kesuksesan seseorang dalam bekerja dapat tercapai apabila seseorang mampu menggunakan dengan baik ketiga kecerdasan ini, menyeimbangkannya, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan.
b.      Kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio yang merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi. Dan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, dan menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas.
c.       Keberhasilan manusia dalam pekerjaan yang menurut pendapat umum dipengaruhi oleh peran besar kecerdasan intelektual atau IQ. Selain itu nilai-nilai EQ dan SQ juga berperan penting akan pembentukan prestasi kerja secara umum.
d.      Organisasi profesi adalah suatu organisasi, yang biasanya bersifat nirlaba, yang ditujukan untuk suatu profesi tertentu dan bertujuan melindungi kepentingan publik atau anggotanya maupun profesional pada bidang tersebut. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Sedangkan yang termasuk organisasi non pemerintah adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
DAFTAR PUSTAKA


H.S, Abd. Wahab dan Umiarso. 2011. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Engkoswara dan Husna Asmara. 1995. Pendidikan dan Prospeknya terhadap Pembangunan Bangsa dalam PJP II (Ilmu dan Organisasi Profesi Pendidikan). Jakarta: ISPI.

Mujtahid. 2011. Pengembangan Profesi Guru. Malang-UIN MALIKI Press.

Rugaiyah dan Atiek, Sismiati. 2011. Profesi Kependidikan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Syamsuddin, M. Abin. 1999. Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Saud, Udin Syaefuddin. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta








[1] Abd. Wahab H. S dan Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual,  (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 7
[2] Ibid, hal. 15
[3] Abd. Wahab H. S dan Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual,  (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 7

[4] Ibid, hal. 29
[5] PP No 74 th 2008
[6] Mujtahid. Pengembangan Profesi Guru, (Malang-UIN MALIKI Press, 2011), hal. 74
[7] Rugaiyah dan Atiek, Sismiati. Profesi Kependidikan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal. 24
[8] Engkoswara dan Husna Asmara, Pendidikan dan Prospeknya terhadap Pembangunan Bangsa dalam PJP II (Ilmu dan Organisasi Profesi Pendidikan), (Jakarta: ISPI, 1995), hal. 177
[9] M. Abin, Syamsuddin. Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan, (Bandung:
  Universitas Pendidikan Indonesia, 1999), hal. 322
[10] Ibid, hal. 179
[11] Rugaiyah dan Atiek, Sismiati. Profesi Kependidikan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal. 26

[12] Purnamasari, Irma D. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha (hal. 33-
    34).
[13] Hanapiah, Pipin. Pemberdayaan Ormas dan LSM: Dimensi Peraturan Perundang-undangan.
[14] Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 09Tahun 2004 Tentang Lembaga Swadaya Masyarakat.

No comments:

Post a Comment