A. Latar
Belakang
Realita
perubahan sosiokultural yang melanda seluruh bangsa di atas bumi, termasuk
bangsa Indonesia, menuntut kepada adanya konsepsi baru yang tanggap dan sanggup
memecahkan problema-problema kehidupan umat manusia melalui pusat-pusat gerakan
paling strategis dalam masyarakat. Salah satu pusat strategis tersebut adalah
gerakan kependidikan yang mempunyai landasan ideal dan operasional yang kokoh
berdasarkan nila-nilai yang pasti dan antisipatif kepada kemajuan hidup masa
mendatang.
Pendidikan
Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis, dan mengembangkan serta
mengamalkan ajaran Islam bersumberkan Alqur’an dan Al-Hadits, cukup memperoleh
bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber
tuntutan tersebut. Makna yang komprehensif dari sumber tersebut menjangkau dan
melingkupi segala aspek kehidupan manusia modern.
Secara
embrionik, dorongan, dan rangsangan ajaran Alqur’an terhadap perkembangan rasio
untuk pemantapan iman dan takwa diperkokoh melalui ilmu pengetahuan manusia
merupakan ciri khas islami, yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab suci agama
lain. Alquran sebagai sumber pedoman hidup umat manusia telah menggelarkan
wawasan dasar terhadap masa depan hidup manusia dengan rentangan akal
pikirannya yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu dan teknologi
yang canggih.
Pandangan
objektif dari salah seorang dokter bedah berkebangsaan Prancis, Dr. Maurice
Bucaille, yang telah melakukan studi perbandingan mengenai Bibel dan Alquran
serta sains modern sungguh mengejutkan umat Islam sendiri yang setiap hari
memegang dan membaca kitab suci Alquran. Pendapat beliau berdasarkan standar
ilmiah modern melalui analisis komparatif dan akademik terhadap kebenaran
Alquran sebagai wahyu murni, secara tekstual dan materiil, menunjukkan bahwa
“Alquran diwahyukan sesudah kitab suci sebelumnya, buka saja bebas dari
kontradiksi dalam riwayat-riawayatnya. Kontradiksi yang menjadi ciri Injil
karena disusun oleh manusia tetapi juga menyajikan kepada orang yang mempelajarinya
secara objektif dengan mengambil petunjuk dari sains madern, suatu sifat yang
khusus yakni persesuaian yang sempurna dengan hasil sains modern. Lebih dari
itu semua sebagaimana telah kita buktikan, Alquran mengandung pernyataan ilmiah
yang sangat modern yang tidak masuk akal, jika dikatakan bahwa orang yang hidup
pada waktu Alquran itu diwahyukan adalah pencetus-pensetusnya. Dengan begitu,
maka pengetahuan ilmiah modern memungkinkan kita memahami ayat-ayat tertentu
dalam Alquran yang sampai sekarang tidak dapat di tafsirkan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaiman Model
pendidikan Islam dan orientasinya pada masa Klasikal (Rosul dan para sahabat)?
2.
Bagaimana Model
pendidikan islam dan orientasinya di Indonesia?
3.
Bagaiman operasionalisasi
pendidikan Islam dan orientasinya menurut pemikiran tokoh filosof muslim?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
bagaiman Model pendidikan Islam dan orientasinya pada masa Rosul dan para
sahabat?
2.
Untuk mengetahui
bagaimana Model pendidikan islam dan orientasinya di Indonesia?
3.
Untuk mengetahui
bagaiman Model pendidikan Islam danorientasinya menurut pemikiran tokoh filosof
muslim?
BAB
II
PEMBAHASAN
Pendidikan
Islam dapat kita kembangkan menjadi suatu agent of technologically and
culturally motivating resources dalam berbagai model yang mampu mendobrak pola
pikir tradisional yang pada dasarnya dogmatis, kurang dinamis, dan berkembang
secara bebas. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam tidak mengekang atau
membelenggu pola pikir manusia dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan.
Relevan dengan hal tersebut adalah kemampuan berijtihad dalam segala bidang
ilmu pengetahuan perlu dikembangkan terus-menerus. Yang menjadi permasalahan
adalah tentang bagaimana kita membudidayakan ide-ide dan konsep-konsep
keilmiahan yang bersumberkan kitab suci Alquran ke dalam educational
engineering yang operasional dan fungsional sehingga dapat mengacu ke dalam
perkembangan masyarakat yang makin dinamis.
Proses
dialogis antara agama dan iptek harus dilangsungkan terus-menerus untuk
membangun struktur dan kultur kehidupan stabil dan damai yang bersendikan iman
dan takwa kepada Tuhan seru sekalian alam.
Peranan
maksilmalnya mendasari dan memotivasi perkembangan iptek dengan iman, Islam,
dan ihsan sehingga ia mengabdikan kepada kepentingan hidup manusia buka
sebaliknya, manusia mengabdi kepada iptek.
Orientasi
dasar pendidikan Islam, yang diletakkan oleh Rasulullah pada awal risalahnya
ialah menumbuhkembangkan sistem kehidupan sosial yang penuh kebajikan dan
kemakmuran (dengan amal saleh), meratakan kehidupan ekonomi yang bertumpu pada
nilai-nilai moral tinggi; dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang
mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir intelektual bagi terbinanya
tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran. Ketiga dimensi oerientasi
dasar tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamisasikan umat manusia pada
kurun waktu permulaan sejarah pendidikan Islam, yaitu pada zaman Nabi dan
sahabat besar Nabi (khulafa’ ar-rasyidun). Pendidikan Islam benar-benar
menggugah potensi alami manusia yang suci bersih sehingga mengacu kepada
tuntutan aspiratif yang bercitra Ilahiah dan insaniah. Pendidikan Islam pada
masa itu mampu menjadikan kaum muslimin sebagai pelaku positif terhadpa
pembangunan diri pribadi dan masyarakatnya sehingga self-propelling dalam
proses mencapai baldatun thoyibatun wa
rabbun ghafur.
Sendi-sendi yang
mendasari kehidupan psikologis manusia, yaitu iman tauhid yang berdimensi
ketakwaan yang monoloyal kepada Allah, berhasil mendorong dan di pacu untuk
berperan nyata dalam segala bidang kehidupan yang melahirkan sikap hidup fastabiqul khairat.
A.
Model
pengoperasionalisasi pendidikan (islam) dan Orientasinya menurut para tokoh
muslim
a.
Al-Ghozali
Menurut al Ghazali, secara potensial pengetahuan itu
telah eksis dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Melalui
belajar potensi itu akan menjadi actual ( A.L. Tibawy, 1972, p.42-43) al
Ghazali memandang bahwa system perkembangan kemampuan rasionalitas itu
berdasarkan pola keseimbangan dengan kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran
dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta
keseimbangan antara berpikir deduktif dengan pengalaman empiris manusia. Al-Ghozali
berorientasi kepada kebutuhan perkembangan peserta didik dan pengaruh
pendidikan pada perkembanagn anak didik. yang becorak pendidik memperbaiki
sikap dan perilaku pendidik pada waktu bertugas mengajar
Ia memandang kemampuan rasional manusia lebih
penting dari kemampuan kejiwaan lainnya, meskipun kemampuan rasional itu berada
di dalam kekuaaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan adalah yang pertama dan rasio
merupakan yang kedua.
b.
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun berpandangan serupa dengan al Ghazali.dari
segi pengoperasionalisa dan orientasi dalampendidikan islam. Menurutnya akal
pikiran (rasio) merupakan kekuatan menciptakan kehidupan dan kerja sama dengan
anggota-anggota masyarakatnya serta untuk menerima wahyu Tuhan melalui
Rasul-Nya. Akal pikirannya itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan belajarnya.
c. Ibnu
Sina
yang berpandangan idealistis dalam pendidikan lebih
menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam operasionalisasi
kependidikan ia berpaham empiris, seperti kedua filsuf yang disebut diatas. Penerapan
metode empiris tampak dalam proses pembentukan akhlak atau moralitas. melalui
pembiasaan, pemberian hadiah dan hukuman, targhib dan tarhib, ikhlas dan
I’radh, dan sebagainya.
d. Muhammad
Abduh
Lebih
lanjut Muhammad Abduh salah seorang cendekiawan, ulama, maha guru Universitas
al Azhar, lebih mengedepankan kemampuan rasional dalam proses pemahaman ajaran
islam melalui pendidikan, sehingga cara-cara belajar yang verbalistis dipandang
tak bermakna. Sebagai seorang pemikir pembaruan umat islam, ia memandang bahwa
peranan system pendidikan besar sekali bagi proses modernisasi kehidupan umat
islam. Orientasinya Pendidikan harus didasari dengan moral dan agama.
Pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mengadakan
pembaruan atau perubahan.
e. DR.
Fadhil al Djamaly
DR. Fadhil al Djamaly, sejalan dengan pemikiran para
filsuf di atas lebih menjabarkan lagi arah tuntutan kehidupan masyarakat
(islam) terhadap pengetahuan kurikulum pendidikan islam, yaitu suatu jenis ilmu
pengetahuan yang dikehendaki oleh Al Quran diajarkan kepada anak didik.
Ilmu-ilmu pengetahuan itu mencakup ilmu agama, sejarah, ilmu falak, ilmu bumi,
ilmu hitung, ilmu hukum, dan perundangan, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu
pertanian, ilmu biologi, sosiologi, ekonomi, ilmu balaghah, dan adab, ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan pertahanan Negara, serta ilmu-ilmu yang
dapat memperkembangkan kehidupan manusia dan mempertinggi derajatnya. (DR.
Fadhil Al Djamaly, 1967,p.119).
Pokoknya semua ilmu duniawi dan ukhrawi
diintegrasikan menjadi satu ilmu pengetahuan yang bulat, karena ilmu
pengetahuan pada hakikatnya berasal dari Tuhan.
s-öqsùur Èe@à2 Ï AOù=Ïæ ÒOÎ=tæ ÇÐÏÈ
“dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi
yang Maha mengetahui.”(Q.S. Yusuf:76)
O¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
“Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”.(Q.S.Al alaq:5)
Konsekuensi
dari pandangan yang Pan-Islamisme dalam ilmu pengetahuan demikian memang
merupakan das sollen bagi pendidikan kita, namun perlu berjuang untuk
mendapatkan perangkat keras (software dan hardware) dengan pendidik-pendidik
yang ilmuwan muslim paripurna yang dilahirkan dari system pencangkokan pada
system pendidikan lain.
Sarana
inilah yang merupakan problema tersendiri
bagi umat islam, dilihat dari berbagai aspek kemampuan baik teknis,
manajerial, maupun finansialnya. Padahal dunia masa kini dan masa depan adalah
dunia teknologi, di mana berlaku aksioma Francis Bacon knowledge is power yang
menuntut manusia untuk survive dari segala bentuk penyakit sedemikian rupa
sehingga mampu mereformasi dan memperbarui dirinya sendiri secara
berkesinambungan.
Hanya
kemampuan otak duniawi yang terintegrasi saja yang dapat menciptakan system
yang serupa itu.
Sejalan
dengan pandangan dan cita serta sitra idealistis tersebut di atas, umat islam
harus mengubah sikap pandangannya yang lama, yaitu dari pandangan terhadap
lembaga pendidikan islam hanya sebagai gudang ilmu atau bank transfer dan
transmisi cultural menjadi sentra pengolahan ilmu yang alamiah dan ilmiah yang
mengacu kepada tuntutan masyarakat yang thoyibah warabbun ghafur dapat
terwujud.
Oleh
karena itu, berbagai model pendidikan islam yang berorientasi perspektif ke
masa depan merupakan jawaban yang tepat guna.
B.
Contoh
Model Pendidikan Islam dan orientasinya di Indonesia
Berikut
merupakan salah satu wujud model pendidikan islam beserta orientasinya yang ada
di Indonesia
1.
Model Pendidikan
Islamic Boarding System
Model
Pendidikan Islamic Boarding System melakukan solusi strategis dengan
menggagas suatu pola pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang
lebih bersifat fungsional, yakni:
Pertama,
membangun lembaga pendidikan unggulan dengan semua komponen
berbasis Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) asatidz
dan asatidzah yang amanah dan kafaah, (3) proses belajar mengajar secara
Islami, dan (4) lingkungan dan budaya madrasah yang optimal. Dengan
melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya
meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang sama
meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan
pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan
dengan arahan Islam.
Kedua,
membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat
berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif
dari faktor pendidikan sekolah – keluarga – masyarakat inilah yang akan
menjadikan pribadi anak didik yang utuh sesuai dengan kehendak Islam.
Konsep
Keterpaduan Sekolah(madrasah), Asrama/Pesantren dan Masjid
Untuk
meciptakan kultur sekolah yang bersih dari pengaruh negatif masyarakat, program
full-day school dan boarding school merupakan alternatif yang dapat dilakukan.
Karena itu, tiga poros sekolah, asrama/pesantren dan masjid yang berperan
penting dalam pengembangan SDM tapi selama ini terpisah-pisah, harus dapat
diharmonisasikan. Sekolah berfungsi untuk mengintroduksikan kurikulum
pendidikan secara formal sesuai dengan jenjang yang ada. Asrama merupakan
sarana di luar sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan formal.
Sikap disiplin, kemandirian, kepemimpinan dan tanggung jawab dapat diciptakan
dalam asrama. Sedangkan masjid merupakan pusat kegiatan keislaman siswa. Di
masjid, siswa akan melakukan shalat berjamaah, pembinaan kepribadian dan
kegiatan lainnya. Jika ketiganya diintegrasikan, diharapkan akan tercipta
budaya sekolah yang ideal.
Orientasinya :
Menguasai ilmu kehidupan (iptek) dimaksudkan agar
umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan
baik di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannnya
sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh
sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu seperti teknik, kedokteran, pertanian dan
sebagainya sangat dibutuhkan umat.
Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar,
terstruktur, terprogram dan sistematis orientasi tujuannya untuk
membentuk manusia yang berkarakter, yakni (1) berkepribadian Islam, (2)
menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu kehidupan (pengetahuan dan teknologi).
Tujuan
ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam seluruh aktivitas
kesehariaannya. Identitas kemusliman akan nampak pada kepribadian seorang
muslim, yakni pada pola berpikir (aqliyah) dan pola bersikapnya (nafsiyah) yang
distandarkan pada aqidah Islam. Islam mendorong setiap muslim untuk maju
dengan cara men-taklif-nya (memberi beban hukum) kewajiban menuntut ilmu, baik
ilmu yang berkaitan langsung dengan Islam (tsaqofah Islam) maupun ilmu
pengetahuan umum (iptek).
2.
Pesantren
Pesantren
berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri
berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansekerta, atau mungkin jawa) yang berarti
orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan
Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga ada
dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat
bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli
kitab suci agama Hindu.Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint
(manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren
dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Secara
terminologi dapat dikemukakan di sini beberapa pandangan yang mengarah kepada
definisi pesantren. Abdurrahman Wahid, mendefinisikan pesantren secara teknis,
pesantren adalah tempat di mana santri tinggal. Secara definitif Imam Zarkasyi,
mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama
atau pondok, di mana kiyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat
kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan kyai
yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
Ada
beberapa model pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren,
diantaranya: Sorogan, weton/bandongan, halaqah, hafalan, Hiwar, Bahtsul
Masa’il, fathul kutub, dan muqoronah. Model pembelajaran tersebut tentunya
belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pondok
pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan
tersebut.
Orienyasinya
:
Pendidikan
pesasntren berorientasi pada Iptek sebagai kebenaran relatif dan Imtaq sebagai
kebenaran mutlak. Berbeda dgn pendidikan sekuler yg hanya berorientasi pada
Iptek.
3.
TPA/TPQ
Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPA/TPQ) adalah unit pendidikan non-formal jenis
keagamaan berbasis komunitas muslim yang menjadikan al-Qur’an sebagai materi
utamanya, dan diselenggararakan dalam suasana yang Indah, Bersih, Rapi, Nyaman,
dan Menyenangkan sebagai cerminan nilai simbolis dan filosofis dari kata TAMAN
yang dipergunakan. TPA/TPQ bertujuan menyiapkan terbentuknya generasi Qur’ani,
yaitu generasi yang memiliki komitmen terhadap al-Qur’an sebagai sumber
perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan
kecintaan yang mendalam terhadap al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus
menerus mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kemauan yang kuat untuk
mengamalkannya secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan
di TPA/TPQ Orientasinya lebih menekankan pada dimensi akhlak dan
kemapuan dalam baca tulis Al-qur’an.meskipun tidak pula menafikan dimensi
intelektual. Peserta didik (santri/santriwati) TPA/TPQ akan mendapatkan
pendampingan yang lebih intensif dibandingkan pendidikan formal di sekolah. Hal
ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa nyaman dalam belajar sehingga materi yang
disampaikan lebih mudah dipahami, lebih jauh lagi agar lebih mudah
diimplementasikan dalam kehidupan keseharian. Sistem pembelajaran ini pun telah
diadopsi di sekolah-sekolah Islam terpadu yang mulai banyak berdiri dan
berkembang di tahun 2002an.
4.
Madrasah
Kata
madrasah berasal dari “darasa” yang berarti belajar. Makna lain dari “darasa”
adalah terhapus, hilang bekasnya, menjadikan usang, melatih dan
mempelajari. Berdasarkan arti madrasah tersebut, maka diketahui bahwa istilah
madrasah merupakan tempat untuk mencerdaskan para peserta didik, menghilangkan
ketidaktahuan, atau memberantas kebodohan mereka serta melatih keterampilan
mereka sesuai bakat, minat dan kemampuannya. Madrasah juga tidak hanya
diartikan sebagai sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai dengan
rumah, istana, kuttab, masjid, perpustakaan, surau dan tempat-tempat
lainnya. Bahkan seorang ibu dapat dikategorikan sebagai al-madrasah al”ula (madrasah
pemula).
Kata
"madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar
kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan
belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa
tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang
sama : "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
sama : "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam
prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan
(al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di
sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri
pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan
bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami
"madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk
belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan
keagamaan".
Orientasinya
:
Lebih
mengutamakan berlangsungnya pendidikan umum dan agama, sehingga peserta didik
mampu menguasai satu sama lain sehingga antara kehidupan dunia dan akhiratnya
dapat terpenuhi secara seimbang.
5.
Sekolah Islam Terpadu
Orientasi sekolah Islam terpadu
adalah mengembangkan personal secara optimal, menjadikan anggota masyarakat
yang berguna menjadi insan kamil. Peserta didik diharapkan dapat memiliki
aqidah yang benar, beribadah secara benar, berakhlak mulia, cinta dan terampil
membaca Al-Quran, berakal budi yang cerdas, berbadan sehat dan kuat, dekat dan
cinta dengan Al-Qur’an, bertindak kreatif (terampil, mandiri dan bertanggung
jawab), bersikap positif (santun, toleran, jujur, berani, disiplin, rajin,
cinta kasih sesama).
Kurikulum yang digunakan di
sekolah Islam terpadu yaitu kurikulum nasional yang diwarnai dengan nilai-nilai
Islam melalui penambahan bidang studi keislaman, baik secara terpisah maupun
terintegrasi. Desain kurikulum
Berorientasi pada kebutuhan
siswa, lingkungan, dan perkembangan Iptek. Implementasi kurikulum lebih
mengedepankan integrasi secara fungsional dan kreatif antar aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor.
Adapun beberapa metode
pembelajaran yang diterapkan di sekolah Islam terpadu antara lain, sebagai
berikut:
·
Dialog, diskusi, dan curhat
pendapat.
·
Belajar sambil berbuat.
·
Visitasi
·
Metode belajar sinektik
(kreatif).
·
Belajar berbantuan computer yang
terkendali dan terarah.[1]
C.
Contoh
Model pendidikan Islam klasik dan orientasinya di masa pra islam
1.
Kuttab
Menurut
catatan sejarah, sebelum kedatangan islam, masyarakat Arab khususnya Mekah,
telah mengenal adanya lembaga pendidikan rendah yaitu Kuttab. Namun lembaga
pendidikan ini masih bersifat sederhana dan belum mampu menarik minat
masyarakat luas. Hal ini dapat dibuktikan ketika Islam lahir, masyarakat Mekah
yang bisa membaca dan menulis berkisar sekitar 17 orang, sedangkan masyarakat
Madinah sekitar 11 orang. Kuttab atau Maktab diambil dari kata Taktib yang
berarti mengajar menulis. Dalam buku yang lain Kuttab/Maktab berasal dari kata
dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab/maktab
berarti tempat menulis atau tempat dimana dilangsungkannya kegiatan untuk tulis
menulis.
Secara
historis dalam skala yang terbatas, lembaga pendidikan Kuttab telah ada di
dunia Arab pra Islam. Bentuknya seperti privat. Dimana seorang guru menyiapkan
sebuah ruangan dirumahnya dan menerima bayaran apabila guru tersebut mengajar
di keluarga yang mampu. Pada masa awal Islam sampai pada era Khulafaur
Rasyidin, secara umum pengajaran kuttab dilakukan tanpa adanya bayaran, akan
tetapi pada era bani Umayah, ada diantara penguasa yang sengaja menggaji guru
untuk mengajar putra-putranya dan menyediakan tempat bagi pelaksanaan proses
belajar mengajar di istananya. Disamping itu ada juga yang mempertahankan bentuk
lama yaitu melaksanakan pendidikan di pekarangan sekitar mesjid, biasanya
siswa-siswa dari kalangan kurang mampu. Materi yang diajarkan dalam kuttab
adalah tulis baca yang pada umumnya diambil dari syair-syair dan pepatah arab.
Dalam
sejarah pendidikan islam masa awal, dikenal dua bentuk kuttab yaitu:
1)
Kuttab berfungsi
sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca. pada masa ini,
Al-Qur’an belum dijadikan rujukan sebagai mata pelajaran dikarenakan dalam
rangka menjaga kesucian Al-Qur’an dan tidak sampai terkesan dipermainkan para
siswa dengan menulis dan menghapusnya, selain itu pada masa itu pengikut Nabi
yang bisa baca tulis masih sangat terbatas.
2)
Kuttab tempat
pendidikan yang mengajarkan Al-Qur’an dan dasar-dasar keagamaan. Pada era awal
ini, pelaksanaan pendidikan lebih terkonsentrasi pada pendidikan keimanan dan
budi pekerti dan belum pada meteri tulis baca. Dalam operasionalnya, baik kutab
jenis pertama maupun kedua dilakukan dengan sistem halaqah, namun ada juga guru
yang menggunakan metode dengan membacakan sebuah kitab dengan suara keras,
kemudian diikuti oleh seluruh siswanya. Proses ini dilakukan berulang-ulang
sampai siswa benar-benar menguasainya. Disamping itu ada juga guru yang
menyuruh siswanya untuk menyalin pelajaran dari kitab tertentu.
Lama
belajar di kedua bentuk kuttab tersebut tidak dibatasi oleh waktu, akan tetapi
ditentukan oleh kemampuan siswa dalam menyelesaikan pelajaran dalam suatu
kitab. Mata pelajaran pada tingkat ini adalah membaca, menulis, menghafal
Al-Qur’an serta pengetahuan akhlak. Phill K. Hitti mengatakan bahwa, kurikulum
pendidikan kuttab ini berorientasi kepada Al-Qur’an sebagai tekt book. Hal ini
mencakup pengajaran membaca, menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab,
sejarah Nabi, dan hadis.
2.
Masjid
Kata
masjid berasal dari bahasa Arab, sajada (fiil madi) yusajidu (mudahari’)
masajid/sajdan (masdar), artinya tempat sujud. Dalam pengertian yang lebih luas
berarti tempat shalat dan bermunajat kepada Allah sang pencipta dan tempat
merenung dan menata masa depan (dzikir).
Proses
yang mengantarkan masjid sebagai pusat dan pengetahuan adalah karena di masjid
tempat awal pertama mempelajari ilmu agama yang baru lahir dan mengenal
dasar-dasar, hukum-hukum, dan tujuannya. Masjid yang pertama kali dibangun
adalah masjid Quba, yaitu setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Seluruh kegiatan
umat difokuskan di masjid termasuk pendidikan. Majelis pendidikan yang
dilakukan Rasulullah bersama sahabat di masjid dilakukan dengan sistem halaqah.
Dalam
perkembangannya, dikalangan umat Islam tumbuh semangat untuk menuntut ilmu dan
memotivasi mereka mengantarkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan di
mesjid sebagai lembaga pendidikan menengah setelah kuttab. Kurikulum pendidikan
di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh
pejabat-pejabat pemerintah, seperti kadi, khatib, dan imam masjid.
Pertumbuhan
dan perkembangan lembaga pendidikan masjid pada era awal kurang mendapat
perhatian dari penguasa pada saat itu, karena penguasa telah memusatkan
perhatian pada proses penyebaran agama dan proses perluasan wilayah. Dengan
semakin luas wilayah kekuasaan islam, telah memperkaya perkembangan lembaga
ini, melalui asimilasi dan persentuhan budaya islam dengan budaya lokal.
Semua
contoh model yang telah dipaparkan diatas menjadi satu orientasi yang
diletakkan oleh rosululloh yaitu : (1) menumbuhkembangkan sistem kehidupan
sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), (2) meratakan
kehidupan ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; (3) dan berorientasi
kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir
intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran.
D.
Contoh
Model-model pendidikan yang terbukti tidak memuaskan tuntutan umat terlihat
pada praksisasinya sebagai berikut.
a.
Model pendidikan
Islam yang berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai yang konservatif
dan asketis harus dilestarikan dalam
sosok pribadi muslim yang resisten terhadap pukulan gelombang zaman.
b.
Jika pendidikan
Islam berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai islami yang mengandung
potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum
pendidikan, maka model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik di man
nilai-nilai yang terbukti tahan lama saja yang diinternalisasikan ke dalam
pribadi anak didik. Sedang nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaruan
ditinggalkan.
c.
Bila pendidikan
Islam hanya lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam
segala aspeknya, maka ia bercorak individualistis, di mana potensi aloplastik
(bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu
kepada kebutuhan sosiokultural.
d.
Jika pendidikan
Islam berorientasi kepada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio,
di mana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaruan kehidupan
sosial, maka pendidikan Islam bercorak teknologis, di mana nilai-nilai samawi
ditinggalkan diganti dengan nilia-nilai pragmatik-realivistik kultural.
e.
Akan tetapi,
jika pendidikan Islam yang berorientasi kepada perkembangan masyarakat
berdasarkan proses dialogis di mana manusia di tempatkan sebagai
geiger-counter, pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen sosial yang
berpotensi kontroversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahterakan. Maka
mekanisme reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai
Ilahi yang mendasari fitrah.
E.
Solusi
Dengan
memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugerah Allah, model
pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai
berikut.
a.
Filosofis,
memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah,
dinamis, dan sosial-religius serta yang psiko-fisik.
b.
Etimologis,
potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan
untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyah dharuriah, manjadi
shibghah manusia muslim sejati
berderajat mulia.
c.
Pedagogis,
manusia adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses
perkembangannya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan
Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang
harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya
disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
ü Secara
kurikuler model pendidikan tersebut didesain menjadi:
1.
Content: lebih
di fokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke
masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilai
yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
2.
Pendidik:
bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis
interdependen dan terpercaya.
3.
Anak didik:
dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain.
Jadi, corak
belajar demikian adalah bersifat inovatif bukan belajar melestarikan apa yang
ada, konservatif dan pasif serta dogmatis.
A.
Kesimpulan
Al-Ghozali
Menurut
al Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah eksis dalam jiwa manusia
bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Melalui belajar potensi itu akan
menjadi actual al Ghazali memandang
bahwa system perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasarkan pola
keseimbangan dengan kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran dengan
pengalaman mistik yang memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta
keseimbangan antara berpikir deduktif dengan pengalaman empiris manusia.
Orientasi al Ghazali yang becorak pendidik memperbaiki sikap dan perilaku
pendidik pada waktu bertugas mengajar.
Orientasi
al-Ghozali yang bercorak empiris dalam pendidikan tampak disisi lain, seperti
keharusan pendidik untuk memperbaiki sikap dan perilaku ketika mengajar.
Ibnu
Khaldun
Ibnu
Khaldun berpandangan serupa dengan al Ghazali. Menurutnya akal pikiran (rasio)
merupakan kekuatan menciptakan kehidupan dan kerja sama dengan anggota-anggota
masyarakatnya serta untuk menerima wahyu Tuhan melalui Rasul-Nya. Akal
pikirannya itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan belajarnya.
Ibnu sina
Ibnu
Sina yang berpandangan idealistis dalam pendidikan orientasinya lebih
menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam operasionalisasi
kependidikan ia berpaham empiris, seperti kedua filsuf yang disebut diatas.
Penerapan metode empiris tampak dalam proses pembentukan akhlak melalui
pembiasaan, pemberian hadiah dan hukuman, targhib dan tarhib, ikhlas dan
I’radh, dan sebagainya.
Muhammad
Abduh
Lebih
lanjut Muhammad Abduh salah seorang cendekiawan, ulama, maha guru Universitas
al Azhar, lebih mengedepankan kemampuan rasional dalam proses pemahaman ajaran
islam melalui pendidikan, sehingga cara-cara belajar yang verbalistis dipandang
tak bermakna. Orientasinya Pendidikan harus didasari dengan moral dan agama.
Pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mengadakan
pembaruan atau perubahan.
DR. Fadhil al Djamaly
DR.
Fadhil al Djamaly, sejalan dengan pemikiran para filsuf di atas lebih
menjabarkan lagi tuntutan kehidupan masyarakat (islam) terhadap pengetahuan
kurikulum pendidikan islam, yaitu suatu jenis ilmu pengetahuan yang dikehendaki
oleh Al Quran diajarkan kepada anak didik. Ilmu-ilmu pengetahuan itu mencakup
ilmu agama, sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu hitung, ilmu hukum, dan perundangan,
ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, sosiologi, ekonomi,
ilmu balaghah, dan adab, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertahanan
Negara, serta ilmu-ilmu yang dapat memperkembangkan kehidupan manusia dan
mempertinggi derajatnya.
model
pendidikan islam dan orientasinya di indonesia
1.
Model Pendidikan
Islamic Boarding System
Orientasinya
:
Menguasai ilmu kehidupan (iptek) dimaksudkan agar
umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan
baik di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannnya
sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh
sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu seperti teknik, kedokteran, pertanian dan
sebagainya sangat dibutuhkan umat.
Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar,
terstruktur, terprogram dan sistematis orientasi tujuannya untuk
membentuk manusia yang berkarakter, yakni (1) berkepribadian Islam, (2)
menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu kehidupan (pengetahuan dan teknologi).
2)
Pesantren
Ada
beberapa model pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren,
diantaranya: Sorogan, weton/bandongan, halaqah, hafalan, Hiwar, Bahtsul
Masa’il, fathul kutub, dan muqoronah. Model pembelajaran tersebut tentunya
belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pondok
pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan
tersebut.
Orientasinya :
Pendidikan
pesasntren berorientasi pada Iptek sebagai kebenaran relatif dan Imtaq sebagai
kebenaran mutlak. Berbeda dgn pendidikan sekuler yg hanya berorientasi pada
Iptek
3)
TPA/TPQ
Orientasinya
lebih menekankan pada dimensi akhlak meskipun tidak pula menafikan dimensi
intelektual. Peserta didik (santri/santriwati) TPA/TPQ akan mendapatkan
pendampingan yang lebih intensif dibandingkan pendidikan formal di sekolah.
Orientasinya
:
lebih
menekankan pada dimensi akhlak dan kemapuan dalam baca tulis Al-qur’an.meskipun
tidak pula menafikan dimensi intelektual. Peserta didik (santri/santriwati)
TPA/TPQ akan mendapatkan pendampingan yang lebih intensif dibandingkan
pendidikan formal di sekolah.
4)
Madrasah
Orientasinya
:
Lebih
mengutamakan berlangsungnya pendidikan umum dan agama, sehingga peserta didik
mampu menguasai satu sama lain sehingga antara kehidupan dunia dan akhiratnya
dapat terpenuhi secara seimbang.
Model pendidikan
Islam dan orientasinya di masa pra islam(Klasik))
1.
Kuttab.
2.
Masjid,dll
Semua
contoh model yang telah dipaparkan diatas menjadi satu orientasi yang
diletakkan oleh rosululloh yaitu : (1) menumbuhkembangkan sistem kehidupan
sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), (2) meratakan
kehidupan ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; (3) dan
berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas
dan pola pikir intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan
berkemakmuran.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Jurnal:
Rohadi Abdul Fattah, dkk. Rekonstruksi Pesantren Masa Depan.
ü Arifin, Muzayyin. 2003. Kapita
Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
ü Putra
Daulay, Haidar. 2009. Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
ü Hasbulloh, “Kapita selekta Pendidikan Islam”Jakarta :
PT Raja Grafindo persada
No comments:
Post a Comment