Friday, September 11, 2015

Model pendidikan Islam dan orientasinya pada masa Klasikal (Rosul dan para sahabat)



A. Latar Belakang
Realita perubahan sosiokultural yang melanda seluruh bangsa di atas bumi, termasuk bangsa Indonesia, menuntut kepada adanya konsepsi baru yang tanggap dan sanggup memecahkan problema-problema kehidupan umat manusia melalui pusat-pusat gerakan paling strategis dalam masyarakat. Salah satu pusat strategis tersebut adalah gerakan kependidikan yang mempunyai landasan ideal dan operasional yang kokoh berdasarkan nila-nilai yang pasti dan antisipatif kepada kemajuan hidup masa mendatang.
Pendidikan Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis, dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam bersumberkan Alqur’an dan Al-Hadits, cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut. Makna yang komprehensif dari sumber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia modern.
Secara embrionik, dorongan, dan rangsangan ajaran Alqur’an terhadap perkembangan rasio untuk pemantapan iman dan takwa diperkokoh melalui ilmu pengetahuan manusia merupakan ciri khas islami, yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab suci agama lain. Alquran sebagai sumber pedoman hidup umat manusia telah menggelarkan wawasan dasar terhadap masa depan hidup manusia dengan rentangan akal pikirannya yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu dan teknologi yang canggih.
Pandangan objektif dari salah seorang dokter bedah berkebangsaan Prancis, Dr. Maurice Bucaille, yang telah melakukan studi perbandingan mengenai Bibel dan Alquran serta sains modern sungguh mengejutkan umat Islam sendiri yang setiap hari memegang dan membaca kitab suci Alquran. Pendapat beliau berdasarkan standar ilmiah modern melalui analisis komparatif dan akademik terhadap kebenaran Alquran sebagai wahyu murni, secara tekstual dan materiil, menunjukkan bahwa “Alquran diwahyukan sesudah kitab suci sebelumnya, buka saja bebas dari kontradiksi dalam riwayat-riawayatnya. Kontradiksi yang menjadi ciri Injil karena disusun oleh manusia tetapi juga menyajikan kepada orang yang mempelajarinya secara objektif dengan mengambil petunjuk dari sains madern, suatu sifat yang khusus yakni persesuaian yang sempurna dengan hasil sains modern. Lebih dari itu semua sebagaimana telah kita buktikan, Alquran mengandung pernyataan ilmiah yang sangat modern yang tidak masuk akal, jika dikatakan bahwa orang yang hidup pada waktu Alquran itu diwahyukan adalah pencetus-pensetusnya. Dengan begitu, maka pengetahuan ilmiah modern memungkinkan kita memahami ayat-ayat tertentu dalam Alquran yang sampai sekarang tidak dapat di tafsirkan.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaiman Model pendidikan Islam dan orientasinya pada masa Klasikal (Rosul dan para sahabat)?
2.      Bagaimana Model pendidikan islam dan orientasinya di Indonesia?
3.      Bagaiman operasionalisasi pendidikan Islam dan orientasinya menurut pemikiran tokoh filosof muslim?
C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaiman Model pendidikan Islam dan orientasinya pada masa Rosul dan para sahabat?
2.      Untuk mengetahui bagaimana Model pendidikan islam dan orientasinya di Indonesia?
3.      Untuk mengetahui bagaiman Model pendidikan Islam danorientasinya menurut pemikiran tokoh filosof muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam dapat kita kembangkan menjadi suatu agent of technologically and culturally motivating resources dalam berbagai model yang mampu mendobrak pola pikir tradisional yang pada dasarnya dogmatis, kurang dinamis, dan berkembang secara bebas. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam tidak mengekang atau membelenggu pola pikir manusia dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan. Relevan dengan hal tersebut adalah kemampuan berijtihad dalam segala bidang ilmu pengetahuan perlu dikembangkan terus-menerus. Yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana kita membudidayakan ide-ide dan konsep-konsep keilmiahan yang bersumberkan kitab suci Alquran ke dalam educational engineering yang operasional dan fungsional sehingga dapat mengacu ke dalam perkembangan masyarakat yang makin dinamis.
Proses dialogis antara agama dan iptek harus dilangsungkan terus-menerus untuk membangun struktur dan kultur kehidupan stabil dan damai yang bersendikan iman dan takwa kepada Tuhan seru sekalian alam.
Peranan maksilmalnya mendasari dan memotivasi perkembangan iptek dengan iman, Islam, dan ihsan sehingga ia mengabdikan kepada kepentingan hidup manusia buka sebaliknya, manusia mengabdi kepada iptek.
Orientasi dasar pendidikan Islam, yang diletakkan oleh Rasulullah pada awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan sistem kehidupan sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), meratakan kehidupan ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran. Ketiga dimensi oerientasi dasar tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamisasikan umat manusia pada kurun waktu permulaan sejarah pendidikan Islam, yaitu pada zaman Nabi dan sahabat besar Nabi (khulafa’ ar-rasyidun). Pendidikan Islam benar-benar menggugah potensi alami manusia yang suci bersih sehingga mengacu kepada tuntutan aspiratif yang bercitra Ilahiah dan insaniah. Pendidikan Islam pada masa itu mampu menjadikan kaum muslimin sebagai pelaku positif terhadpa pembangunan diri pribadi dan masyarakatnya sehingga self-propelling dalam proses mencapai  baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur.
Sendi-sendi yang mendasari kehidupan psikologis manusia, yaitu iman tauhid yang berdimensi ketakwaan yang monoloyal kepada Allah, berhasil mendorong dan di pacu untuk berperan nyata dalam segala bidang kehidupan yang melahirkan sikap hidup  fastabiqul khairat.
A.     Model pengoperasionalisasi pendidikan (islam) dan Orientasinya menurut para tokoh muslim
a.      Al-Ghozali
Menurut al Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah eksis dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Melalui belajar potensi itu akan menjadi actual ( A.L. Tibawy, 1972, p.42-43) al Ghazali memandang bahwa system perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasarkan pola keseimbangan dengan kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta keseimbangan antara berpikir deduktif dengan pengalaman empiris manusia. Al-Ghozali berorientasi kepada kebutuhan perkembangan peserta didik dan pengaruh pendidikan pada perkembanagn anak didik. yang becorak pendidik memperbaiki sikap dan perilaku pendidik pada waktu bertugas mengajar
Ia memandang kemampuan rasional manusia lebih penting dari kemampuan kejiwaan lainnya, meskipun kemampuan rasional itu berada di dalam kekuaaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan adalah yang pertama dan rasio merupakan yang kedua.
b.      Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun berpandangan serupa dengan al Ghazali.dari segi pengoperasionalisa dan orientasi dalampendidikan islam. Menurutnya akal pikiran (rasio) merupakan kekuatan menciptakan kehidupan dan kerja sama dengan anggota-anggota masyarakatnya serta untuk menerima wahyu Tuhan melalui Rasul-Nya. Akal pikirannya itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan belajarnya.
c.       Ibnu Sina
yang berpandangan idealistis dalam pendidikan lebih menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam operasionalisasi kependidikan ia berpaham empiris, seperti kedua filsuf yang disebut diatas. Penerapan metode empiris tampak dalam proses pembentukan akhlak atau moralitas. melalui pembiasaan, pemberian hadiah dan hukuman, targhib dan tarhib, ikhlas dan I’radh, dan sebagainya.
d.      Muhammad Abduh
Lebih lanjut Muhammad Abduh salah seorang cendekiawan, ulama, maha guru Universitas al Azhar, lebih mengedepankan kemampuan rasional dalam proses pemahaman ajaran islam melalui pendidikan, sehingga cara-cara belajar yang verbalistis dipandang tak bermakna. Sebagai seorang pemikir pembaruan umat islam, ia memandang bahwa peranan system pendidikan besar sekali bagi proses modernisasi kehidupan umat islam. Orientasinya Pendidikan harus didasari dengan moral dan agama. Pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mengadakan pembaruan atau perubahan.
e.       DR. Fadhil al Djamaly
DR. Fadhil al Djamaly, sejalan dengan pemikiran para filsuf di atas lebih menjabarkan lagi arah tuntutan kehidupan masyarakat (islam) terhadap pengetahuan kurikulum pendidikan islam, yaitu suatu jenis ilmu pengetahuan yang dikehendaki oleh Al Quran diajarkan kepada anak didik. Ilmu-ilmu pengetahuan itu mencakup ilmu agama, sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu hitung, ilmu hukum, dan perundangan, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, sosiologi, ekonomi, ilmu balaghah, dan adab, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertahanan Negara, serta ilmu-ilmu yang dapat memperkembangkan kehidupan manusia dan mempertinggi derajatnya. (DR. Fadhil Al Djamaly, 1967,p.119).
Pokoknya semua ilmu duniawi dan ukhrawi diintegrasikan menjadi satu ilmu pengetahuan yang bulat, karena ilmu pengetahuan pada hakikatnya berasal dari Tuhan.
 s-öqsùur Èe@à2 ÏŒ AOù=Ïæ ÒOŠÎ=tæ ÇÐÏÈ  
“dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui.”(Q.S. Yusuf:76)
O¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
“Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.(Q.S.Al alaq:5)
Konsekuensi dari pandangan yang Pan-Islamisme dalam ilmu pengetahuan demikian memang merupakan das sollen bagi pendidikan kita, namun perlu berjuang untuk mendapatkan perangkat keras (software dan hardware) dengan pendidik-pendidik yang ilmuwan muslim paripurna yang dilahirkan dari system pencangkokan pada system pendidikan lain.
Sarana inilah yang merupakan problema tersendiri  bagi umat islam, dilihat dari berbagai aspek kemampuan baik teknis, manajerial, maupun finansialnya. Padahal dunia masa kini dan masa depan adalah dunia teknologi, di mana berlaku aksioma Francis Bacon knowledge is power yang menuntut manusia untuk survive dari segala bentuk penyakit sedemikian rupa sehingga mampu mereformasi dan memperbarui dirinya sendiri secara berkesinambungan.
Hanya kemampuan otak duniawi yang terintegrasi saja yang dapat menciptakan system yang serupa itu.
Sejalan dengan pandangan dan cita serta sitra idealistis tersebut di atas, umat islam harus mengubah sikap pandangannya yang lama, yaitu dari pandangan terhadap lembaga pendidikan islam hanya sebagai gudang ilmu atau bank transfer dan transmisi cultural menjadi sentra pengolahan ilmu yang alamiah dan ilmiah yang mengacu kepada tuntutan masyarakat yang thoyibah warabbun ghafur dapat terwujud.
Oleh karena itu, berbagai model pendidikan islam yang berorientasi perspektif ke masa depan merupakan jawaban yang tepat guna.
B.     Contoh Model Pendidikan Islam dan orientasinya di Indonesia
Berikut merupakan salah satu wujud model pendidikan islam beserta orientasinya yang ada di Indonesia
1.            Model Pendidikan Islamic Boarding System
Model Pendidikan Islamic Boarding System melakukan solusi strategis  dengan menggagas suatu pola pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat  fungsional, yakni:
Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dengan semua komponen  berbasis  Islam, yaitu: (1)  kurikulum yang paradigmatik, (2) asatidz dan asatidzah yang amanah dan kafaah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4)  lingkungan dan budaya madrasah yang optimal. Dengan  melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya  meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif  pada anak didik,  diharapkan  pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif  sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah – keluarga – masyarakat inilah yang akan menjadikan pribadi anak didik yang utuh sesuai dengan kehendak Islam.
Konsep Keterpaduan Sekolah(madrasah), Asrama/Pesantren dan Masjid
Untuk meciptakan kultur sekolah yang bersih dari pengaruh negatif masyarakat, program full-day school dan boarding school merupakan alternatif yang dapat dilakukan. Karena itu, tiga poros sekolah, asrama/pesantren dan masjid yang berperan penting dalam pengembangan SDM tapi selama ini terpisah-pisah, harus dapat diharmonisasikan. Sekolah berfungsi untuk mengintroduksikan kurikulum pendidikan secara formal sesuai dengan jenjang yang ada. Asrama merupakan sarana di luar sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan formal. Sikap disiplin, kemandirian, kepemimpinan dan tanggung jawab dapat diciptakan dalam asrama. Sedangkan masjid merupakan pusat kegiatan keislaman siswa. Di masjid, siswa akan melakukan shalat berjamaah, pembinaan kepribadian dan kegiatan lainnya. Jika ketiganya diintegrasikan,  diharapkan akan tercipta budaya sekolah yang ideal.
Orientasinya :
Menguasai ilmu kehidupan (iptek) dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik  di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannnya sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu seperti teknik, kedokteran, pertanian dan sebagainya  sangat dibutuhkan umat.
Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram  dan sistematis orientasi tujuannya untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni (1) berkepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu kehidupan (pengetahuan dan teknologi).
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim dalam seluruh aktivitas kesehariaannya. Identitas kemusliman akan nampak pada kepribadian seorang muslim, yakni pada pola berpikir (aqliyah) dan pola bersikapnya (nafsiyah) yang distandarkan pada aqidah Islam. Islam mendorong setiap muslim  untuk maju dengan cara men-taklif-nya (memberi beban hukum) kewajiban menuntut ilmu, baik ilmu yang berkaitan langsung dengan Islam (tsaqofah Islam)  maupun ilmu pengetahuan umum (iptek).
2.      Pesantren
Pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansekerta, atau mungkin jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Secara terminologi dapat dikemukakan di sini beberapa pandangan yang mengarah kepada definisi pesantren. Abdurrahman Wahid, mendefinisikan pesantren secara teknis, pesantren adalah tempat di mana santri tinggal. Secara definitif Imam Zarkasyi, mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
Ada beberapa model pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren, diantaranya: Sorogan, weton/bandongan, halaqah, hafalan, Hiwar, Bahtsul Masa’il, fathul kutub, dan muqoronah. Model pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pondok pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan tersebut.
Orienyasinya :
Pendidikan pesasntren berorientasi pada Iptek sebagai kebenaran relatif dan Imtaq sebagai kebenaran mutlak. Berbeda dgn pendidikan sekuler yg hanya berorientasi pada Iptek.
3.      TPA/TPQ
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA/TPQ) adalah unit pendidikan non-formal jenis keagamaan berbasis komunitas muslim yang menjadikan al-Qur’an sebagai materi utamanya, dan diselenggararakan dalam suasana yang Indah, Bersih, Rapi, Nyaman, dan Menyenangkan sebagai cerminan nilai simbolis dan filosofis dari kata TAMAN yang dipergunakan. TPA/TPQ bertujuan menyiapkan terbentuknya generasi Qur’ani, yaitu generasi yang memiliki komitmen terhadap al-Qur’an sebagai sumber perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam terhadap al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus menerus mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kemauan yang kuat untuk mengamalkannya secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan di TPA/TPQ Orientasinya lebih menekankan pada dimensi akhlak dan kemapuan dalam baca tulis Al-qur’an.meskipun tidak pula menafikan dimensi intelektual. Peserta didik (santri/santriwati) TPA/TPQ akan mendapatkan pendampingan yang lebih intensif dibandingkan pendidikan formal di sekolah. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa nyaman dalam belajar sehingga materi yang disampaikan lebih mudah dipahami, lebih jauh lagi agar lebih mudah diimplementasikan dalam kehidupan keseharian. Sistem pembelajaran ini pun telah diadopsi di sekolah-sekolah Islam terpadu yang mulai banyak berdiri dan berkembang di tahun 2002an.
4.      Madrasah
Kata madrasah berasal dari “darasa” yang berarti belajar. Makna lain dari “darasa” adalah terhapus, hilang bekasnya, menjadikan usang, melatih dan mempelajari. Berdasarkan arti madrasah tersebut, maka diketahui bahwa istilah madrasah merupakan tempat untuk mencerdaskan para peserta didik, menghilangkan ketidaktahuan, atau memberantas kebodohan mereka serta melatih keterampilan mereka sesuai bakat, minat dan kemampuannya. Madrasah juga tidak hanya diartikan sebagai sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai dengan rumah, istana, kuttab, masjid, perpustakaan, surau dan tempat-tempat lainnya. Bahkan seorang ibu dapat dikategorikan sebagai al-madrasah al”ula (madrasah pemula).
Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang
sama : "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Sungguhpun secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
Orientasinya :
Lebih mengutamakan berlangsungnya pendidikan umum dan agama, sehingga peserta didik mampu menguasai satu sama lain sehingga antara kehidupan dunia dan akhiratnya dapat terpenuhi secara seimbang.
5.      Sekolah Islam Terpadu
Orientasi sekolah Islam terpadu adalah mengembangkan personal secara optimal, menjadikan anggota masyarakat yang berguna menjadi insan kamil. Peserta didik diharapkan dapat memiliki aqidah yang benar, beribadah secara benar, berakhlak mulia, cinta dan terampil membaca Al-Quran, berakal budi yang cerdas, berbadan sehat dan kuat, dekat dan cinta dengan Al-Qur’an, bertindak kreatif (terampil, mandiri dan bertanggung jawab), bersikap positif (santun, toleran, jujur, berani, disiplin, rajin, cinta kasih sesama).
Kurikulum yang digunakan di sekolah Islam terpadu yaitu kurikulum nasional yang diwarnai dengan nilai-nilai Islam melalui penambahan bidang studi keislaman, baik secara terpisah maupun terintegrasi. Desain kurikulum
Berorientasi pada kebutuhan siswa, lingkungan, dan perkembangan Iptek. Implementasi kurikulum lebih mengedepankan integrasi secara fungsional dan kreatif antar aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun beberapa metode pembelajaran yang diterapkan di sekolah Islam terpadu antara lain, sebagai berikut:
·         Dialog, diskusi, dan curhat pendapat.
·         Belajar sambil berbuat.
·         Visitasi
·         Metode belajar sinektik (kreatif).
·         Belajar berbantuan computer yang terkendali dan terarah.[1]
C.     Contoh Model pendidikan Islam klasik dan orientasinya di masa pra islam
1.      Kuttab
Menurut catatan sejarah, sebelum kedatangan islam, masyarakat Arab khususnya Mekah, telah mengenal adanya lembaga pendidikan rendah yaitu Kuttab. Namun lembaga pendidikan ini masih bersifat sederhana dan belum mampu menarik minat masyarakat luas. Hal ini dapat dibuktikan ketika Islam lahir, masyarakat Mekah yang bisa membaca dan menulis berkisar sekitar 17 orang, sedangkan masyarakat Madinah sekitar 11 orang. Kuttab atau Maktab diambil dari kata Taktib yang berarti mengajar menulis. Dalam buku yang lain Kuttab/Maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab/maktab berarti tempat menulis atau tempat dimana dilangsungkannya kegiatan untuk tulis menulis.
Secara historis dalam skala yang terbatas, lembaga pendidikan Kuttab telah ada di dunia Arab pra Islam. Bentuknya seperti privat. Dimana seorang guru menyiapkan sebuah ruangan dirumahnya dan menerima bayaran apabila guru tersebut mengajar di keluarga yang mampu. Pada masa awal Islam sampai pada era Khulafaur Rasyidin, secara umum pengajaran kuttab dilakukan tanpa adanya bayaran, akan tetapi pada era bani Umayah, ada diantara penguasa yang sengaja menggaji guru untuk mengajar putra-putranya dan menyediakan tempat bagi pelaksanaan proses belajar mengajar di istananya. Disamping itu ada juga yang mempertahankan bentuk lama yaitu melaksanakan pendidikan di pekarangan sekitar mesjid, biasanya siswa-siswa dari kalangan kurang mampu. Materi yang diajarkan dalam kuttab adalah tulis baca yang pada umumnya diambil dari syair-syair dan pepatah arab.
Dalam sejarah pendidikan islam masa awal, dikenal dua bentuk kuttab yaitu:
1)      Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca. pada masa ini, Al-Qur’an belum dijadikan rujukan sebagai mata pelajaran dikarenakan dalam rangka menjaga kesucian Al-Qur’an dan tidak sampai terkesan dipermainkan para siswa dengan menulis dan menghapusnya, selain itu pada masa itu pengikut Nabi yang bisa baca tulis masih sangat terbatas.
2)      Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al-Qur’an dan dasar-dasar keagamaan. Pada era awal ini, pelaksanaan pendidikan lebih terkonsentrasi pada pendidikan keimanan dan budi pekerti dan belum pada meteri tulis baca. Dalam operasionalnya, baik kutab jenis pertama maupun kedua dilakukan dengan sistem halaqah, namun ada juga guru yang menggunakan metode dengan membacakan sebuah kitab dengan suara keras, kemudian diikuti oleh seluruh siswanya. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai siswa benar-benar menguasainya. Disamping itu ada juga guru yang menyuruh siswanya untuk menyalin pelajaran dari kitab tertentu.
Lama belajar di kedua bentuk kuttab tersebut tidak dibatasi oleh waktu, akan tetapi ditentukan oleh kemampuan siswa dalam menyelesaikan pelajaran dalam suatu kitab. Mata pelajaran pada tingkat ini adalah membaca, menulis, menghafal Al-Qur’an serta pengetahuan akhlak. Phill K. Hitti mengatakan bahwa, kurikulum pendidikan kuttab ini berorientasi kepada Al-Qur’an sebagai tekt book. Hal ini mencakup pengajaran membaca, menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah Nabi, dan hadis.
2.      Masjid
Kata masjid berasal dari bahasa Arab, sajada (fiil madi) yusajidu (mudahari’) masajid/sajdan (masdar), artinya tempat sujud. Dalam pengertian yang lebih luas berarti tempat shalat dan bermunajat kepada Allah sang pencipta dan tempat merenung dan menata masa depan (dzikir).
Proses yang mengantarkan masjid sebagai pusat dan pengetahuan adalah karena di masjid tempat awal pertama mempelajari ilmu agama yang baru lahir dan mengenal dasar-dasar, hukum-hukum, dan tujuannya. Masjid yang pertama kali dibangun adalah masjid Quba, yaitu setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Seluruh kegiatan umat difokuskan di masjid termasuk pendidikan. Majelis pendidikan yang dilakukan Rasulullah bersama sahabat di masjid dilakukan dengan sistem halaqah.
Dalam perkembangannya, dikalangan umat Islam tumbuh semangat untuk menuntut ilmu dan memotivasi mereka mengantarkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan di mesjid sebagai lembaga pendidikan menengah setelah kuttab. Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti kadi, khatib, dan imam masjid.
Pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan masjid pada era awal kurang mendapat perhatian dari penguasa pada saat itu, karena penguasa telah memusatkan perhatian pada proses penyebaran agama dan proses perluasan wilayah. Dengan semakin luas wilayah kekuasaan islam, telah memperkaya perkembangan lembaga ini, melalui asimilasi dan persentuhan budaya islam dengan budaya lokal.
Semua contoh model yang telah dipaparkan diatas menjadi satu orientasi yang diletakkan oleh rosululloh yaitu : (1) menumbuhkembangkan sistem kehidupan sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), (2) meratakan kehidupan ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; (3) dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran.
D.    Contoh Model-model pendidikan yang terbukti tidak memuaskan tuntutan umat terlihat pada praksisasinya sebagai berikut.
a.       Model pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai yang konservatif dan asketis harus  dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resisten terhadap pukulan gelombang zaman.
b.      Jika pendidikan Islam berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik di man nilai-nilai yang terbukti tahan lama saja yang diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik. Sedang nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaruan ditinggalkan.
c.       Bila pendidikan Islam hanya lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak individualistis, di mana potensi aloplastik (bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu kepada kebutuhan sosiokultural.
d.      Jika pendidikan Islam berorientasi kepada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio, di mana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaruan kehidupan sosial, maka pendidikan Islam bercorak teknologis, di mana nilai-nilai samawi ditinggalkan diganti dengan nilia-nilai pragmatik-realivistik kultural.
e.       Akan tetapi, jika pendidikan Islam yang berorientasi kepada perkembangan masyarakat berdasarkan proses dialogis di mana manusia di tempatkan sebagai geiger-counter, pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen sosial yang berpotensi kontroversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahterakan. Maka mekanisme reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai Ilahi yang mendasari fitrah.
E.     Solusi
Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugerah Allah, model pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut.
a.       Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis, dan sosial-religius serta yang psiko-fisik.
b.      Etimologis, potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyah dharuriah, manjadi shibghah  manusia muslim sejati berderajat mulia.
c.       Pedagogis, manusia adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
ü  Secara kurikuler model pendidikan tersebut didesain menjadi:
1.      Content: lebih di fokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilai yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
2.      Pendidik: bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
3.      Anak didik: dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain.
Jadi, corak belajar demikian adalah bersifat inovatif bukan belajar melestarikan apa yang ada, konservatif dan pasif serta dogmatis.
A.    Kesimpulan
Al-Ghozali
Menurut al Ghazali, secara potensial pengetahuan itu telah eksis dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Melalui belajar potensi itu akan menjadi actual  al Ghazali memandang bahwa system perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasarkan pola keseimbangan dengan kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta keseimbangan antara berpikir deduktif dengan pengalaman empiris manusia. Orientasi al Ghazali yang becorak pendidik memperbaiki sikap dan perilaku pendidik pada waktu bertugas mengajar.
Orientasi al-Ghozali yang bercorak empiris dalam pendidikan tampak disisi lain, seperti keharusan pendidik untuk memperbaiki sikap dan perilaku ketika mengajar.
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun berpandangan serupa dengan al Ghazali. Menurutnya akal pikiran (rasio) merupakan kekuatan menciptakan kehidupan dan kerja sama dengan anggota-anggota masyarakatnya serta untuk menerima wahyu Tuhan melalui Rasul-Nya. Akal pikirannya itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan belajarnya.
Ibnu sina
Ibnu Sina yang berpandangan idealistis dalam pendidikan orientasinya lebih menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam operasionalisasi kependidikan ia berpaham empiris, seperti kedua filsuf yang disebut diatas. Penerapan metode empiris tampak dalam proses pembentukan akhlak melalui pembiasaan, pemberian hadiah dan hukuman, targhib dan tarhib, ikhlas dan I’radh, dan sebagainya.
Muhammad Abduh
Lebih lanjut Muhammad Abduh salah seorang cendekiawan, ulama, maha guru Universitas al Azhar, lebih mengedepankan kemampuan rasional dalam proses pemahaman ajaran islam melalui pendidikan, sehingga cara-cara belajar yang verbalistis dipandang tak bermakna. Orientasinya Pendidikan harus didasari dengan moral dan agama. Pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mengadakan pembaruan atau perubahan.
            DR. Fadhil al Djamaly
DR. Fadhil al Djamaly, sejalan dengan pemikiran para filsuf di atas lebih menjabarkan lagi tuntutan kehidupan masyarakat (islam) terhadap pengetahuan kurikulum pendidikan islam, yaitu suatu jenis ilmu pengetahuan yang dikehendaki oleh Al Quran diajarkan kepada anak didik. Ilmu-ilmu pengetahuan itu mencakup ilmu agama, sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu hitung, ilmu hukum, dan perundangan, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, sosiologi, ekonomi, ilmu balaghah, dan adab, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertahanan Negara, serta ilmu-ilmu yang dapat memperkembangkan kehidupan manusia dan mempertinggi derajatnya.
model pendidikan islam dan orientasinya di indonesia
1.      Model Pendidikan Islamic Boarding System
Orientasinya :
Menguasai ilmu kehidupan (iptek) dimaksudkan agar umat Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik  di muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannnya sebagai fardlu kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu seperti teknik, kedokteran, pertanian dan sebagainya  sangat dibutuhkan umat.
Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram  dan sistematis orientasi tujuannya untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni (1) berkepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu kehidupan (pengetahuan dan teknologi).
2)      Pesantren
Ada beberapa model pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren, diantaranya: Sorogan, weton/bandongan, halaqah, hafalan, Hiwar, Bahtsul Masa’il, fathul kutub, dan muqoronah. Model pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pondok pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan tersebut.
            Orientasinya :
Pendidikan pesasntren berorientasi pada Iptek sebagai kebenaran relatif dan Imtaq sebagai kebenaran mutlak. Berbeda dgn pendidikan sekuler yg hanya berorientasi pada Iptek
3)      TPA/TPQ
Orientasinya lebih menekankan pada dimensi akhlak meskipun tidak pula menafikan dimensi intelektual. Peserta didik (santri/santriwati) TPA/TPQ akan mendapatkan pendampingan yang lebih intensif dibandingkan pendidikan formal di sekolah.
Orientasinya :
lebih menekankan pada dimensi akhlak dan kemapuan dalam baca tulis Al-qur’an.meskipun tidak pula menafikan dimensi intelektual. Peserta didik (santri/santriwati) TPA/TPQ akan mendapatkan pendampingan yang lebih intensif dibandingkan pendidikan formal di sekolah.
4)      Madrasah
Orientasinya :
Lebih mengutamakan berlangsungnya pendidikan umum dan agama, sehingga peserta didik mampu menguasai satu sama lain sehingga antara kehidupan dunia dan akhiratnya dapat terpenuhi secara seimbang.
Model pendidikan Islam dan orientasinya di masa pra islam(Klasik))
1.      Kuttab.
2.      Masjid,dll
Semua contoh model yang telah dipaparkan diatas menjadi satu orientasi yang diletakkan oleh rosululloh yaitu : (1) menumbuhkembangkan sistem kehidupan sosial yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), (2) meratakan kehidupan ekonomi yang bertumpu pada nilai-nilai moral tinggi; (3) dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola pikir intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran.






DAFTAR PUSTAKA

ü  Jurnal: Rohadi Abdul Fattah, dkk. Rekonstruksi Pesantren Masa Depan.
ü  Arifin, Muzayyin. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
ü  Putra Daulay, Haidar. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
ü  Hasbulloh, “Kapita selekta Pendidikan Islam”Jakarta : PT Raja Grafindo persada






[1] Jurnal: Rochmat Wahab. Konsep Sekolah Islam Terpadu.

No comments:

Post a Comment