BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Peran pendidikan sangat
penting dalam kehidupan manusia bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan
proses kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap
pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat,
bangsa dan negara. Jika sistem pendidikannya berfungsi secara optimal
maka akan tercapai kemajuan yang dicita-citakanya sebaliknya bila proses
pendidikan yang dijalankan tidak berjalan secara baik maka tidak dapat mencapai
kemajun yang dicita-citakan.
Namun di dalam dunia
pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era
globalisasi ini. Baik itu masalah yang bersifat internal maupun eksternal.
Pendidikan
yang berhubungan dengan tingkat IQ, EQ, dan SQ seseorang adalah suatu upaya
dalam membentuk suatu lingkungan untuk seseorang yang dapat merangsang
perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya dan akan membawa perubahan yang
diinginkan ke arah yang lebih baik dalam kebiasaan dan sikapnya. IQ, EQ dan SQ
memegang peranan penting dalam kehidupan setiap individu baik dalam kehidupan
masyarakat maupun dalam keluarga. ketidakseimbangan antara IQ, EQ dan SQ dapat
berdampak negatif baik terhadap individu yang bersangkutan maupun terhadap lingkungan
sekitar.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
signifikasi IQ, EQ, dan SQ bagi organisasi profesi?
2.
Apa
pengertian dari IQ, EQ, dan SQ?
3.
Bagaimana
kontribusi IQ, EQ, dan SQ bagi perkembangan profesi?
4.
Bagaimana
perkembangan organisasi profesi guru PAI?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui signifikasi IQ, EQ, dan SQ bagi organisasi profesi.
2.
Untuk
mengetahui pengertian dari IQ, EQ, dan SQ.
3.
Untuk
mengetahui kontribusi IQ, EQ, dan SQ bagi perkembangan profesi.
4.
Untuk
mengetahui perkembangan organisasi profesi guru PAI.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Signifikasi
Perkembangan IQ, EQ, dan SQ Bagi Organisasi Profesi
Menurut Daniel Goleman bahwa orang
yang mempunyai IQ tinggi tapi EQ rendah cenderung mengalami kegagalan yang
lebih besar dibanding dengan orang yang IQ-nya rata-rata tetapi EQ-nya tinggi,
artinya bahwa penggunaan EQ atau olahrasa justru menjadi hal yang sangat penting,
di mana menurut Goleman dalam dunia kerja, yang berperan dalam kesuksesan karir
seseorang adalah 85% EQ dan 15% IQ. Jadi, peran EQ sangat signifikan.[1]
Situasi yang kondusif untuk
bekerja bisa dicipta/didesain melalui pemberian motivasi atau menumbuhkan
motivasi diri sendiri dengan konsep bekerja yang berfokus pada
kelebihan-kelebihan yang dimiliki setiap individu atau kecerdasan-kercerdasan
di atas.
Kecerdasan intelektual (IQ) selama
ini dipahami sebagai kecerdasan untuk mencerna berbagai masalah. Namun IQ
tinggi belum tentu menjamin keberhasilan dan kebaikan seseorang, orang yang
cerdas kadang juga bisa menjadi pengacau dan perusak. Banyak orang cerdas yang
gagal menjadi pemimpin, orang-orang membangkang dan menentangnya. Pemimpin
model ini hanya berfikir untuk mengatasi masalah, tetapi tidak berfikir
membangun jembatan emosional dan empati dengan para individu yang dipimpinnya.[2]
Agar seseorang berhasil menapaki
kehidupan secara baik dan sehat, dia tidak hanya membutuhkan kecerdasan
intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ). Kalau IQ berhubungan
dengan proses berfikir dan penalaran, maka EQ berkaitan dengan soal bagaimana
seseorang membangun relasi dan pergaulan dengan sesama manusia. Faktor rasa dan
emosional yang justru sangat berperan untuk keberhasilan seseorang dalam
menjalani kehidupannya.
Seorang individu akan lengkap keberadaannya jika mempunyai IQ, EQ, dan SQ. Jika hanya mempunyai salah satu atau sebagian saja maka seseorang kurang optimal dalam menjalani kehidupannya.
Seorang individu akan lengkap keberadaannya jika mempunyai IQ, EQ, dan SQ. Jika hanya mempunyai salah satu atau sebagian saja maka seseorang kurang optimal dalam menjalani kehidupannya.
Dia tidak mampu memerankan diri
secara baik sebagai khalifah di muka bumi. Seseorang yang mampu mendayagunakan
ketiga kecerdasan itu secara seimbang kemungkinan besar akan mampu menggapai
kehidupan yang damai dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Dunia kerja adalah dunia yang penuh dengan tantangan dan rintangan.
Dan setiap individu mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam dirinya. Hambatan
dan peluang akan ditemui dalam mencapai cita-cita masa depan. Analisis SWOT
merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk menelaah tingkat keberhasilan
pencapaian cita-cita/karier.
“S” Strenght (Kekuatan), adalah sebuah potensi yang ada pada diri
sendiri yang mendukung cita-cita/karier. “W” Weakness (Kelemahan), adalah
seluruh kekurangan yang ada pada diri sendiri dan kurang mendukung cita-cita/karier.
“O” Opportunity, (Peluang), adalah segala sesuatu yang dapat menunjang
keberhasilan cita-cita/karier. “T” Traits (Ancaman), adalah segala sesuatu yang
dapat menggagalkan rencana citacita/karier yang berasal dari diri sendiri atau
lingkungan.
Pemecahan masalah dapat dilakukan dengan Zero Mind Proces yaitu
melepas belenggu mental, maka emosi terkendali, akal/logika berpikir terjadi
ketenangan batin, berserah diri kepada Tuhan. Maka potensi energi dan nilai
spiritual muncul dan bangkit, tercipta dalam bentuk aplikasi nyata.
2.2 Pengertian
IQ, EQ, dan SQ
Guilford (1967) terkenal dengan SOI-nya, structure of the
intellect model. Ia menggolongkan kecerdasan dalam tiga dimensi, yakni operations
(apa yang dilakukan orang), contents (materi atau informasi yang ditampilkan
oleh operations), dan product (bentuk pemrosesan informasi).
Sedangkan GARDENER (2002) memaparkan pengertian kecerdasan mencakup tiga
faktor:
a.
Kemampuan
untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia.
b.
Kemampuan
untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan.
c.
Kemampuan
untuk menciptakan sesuatu yang akan memunculkan penghargaan dalam budaya
seorang individu.
Ada tiga bentuk kecerdasan yang ada
pada manusia di antaranya adalah IQ, EQ, dan SQ.
A.
IQ (Intelligence Quotient)
Kemampuan intelektual merupakan kecerdasan untuk menerima,
menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan
intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat
disimpan dan diolah. Proses menerima, menyimpan, dan mengolah kembali
informasi, (baik informasi yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau
penciuman) biasa disebut "berfikir". Berfikir adalah media untuk
menambah perbendaharaan/khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya,
orang-orang di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, manusia
berupaya mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya.
Intelegensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir
dan bertindak secara logis, terarah,
serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Konsep intelegensi yang
awalnya dirintis oleh Alfred Bined 1964, mempercayai bahwa kecerdasan itu
bersifat tunggal dan dapat diukur dalam satu angka.
Adapun pengukuran/klasifikasi IQ:
1)
Very
Superior: 130 lebih
2)
Superior:
120-129
3)
Brght
normal: 110-119
4)
Average:
90-109
5)
Dull
Normal: 80-89
6)
Borderline:
70-79
7)
Mental
Defective: 69 and bellow
Sedangkan
ciri khas IQ (Intelligence Quotient) adalah logis, rasional, linier, dan sistematis.
IQ menjadi fakultas rasional dalam kepribadian manusia. Dengan memiliki IQ yang
baik dan terstandar maka masing-masing individu memiliki kemantapan pemahaman
tentang potensi diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif
dan produktif dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya sebagai
pelaksana/pelaku profesi.
Kercerdasan
itu multidimensional, banyak cabangnya.
Jadi tidak ada manusia yang bodoh, setiap manusia mempunyai rumpun
kecerdasan. Potensi kreatifitas dapat muncul dan disalurkan dalam semua rumpun
kecerdasan, maka setiap kehidupan manusia akan diperkaya melalui
kecerdasan-kecerdasan di atas. Setiap
pelaksana atau pelaku profesi harus terdorong dan berpeluang melakukan
eksplorasi kreatif dengan banyak cara (multi modalitas) yang cocok dengan
karakteristik individu masing-masing.
Frustasi
dan kegagalan dalam bekerja dapat berkurang jika pelaku profesi mencari informasi
dengan berbagai cara/strategi bekerja, dengan berbagai alternativ, banyak pikiran
untuk keberhasilan dalam berkarya. Situasi yang kondusif untuk bekerja bisa
dicipta/didesain melalui pemberian motivasi atau menumbuhkan motivasi diri
sendiri dengan konsep bekerja yang berfokus pada kelebihan-kelebihan yang
dimiliki setiap individu atau kecerdasan-kercerdasan di atas.
B.
EQ (Emotional Quotient)
Emosi adalah letupan perasaan
seseorang. Sedangkan pengertian EQ (Emotional Quotient)/kecerdasan emosi adalah:
1)
Kemampuan
untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri,
mengelola emosi dengan baik, dan berhubungan dengan orang lain. (Daniel Goldman).
2)
Kemampuan
mengerti dan mengendalikan emosi (Peter Salovely dan John Mayer).
3)
Kemampuan
mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan, ketajaman, emosi
sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh (Cooper dan Sawaf).
4)
Bertanggung
jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan adaptasi sosial (Seagel).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan
daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh
yang manusiawi. EQ juga merupakan kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber
informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat
lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya
sendiri yakni suara hati.
Substansi dari kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara
manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat
membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non
verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan lingkungannya.
Adapun aspek EQ (Salovely dan Goldman)
ada lima yaitu:
1)
Kemampuan
mengenal diri (kesadaran diri).
2)
Kemampuan
mengelola emosi (penguasaan diri).
3)
Kemampuan
memotivasi diri.
4)
Kemampuan
mengendalikan emosi orang lain.
5)
Kemampuan
berhubungan dengan orang lain (empati).
Sedangkan
perilaku cerdas emosi antara lain:
1)
Menghargai
emosi negativ orang lain.
2)
Sabar
menghadapi emosi negativ orang lain.
3)
Sadar
dan menghargai emosi diri sendiri.
4)
Emosi
negativ untuk membina hubungan.
5)
Peka
terhadap emosi orang lain.
6)
Tidak
bingung menghadapi emosi orang lain.
7)
Tidak
menganggap lucu emosi orang lain.
8)
Tidak
memaksa apa yang harus dirasakan.
9)
Tidak
harus membereskan emosi orang lain.
10)
Saat
emosional adalah saat mendengarkan.
Dan
EQ yang tinggi adalah sikap berempati, mengungkapkan dan memahami perasaan,
mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan
memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap
hormat.
Emotional
Quotient (EQ) mempunyai peranan penting dalam meraih kesuksesan pribadi dan
profesional. EQ dianggap sebagai persyaratan
bagi kesuksesan pribadi. Alasan utamanya adalah masyarakat percaya bahwa
emosi-emosi sebagai masalah pribadi dan tidak memiliki tempat di luar inti
batin seseorang juga batas-batas keluarga. Dr. Daniel Goleman memberikan satu
asumsi betapa pentingnya peran EQ dalam kesuksesan pribadi dan profesional:
1)
90% prestasi kerja ditentukan oleh EQ.
2)
Pengetahuan
dan teknis hanya berkontribusi 4%.
Dari banyak penelitian didapatkan hasil atau pendapat bahwa
individu yang mempunyai IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk dalam pekerjaan,
sementara yang ber-IQ rendah justru sangat perprestasi. Hal ini dikarenakan
individu yang mempunyai IQ tinggi seringkali memiliki sifat-sifat yang buruk
sebagai berikut:
1)
Yakin
tahu semua hal.
2)
Sering
menggunakan pikiran untuk menalar bukan untuk merasakan.
3)
Meyakini
bahwa IQ lebih penting dari EQ.
4)
Sering
membuat prioritas-prioritas yang merusak kesehatan diri sendiri.
Kemampuan akademik, nilai raport, predikat kelulusan perguruan
tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang sesudah
bekerja atau seberapa tinggi sukses yang akan dicapai.
C.
SQ (Spiritual Quotient)
Spiritual
adalah inti dari pusat diri sendiri. Kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih
luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibanding dengan yang lain.
Dapat juga dikatakan bahwa
kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap
setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang
bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas.
SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau
tidak berbuat. Kecerdasan
spiritual sebagai sumber yang mengilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai
kebenaran tanpa batas waktu.
Menurut
Dimitri Mahayana, ciri-ciri orang yang ber-SQ tinggi adalah:
1. Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
Prinsip merupakan
pedoman berperilaku, yang berupa nilai-nilai permanen dan mendasar. Ada 3
prinsip utama bagi orang yang tinggi spiritualnya, yakni:
a.
Prinsip
kebenaran
b.
Prinsip
keadilan
c.
Prinsip
kebaikan
2. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.
3. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
4. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.
2.3 Perkembangan
Profesi
A.
Kontribusi IQ Bagi Profesi
Keberhasilan manusia menurut pendapat umum dipengaruhi
oleh peran besar kecerdasan intelektual atau IQ. Artinya hanya mereka yang
memiliki kecerdasan intelektual, akademis, matematis saja yang mampu mewujudkan
keberhasilan seseorang termasuk keberhasilan dalam pekerjaan. Kepintaran banyak
dimanfaatkan dalam dunia kerja misalnya dalam level manajemen atas sebagai
pihak perencana strategis yang akan menentukan nasib organisasi di masa depan.
Kemampuan untuk menyusun program-program jangka panjang, prediksi ke masa
depan, menyusun perkiraan-perkiraan strategis, memerlukan kemampuan intelektual
tinggi untuk keperluan analisis-analisis mendalam. Hal ini memerlukan
intelegensi baik agar segala yang ingin diraih dapat terwujud dengan efektif.
Demikian juga untuk manajemen teknis dan operasional
diperlukan kemampuan yang tinggi untuk mensukseskan program-program strategis
yang telah disusun oleh top manajemen. Kebanyakan perusahaan memanfaatkan
orang-orang yang ber-IQ tinggi dengan memanfaatkan seleksi awal berupa tes
kecerdasan intelegensi. Harapan dari perlakuan seleksi seperti ini adalah
memperoleh tenaga-tenaga yang berkualitas yang dapat membangun perusahaan ke
arah pencapaian kinerja tinggi. Banyak dari mereka yang berhasil lulus dalam
seleksi berbasis IQ ini memiliki kinerja yang tinggi dan mendapat karir baik
dalam pekerjaannya. Dengan demikian menurut teori kecerdasan kognitif, bahwa IQ
seseorang berpengaruh positif terhadap kesuksesan di dalam bekerja dan
berkarir. Walaupun IQ adalah tolak ukur dari kepintaran seseorang, IQ bukan
merupakan satu-satunya indikator kesuksesan.
IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah
skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya
memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak
menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan. Untuk itu seseorang yang
ber-IQ tinggi, belum tentu mutlak akan berhasil memecahkan
permasalahan-permasalahan di dalam dunia kerja yang kompleks, tetapi perlu
adanya sisi cerdas lain dari diri karyawan tersebut.
B.
Kontribusi EQ Bagi Profesi
Goleman seorang peneliti ilmu-ilmu perilaku dan otak,
Doktor dari Harvard University, menyatakan bahwa IQ hanya berpengaruh 5-10 %
terhadap keberhasilan, sisanya adalah faktor kecerdasan lain. Lebih lanjut
Goleman menyatakan faktor kecerdasan penting yang lain tersebut adalah Emotional
Quotient (EQ). EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia. Di
dalamnya terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan,
ketekunan, menjalin hubungan sosial.[3]
Jika pekerja memiliki kecerdasan rata-rata, sebenarnya
ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika adanya kepercayaan terhadap
diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada orang lain, ketabahan menghadapi
beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan kontak-kontak sosial dalam
kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi rata-rata menuju
tingkat prestasi yang lebih baik. Sebuah penelitian pada hampir 42.000 orang di
36 negara dan mengungkapkan hubungan positif antara kecerdasan emosional dan
kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan. Ini menunjukkan bahwa seorang
karyawan juga akan berhasil jika di dalam diri mereka terbentuk nilai-nilai EQ
yang tinggi.
Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa IQ dapat
digunakan untuk memperkirakan sekitar 1-20 % keberhasilan dalam pekerjaan, EQ
di sisi lain berperan 27-45 % berperan langsung dalam keberhasilan pekerjaan.
Jan Derksen dan Theodore Bogels di Belanda dari hasil penelitiannya diperoleh
bahwa ada hubungan yang signifikan yakni orang-orang yang ber-EQ tinggi dengan
kemampuan menghasilkan banyak uang. Penciptaan kesadaran akan EQ ini seperti
merupakan penciptaan akan aspek afeksi karyawan untuk siap terjun dalam dunia
kerja yang penuh dengan tantangan dan kompetisi tinggi, stress, sehingga
memerlukan pengelolaan emosional yang baik.
Seorang pakar sekaligus pengamat sumber daya manusia,
Perlindungan Marpaung memberikan solusi untuk mengelola emosional dalam
bekerja. Ketika tuntutan EQ menjadi fokus utama dalam pemberdayaan karyawan
dalam rangka jenjang karier seseorang maupun pengembangan pribadinya, tentu
menjadi satu hal yang menakutkan bagi seseorang setelah dia menyadari bahwa
EQnya tidak terlalu menonjol.
Satu hal yang paling berbahaya adalah ketika seseorang
tidak menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan bangga dengan gelar/pengetahuan
yang dimilikinya (IQ). Oleh karena itu, perlu beberapa langkah praktis untuk
membangkitkan kesadaran ini dan meningkatkan kecerdasan emosi menuju kecakapan
emosi yang maksimal di tempat kerja. EQ tidak ada yang permanen, dalam arti
kata dapat diubah (ditingkatkan) dan inilah tekad pertama untuk memulai langkah
pertama.
Pertama, mengenal kekuatan dan
kelemahan diri terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa cara
dapat dilakukan, di antaranya dengan meminta feedback (umpan balik) dari orang
lain (terutama rekan terdekat) tentang tingkah lakunya selama ini. Tingkah laku
yang sudah proporsional dipertahankan dan ditingkatkan, sementara yang dirasa
kurang dan tidak profesional sebagai seorang karyawan/pimpinan harus diubah
(transformasi diri).
Kedua, bergaul dan berelasi
dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan karakter.
Ketiga, belajar setia dan
komitmen terhadap tugas-tugas yang sudah disepakati bersama serta dilakukan
dengan konsisten.
Keempat, mengurangi waktu
untuk sibuk mengurusi orang lain, termasuk yang memiliki kegemaran menyebar
gosip dan rumor di kantor.
Kelima, bertingkah laku
asertif yaitu menyatakan benar kalau benar dan salah jika salah. Hal itu
dilakukan tentu berdasarkan koridor-koridor dan etika perusahaan yang
profesional. Karyawan/pimpinan yang safety player demi menyelamatkan
kedudukan/fasilitas yang dimilikinya dan membiarkan kondisi yang merusak
tatanan perusahaan tetap berlangsung menunjukkan kekerdilan kecerdasan
emosinya.
Keenam, terus belajar baik
melalui pengalaman pekerjaan sehari-hari, membaca buku pengembangan diri,
mengikuti pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan yang sifatnya soft
skill.
Ketujuh, mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta dalam doa permohonan dan ucapan syukur.
BC. Forbes (Founder Forbes) pernah mengemukakan bahwa
bekerja merupakan hidangan utama kehidupan, sedangkan kesenangan merupakan
hidangan penutup. Lebih memuaskan menjadi sopir truk no. I, daripada jadi
eksekutif peringkat kesepuluh.
C.
Kontribusi SQ Bagi Profesi
Dalam hal ini nilai-nilai SQ juga berperan penting
akan pembentukan prestasi kerja secara umum. Kesalahan selama ini adalah
pendewaan akan IQ walau sebenarnya terdapat kecerdasan lain yang perlu
diseimbangkan untuk sebuah kesuksesan. Sekularisasi pemikiran masyarakat
mengarahkan orang-orang untuk mengejar kesuksesan secara fisikal dan material,
seperti karier, jabatan, kekuasaan, dan uang. Orientasi materi dan pemisahan
seperti ini dapat menjadi sebab tumbuhnya pemikiran pesimisme bagi mereka yang
memiliki kecerdasan rata-rata, lalu melakukan tindakan tidak etis untuk meraih
sebuah kesukesan material.[4]
Kesombongan dapat terjadi bagi mereka yang
berintelektual tinggi atau mereka yang pintar, tidak menghargai bawahan jika
menjadi pemimpin. Kondisi lain, mereka yang terlibat dalam kehidupan material
baik bagi yang pintar ataupun tidak, adalah kemudahan untuk tidak bisa bertahan
akan benturan permasalahan kerja, mudah frustasi, stress akibat tidak adanya
keseimbangan spiritual di dalam diri manusia-manusia modern. Untuk itu
kecerdasan spiritual perlu ada di dalam diri seseorang dalam meraih kesuksesan.
Danah Zohar dan Ian Marshal mengartikan SQ sebagai pemahaman akan nilai dan
kesadaran, Agustian juga mengkaitkannya dengan masalah ketuhanan.
Seorang karyawan perlu menyadari nilai-nilai kehidupan yang integralistik
tidak hanya pada masalah material tapi juga spiritual. Intinya bekerja adalah
penting bagi kehidupan dan merupakan ibadah bagi yang melakukannya. Seorang
karyawan yang pintar tetap memerlukan SQ, atau jika kemampuan seseorang kurang
dapat ditutupi dengan keyakinan adanya Allah yang menolong yakni pada saat
keikhlasan bekerja ada di dalam diri. Aspek fisiknya, prestasi hanya dapat
dicapai hanya dengan bekerja keras, ketekunan, ketabahan ditambah dengan IQ
yang ada pada diri seseorang.
2.4 Pengembangan Organisasi Profesi Guru PAI
A.
Kontribusi Organisasi Pemerintah Bagi Profesi
Organisasi profesi
adalah suatu organisasi, yang biasanya bersifat nirlaba, yang ditujukan untuk
suatu profesi tertentu dan bertujuan melindungi kepentingan publik atau
anggotanya maupun profesional pada bidang tersebut. Organisasi profesi juga merupakan organisasi yang anggotanya adalah
para praktisi yang menetapkan diri mereka sebagai profesi dan bergabung bersama
untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat mereka laksanakan
dalam kapasitas mereka sebagai individu.
Sedangkan organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang
didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.[5] Organisasi
profesi guru yang termasuk di dalamnya terdapat berbagai kegiatan,
seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG).
1)
MGMP (Musyawarah
Guru Mata Pelajaran.
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) didirikan atas anjuran
pejabat-pejabat Departemen Pendidikan Nasional. Organisasi ini bertujuan untuk
meningkatkan mutu dan profesionalisasi dari guru dalam kelompoknya atau
bidangnya masing-masing.[6]
Peningkatan
profesionalisme guru dalam MGMP digunakan antara lain adalah pertama, untuk
pertemuan (silaturrahim) antara sesama profesi guru yang mempunyai keahlian
yang sama untuk saling mengenal, bertukar fikiran dan berdiskusi berkaitan
dengan bidangnya. Kedua, sebagai forum khusus yang difungsikan untuk
memecahkan berbagai problem yang menyangkut keprofesian.
2)
KKG (Kelompok
Kerja Guru).
Kelompok
Kerja Guru (KKG) sebagai kelompok kerja seluruh guru dalam satu gugus. Pada
tahap pelaksanaannya dapat dibagi ke dalam kelompok kerja guru yang lebih
kecil, yaitu kelompok kerja guru berdasarkan jenjang kelas, dan kelompok kerja
guru berdasarkan atas mata pelajaran.
Tujuan
organisasi Kelompok Kerja Guru (KKG) yaitu :
a. Memfasilitasi
kegiatan yang dilakukan di pusat kegiatan guru berdasarkan masalah dan
kesulitan yang dihadapi guru.
b. Memberikan
bantuan profesional kepada para guru kelas dan mata pelajaran di sekolah.
c. Meningkatkan
pemahaman, keilmuan, keterampilan serta pengembangan sikap profesional
berdasarkan kekeluargaan dan saling mengisi (sharing).
d. Meningkatkan
pengelolaan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan (Pakem).
Melalui KKG ini dapat dikembangkan beberapa kemampuan
dan keterampilan mengajar, seperti yang di ungkapkan Turney bahwa keterampilan
mengajar guru sangat mempengaruhi terhadap kualitas pembelajaran di antaranya;
keterampilan bertanya, keterampilan memberi penguatan, keterampilan mengadakan
variasi, keterampilan menjelaskan, keterampilan membuka dan menutup pelajaran,
keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil dan perorangan.
Beberapa contoh
organisasi profesi secara umum adalah PGRI, ISPI, ISMaPI, dan lain-lain.[7]
1)
PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia)
PGRI adalah sebuah
organisasi profesi kependidikan yang lahir tanggal 25 November 1945, hanya
berselang tiga bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Cikal bakal
organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB)
tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun
1932. Pada saat
didirikannya, organisasi ini di samping memiliki misi profesi juga ada tiga
misi lainnya, yaitu misi politis-ideologis, misi peraturan organisatoris, dan
misi kesejahteraan.[8]
PGRI bersifat: unitaristik,
tanpa memandang perbedaan ijazah, tempat bekerja, kedudukan, suku, jenis
kelamin, agama, dan asal usul, independent, yang berdasarkan pada prinsip
kemandirian organisasi dengan mengutamakan kemitrasejajaran dengan berbagai
pihak. Nonpartai politik, bukan partai politik, tidak terkait atau
mengikat diri pada kekuatan organisasi/partai politik manapun. Anggota PGRI
adalah warga Negara Republik Indonesia, khususnya para guru dan tenaga
kependidikan lainnya yang secara sukarela mengajukan permohonan menjadi anggota
serta memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Anggaran Rumah Tangga.
2) ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia)
ABKIN adalah
organisasi profesi untuk para konselor di Indonesia. Asosiasi ini memberikan
lisensi melalui proses sertifikasi bagi para konselor tertentu sebagai tanda
bahwa yang bersangkutan berwenang menyelenggarakan konseling dan pelatihan bagi
masyarakat umum secara resmi. Asosiasi ini didirikan pada tahun 2003 dalam
kongres nasional di Lampung seiring upaya memperkuat konselor sebagai suatu
profesi sebagai pengganti Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) yang
merupakan organisasi profesi yang menaungi petugas bimbingan dan konseling
sebelumnya. Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) didirikan di Malang pada tanggal 17 Desember 1975. Organisasi
profesi kependidikan yang bersifat keilmuan dan profesioal ini berhasrat
memberikan sumbangan dan ikut serta secara lebih nyata dan positif dalam
menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai guru pembimbing.
Organisasi ini merupakan himpunan
para petugas bimbingan se-Indonesia dan bertujuan mengembangkan serta memajukan
bimbingan sebagai ilmu dan profesi dalam rangka peningkatan mutu layanannya.
Secara rinci tujuan didirikannya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI)
adalah sebagai berikut:
a. Menghimpun para petugas di bidang bimbingan dalam
wadah organisasi.
b. Mengidentifikasi dan mengiventarisasi tenaga ahli,
keahlian dan keterampilan, teknik, alat dan fasilitas yang telah dikembangkan
di Indonesia.
c. Meningkatkan mutu profesi bimbingan, dalam hal ini
meliputi peningkatan profesi dan tenaga ahli, tenaga pelaksana, ilmu bimbingan
sebagai disiplin, maupun program layanan bimbingan (Anggaran Rumah Tangga IPBI,
1975).[9]
ABKIN memiliki
tujuan menyukseskan pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan dengan
jalan memberikan sumbangan pemikiran dan menunjang pelaksanaan program yang
menjadi garis kebijakan pemerintah, selain itu juga mengembangkan serta
memajukan bimbingan dan konseling sebagai ilmu dan profesi yang bermartabat
dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
3) ISPI
ISPI didirikan pada
tanggal 17 Mei 1960 yang berkedudukan di Jakarta. Pada awalnya organisasi profesi
kependidikan ini bersifat regional karena berbagai hal menyangkut komunikasi
antar anggotanya.[10]
ISPI memiliki
tujuan untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran kepada pembangunan pendidikan
nasional secara profesional agar lebih terarah, berhasil guna, dan berdaya guna
melalui pembangunan dan penerapan ilmu pendidikan untuk kemajuan dan
kepentingan bangsa dan negara.
4) ISMaPI (Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Islam)
ISMaPI adalah
organisasi profesi yang independent tampil sebagai pionir dan fasilitator dalam
upaya peningkatan dan pengembangan manajemen pendidikan di Indonesia melalui
pengembangan disiplin, profesi, dan praktik manajemen pendidikan. ISMaPI lahir
untuk melanjutkan cita-cita Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia
(HISAPIN) dalam menghimpun para ahli profesional dan praktisi di bidang
manajemen pendidikan. ISMaPI bertujuan untuk:[11]
a. Meneliti, menciptakan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan sitem manajemen pendidikan yang profesional, unggul dan bermutu
dalam rangka mengembangkan disiplin manajemen pendidikan.
b. Menata, membina dan melindungi profesi di bidang
manajemen pendidikan, dan
c. Memberdayakan sistem manajemen pendidikan yang
profesional, unggul dan bermutu.
B.
Kontribusi Organisasi Non Pemerintah (LSM)
Lembaga
swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan
ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Organisasi ini dikenal juga sebagai
Organisasi non pemerintah. Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari
pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non
pemerintah dapat di lihat dengan ciri sebagai berikut:
1.
Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah,
birokrasi ataupun negara.
2.
Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan
untuk memperoleh keuntungan.
3.
Kegiatan dilakukan untuk kepentingan
masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di
lakukan koperasi ataupun organisasi profesi.
Berdasarkan
Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang yayasan, maka secara umum organisasi non
pemerintah di Indonesia berbentuk yayasan. Secara
garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di
kategorikan sebagai berikut:
2. Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan
dukungan biaya bagi kegiatan organisasi non pemerintah lain.
3. Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang
melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan
kegiatannya.
4. Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang
melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti
organisasi non pemerintah pendidikan, organisasi non pemerintah bantuan hukum,
organisasi non pemerintah jurnalisme, organisasi non pemerintah kesehatan,
organisasi non pemerintah pengembangan ekonomi dll.
5. Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan
kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah.
Organisasi non pemerintah ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan
terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah.
Lembaga swadaya masyarakat secara
hukum dapat didirikan dalam dua bentuk:[12]
2.
Organisasi
Massa, yakni berdasarkan Pasal 1663-1664 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), serta UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan ("UU
Ormas").
3.
Badan
Hukum, yakni berdasarkan Staatsblad 1870 No. 64, serta UU No. 16 Tahun 2001
tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 ("UU
Yayasan").
Pada era otonomi daerah, pemerintah
daerah memiliki peran dalam mengatur dan membina lembaga swadaya masyarakat di
daerah.[13]
Pemerintah daerah juga dapat membuat Peraturan Daerah untuk mengatur lebih
lanjut segala sesuatu tentang LSM. Sebagai contoh adalah Peraturan Daerah Kota
Tarakan Nomor 09 Tahun 2004 tentang Lembaga Swadaya Masyarakat.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah dipaparkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
a.
Seseorang yang berhasil tidak hanya
membutuhkan kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ).
Kalau IQ berhubungan dengan proses berfikir dan penalaran, maka EQ berkaitan
dengan soal bagaimana seseorang membangun relasi dan pergaulan dengan sesama
manusia. Seorang individu akan lengkap keberadaannya jika mempunyai IQ, EQ, dan
SQ. Kesuksesan seseorang dalam bekerja dapat tercapai apabila seseorang mampu
menggunakan dengan baik ketiga kecerdasan ini, menyeimbangkannya, serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan.
b.
Kecerdasan
intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio yang merupakan
kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi. Dan kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, dan
menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas.
c.
Keberhasilan manusia dalam
pekerjaan yang menurut pendapat umum dipengaruhi oleh peran besar kecerdasan
intelektual atau IQ. Selain itu nilai-nilai EQ dan SQ juga berperan penting
akan pembentukan prestasi kerja secara umum.
d.
Organisasi profesi adalah suatu organisasi, yang biasanya
bersifat nirlaba, yang ditujukan untuk suatu profesi tertentu dan bertujuan melindungi
kepentingan publik atau anggotanya maupun profesional pada bidang tersebut. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang
didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.
Sedangkan yang termasuk organisasi non pemerintah adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
DAFTAR PUSTAKA
H.S, Abd. Wahab dan Umiarso. 2011. Kepemimpinan Pendidikan dan
Kecerdasan Spiritual. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Engkoswara dan Husna Asmara. 1995. Pendidikan dan Prospeknya
terhadap Pembangunan Bangsa dalam PJP II (Ilmu dan Organisasi Profesi
Pendidikan). Jakarta: ISPI.
Mujtahid. 2011.
Pengembangan Profesi Guru. Malang-UIN MALIKI Press.
Rugaiyah dan Atiek, Sismiati. 2011. Profesi Kependidikan. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Syamsuddin, M. Abin. 1999. Pengembangan Profesi dan Kinerja
Tenaga Kependidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Saud, Udin Syaefuddin. 2009. Pengembangan Profesi Guru.
Bandung: Alfabeta
[1] Abd. Wahab H.
S dan Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 7
[2] Ibid,
hal. 15
[3]
Abd. Wahab H. S
dan Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 7
[4] Ibid,
hal. 29
[5] PP No 74 th
2008
[6] Mujtahid. Pengembangan
Profesi Guru, (Malang-UIN MALIKI Press, 2011), hal. 74
[7] Rugaiyah dan
Atiek, Sismiati. Profesi Kependidikan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),
hal. 24
[8]
Engkoswara dan
Husna Asmara, Pendidikan dan Prospeknya terhadap Pembangunan Bangsa dalam
PJP II (Ilmu dan Organisasi Profesi Pendidikan), (Jakarta: ISPI, 1995), hal.
177
[9] M. Abin,
Syamsuddin. Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan,
(Bandung:
Universitas Pendidikan
Indonesia, 1999), hal. 322
[11] Rugaiyah dan
Atiek, Sismiati. Profesi Kependidikan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal.
26
[12] Purnamasari, Irma D. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak
Mendirikan Badan Usaha (hal. 33-
34).
[13] Hanapiah,
Pipin. Pemberdayaan Ormas dan LSM: Dimensi Peraturan Perundang-undangan.
[14] Peraturan
Daerah Kota Tarakan Nomor 09Tahun 2004 Tentang Lembaga Swadaya Masyarakat.
No comments:
Post a Comment