BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Berdasarkan
aspirasi bangsa Indonesia yang telah disahkan oleh MPR dengan Ketetapan
No.II/MPR/1988 tentang GBHN, Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, Sosial Budaya.Sektor pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan
Nasional adalah berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.Berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras,
tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, serta sehat jasmani
dan rohani.
Pendidikan
nasional harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta tanah air,
mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial.Sehingga perlu
dikembangkan iklim belajar dan mengajar dan menumbuhkan rasa percaya pada diri
sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Pendidikan nasional
akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yng dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Dalam proses
pembangunan yang lestari dan berkesinambungan, faktor manusia yang berkualitas
tinggi itulah yang mampu menjadi pelaksana pembangunan yang bertanggung jawab.
Karena pembangunan adalah untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan.
Dilihat dari
segi ajaran Islam, kedudukan manusia di atas bumi ini dipandang sebagai
khalifah Allah yang harus memiliki kualifikasi mental-spiritual, intelektual,
dan fisik yang tinggi.Sehingga mampu mengelola, memanfaatkan dan melestarikan
kekayaan alam yang terpendam di dalam, di atas, dan di bawah buminya
sendiri.Islam mengajarkan pemeluknya agar mampu memelihara, mengelola, dan
membangun planet bumi ini bagi kesejahteraan hidupnya di dunia sebagai bekal
bagi hidup di akhiratnya.
Prinsip inilah
yang mendorong umat Islam di negeri kita ini untuk melaksanakan etos kerja:
“Bekerja keras untuk dunianya seolah-olah akan hidup abadi, dan bekerja keras
untuk akhiratnya seolah-olah ia akan mati esok hari.”
Tujuan Islami
demikian memerlukan suatu kematangan iman dan berilmu pengetahuan secara
bersamaan yang saling mengembangkan dalam tiap pribadi muslim. Kematangan kedua
aspek rohaniah itu baru dicapai bila umat Islam Indonesia mampu memperbaiki dan
meningkatkan mutu pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan dalam semua
bentuk: formal (sekolah, madrasah), nonformal, dan informal.
Moto kita adalah firman Allah yang menegaskan:
Æìsùötª!$#tûïÏ%©!$#(#qãZtB#uäöNä3ZÏBtûïÏ%©!$#ur(#qè?ré&zOù=Ïèø9$#;M»y_uy4…….
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Al- Mujaadilah: 11)
Dan juga firman Allah:
Æ÷tGö/$#ur!$yJÏù9t?#uäª!$#u#¤$!$#notÅzFy$#(wur[Ys?y7t7ÅÁtRÆÏB$u÷R9$#(
Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.
2.
Rumusan Masalah
2.1.Bagaimana latar
belakang madrasah?
2.2.Apa pengertian
dari professional?
2.3.Bagaimana
peningkatan mutu madrasah?
3.
Tujuan
3.1.Untuk
mengetahui latar belakang madrasah
3.2.Untuk
mengetahui pengertian dari professional
3.3.Untuk
mengetahui peningkatan mutu madrasah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Historis Kelahiran
Madrasah
Madrasah merupakan “isim makan” kata
“darasa” dalam bahasa arab, yang berarti “tempat duduk untuk belajar” atau
popular dengan sekolah. Lembaga pendidikan Islam ini mulai tumbuh di Indonesia
pada awal abad ke 20. Kelahiran madrasah ini tidak terlepas dari ketidakpuasan
terhadap sistem pesantren yang semata-mata menitik beratkan agama, di pihak
lain sistem pendidikan umum justru ketika itu tidak menghiraukan agama.
Dengan demikian, kehadiran madrasah
dilator belakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara
ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan dikalangan
umat Islam. Atau dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan sistem
pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan colonial.
Memang pada waktu itu terdapat dua
sistem pendidikan yang sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Pemerintah kolonial belanda yang memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut
sistem persekolahan yang berkembang di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal diketahui bahwa pesantren
yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum
adanya sekolh kolonial, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengelolahannya
dengan sekolah yang diperkenalkan belanda tersebut.
Adanya
perbedaan yang sangat kontradiktif dari kedua sistem pendidikan tersebut
rupanya menggugah sebagian penduduk pribumi. Mereka menyadari akan pentingnya
pendidikan umum dengan tidak mengesampingkan dan meninggalkan pola pendidikan
pesantren, sehingga diusahankanlah untuk memadukannya. Bagaimanapun kesadaran
seperti itu sangat diperlukan oleh umat Islam, sebab dari pengalaman historis,
selama ratusan tahun dijajah belanda, umat Islam selalu menjadi korbannya yang
paling empuk, hal ini dikarenakan umat Islam boleh dikatakan bodoh dalam
beberapa hal, terutama bidang keduniaan yang sesungguhnya juga menjadi sasaran
risalah Islam. Belanda disamping sengaja membodohkan pribumi (umat Islam), umat
Islam juga telah dibelokkan jalan hidupnya oleh orang-orang bodoh terdahulu,
supaya semata-mata melihat Islam sebagai tata cara ritual keagaman belaka, dan
sebaliknya agrar membenci dunia dengan memandang sebagai sumber fitnah belaka.
Dengan
demikian, setidak-tidaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
mempunyai beberapa latar belakang, yaitu:
1. Sebagai manifestasi dan realisasi
pembaharuan sistem pendidikan Islam.
2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem
pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya
untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum.
3. Adanya sikap mental pada sementara
golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai sistem
pendidikan mereka.
4. Sebagai paya untuk menjembatani antara
sistem pendidikan tradisional yang dilaksanakan oleh pesantren dan sistem
pendidikan modern dan hasil akulturasi.
Sebagai madrasa pertama yang
didirikan di Indonesia adalah madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera barat), ang
didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.Pada mulanya madrasah
Adabiyah ini bercorak agama semata-mata, baru kemudian pada tahun 1915berubah
menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah.HIS Adabiyah merupakan sekolah
pertama yang memasukkan pelajaran umum kedalamnya.
Selanjutnya pada tahun 1910
didirikan Madrasah School (sekolah agama) yang dalam perkembangannya berubah
menjadi Diniyah School (Madrasah Diniyah). Dan nama Diniyah inilah yang
kemudian berkembang dan terkenal.
Setelah itu Madrasah Diniyah
berkembang hamper diseluruh kepulauan nusantara, baik merupakan bagian dari
pesantren maupun surau, ataupun berdiri di luarnya. Pada tahun 1918 di
Yogyakarta berdiri Madrasah Muhammadiyah (kweekschool Muhammadiyah), sebagai
realisasi dari cita-cita pembaharuan pendidikan Islam yang dipelopori oleh KH.
Ahmad Dahlan.
Sebelumnya pada tahun 1916 di
lingkungan pondok Pesantren Tebuireng Jombang (Jawa Timur), telah didirikan
Madrasah Salafiah oleh KH. Hasyim Asy’ari. Sebagai persiapan untuk melanjutkan
pendidikan di pesantren pada yahun 1929 atas usaha Kiai Ilyas, diadakan
pembaharuan dengan memasukkan pengetahuan umum pada madrasah tersebut.
Dengan demikian, kita ketahui bahwa
permulaan abad ke_20, merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan Madrasah
hamper diseluruh Indonesia dengan nama dan tindakan yang bervariasi. Namun
madrasah-madrasah tersebut, pada awal perkembangannya masih bersifat diniyah
semata-mata. Baru sekitar tahun 1930 sedikit demi sedikit akan tetap bertambah
cepat, dilakukan pembaharuan terhadap madrasah dalam rangka memantapkan
keberadaannya khususnya dengan penambahan pengetahuan umum.
Sistem Pendidikan dan Pengajaran di
Madrasah
Secara historis pada tahap
awal-awal perjalanan madrasah tidaklah begitu mulus, kendatipun didirikan
dengan nama madrasah, semula dikehendaki ialah suatu lembaga pendidikan dengan
sistem klasikal, yang didalamnya anak didik mendapatkan ilmu pengetahuan agama
dan umum secara berimbang. Tetapi pada praktiknya hanya dicerminkan oleh sistem
klasikalnya saja, sementara kurikulumnya yang diajarkan tetap semata-mata
bidang studi agama.Karena itu banyak madrasah pada tahap-tahap awal ini tidak
bedanya dengan pesantren tradisional yang sudah lama berjalan.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut,
maka oleh Departement Agama diadakanlah upaya-upaya untuk peningkatan kualitas
madrasah, yang salah satu aspeknya adalah kurikulum. Untuk masalah kurikulum
ini, dalam perkembangannya telah beberapa kali diadakan perubahan, dari yang
muatannya lebih banyak pengetahuan agama ketimbang pengetahuan umum sampai
dengan diberlakukannya kurikulum 1994 seperti sekarang ini, yang memuat lebih
kurang 10 % pendidikan agama da 90 % pengetahuan umum.
Sistem pendidikan dan pengajaran
yang digunakan pada madrasah merupakan perpaduan antara sistem pondok pesantren
dengan sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah
modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsung-angsur, mulai
dari mengikuti sistem klasikal. Sistem pengajian kitab, diganti dengan
bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang
lama.Kenaikan tingkat ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang
pelajaran tertentu.
Pada perkembangan berikutnya sistem
pondok mulai ditinggalkan, dan berdiri madrasah-madrasah yang mengikuti sistem
yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal
madrasah tersebut masih bersifat diniyah yang Cuma mengajarkan pengetahuan
agama.
Tampaknya, ide-ide pembaharuan yang
berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia sangat
besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum
Madrasah, dan terus berproses sebagaimana digambarkan terdahulu.Buku-buku
pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan Madrasah,
sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di
sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang
mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah-sekolah modern, seperti
Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkatan dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk
tingkatan SMP, da nada pula kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang disebut
normal Islam.
Adapun pengetahuan umum yang
diajarkan pada madrasah pada masa-masa awal adalah:
a. Membaca dan menulis (huruf latin) bahasa
Indonesia.
b. Berhitung.
c. Ilmu Bumi.
d. Sejarah Indonesia dan Dunia.
e. Olahraga dan Kesehatan.
Tugas-tugas
yang demban oleh madrasah (sekolah)setidaknya mencerminkan sebagai lembaga
pendidikan Islam yang lain. Menurut Al-Nahlawi, tugas lembaga madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam adalah:
1.
Merealisasikan pendidikan Islam yang didasarkan atas prinsip piker,
akidah, dan tasyri’ yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk dan
realisasi itu ialah agar peserta didik beribadah, mentauhidkan Allah SWT,
tunduk dan patuh atas perintah-Nya serta syariat-Nya
2.
Memelihara fitrah anak didik sebagai insan yang mulia, agar ia tak
menyimpang tujuan Allah menciptakannya. Kecenderungannya sekarang, madrasah
telah membuat penyimpangan-penyimpangan dalam format yang berbeda yang
bahayanya tak kurang dari bentuk lamanya, misalnya membuat senjata untuk
berperang yang tidak manusiawi. Oleh karena itu, dasar operasionalisasi
pendidikan harus dijiwai oleh fitrah manusiawi, sehingga menghindari adanya
penyimpangan.
3.
Memberikan kepada anak didik dengan seperangkat peradaban dan
kebudayaan Islami, dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu
sosial, ilmu eksakta yang dilandaskan atas ilmu-ilmu agama, sehingga anak didik
mampu melibatkan dirinya kepada perkembangan Iptek.
4.
Membersihkan pikiran dan jiwa dari pengaruh subjektivitas (emosi),
karena pengaruh zaman dewasa ini lebih mengarah kepada penyimpangan fitrah
manusiawi. Dalam hal ini, lembaga pendidikan madrasah berpengaruh sebagai
benteng yang menjaga kebersihan dan keselamatan fitrah manusia tersebut.
5.
Memberikan wawasan nilai dan moral, serta peradaban manusia yang
membawa khazanah pemikiran anak didik menjadi berkembang. Pemberian itu dapat
dilakukan dengan cara menyajikan sejarah peradaban umat terdahulu, baik
mengenai pikiran, kebudayaan, maupun perilakunya. Nilai-nilai tersebut dapat
dipertahankan atau dimodifikasi karena bertentangan dengan akidah Islam atau
tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
6.
Menciptakan suasana kesatuan dan kesamaan antar anak didik. Tugas
ini tampaknya sulit dilakukan karena ank didik masuk lembaga madrasah dengan
membawa status sosial dan status ekonomi yang berbeda. Tugas ini berdampak
langsung dari eksistensi dan interaksi para peserta didik dalam naungan satu
system madrasah yang inputnya berasal dari berbagai lingkungan hidup. Di dalam
madrasah ini, peserta didik ditempa dan dipadukan dalam satu kondisi dan iklim
yang sama, yang mampu menyatukan/qalb dan jiwa mereka. Iklim madrasah hayati
itu mempersatukan keanekaragaman corak individu dan berbagai lapisan dan
lingkungan masyarakat, menghapus atau mengurangi berbagai diskriminasi dan
stratifikasi diantara mereka walaupun tempat tinggal, pandangan, tradisi mereka
berbeda-beda.
7.
Tugas mengordinasi dan membenahi kegiatan pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan keluarga, masjid dan pesantren mempunyai saham
tersendiri dalam merealisasikan tujuan pendidikan, tetapi pemberian saham itu
belum cukup. Oleh karena itu, madrasah hadir untuk melengkapi dan membenahi
kegiatan pendidikan yang berlangsung.
8.
Menyempurnakan tugas-tugas lembaga pendidikan keluarga, masjid dan
pesantren.
Tugas-tugas
lembaga pendidikan madrasah tersebut membutuhkan administrasi yang memadai,
yang mencakup berbagai komponen, misalnya perencanaan, pengawasan, organisasi,
koordinasi, evaluasi dan sebagainya, sehingga dalam lembaga madrasah itu
terdapat tertib administrasi yang pada dasarnya bertujuan melancarkan
pelaksanaan pendidikan yang dilaksanakan.
Pengembangan Kurikulum Madrasah
Berbagai upaya untuk meningkatkan
kualitas madrasah telah digulirkan, begitu juga usaha menuju kesatuan sistem
pendidikan nasionaldalam rangka pembinaan semakin ditingkatkan. Usaha tersebut
bukan hanya merupakan tugas dan wewenang Department Agama, tetapi merupakan
tugas bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut,
yang dimaksud dengan madrasah ialah lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Madrasah dalam hal ini
memiliki 3 jenjang atau tingkatan, yaitu Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang
masing-masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA.
Untuk merealisasikan SKB 3 Menteri
itu, maka pada tahun1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum sebagai
standard untuk dijadikan acuan oleh madrasah. Kurikulum yang yang dikeluarkan,
juga dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Pedoman dan aturan penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran pada madrasah, sesuai dengan aturan yang berlaku pada
sekolah-sekolah umum.
b. Deskripsi sebagai kegiatan dan metode
penyampaian progam untuk setiap bidang studi, baik untuk bidang studi agama
maupun bidang studi pengetahuan umum.
Dengan adanya SKB 3 menteri
tersebut, buka berarti beban yang dipikul madrasah tambah ringan akan tetapi
justru sebaliknya, akan semakin berat. Hal ini dikarenakan disatu pihak ia
dituntut untuk mampu memperbaiki kualitas pendidikan umum sehingga setaraf
dengan standard yang berlaku di sekolah umum, di pihak lain ia harus menjaga
agar mutu pendidikan agama tetap baik sebagai ciri khasnya. Maka untuk mencapai
kedua tujuan yang dimaksud, sudah tentu harus diadakan peninjauan kembali terhadap
kurikulum yang berlaku, materi pelajaran, sistem evaluasi dan peningkatan mutu
tenaga pengajarnya melalui penataran-penataran.
Esensi dari pembakuan kurikulum sekolah umum dan
madrasah ini memuat antara lain:
a. Kurikulum sekolah umum dan kurikulum
madrasah terdiri dari progam intidan progam khusus.
b. Progam inti dalam rangka memenuhi tujuan
pendidikan sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama.
c. Progam khusus (pilihan) diadakan untuk
memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi bagi
sekolah atau madrasah tingkat menengah atas.
d. Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah
umum dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan belajar
dan sistem penilaian adalah sama.
e. Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga
guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum,
akan diatur bersama oleh kedua Depatemen yang bersangkutan.
Diantara rumusan kurikulum 1984 memuat hal strategis
sebagai berikut :
a. Progam kegiatan kurikulum madrasah (MI,
MTs, MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kulikuler , ko kulikuler
dan ekstra kulikuler, baik dalam progam inti maupun rogam pilihan.
b. Proses belajar mengajar dilaksanakan
dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang
dipelajari.
c. Penilaian dilakukan secara
berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan meningkatkan proses dan hasil
belajar serta pengolahan progam.
Dengan diberlakunya Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian diikuti
beberapa peraturan pemerintah sebagai pedoman pelaksanaannya, maka kurikulum
berbagai jenjang dan jenis pendidikan yang berlaku perlu disesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini apalagi bila dilihat pada awal
37 UU Nomor 2 Tahun 1989 tersebut dinyatakan bahwa:
“kurikulum disusun untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan
kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang
masing-masing satuan pendidikan.”
Diantara bagian dari isi pokok
ketentuan diatas ialah mengenai progam pengajaran, dimana ditentukan bahwa
setiap madrasah pada tingkat masing-masing wajib melaksanakan kurikulum mata
pelajaran yang disusun secara nasional.Berajak dari sinilah sehingga lahir
kurikulum 1994.
Kurikulum 1994 memang cukup berbeda
dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum 1994 dirancang dan dikembangkan tentu
dengan cermat dan penuh pertimbangan, dengan menekan sekecil mungkin kelemahan
yang terdapat pada kurikulum sebelumnya terutama pada syaratnya beban pelajaran
yang ditanggung siswa dan orientasinya yang menekankan pada target hasil
belajar, bukan pada proses pembelajarannya.
Pada kurikulum 1994, guru diberi
wewenang untuk berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun. Guru leluasa
mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap pokok bahasan sesuai dengan
kebutuhan. Guru pun diberi wewenang dalam menentukan metode, penilaian dan
sarana pembelajaran sesuai dengan kebutuhan sehingga siswa aktif dalam
pembelajaran, baik secara fisik, mental (intelektual dan emosional), maupun
social.
Dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya, kurikulum 1984 memiliki sejumlah perbedaan, terlebih-lebih bagi
madrasah, diantaranya:
a. Kalau pada kurikukum 1984, pelaksanaan
pengajaran adalah persemester, sebaliknya pada kurikulum 1994 memakai catur
wulan.
b. Istilah bidang studi diganti mata
pelajaran.
c. Pendidikan agama yang semula (pada
kurikulum 1984) lebih kurang 30%, pada kurikulum 1994 hanya lebih kurang 10%.
2. Profesionalisme
dalam Pendidikan Islam
Pada saat karangan ini di tulis (1991),sekolah-sekolah Islam di Indonesia
masih rendah mutunya. Kata ‘rendah’ ditemukan dengan cara membandingkan mutu
sekolah-sekolah Islam (seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah dan matul Ulama)
denagn mutu sekolah negeri dan sekolah yang diasuh oleh umat Katolik. Rendahnya
mutu sekolah Islam tersebut tentu saja banyak penyebabnya. Diantara
penyebab-penyebab itu ialah tidak atau kurang diterapkannya profesionalisme dalam
pengelolaan sekolah-sekolah tersebut. Dalam bab ini dibicarakan (1) definisi
profesionalisme, (2) pandangan Islam
tentang profesialisme, (3) cara menerapkan profesionalisme dalam pengelolaan
sekolah-sekolah Islam.
DefinisiProfesionalisme
Profesialisme ialah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus
dilakukan oleh orang yang profesinal. Orang yang profesional iyalah orang yang
memiliki profesi. Apa profesi itu?
Menurut Muchtar Luthfi dari Universitas Riau (lihat mimbar, 3, 1984 : 44),
seseorang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi kriteria berikut ini. (1)
profesi harus mengandung keahlian. Artinya, suatu profesi itu mesti ditandai
oleh suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. (2) profesi dipilih karena
panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi dipilih karena dirasakan
sebagai kewajiban; sepenuh waktu maksudnya bukan part-time. (3) profesi
memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi itu dijalani
menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka. Secara universal
pegangannya itu diakuai. (4) profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri
sendiri. (5) profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan
kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi itu diperlikan untuk menyakinkan
peran profesi itu terhadap kliennya. (6) pemegang profesi memiliki otonomi
dalam melakukan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat diuji atau dinilai
oleh rekan-rekannya seprofesi. (7) profesi mempunyai kode etik, disebut etik
profesi. (8) profesi harus mempunyai klien yang jelas, yaitu orang yang
membutuhkan layanan.
Selanjutnya
Finn(1953) menambahkan bahwa suatu profesi memerlukanorganisasi profesi yang
kuat; gunanya uantuk memperkuat dan mempertajam profesi itu (lihat Miarso, 1986
: 28). Finn menyatakan pula bahwa suatu profesi harus mengenali dengan jelas
hubungannya dengan profesi lain (Miarso, 1986 : 29). Pengenalan ini terutama
diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari satu profesi.
10
kriteria “profesi” sebagai berikut :
Pertama, profesi harus memiliki suatu keahlianyang khusus. Keahlian itu tidak
dimiliki oleh Profesi lain. Misalnya, keahlian kimia tidak dikenal oleh ahli
hukum. Ada juga bidang keahlian yang sedikit-sedikit diketahui oleh orang yang
tidak memegang keahlian itu. Keahlian ekonomi misalnya, dapat juga diketahui
sedikit-sedikit oleh ahli hukum, ahli politik, dan sebagainya.
Keahlian diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus. Keahlian
kedokteran diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus di fakultas kedokteran;
seorang ahli tambal ban tentu pernah belajar menambal ban secara khusus, dan
demikian selanjutnya.
Kedua, profesi harus
diambil sebagai pemenuhan panggilan hidup. Oleh karna itu, profesi dikerjakan
sepenuh waktu. Profesi itu dipilihnya bukan karena panggilan uang, kedudukan,
dan bukan pula karena terbawa oleh orang lain. Jadi, ada suatu kesungguhan
dalam memilih profesi.
Dilakukan sepenuh waktu maksudnya profesi itu dijalani dalam jangka yang
panjang bahkan seumur hidup. Jadi, bukan dilakukan secara part-time, melainkan
full-time; bukandijadikanpekerjaansambilanataupekerjaansementara
yang akanditinggalkanbiladitemukanpekerjaanlainyangdirasakanlebihmenguntungkan.
Biasanya pemilihan suatu bidang prrofesi dipengaruhi oleh banyak hal, yang
terpenting adalah pandangan hidup. Contoh yang jelas iyalah pemilihan profesi
kependetaan; profesi ini jelas dipilih karena pandangan hidup.
Ketiga, profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi
itu dijalani menurut teori-teorinya. Teoti itu harus baku, maksudnya teori itu
bukan teori sementara. Jika teori itu teori dalam filsafat, maka iya harus
lolos dalam berbagai uji logis. Teori itu harus dikenal secara umum, artinya
dikenal oleh semua pemegang profesi dimana pun ia berada. Inilah yang dimaksud
dengan universal itu.
Agar pemegang profesi segera dapat mengetahui adanya teori-teori baru,
diperlukan adanya organisasi profesi. Organisasi ini menyelenggarakan media
(majalah,buletin) profesi. Dengan memuat temuan dalam media itu, teori baru dapat
segera diketahui dan diuji oleh rekan seprofesi.
Keempat, profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri. Maksudnya iyalah
profesi itu merupakan alat dalam mengabdikan diri kepada masyarakat, bukan
untuk kepentingan diri sendiri untuk mengumpulkan uang atau mengejar kedudukan.
Ini berhubungan dengan profesi sebagai panggilan hidup.
Apakah pemegang profesi tidak boleh menerima uang atau dilarang menduduki
jabatan?? Kiranya tidaklah demikian. Pemegang profesi boleh menerima uang,
kedudukan, tetapi hal itu hanya sebagai penghargaan masyarakat atau negara
terhadap profesinya. Penghargaan itu layak diterimanya dan masyarakata memang
wajar memberinya.
Kelima, profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi
aplikatif. Kecakapan diagnostik sudah jelas kelihatan pada profesi keedokteran.
Akan tetapi, ada profesi yang kuarang
jelas kecakapan diagnostiknya; ini disebabkan belum berkembangnya teori dalam
profesi itu. Kompetensi aplikatif adlah kewenangan menggunakan teori-teori yang
ada didalam keahliannya. Penggunaan itu harus didahului oleh diagnosis. Jadi,
kecakapan diagnostik memang tidak dapat dipisahkan dari kewenangan aplikatif;
seseorang yang tidak mampu mendiagnosis tentu tidak berwenang melakukan apa-apa
terhadap kliennya.
Kewenanan aplikatif biasanya berdasarkan surat keterangan, itu berupa surat
pengangkatan atau berupa ijazah atau
sertifikat. Akan tetapi, ini semua dilihat dari aspek hukum, artinya aspek
formalitas. Yang tidak kalah pentingnya dari itu adalah aspek kebenaran
kewenangan itu.
Keenam, pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan profesinya. Otonomi itu
hanya boleh diuji oleh rekan-rekan seprofesinya. Pemegang profesi memiliki
otonomi dalam menjalankan profesinya. Maksud ialah ia bebas dalam melakukaan sesuatu.
Kebebasan itu sebenarnya bukan kebebasan mutlak. Ia bebas melakukan profesinya
sesuai teori-teorinya yang sudah baku. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh kekuatan
lain. Misalnya, seorang penguji mahasiswa, ia tdk boleh dipengaruhi agar ia
meluluskan atau memberi nilai tinggi, padahal mahasiswa tersebut tidak lulus
atau memperoleh nilai rendah. Jadi, otonomi yang ada pada peegang profesi
dibatasi oleh aturan-aturan (teoro-teori) yang ada dalam profesinya.
Ketujuh, profesi hendaknya mempunyai kode etik; ini disebut kode etik profesi.
Gunanya ialah untuk dijadiakan pedonaman dalam melakukan tugas profesinya. Kode
etik itu tidak akan bermanfaat apabila tidak diakui oleh pemegang profesi atau
masyarakat.
Kode artinya aturan, eti artinya kesopanan. Akan tetapi dalam penerapannya,
kode etik tidak hanya berfungsi sebagai aturan kesopanan. Pelanggaran kode etik
dapat dituntut ke pengadilan. Misalnya seorang dokter mengadakan pengobatan
menurut teori yang belum baku dan belum dikenal secara umum, lantas pasyen tewas
atau cacat. Ia dapat di tuntut ke pengadilan. Pertama karna iya melanggar kode
etik, yaitu menggunakan teori pengobatan yang belum baku; kedua mungkin karena
ia melakukan kesalahan praktek. Membuka atau menyebar luaskan penyakit seorang
pasien dan pasien itu dirugikan namanya bila penyakitnya diketahui orang
banyak. Apakah salah memberitahukan kebenaran kepada orang banyak?? Tidak
salah, tapi itu tidak sopan, merugikan nama seseorang.
Kedelapan, profesi harus mempunyai klien yang jelas. Klein disini maksudnya ialah
pemakaian jasa profesi. Pemakaian profesi kedokteran adalah orang sakit. Klien
guru adalah murid. Klien tukag las adalah pemilik barang yang perlu dilas.
Demikian selanjutnya.
Dalam kenyataannya ada “profesi” yang kliennya kurang jelas, atau sangat
luas, atau sangat umum; misalnya “profesi” dakwah. Profesi ini kurang jelas,
sangat umum, dan sangat luas kliennya.
Kesembilan, profesi memerlukan organisasi profesi. Gunanya adalah untuk meningkatkan
mutu profesi itu sendiri. Organisasi itu perlu menjalin kerjasama, umpamanya
dalam bentuk pertemuan profesi secara periodik, menerbitkan media komunikasi
seperti jurnsl, msjslsh, buletin, dan sebagainya.
Kesepuluh, mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain. Sebenarnya tidak
ada aspek kehidupan yang hanya ditangani oleh satu profesi. Misalnya, Profesi
pengobatan bersangkutan erat dengan masalah-masalah kemasyarakatan, ekonomi,
agama, bahkan dengan politik. Oleh karena itu, dokter juga haru mengetahui
sangkutan profesinya dengan profesi lain tersebut.
Pandangan Islam tentang Profesionalisme
Bila kita perhatikan kriteria profesi seperti diuraikan di atas, ada dua
kriteria yang pokok, yaitu (1) merupakan panggilan hidup dan (2)keahlian.
Kriteria “panggilan hidup” sebenarnya mencakup kepada pengabdian; sekarang
orang lebih senang menyebutnya “dedikasi”. Kriteria “keahlian” mencakup kepada
mutu layanan, ya, mutu dedikasi tersebut. Jika demikian, “dedikasi” dan
“keahlian” itulah ciri utama suatu bidang disebut profesi; dan jika demikian,
maka jelas Islam mementingkan profesinya.
Pekerjaan
(profesi adalah pekerjaan) menurut islam harus dilakukan karna Allah swt.
“karna Allah” maksudnya karna di perintahkan Allah. Jadi, profesi dalam Islam
harus dijalani karena merasa bahwa itu adalah perintah Allah. Dari sini kita
mengetahui bahwa pekerjaan profesi didalam Islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian
kepada dua objek; pertama pengabdian kepada Allah, dan kedua sebagai pengabdian
atau dedikasi kepada manusia atau kepada yang lain sebagai objek pekerjaan itu.
Jelas pula bahwa kriteria “pengabdian” dalam Islam lebih kuat dan lebih
mendalam dibandingkan dengan pengabdian dalam kriteria yang di ajarkan diatas
tadi.
Dalam
Islam setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus
dilakukan secara benar dan dilakukan oleh orang yang ahli. Rosul Allah saw.
Mengatakan bahwa “bila suatu urusan dipekerjakan oleh orang yang tidak ahli,
maka tunggulah kehancuran”.
“kehancuran” dalam hadis itu dapat di artikan secara terbatas dan dapat
juga diartikan secara luas. Bila seorang guru mengajar dengan tidak keahlian,
maka yang “hancur: adalah murid. Ini dalam pengertian yang terbatas.
Murid-murid itu kelak mempunyai murid lagi; murid-murid itu kelak berkarya;
kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar (karena telah dididik dengan tidak
benar) Maka akan timbullah “kehancuran”. Kehancuran apa?? Ya, kehancuran
orang-orang, murid-murid itu, dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka
mengajarkan pengetahuan yang tidak benar. Ini kehancuran dalam arti luas.
Bagemana
penerapan profesionalisme ini dalam masyarakat Islam, khususnya dalam bidang
penelolaan sekolah?? Berikut saya salinkan bagian dari makalah yang pernah saya
ajukan dalam “seminar pendidikan dan profesionalisme dalam Muhammadiyah” yang
diselenggarakan di IKIP Muhammadiyah Jakarta, 19-20 November 1990.
Di
Muhammadiyah dianut pendapat bahwa pendidikan adalah setiap orang yang merasa
bertanggung jawab atas perkembangan anak didik. Di dalam buku Pedoman Guru
Muhammadiyah dikatakan bahwa seorang guru Muhammadiyah pada hakikatnya
tidak dapat melepaskan diri dari fungsinya: (a) sebagai makhluk Allah dan
sebagai manusia muslim yang memiliki tanggung jawab penuh menunaikan amanat
Allah; (b) sebagai warga negara yang memiliki tanggung jawab penuh untuk menunaikan
prinsip-prinsip Garis-garis Besar Hukum Negara (GBHN) dalam menjalankan tugas
profesinya; (c) sebagai pegawai instansi dan persyarikatan yang bertanggung
jawab atas prinsip sumpah dan janji jabatannya; (d) sebagi guru mata pelajaran
yang dipercayakan kepadanya yang memiliki fungsi sebagai penanggung jawab
kurikuler.
Dianutnya profesionalisme dalam organisasi Muhammadiyah, khususnya dalam
pengelolaan sekolah, kelihatan lebih jelas dalam syarat-syarat guru yang di
tetapkan oleh Muhammadiyah. Di dalam buku Petunjuk Pelaksanaan Qaidah
Perguruan Dasar dan Menengah Muhammadiyah, misalnya, disebutkan bahwa guru
Muhammadiah harus memenuhi syarat-syarat berikut (lihat Persyarikatan
Muhammadiyah Badan Hukum, 1980 ; 57) :
1. Muslim ;
2. Mempunyai kemampuan dan kecakapan yang
diperlukan;
3. Anggota / calon anggota / simpatisan
Muhammadiyah atau Aisyiyah;
4. Loyal terhadap persyarikatan dan perguruan;
dan
5. Berjanji untuk memenuhi persyaratan khusus
yang di mufakati bersama antara yang bersangkuatan dengan Majilis / bagian pendidikan
dan pengajaran.
Di antara kelima syarat yang
tertulis itu, syarat kemampuanlah yang memperoleh perhatian yang istimewa dalam
Muhammadiyah. Di dalam buku Kurikulum Sekolah Dasar Muhammadiyah Bidang
Study Agama Islam dan Kemuhammadiyahan (1982) syarat “kemampuan” itu
dirinci sebagai berikut:
1. Menguasai bahan, (a) menguasai bahan bidang
studi dalam kurikulum sekolah, (b) menguasai bahan pendalaman / aplikasi bidang
stusi.
2. Menguasai program belajar, (a) merumuskan
tujuan instruksional,
(b) mengenal dan dapat menggunakan metodeh
mengajar, (c) memilih dan menyusun prosedur instruksional yang tepat, (d)
melaksanakan program mengajar dan belajar, (e) mengenal kemampuan anak didik,
(f) merencanakan dan melaksanakan pengajaran
remedial.
3. Mengelola kelas, (a) mengatur tata ruang kelas
untuk pengajaran, (b)
menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4. Menggunakan media / sumber, (a) mengenal dan
memilih serta menggunakan sumber, (b) membuat alat-alat bantu pelajaran yang
sederhana, (c) menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses
belajar-mengajar, (d) mengembakan laboratorium,
(e) menggunakan perpustakaan dalam proses
belajar-mengajar.
5. Menguasai landasan-landasan kependidikan.
6. Mengelola interaksi belajar-mengajar.
7. Menilai prestasi siswa untuk kependidikan dan
pengajaran.
8. Menguasai fungsi dan program pelayannan dan
bimbingan di sekolah,
(a)
Menguasai fungsi dan program layanan dan bimbingan di sekolah,
(b) Menyelenggarakan program layanan dan
bimbingan di sekolah
9. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi
sekolah, (a) mengenal adminitrasi sekolah, (b) menyelenggarakan adminitrasi
sekolah.
10. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan
hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Dalam Pedoman Guru Muhammadiyah di
jelaskan bahwa guru sekolah Muhammadiyah tidak sekedar memiliki ilmu, melainkan
kemampuan dan ketrampilan serasi dengan penguasaan didaktik dan metodik,
memiliki kemampuan dalam ilmu jiwa. Selain itu guruy Muhammadiyah harus pula
memiliki akhlak teladan di dalam kelasnya, bahkan dalam kehidupannya
sehari-hari. Penilaian positif oleh para murid terhadap akhlak gurunya
merupakan faktor penting dalam keberhasilan mendidik anak-anak tersebut. Akhlak
teladan tersebut harus dilandasi oleh sikap mental (1) sikap menjalankan
perintah tuhan, (2) jiwa pengabdian, (3) ikhlas beramal, (4) memusatkan segala
sesuatunya hanya kepada Allah, (5) bersembahyang secara aktif, (6) keyakinan
dan kelurusan / kebenaran agama islam.
Selain
itu, Muhammadiyah mensyaratkan juga agar guru memiliki sifat “senantiasa
meningkatkan diri”, agar memiliki “hati yang bening, suci, dan indah”. Sifat
ini menurut Muhammadiyah, akan melahirkan sifat “cinta pada profesi” dan “kasih
sayang kepada anak didik”. Ini merupakan penajaman ciri profesi yang umum di
kenal. Menurut Muhammadiyah, sifat itu kelak yang akan menumbuhkan sifat mawaddah
dan rahman, dan hubungan itu juga akan memunculkan sifat adil pada
anak didik.
Cara Menerapkan Profesionalisme di
Sekolah-sekolah Islam
Untuk menerapkan profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan dapat diikuti
– sekurang-kurangnya dipertimbangkan – pikiran berikut ini.
Pertama,
adanya profesionalisme pada tingkat yayasan.
Yayasan tidak selalu hanya mengurus sekolah, kadang-kadang yayasan juga membuat
kegiatan lain. Mungkin saja sebuah yayasan mengurus rumah sakit, rumah yatim,
koperasi, sekolah, dan lain-lain. Dalam hal seperti ini, pengurus yayasan tidak
harus profesionalisme dalam semua bidang garapan itu. Di sini pengurus yayasan
cukup memenuhi syarat satu saja, yaitu; rasa pengabdian yang besar kepada
masyarakat. Oleh karna itu, ia senang berbuat untuk masyarakat.
Kedua,
menerapkan profesionalisme pada tingkat pimpinan sekolah. Dalam hal ini
yang benar-benar harus di perhatiakan oleh pengurus yayasan ialah memilih
kepala sekolah yang benar-benar profesional, dengan keahliannya itu ia dapat
meningkatkan mutu tenaga guru. Akan tetapi bila – katakanlah – guru-guru
profesional, tetapi kepala sekolah tidak profesional, yang akan terjadi adalah
bentrokan kebijakan. Apa yang dilakukan atau akan dilakukan oleh guru
kadang-kadang di veto oleh kepala sekolah. Veto diberikan oleh kepala sekolah
karena iya kurang ahli pada khususnya dan kurang profesional oada umumnya. Bila
ini terjadi maka sekolah itu akan kacau.
Ketiga,
penerapan profesionalisme pada tingkat tenaga pengajar. Ini harus dimulai
dalm penerimaaan tenaga guru dan hati-hati dalam mengangkat guru. Karena
kenyataannya memecat guru itu tidak mudah.
Memang,
dapat saja kita menerima guru pada permulaan membuka sekolah secara mudah;
artinya, siapa saja yang melamar, bersedia di gaji ala kadarnya, kita angkat.
Bila ini ditempuh, maka yayasan dan kepala sekolah harus menetapkan dengan
tegas (1) bila tidak meningkat tingkat profesinya, (2) bila sekolah perlu mengurangi
dan mengganti guru, maka guru harus berjanji bersedia diberhentikan tanpa
syarat apa-apa. Biasanya “sukarelawan” pertama
ini adalah kader-kader organisasi. Keadaan itu tidak boleh berlangsung
lama. Lulusan pertama tidak boleh di rugikan. Tidak boleh ada lulusan
“sukarelawan”. Tidak boleh ada kebijakan – umpamanya – lulusan pertama ini
sekedar untuk memancing calon murid baru.
Keempat,
profesionalisasi tenaga tata usaha sekolah. Perencanaan ketatausahaan sekolah
seluruhnya adalah tugas kepala sekolah, mencakup jumlahnya dan bidang tugasnya.
Tidak dapat di buat teori baku tentang jumlah dan tugas tata usaha sekolah,
karena disebabkan kondisi dan program sekolah yang tidak sama. Yang dapat di
teorikan ialah bahwa tata usaha sekolah harus mampu memberi pelayanan
selengkap-lengkapnya terhadap (1) kepala sekolah, (2) guru, (3) murid, (4)
orang tua murid. Jika di singkat maka tugas tata usaha sekolah ialah melakukan
semua tugas yang di perintahkan oleh kepala sekolah. Kembali di sini; kepala
sekolah yang harus profesional.
3.
Peningkatan Mutu Madrasah Melalui Profesionalisme
Istilah
profesionalisme berasal dari profession. Profession mengandung arti yang sama
dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh
melalui pendidikan atau latihan khusus. Dengan kata lain, profesi dapat
diartikan sebagai suatu bidang keahlian yang khusus untuk menangani lapangan
kerja tertentu yang membutuhkannya.
Profesionalisme
berarti suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam
pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan
khusus atau latihan khusus.
Terdapat
peryaratan yang harus dipenuhi dalam tugas professional sebagai mana
dikemukakan oleh Houton sebagai berikut:
1.
Profesi harus dapat memenuhi kebutuhan sosial berdasarkan atas
prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterima oleh masyarakat dan prinsip-prinsip
itu telah benar-benar well-establised.
2.
Harus diperoleh melalui latihan kultural dan professional yang
cukup memadai.
3.
Menguasai perangkat ilmu pengetahuan yang sistematis dan kekhususan
(spesialisasi).
4.
Harus dapat membuktikan skill yang diperlukan masyarakat dimana
kebanyakan orang tidak memiliki skill tersebut yaitu skill sebagian merupakan
pembawaan dan sebagian merupakan hasil belajar.
5.
Memenuhi syarat-syarat penilaian terhadap penampilan dalam
pelaksanaan tugas dilihat dari segi waktu dan cara kerja.
6.
Harus dapat mengembangkan teknik-teknik ilmiah dari hasil
pengalaman yang teruji.
7.
Merupakan tipe pekerjaan yang memberikan keuntungan yang
hasil-hasilnya tidak dibakukan berdasarkan penampilan dan elemen waktu.
8.
Merupakan kesadaran kelompok yang dipolakan untuk memperluas
pengetahuan yang ilmiah menurut bahasa teknisnya.
9.
Harus mempunyai kemampuan sendiri untuk tetap berada dalam
profesinya selama hidupnya, dan tidak menjadikan profesinya sebagai batu
loncatan ke profesi lainnya.
10.
Harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa anggota-anggota profesionalnya
menjunjung tinggi dan menerima kode etik profesionalnya.
Jadi
prefesionalisme dalam pendidikan tidak lain adalah seperangkat fungsi dan tugas
dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui
pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan
kekaryaannya itu secara ilmiah disamping mampu menekuni bidang profesinya
selama hidupnya. Mereka itu adalah para guru yang professional yang memiliki
kompetensi keguruan berkat pendidikan atau latihan di lembaga pendidikan guru
dalam jangka waktu tertentu.
Disamping tugas
professional keguruan, merekapun mampu bertugas dalam menejemen kelas dalam
rangka proses belajar mengajar yang efektif dan efisien.
Perangkat
tenaga kerja lainnya ialah kepala sekolah/madrasah yang dibantu tenaga staf
yang harus professional juga dibidang administrasi atau menejemen sekolah.
Sebagaimana Kepala Sekolah, selain professional memiliki kompetensi keguruan,
iapun juga harus memiliki leadership (kepemimpinan) yang sesuai dengan tuntutan
sekolah dan masyarakat sekitar.
Jadi Kepala
Sekolah/madrasah seharusnya menyandang dua macam profesi yaitu profesi kehuruan
dan profesi administratif (sebagai administrator). Kedua macam profesi tersebut
diperoleh melalui pendidikan atau latihan (berijazah sekolah guru atau diploma
guru) plus latihan dibidang administrasi pendidikan dalam jangka waktu tertentu
sesuai program DIKLAT yang telah ditetapkan.
Adalah janggal
jika seorang kepala sekolah yang harus bertugas memimpin sekolah tidak
mempunyai pengalaman menjadi guru atau tidak mempunyai ijazah keguruan serta
sekaligus keterampilan pengelolaan administrative sekolahnya.
Pekerjaan staf
administrasi juga memerlukan profesionalisme dibidangnya masing-masing, seperti
ahli perencanaan program pendidikan, ahli dalam bidang menejemen keuangan, ahli
dalam bidang kepustakaan, ahli dalam bidang peralatan kependidikan dan
sebagainya.
Oleh karena
madrasah adalah merupakan lembaga kependidikan Islam yang menjadi cermin
sebagian umat Islam, maka fugsi dan tugasnya adalah merealisasikan cita-cita
umat Islam yang menginginkan agr anak-anaknya dididik menjadi manusia yang
beriman dan berilmu pengetahuan dalam rangka upaya meraih hidup sejahtera
duniawi dan kebehagiaan hidup di akhirat. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan
profesionalisme.
Oleh karena itu
dilingkungan tugas kependidikan madrasah diperlukan juga profesionalisme
kependidikan yang lebih berkualitas tinggi daripada yang berada di
sekolah-sekolah umum, mengingat guru di madrasah mengandung konotasi moralitas
dan nilai-nilai Islami di tengah masyarakat luas, walaupun guru yang
bersangkutan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan duniawi. Guru madrasah tidak
hanya menjadi pengajar ilmu pengetahuan agama dan umum di kelas, akan tetapi ia
juga sebagai norma-drager (pembawa norma) agamanya di tengah masyarakat.
Itulah sebabnya
guru madrasah sebagai pemegang jabatan professional membawa misi ganda dalam
waktu bersamaan yaitu misi agama dan misi ilmu pengetahuan, sehingga firman
Allah dalam surat Mujadalah 11, dapat direalisasikan secara harmonis.
Kondisi Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Formal
Lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia.Madrasah
itu tumbuh dan berkembang dari bawah dalam arti masyarakat (umat) yang didasari
oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada geneasi
penerus.Oleh karena itu madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada
pendalaman ilmu-ilmu Islam.
Madrasah dalam
bentuk tersebut tercatat dalam sejarah bahwa keberadaannya telah berperan serta
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.Setelah kemerdekaan RI, pemerintah
mengambil langkah-langkah untuk mengadakan penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan
madrasah sejalan dengan laju perkembangan dan aspirasi masyarakat.
Penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah itu meliputi: penataan
kelembagaan, peningkatan sarana dan prasarana, kurikulum dan tenaga guru.
Lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah jumlahnya cukup banyak tetapi yang terbesar
adalah berstatus swasta yakni lebih kurang 96,4%, sedangkan yang berstatus
negeri hanya + 3,6%.
Posisi dan Strategi Pengelolaan Madrasah SKB 3 Menteri.
Di Indonesia
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dalam proses perkembangannya telah
mengalami strategi pengelolaan dengan tujuannya yang berubah disesuaikan dengan
tuntutan zaman.Pada zaman sebelum proklamasi kemerdekaan, madrasah dikelola
untuk tujuan idealism ukhrawi semata yang mengabaikan tujuan hidup duniawi,
sehingga posisinya jauh berbeda dengan system sekolah yang didirikan oleh
pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengarahkan program-programnya kepada
intelektualisasi anak didiknya guna memenuhi tuntutan hidup sekuler.
Produk atau
output system sekolah itu semakin memperlebar jurang pemisah dari output atau
produk pendidikan madrasah. Akibatnya dalam kehidupan kewarganegaraan, timbul
lah perbedaan kualitas hidup di kalangan warga Negara Indonesia. Sikap dan cara
berpikir dan orientasinya mengalami perbedaan yang mencolok; di satu pihak
produk pendidikan di sekolah umu ala pemerintah kolonial bercorak sekuler dan
intelektualistik dalam sikap dan pola pikirnya, di lain pihak produk dari
pendidikan madrasah berorientasi kepada kehidupan ukhrawi yang mengabaikan
kepentingan duniawi dimana factor intelektualitas dalam berilmu pengetahuan dan
bermasyarakat amat berperan.
Strategi
pengelolaan madrasah demikian itu mendorong ke posisi yang kurang menguntungkan
bagi masa depan perkembangannya.
Oleh karena itu
seiring dengan tuntutan kemajuan masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan
1945, madrasah yang eksistensinya tetap dipertahankan dalam masyarakat bangsa,
diusahakan agar strategi pengelolaannya semakin mendekati sistem pengelolaan
sekolah umum; bahkan secara programatis semakin terintegrasi dengan program
kependidikan di sekolah umum.Sebaliknya, sekolah umum harus semakin dekat
kepada pendidikan agama.
Strategi
pengelolaan madrasah sejak tahun 1976 berdasarkan SKB 3 Menteri (Agama, P dan
K, Dalam Negeri) tahun 1975, mengalami perbahan total, yaitu sebagai lembaga
pendidikan Islam yang mengajarkan bidang studi agama Islam 30% dan bidang studi
non agama 70%. Secara kurikuler, kualitas pendidikan non agamis di madrasahsama
mutunya dengan yang ada di sekolah umum menurut jenjang-jenjangnya. Dengan
strategi demikian diharapkan antara madrasah di semua jenjang dengan sekolah
umum dapat terjadi intermobilitas enrollment dengan mudah dan kualitas
kekuasaannya sama.
Idealitas SKB 3
Menteri tersebut telah berkembang dalam masyarakat Indonesia, sehingga kelompok
masyarakat yang semula menolak kehadiran madrasah menjadi berubah yakni
menerimanya, bahkan sementara lapisan masyarakat kita memandang dengan strategi
pengelolaan madrasah model SKB 3Menteri itu, masa depan kehidupan anaknya lebih
terjamin dalam segi mental spiritual dan akhlaknya dibanding dengan pendidikan
di sekolah umum yang ada.
Meskipun
demikian idealnya madrasah model SKB 3 Menteri itu, namun masih banyak
kelemahan yang perlu dihilangkan. Antara lain kurangnya efektif pendidikan
agama dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan input IAIN, disamping
kekurangan kualitas lulusan untuk input universitas umum. Juga termasuk
kelemahannya adalah yang berkaitan dengan masalah tenaga pengelola dan pemroses
program pendidikan di lembaga pendidikan madrasah di semua jenjang yang kurang
berorientasi kepada profesionalisme tersebut di atas, meskipuntidak bisa
dikatakan para guru dan tenaga administratif madrasah negeri saat ini hanyalah
kaum amatir, yang menangani madrasah hanya sambil lalu atau sebagai hobi saja.
Memang baik
jika pengelola teknis dan administratif madrasah kita didasari dengan niat
ibadah dan keikhlasan, namun sikap demikian jangan menghilangkan mutu
profesionalisme yang makin menuntut kompetensi.Dengan semakin pesatnya kemajuan
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, masyarakat kita makin
terpengaruh oleh hasil-hasil IPTEK yang pada prinsipnya memberikan kenikmatan
hidup dalam segala bidang termasuk kehidupan beragama.
Dampak positif
dari kemajuan IPTEK tersebut telah dapat kita rasakan bersama, sedang dampak
negatifnya belum sepenuhnya kita kendalikan.Dengan IPTEK yang semakin canggih,
masyarakat menjadi semakin modern, maka strategi pokok untuk memodernisasikan
kehidupan masyarakat (terutama di imposed oleh Negara industrialis/adikuasa)
adalah melalui IPTEK modern itu.
Modernisasi
tanpa teknologi dan ilmu pengetahuan, hanya utopi saja sedang IPTEK tanpa
modernisasi akan using ditelan zaman, sehingga menjadi barang loakan. Martabat
dan derajat bangsa di dunia ini ditentukan oleh tingkat kemajuan IPTEK-nya.
Negara yang masih hidup dalam cengkraman tradisionalisme kultural, akan tetapi
menjadi wilayah penjajahan ekonomi Negara maju (IPTEKnya). Strategi politik
ekonomi Negara industrialis adalah sejauh mungkin diusahakan agar Negara-negara
underdeveloped di Asia, Afrika, dan Amerika latin itu tetap terbelakang dalam
bidang IPTEK, sehingga dalam jangka panjang tetap menjadi wilayah pemasaran
hasil-hasil IPTEK mereka yang makin sulit untuk dikejar oleh Negara-negara yang
underdeveloped itu.
Semakin
masyarakat kita dipengaruhi oleh dampak kemajuan IPTEK semakin modern pula
sikap dan pola pikirnya yang cenderung kea rah sekularisme dan materialism,
maka semakin kompleks jiwa mereka, dan semakin menuntut tersedianya lapangan
kerja yang ditangani secara professional dan spesialisasi.
Segala lapangan
hidup manusia semakin dibagi-bagi menjadi sector-sektor yang berdiri sendiri
terpisah atau sama lain. Masing-masing sector lapangan hidup memerlukan
penanganan /pengelolaan yang professional, tidak amatiran. Demikian pula sector
pendidikan, khususnya di madrasah-madrasah kita dimana strategi dasarnya adalah
GBHN yang lima tahun sekali ditetapkan oleh MPR. Madrasah adalah sub-sistem dalam
sistem pendidikan nasional; karena jumlah pendaftaran di Madrasah Ibtidaiyah
dari usia sekolah dasar (7-12 tahun) berada pada posisi 10% dari pendaftaran
nasional pada akhir REPELITA IV (yang berjumlah 24 juta anak).
Sampai saat ini
jumlah madrasah terjamin eksistensinya di bawah pengelolaan tiga buah
depertemen (Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dalam Negeri).
Dengan
ditetapkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasioanal (UU No.2/1989) madrasah tetap
diberi nafas untuk hidup berkembang, justru secara historis lembaga ini beserta
pondok pesantrennya telah berjasa ikut mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Pengelolaan berdasarkan Profesionalisme dan Kompetensi
Di atas telah
disinggung masalah profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan madrasah atau
sekolah.
Profesionalisme
hakikatnya adalah orientasi kerja yang bertumpu pada kompetensi.Dalam
Kongres Guru se dunia ke-27, masalah profesi guru diseluruh Negara non komunis
menjadi topik utama yang dibahas secara luas dan mendalam demi kepentingan
profesi guru untuk menyonsong hari esok. Seluruh Negara peserta dari 57 negara
itu sepakat bahwa pendidikan harus dikelola oleh guru yang professional, karena
masyarakat semakin modern yang menuntut profesionalisasi dalam bidang-bidang
tugas kekaryaan kependidikan pada khususnya, dan bidang-bidang lain pada
umumnya.
Dalam
penegembangan profesionalisme kependidikan tersebut diperlukan pemantapan kompetensi
keguruan.Menurut beberapa ahli administrasi pendidikan, Robert Houton,
mengertikan kompetensi sebagai berikut: Competence is adequacy for a task or as
possession of required knowledge, skill and abilities. Kompetensi adalah
kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugas atau memiliki pengetahuan,
keterampilan dan kecakapan yang dipersyaratkan untuk itu.
Kompetensi itu
tergambar di dalam pelaksanaan tugas guru sehari-hari yang bercirikan pada tiga
kemampuan professional yang disebut The Teaching Triad.
a.
Kepribadian guru yang unik dapat mempengaruhi murid yang
dikembangkan terus menerus sehingga ia benar-benar terampil dalam tugasnya:
-
Memahami dan menghargai tiap potensi dari tiap murid
-
Membina situasi sosial yang meliputi interaksi belajar mengajar
yang mendorong murid dalam meningkatkan kemampuan memahami pentingnya
kebersamaan dan kesepahaman arah pemikiran dan perbuatan dikalangan murid.
-
Membina perasaan saling mengerti, saling menghormati dan saling
bertanggung jawab dan percaya mempercayai antara guru dan murid.
b.
Penguasaan ilmu pengetahuan yang mengarah kepada spesialisasi ilmu
yang diajarkan kepada murid.
c.
Keerampilan dalam mengajarkan bahan pelajaran, terutama menyangkut
perencanaan program satuan pelajaran dan menyusun keseluruhan kegiatan untuk
satuan pelajaran menurut waktu (catur wulan, semester, tahun pelajaran).
Disamping itu,
ia terampil mempergunakan dan mengembangkan alat-alat bantu bagi murid dalam
proses belajar mengajar yang diperlukan.
Juga terampil
dalam mempergunakan semua metode mengajar sehingga terjadilah kombinasi dan
variasi metodologis yang lebih efektif. Dengan demikian jelaslah bahwa antara
profesi dan kompetensi terjadi perkaitan yang erat sehingga dapat dikatakan
bahwa profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna , dan kompetensi tanpa
profesi akan kehilangan guna.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa profesi berbeda dengan pekerjaan yang lain karena
profesi mengemban fungsi sosial yaitu:
1.
Mengabdi kepada masyarakat yang menuntut adanya kompetensi agar
profesi berfungsi dengan baik.
2.
Pengetahuan dan skill khusus untuk melaksanakan fungsi tersebut
serta diperlukan.
3.
Alat-alat atau metode untuk melakukan verifikasi terhadap tuntutan
pengetahuan dan keterampilan khusus itu.
Untuk
memelihara profesionalisme agar berkembang dinamis dan konsisten, diperlukan
suatu kode etik yang mengikat jabatan fungsional sebagai guru.Di Indonesia telah
ditetapkan kode etik guru oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).Di
setiap Negara mempunyai kode etik guru, misalnya di Amerika Serikat ada kode
etik guru yang dirumuskan oleh NEA (National Education Association). Khusus
untuk guru-guru madrasah belum disusun kode etik tersendiri , dan guru-guru
madrasah tidak perlu menetapkan kode etik tersendiri, cukup menggunakan kode
etik dari PGRI tersebut.
Secara
Internasional profesionalisme di bidang pendidikan atau keguruan itu telah
diakui keberadaannya, oleh karena:
1.
Bidang tugas keguruan atau kependidikan bukan tugas rutin yang
dapat dikerjakan karena pengulang-ulangan atau pembiasaan, atau secara amatir,
atau dengan caratrial dan error.
2.
Bidang pekerjaan ini memerlukan dukungan ilmu teoritis pendidikan yang
melandasi pelaksanaan operasional pendidikan.
3.
Bidang pekerjaan ini memerlukan waktu lama dalam pendidikan dan
latihan sejak pendidikan dasar (basic education) sampai kepada
pendidikan professional keguruan.
Oleh karena itu
di lingkungan tugas kependidikan madrasah diperlukan juga profesionalisme
kependidikan yang lebih berkualitas tinggi daripada yang berada si
sekolah-sekolah umum, mengingat guru di madrasah mengandung konotasi moralitas
dan nilai-nilai Islami ditengah masyarakat luas walaupun guru yang bersangkutan
hanya mengajarkan ilmu pengetahuan duniawi. Guru madrasah tidak hanya menjadi
pengajar ilmu pengetahuan agama dan umum di kelas, akan tetapi ia juga sebagai
norma-drager (pembawa norma) agama di tengah masyarakat.
Itulah sebabnya
guru madrasah sebagai pemegang jabatan professional membawa misi ganda dalam
waktu bersamaan yaitu misi agama dan misi ilmu pengetahuan, sehingga firman
Allah dalam surat Al-Mujadalah 11 tersebut di atas dapat direalisasikan secara
harmonis.
BAB III
PENUTUP
Marilah kita
pahami makna profesionalisme dalam pelaksanaan tugas pelaksanaan kependidikan
dan administratif di madrasah-madrasah kita, yang tidak terbatas pada
madrasah-madrasah negeri saja, melainkan juga madrasah swasta yang justru
berjumlah lebih dari 23.000 buah dalam semua jenjang.Kita upayakan agar segala
tugas pekerjaan yang berkaitan dengan pengelolaan madrasah kita semakin efektif
berkat penanganan yang professional itu.
Di masa depan,
sekolah-sekolah kita semakin memerlukan profesionalisme karena semakin banyak
permasalahan psikologis dan pedagogis yang harus diselesaikan dalam rangka
memperlancar proses belajar mengajar
yang konsisten menuju tujuannya. Ide-ide baru dari luar yang bermanfaat harus
kita terima sebagai bahan yang menetapkan stratei pembinaan dan pengembangan
madrasah-madrasah kita di masa depan. Bilamana masyarakat kita sedang bergerak
kea rah modernisasi berkat dampak IPTEK, maka madrasah kita pun harus dapat
mengakomodasikan aspirasi kemajuan tersebut dalam bentuk formulasi yang seirama
dengan tuntutan kemajuan masyarakat tersebut. Bila tidak demikian maka
tunggulah kematiannya. Profesionalisme yang berdasarkan keterbukan dan
kebijakan terhadap ide-ide pembaharuan itulah yang akan mampu melestarikan
eksistensi madrasah atau sekolah kita, sebagaimana telah disinyalir oleh Nabi
Muhammad Saw dengan sabdanya:
“Jika
suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan profesinya maka tunggulah
kehancurannya”
Juga firman
Allah yang mengingatkan kita semua seperti tercantum dalam surat Al-An’am 135
sebagai berikut:
ö@è%ÉQöqs)»t(#qè=yJôã$#4n?tãöNà6ÏGtR%s3tBÎoTÎ)×@ÏB$tã(t$öq|¡sùcqßJn=÷ès?
Katakanlah: "Hai
kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, Sesungguhnya akupun berbuat (pula)…
DAFTAR PUSTAKA
Arifin.1991.Kapita
Selekta Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara
Suyanto. 2006. Ilmu
Pendidikan Islam.Jakarta: Kencana Prenada Media
No comments:
Post a Comment