Friday, September 11, 2015

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ISLAM DI SEKOLAH DAN MADRASAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren. 
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak perubahan mendasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus berlanjut hingga kini. 
Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala mengembangkan suatu ilmu . 
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari  kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70 persen  ilmu umum dan 30 persen agama.
Dengan demikian, berdasakan problematika di atas, maka dalam makalah ini akan mengupas tentang pendidikan islam di Indonesia yang ada pada sekolah umum dan agama serta menindak lanjuti solusinya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana  Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah ?
2.      Bagaimana usaha Pemerintah untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang setingkat ?
3.      Bagaimana usaha guru professional dalam penyelenggaraan pendidikan islam di sekolah dan madrasah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hal yang mendasari Pendidikan Agama di sekolah dan Madrasah
2.      Untuk mengetahui usaha Pemerintah dalam  meningkatkan mutu pendidikan agam islam.
3.      Untuk mengetahui usaha guru professional dalam penyelenggaraan pendidikan islam di sekolah dan madrasah?




BAB II
PEMBAHASAN

I.                   Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum
Pendidikan agama islam di sekolah umum merupakan suatu gebrakan dalam pembaharuan dalam pendidikan. Pada masa penjajahan agama tidak mendapat tempat di sekolah umum. Pendidikan agama dianggap hanya diberikan oleh keluarga, bukan di sekolah. Kolonial Belanda sangat gencar menghambat perkembangan pendidikan agama di sekolah umum karena selain menjajah territorial, Belanda juga membawa misi kristenisasi di Indonesia.
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-undang no. 20 /2003 pendidikan agama diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama telah diperbolehkan untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal dan informal.
a.      Pendidikan Agama setelah kemerdekaan
Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama RI mengatakan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetaplah sebuah asas yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila, sebagai manifestasi dari sikap hidup yang religius tersebut. Selain itu pada pasal 29 UUD 1945 yang menjelaskan tentang:
Ayat 1 : Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Ayat 2 :Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Maka untuk merealisasikan sikap hidup yang agamis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah RI membentuk Departemen Agama. Tugas utama departemen ini adalah mengurus soal-soal yang berkenaan dengan kehidupan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu di antaranya adalah berkenaan dengan pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh Departemen Agama tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama saja, pesantren dan madrasah, tetapi juga menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 dan 2 sebagai berikut :
1)      Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
2)      Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakarpada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dari rumusan di atas, dalam rangka mengembangkan potensi manusia Indonesia seutuhnya, dalam arti utuh jasmani dan rohani sesuai dengan amanah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, diperlukan adanya pelaksanaan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah pada semua jalur jenis dan jenjang pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum sesuai dengan ketentuan undang-undang dapat dilihat pada beberapa pasal dari UUSP No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) tersebut di atas ditegaskan bahwa : Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta berakhlak manusia.
Bab V tentang peserta didik, Pasal 12 ayat (1)
(1)   Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
a.       Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b.      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
Bab X tentang kurikulum pada Pasal 36 ayat (3) juga dinyatakan :
(3)   Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memerhatikan :
a.       Peningkatan iman dan takwa
b.      Peningkatan akhlak mulia
c.       Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik.
d.      Keraguan potensi daerah dan lingkungan
e.       Tuntutan pembangunan daerah dan lingkungan
f.       Dinamika perkembangan global
Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum diatur dalam undang-undang, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum, dan komponen-komponen pendidikan lainnya.
Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa dalam rangka membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, maka pendidikan agama berfungsi sebagai berikut:
1)      Dalam aspek individual adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan berakhlak mulia.
2)      Dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah untuk hal-hal sebagai berikut :
a.                   Melestarikan asa pembangunan nasional, khususnya asa perikehidupaan dalam keseimbangan.
b.                  Melestarikan modal dasar pembangunan nasional yakni modal rohaniah dan mental berupa keimanan, ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan akhlak mulia.
c.                   Membimbing warga negara Indonesia menjadi warga negara yang baik sekaligus umat yang taat menjalankan agamanya.
Hal ini sesuai dengan rumusan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan agama menempati tempat yang strategis secara operasional, yaitu pendidikan agama mempunyai relevansi dengan pendidikan kehidupan bangsa dan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Upaya pendidikan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, memberikan makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek kepribadian seluruh makna perlunya pengembangan seluruh dimensi  aspek kepribadian seluruhnya secara seimbang dan selaras. Konsep manusia seutuhnya harus dipandang memiliki unsur jasad, akal, dan kalbu serta aspek kehidupannya sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Kesemuanya harus berada dalam kesatuan integrlistik yang bulat. Pendidikan agama perlu diarahkan untuk mengembangkan iman, akhlak, hati nurani, budi pekerti serta aspek kecerdasan dan keterampilan sehingga terwujud keseimbangan. Dengan demikian, pendidikan agama secara langsung akan mampu memberikan kontribusi terhadap seluruh dimensi perkembangan manusia Indonesia seutuhnya seperti tercermin dari semua unsur yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti yang dimaksudkan.[1]
Dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang objeknya adalah pribadi anak yang sedang berkembang, maka adanya hubungan timbal balik antara penanggung jawab pendidikan, yaitu yang di dalamnya terdiri dari kepala sekolah, para guru, staf ketatausahaan, orang tua dan anggota keluarga lainnya mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya karena peserta didik masih memerlukan perlindungan dan bimbingan sekolah dan keluarga tersebut, tetapi juga pengaruh pendidikan dan perkembangan kejiwaan yang diterima peserta didik dari kedua lingkungan tersebut tidak boleh menimbulkan pecahnya kepribadian anak. Pengaruh komplikasi psikologis tersebut selain bisa mengakibatkan frustasi pada diri anak, juga dapat menghambat perkembangan jiwa anak didik.
Dengan kata lain, suatu kerjasama antara penanggung jawab pendidikan tersebut perlu diintensifkan, baik melalui usaha guru-guru di sekolah maupun orang-orang tua murid. Pertemuan antara kedua pendidik (guru dan orang tua) perlu diadakan secara periodik, kunjungan guru ke rumah orang tua murid yang diatur secara periodik untuk saling mengadakan pertukaran pikiran dan pendapat tentang anak didiknya adalah merupakan kegiatan padagogis yang sangat penting artinya bagi usaha menyukseskan pendidikan agama.
Guru perlu mengetahui sedikit tentang suasana rumah, tempat anak itu hidup, sehingga guru mengetahui suasana hidup keagamaannya dan bagaimana pandangannya terhadap perlunya pendidikan agama bagi putra-putrinya.Guru memerlukan keterangan-keterangan dari orang tua murid mengenai anaknya masing-masing. Melalui cara demikian, guru akan memperoleh petunjuk-petunjuk yang berharga yang dapat digunakan guna pendidikan anak di sekolah.
Lingkungan masyarakat juga mempunyai pengaruh pada pendidikan anak di sekolah. Terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah, sekolah dan masyarakat mempunyai hubungan timbal balik, yaitu sekolah menerima pengaruh masyarakat  dan masyarakatnya juga dipengaruhi oleh hasil pendidikan sekolah. Menjadi tugas sekolah untuk mengenal anak agar mereka belajar hidup di masyarakat dan belajar memahaminya dan mengenal baik buruknya.
Dengan demikian, dengan cara tersebut diharapkan agar anak memahami dan menghargai suasana masyarakatnya. Salah satu dari tujuan sekolah adalah mengantar anak dari dalam kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan agama yang berlangsung dan diselenggarakan masyarakat harus menjadi penunjang dan pelengkap yang mampu untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan keagamaan anak. Demikian pula hendaknya yang terjadi di lingkungan keluarga, pendidikan agama harus menjadi pendorong yang saling menguatkan, sehingga melalui program keterpaduan dapat dikembangkan program pendidikan agama yang berkelanjutan, yang saling mengisi dan menguatkan.
Program pendidikan agama pada ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus diusahakan agar tidak tumpang tindih, tidak saling melemahkan dan tidak jadi bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, prinsip keterpaduan pendidikan agama Islam akan tercapai dengan baik. Selanjutnya, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan antarumat beragama.
Adapun tujuan pendidikan agama, yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama harus memerhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
1)      Pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
2)      Pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
3)      Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4)      Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
5)      Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana keagamaan dan menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalamannya.
Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama, dengan ketentuan sebagai berikut :
1)      Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
2)      Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggaraan pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
3)      Satuan pendidikan seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan agama yang dianut oleh peserta didik.
4)      Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
5)      Satuan pendidikan yang bercirikan khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun tempat ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
Adapun kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK, atau bentuk lain yang sederajat adalah sarjana agama, ditambah sertifikat profesi pendidik pendidikan agama dari perguruan tinggi yang terakreditasi. Pendidik pendidikan agama adalah guru mata pelajaran pendidikan agama harus memiliki latar belakang agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan mata pelajaran pendidikan agama yang diajarkan bagi pendidik yang tidak memenuhi kualifikasi minimum sebagaimana tersebut, tetapi memiliki di bidang agama setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.
Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Mengenai pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh pengawas pendidikan agama terhadap penyelenggaraan pendidikan agama, yang meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Laporan sebagaimana dimaksud di atas berisi evaluasi terhadap pelaksanaan teknis pendidikan agama dan ditujukan kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota atau Kantor Wilayah Departemen Agama[2]
II. Pendidikan Agama Islam di Madrasah
1.      Berkembangnya Madrasah di Indonesia
Madrasah (Bahasa Arab) berarti tempat untuk belajar. Persamaan Madrasah alam bahasa Indonesia adalah “sekolah”, dengan konotasi yang khusus yaitu sekolah-sekolah agama Islam. Tempat belajar adalah tempat untuk mengajarkan dan mempelajari ajaran-ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan, dan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya.
Sekitar abad ke-19, pemerintah Belanda mulai memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat sehingga hal itu sedikit banyak mempengaruhi system pendidikan yang telah berkembang di Indonesia, termasuk pesantren yang menjadi sistem pendidikan madrasah. Sistem sekolah yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda telah memasuki dunia pesantren. Sistem khalaqah bergeser ke arah sistem madrasah dalam bentuk klasikal, dengan unit-unit kelas.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak madrasah yang didirikan terpisah dengan induknya yaitu pesantren, surau atau masjid. Bahkan, dengan adanya ide-ide pembaruan dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, tidak sedikit madrasah yang didirikan sudah lepas sama sekali dengan pesantren sehingga tidak hanya memberikan pengetahuan agama, tetapi juga mengajarkan pengetahuan umum, sesuai dengan tuntutan zaman. Madrasah yang pertama kali didirikan di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah di Padang Sumatra Barat, yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad tahun 1909.
Madrasah tersebut pada mulanya bercorak agama murni. Akhirnya pada tahun 1915 berubah coraknya menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah. HIS Adabiyah inilah yang merupakan sekolah pertama yang memasukkan pelajaran agama ke dalam kegiatan pengajarannya.
Awal abad ke-20 merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah di seluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi dan belum ada keseragaman baik isi kurikulum serta rencana pelajaran. Baru, setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1950 mulai dirintis penyeragaman bentuk, sistem dan rencana pelajaran. Dari sini dapat dikatakan bahwa madrasah-madrasah pada awal perkembangannya masih bersifat diniyah semata, atau materi pendidikannya hanya agama. Kemudian sekitar tahun 1930 terjadi pembaruan madrasah, yaitu dengan masuknya pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya.[3]   
2.      Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Madrasah
Secara historis, pada tahap-tahap awal perjalanan madrasah tidaklah begitu mulus, kendatipun didirikan dengan nama madrasah, semula yang dikehendaki ialah suatu lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, yang didalamnya anak didik mendapatkan ilmu pengetahuan agamaan umum secara berimbang. Tetapi prakteknya hanya dicerminkan oleh sistem klasikalnya saja, sementara kurikulum yang diajarkan tetap semata-mata bidang studi agama. Karena itu banyak madrasah pada tahap-tahap awal ini tidak bedanya dengan pesantren tradisional yang sudah lama berjalan.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka oleh Departemen Agama diadakanlah upaya-upaya untuk peningkatan kualitas madrasah, yang salah satu aspeknya adalah kurikulum. Untuk masalah kurikulum ini, dalam perkembangannya telah beberapa kali diadakan perubahan, dari yang muatannya lebih banyak pengetahuan agama dari pada pengetahuan umum sampai dengan diberlakukannya kurikulum 1994 yang memuat kurang lebih 10% pendidikan agama dan 90% pengetahuan umum.
Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dari mengikuti system klasikal. Sistem pengajian kitab, diganti dengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Kenaikan tingkat ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang pelajaran tertentu.
Pada perkembangan berikutnya sistem pondok mulai ditinggalkan dan berdiri madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah yang hanya mengajarkan pengetahuan agama.
Tampaknya, ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia sangat besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah, dan terus berproses sebagaimana digambarkan terdahulu. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkatan dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk tingkatan SMP, Madrasah Aliah (MA) untuk tingkatan SMA, dan ada pula Kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang disebut normal Islam.[4]    
Dalam tahap selanjutnya, penyesuaian tersebut demikian terpadunya, sehingga kabur perbedaannya, kecuali pada kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam. Kurikulum madrasah masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan prosentase yang berbeda. Pada waktu pemerintah RI dalam hal ini Kementrian Agama mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan madrasah, melalui Kementrian Agama, merasa perlu menentukan kriteria-kriteria madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu.[5]
Adapun pengetahuan umum yang diajarkan pada madrasah pada masa-masa awal adalah:
a         Membaca dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia
b        Berhitung
c         Ilmu bumi
d        Sejarah Indonesia dan Dunia
e         Olahraga dan kesehatan. [6]

Dalam perkembangannya, kurikulum pada madrasah dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan kemajuan zaman. Semua ini dilakukan adalah dengan tujuan peningkatan kualitas madrasah, agar keberadaannya tidak diragukan dan sejajar dengan sekolah-sekolah lain.[7]    
3.      Usaha Pembinaan dan Peningkatan Mutu Madrasah
Wewenang pembinaan diserahkan kepada Kementrian Agama. Tujuan pembinaannya adalah madrasah berkembang secara terintegrasi alam satu sistem nasional, sebagaimana yang dikehendaki oleh UDD 1945. Pemerintah menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar pada Kementrian Agama. Untuk dapat terdaftar, persyaratan utamanya adalah madrasah yang bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu sacara teratur di samping pelajaran umum. Upaya pemerintah menyediakan para guru agama untuk sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan umum, pada tahun 1951, kementrian agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Hakim Agama Islam (SHAI). Kedua sekolah tersebut sering mengalami pergantian nama yang akhirnya menjadi PGA dan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri).
Jumlah madrasah yang cukup besar di Indonesia memberikan andil yang besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ciri khas madrasah yang menitikberatkan pendidikan agama (mula-mula 100% agama kemudian 30% umum dan 70% agama), dipandang kurang mampu membekali peserta didik untuk bisa hidup di dunia yang semakin maju, yang membutuhkan penguasaan iptek untuk menghadapinya. Lulusan madrasah kurang bersaing di bidang penggunaan iptek di bandingkan anak-anak lulusan sekolah umum. Padahal, orang memerlukan kehidupan yang layak sebagai warga Negara Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yang dimaksud dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M, komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni: (1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA] untuk tingkatan SMA.
Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka:
a.       ijazah marasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang setingkat;
b.      murid  madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
c.       lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan sekolah umum, usaha peningkatan yang akan dilakukan meliputi: (1) masalah kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana pelajaran pada umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik.
Dengan usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum pada madrasah akan setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga:
a)      standar pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD
b)      standar pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP
c)      standar pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.
Dengan adanya SKB 3 M ini, maka tugas dan fungsi madrasah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional makin mantap dan kuat sehingga lulusan madrasah bisa memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum sebagai warga Negara yang memiliki hak dan kewajiban.
Dengan demikian yang dimaksudkan pendidikan agama di madrasah adalah suatu program untuk memenuhi sebagian dari tujuan pendidikan di madrasah di bidang pengetahuan, penghayatan dan pengalaman agama. Program itu diarahkan untuk menjadi muslim yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa baik yang diarahkan sebagai bekal kemampuan pribadinya maupun sebagai bekal untuk memasuki lapangan kerja. Program tersebut sebagai ciri khas kekhususan sebagai sekolah agama.
Materi pendidikan agama di madrasah untuk semua tingkat berdasarkan kurikulum tahun 1934 adalah[8]:
a)      Al-qur’an-hadits,
b)      Aqiah akhlak,
c)      Fiqh,
d)     Sejarah kebudayaan/peradaban Islam, dan bahasa Arab.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.
III.             Peran Guru Sebagai Profesi Professional Dalam Pendidikan Agama Islam
Guru Sebagai Tenaga Profesional dalam Strategi Penyelenggara Pendidikan agama Islam.  Berbicara mengenai kedudukan guru sebagai tenaga profisional akan lebih tepat mengena  secara implisit apabila diketahui terlebih dahulu tentang maksud kata “profesi “ yang merupakan  kata dasar dari professional tersebut. Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang  memerlukan pendidikan lanjut di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan sebagai  perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Dalam aplikasinya menyangkut aspek-aspek yang lebih bersifat mental daripada yang  bersifat manual work. Pekerjaan profesioanal akan senantiasa menggunakan teknik dan prosedur  yang berpijak pada landasan intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian  dipergunakan demi kemaslahatan orang lain secara menyreluruh.
Seorang pekerja professional khususnya guru dapat dibedakan dari seorang teknisi karena disamping  menguasai sejumlah teknik serta prosedur kerja tertentu, seorang pekerja profesioanal juga ditandai  dengan adanya dengan respon informasi yang kuat terhadap implikasi kemasyarakatan dari obyek  kerjanya. Hal ini berarti bahwa seorang guru harus memiliki persepsi filisofis dan tanggapan yang bijaksana dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. Jika kompetensi seorang teknisi lebih  bersifat mekanik dalam arti sangat mementingkan kecermatan sedangkan kompetensi seorang sebagai  profesioanal kependidikan ditandai dengan serentetan diagnosis dan penyesuaian yang sifatnya terus  menerus. Dalam hal ini disamping kecermatan untuk menentukan langkah . guru harus  bersabar, ulet  dan telaten sertatanggap terhadap setiap kondisi, sehingga di akhir pekerjaannya akan membuahkan  hasil yang sangat memuaskan[9].
Pengetian profesi secara khusus denagn segala cirinya akan membawa konsekuensi yang  fundamental terhadap program pendidikan terutama yang berkenaan dengan komponen tenaga  kependidikan dalam kaitannya dengan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, guru dituntut adanya  kualifikasi kemampuan yang lebih memadai. Secara garis besar tingkatan kualifikasdi professional  guru sebagai tenaga profesioanal kependidikan dapat ditelaah sebagai berikut :[10]
a.        Capable personal maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan  ketrampilan serta sikap yang memadai sehingga mampu mengelola proses belajar mngajar secara efektif.
b.      Innovator yakni sebagai tenaga kependidikan yang memiliki komitmen terhadap upaya  perubahan dan reformasi. Para guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan  ketrampilan serta sikap yang tepat terhadap pembaharuan dan sekaligus merupakan penyebar ide  pembaharuan yang efektif.
c.       Developer , seorang guru harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas persespektifnya.  Guru harus mampu melihat kedepan dalam menjawab tantangan – tantangan yang dihadapi oleh  sector pendidikan sebagai suatu sistim.  Dengan pencaian suatu tingkatan profisionalisme, seorang guru akan lebih memaksimalkan  tugas dan tanggung jawab mereka ditengah masyarakat. Sementara itu menurut Wolmer dan Mills  bahwa sebuah pekerjaan dikatakan sebagai suatu profesi apabila memenuhi kreteria – kreteria yaitu :

1)      Memiliki spesialisasi dengan latar belakang yang luas, maksudnya memiliki pengetahuan umum  yang luas dan keahlian khusus yang mendalam.
2)      Merupakan karier yang dibina secara organisatoris maksudnya adanya keterkaitan dalam suatu  organisasi profisional, memiliki otonomi jabatan, kode etik jabatan dan merupakan karya bakti  seumur hidup.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama RI mengatakan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya.
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-undang no. 20 /2003 pendidikan agama diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama telah diperbolehkan untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal dan informal.
2.      Usaha Pemerintah untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yang dimaksud dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan sebelum SKB 3 M, komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, yakni: (1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA] untuk tingkatan SMA.
Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka:
1)      ijazah marasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang setingkat;
2)      murid  madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
3)      lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan sekolah umum, usaha peningkatan yang akan dilakukan meliputi: (1) masalah kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana pelajaran pada umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik.
Dengan usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum pada madrasah akan setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga:
1)      standar pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD;
2)      standar pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP;
3)      standar pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.

3.      Seorang guru harus lebih memaksimalkan  tugas dan tanggung jawab mereka ditengah masyarakat guna dalam menyeleggarakan pendidikan. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan professional yang diembannya untuk saat ini. Pekerjaan guru dikatakan sebagai suatu profesi apabila memenuhi kreteria – kreteria yaitu :
a.          Memiliki spesialisasi dengan latar belakang yang luas, maksudnya memiliki pengetahuan umum  yang luas dan keahlian khusus yang mendalam.
b.         Merupakan karier yang dibina secara organisatoris maksudnya adanya keterkaitan dalam suatu  organisasi profisional, memiliki otonomi jabatan, kode etik jabatan dan merupakan karya bakti  seumur hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
I. Djumhur & Danusaputra. 1979. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu.
Shaleh, Abdul Rachman. 2006. Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sardiman AM, 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Remaja Grafindo Persada,
Sutedjo, Muwardi. dkk. 1992. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Ditjen Binbaga Islam dan UT.
Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zuhairini & Ghofur, Abdul. 2004. Metodelogi Pembelajaran PAI. Malang: Universitas Negeri Malang.





[1] Depdiknas, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliya, (Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003), hlm. 17.
[2] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 15-23
[3] Zuhairini & Abdul Ghofur, Metodelogi Pembelajaran PAI, 2004, hal. 30-31
[4] Mahmud Yunus, Seajarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1985, hal. 12-103
[5] I. Djumhur-Danusaputra, Sejarah Pendidikan, 1979, hal. 223.

[6] Muwardi Sutedjo, dkk., Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1992, hal. 42.

[7] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1996, hal. 73.
[8] Zuhairini & Abdul Ghofur, Opcit, 2004, hal. 31-33
[9] Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, 1996, hal. 131-132
[10] Ibid. hal. 134

No comments:

Post a Comment