Friday, September 11, 2015

PROFESIONALISME PENDIDIKAN DALAM PENGELOLAAN MADRASAH



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Berdasarkan aspirasi bangsa Indonesia yang telah disahkan oleh MPR dengan Ketetapan No.II/MPR/1988 tentang GBHN, Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya.Sektor pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan Nasional adalah berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.Berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan nasional harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial.Sehingga perlu dikembangkan iklim belajar dan mengajar dan menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yng dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Dalam proses pembangunan yang lestari dan berkesinambungan, faktor manusia yang berkualitas tinggi itulah yang mampu menjadi pelaksana pembangunan yang bertanggung jawab. Karena pembangunan adalah untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan.
Dilihat dari segi ajaran Islam, kedudukan manusia di atas bumi ini dipandang sebagai khalifah Allah yang harus memiliki kualifikasi mental-spiritual, intelektual, dan fisik yang tinggi.Sehingga mampu mengelola, memanfaatkan dan melestarikan kekayaan alam yang terpendam di dalam, di atas, dan di bawah buminya sendiri.Islam mengajarkan pemeluknya agar mampu memelihara, mengelola, dan membangun planet bumi ini bagi kesejahteraan hidupnya di dunia sebagai bekal bagi hidup di akhiratnya.
Prinsip inilah yang mendorong umat Islam di negeri kita ini untuk melaksanakan etos kerja: “Bekerja keras untuk dunianya seolah-olah akan hidup abadi, dan bekerja keras untuk akhiratnya seolah-olah ia akan mati esok hari.”
Tujuan Islami demikian memerlukan suatu kematangan iman dan berilmu pengetahuan secara bersamaan yang saling mengembangkan dalam tiap pribadi muslim. Kematangan kedua aspek rohaniah itu baru dicapai bila umat Islam Indonesia mampu memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan dalam semua bentuk: formal (sekolah, madrasah), nonformal, dan informal.
Moto kita adalah firman Allah yang menegaskan:  
Æìsùötƒª!$#tûïÏ%©!$#(#qãZtB#uäöNä3ZÏBtûïÏ%©!$#ur(#qè?ré&zOù=Ïèø9$#;M»y_uyŠ4…….
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Al- Mujaadilah: 11)
Dan juga firman Allah:
Æ÷tGö/$#ur!$yJÏùš9t?#uäª!$#u#¤$!$#notÅzFy$#(Ÿwurš[Ys?y7t7ŠÅÁtRšÆÏB$u÷R9$#(
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.
2.      Rumusan Masalah
2.1.Bagaimana latar belakang madrasah?
2.2.Apa pengertian dari professional?
2.3.Bagaimana peningkatan mutu madrasah?
3.      Tujuan
3.1.Untuk mengetahui latar belakang madrasah
3.2.Untuk mengetahui pengertian dari professional
3.3.Untuk mengetahui peningkatan mutu madrasah
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Latar Belakang Historis Kelahiran Madrasah
        Madrasah merupakan “isim makan” kata “darasa” dalam bahasa arab, yang berarti “tempat duduk untuk belajar” atau popular dengan sekolah. Lembaga pendidikan Islam ini mulai tumbuh di Indonesia pada awal abad ke 20. Kelahiran madrasah ini tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap sistem pesantren yang semata-mata menitik beratkan agama, di pihak lain sistem pendidikan umum justru ketika itu tidak menghiraukan agama.
        Dengan demikian, kehadiran madrasah dilator belakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan dikalangan umat Islam. Atau dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan colonial.
        Memang pada waktu itu terdapat dua sistem pendidikan yang sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Pemerintah kolonial belanda yang memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di Indonesia, yaitu  pesantren. Padahal diketahui bahwa pesantren yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya sekolh kolonial, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengelolahannya dengan sekolah yang diperkenalkan belanda tersebut.
      Adanya perbedaan yang sangat kontradiktif dari kedua sistem pendidikan tersebut rupanya menggugah sebagian penduduk pribumi. Mereka menyadari akan pentingnya pendidikan umum dengan tidak mengesampingkan dan meninggalkan pola pendidikan pesantren, sehingga diusahankanlah untuk memadukannya. Bagaimanapun kesadaran seperti itu sangat diperlukan oleh umat Islam, sebab dari pengalaman historis, selama ratusan tahun dijajah belanda, umat Islam selalu menjadi korbannya yang paling empuk, hal ini dikarenakan umat Islam boleh dikatakan bodoh dalam beberapa hal, terutama bidang keduniaan yang sesungguhnya juga menjadi sasaran risalah Islam. Belanda disamping sengaja membodohkan pribumi (umat Islam), umat Islam juga telah dibelokkan jalan hidupnya oleh orang-orang bodoh terdahulu, supaya semata-mata melihat Islam sebagai tata cara ritual keagaman belaka, dan sebaliknya agrar membenci dunia dengan memandang sebagai sumber fitnah belaka.
            Dengan demikian, setidak-tidaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai beberapa latar belakang, yaitu:
1.      Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
2.      Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum.
3.      Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai sistem pendidikan mereka.
4.      Sebagai paya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilaksanakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dan hasil akulturasi.
Sebagai madrasa pertama yang didirikan di Indonesia adalah madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera barat), ang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.Pada mulanya madrasah Adabiyah ini bercorak agama semata-mata, baru kemudian pada tahun 1915berubah menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah.HIS Adabiyah merupakan sekolah pertama yang memasukkan pelajaran umum kedalamnya.
Selanjutnya pada tahun 1910 didirikan Madrasah School (sekolah agama) yang dalam perkembangannya berubah menjadi Diniyah School (Madrasah Diniyah). Dan nama Diniyah inilah yang kemudian berkembang dan terkenal.
Setelah itu Madrasah Diniyah berkembang hamper diseluruh kepulauan nusantara, baik merupakan bagian dari pesantren maupun surau, ataupun berdiri di luarnya. Pada tahun 1918 di Yogyakarta berdiri Madrasah Muhammadiyah (kweekschool Muhammadiyah), sebagai realisasi dari cita-cita pembaharuan pendidikan Islam yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan.
Sebelumnya pada tahun 1916 di lingkungan pondok Pesantren Tebuireng Jombang (Jawa Timur), telah didirikan Madrasah Salafiah oleh KH. Hasyim Asy’ari. Sebagai persiapan untuk melanjutkan pendidikan di pesantren pada yahun 1929 atas usaha Kiai Ilyas, diadakan pembaharuan dengan memasukkan pengetahuan umum pada madrasah tersebut.
Dengan demikian, kita ketahui bahwa permulaan abad ke_20, merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan Madrasah hamper diseluruh Indonesia dengan nama dan tindakan yang bervariasi. Namun madrasah-madrasah tersebut, pada awal perkembangannya masih bersifat diniyah semata-mata. Baru sekitar tahun 1930 sedikit demi sedikit akan tetap bertambah cepat, dilakukan pembaharuan terhadap madrasah dalam rangka memantapkan keberadaannya khususnya dengan penambahan pengetahuan umum.
Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Madrasah
Secara historis pada tahap awal-awal perjalanan madrasah tidaklah begitu mulus, kendatipun didirikan dengan nama madrasah, semula dikehendaki ialah suatu lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, yang didalamnya anak didik mendapatkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara berimbang. Tetapi pada praktiknya hanya dicerminkan oleh sistem klasikalnya saja, sementara kurikulumnya yang diajarkan tetap semata-mata bidang studi agama.Karena itu banyak madrasah pada tahap-tahap awal ini tidak bedanya dengan pesantren tradisional yang sudah lama berjalan.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka oleh Departement Agama diadakanlah upaya-upaya untuk peningkatan kualitas madrasah, yang salah satu aspeknya adalah kurikulum. Untuk masalah kurikulum ini, dalam perkembangannya telah beberapa kali diadakan perubahan, dari yang muatannya lebih banyak pengetahuan agama ketimbang pengetahuan umum sampai dengan diberlakukannya kurikulum 1994 seperti sekarang ini, yang memuat lebih kurang 10 % pendidikan agama da 90 % pengetahuan umum.
Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsung-angsur, mulai dari mengikuti sistem klasikal. Sistem pengajian kitab, diganti dengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama.Kenaikan tingkat ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang pelajaran tertentu.
Pada perkembangan berikutnya sistem pondok mulai ditinggalkan, dan berdiri madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah yang Cuma mengajarkan pengetahuan agama.
Tampaknya, ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia sangat besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum Madrasah, dan terus berproses sebagaimana digambarkan terdahulu.Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan Madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkatan dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk tingkatan SMP, da nada pula kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang disebut normal Islam.
            Adapun pengetahuan umum yang diajarkan pada madrasah pada masa-masa awal adalah:
a.       Membaca dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia.
b.      Berhitung.
c.       Ilmu Bumi.
d.      Sejarah Indonesia dan Dunia.
e.       Olahraga dan Kesehatan.
Tugas-tugas yang demban oleh madrasah (sekolah)setidaknya mencerminkan sebagai lembaga pendidikan Islam yang lain. Menurut Al-Nahlawi, tugas lembaga madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam adalah:
1.      Merealisasikan pendidikan Islam yang didasarkan atas prinsip piker, akidah, dan tasyri’ yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk dan realisasi itu ialah agar peserta didik beribadah, mentauhidkan Allah SWT, tunduk dan patuh atas perintah-Nya serta syariat-Nya
2.      Memelihara fitrah anak didik sebagai insan yang mulia, agar ia tak menyimpang tujuan Allah menciptakannya. Kecenderungannya sekarang, madrasah telah membuat penyimpangan-penyimpangan dalam format yang berbeda yang bahayanya tak kurang dari bentuk lamanya, misalnya membuat senjata untuk berperang yang tidak manusiawi. Oleh karena itu, dasar operasionalisasi pendidikan harus dijiwai oleh fitrah manusiawi, sehingga menghindari adanya penyimpangan.
3.      Memberikan kepada anak didik dengan seperangkat peradaban dan kebudayaan Islami, dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, ilmu eksakta yang dilandaskan atas ilmu-ilmu agama, sehingga anak didik mampu melibatkan dirinya kepada perkembangan Iptek.
4.      Membersihkan pikiran dan jiwa dari pengaruh subjektivitas (emosi), karena pengaruh zaman dewasa ini lebih mengarah kepada penyimpangan fitrah manusiawi. Dalam hal ini, lembaga pendidikan madrasah berpengaruh sebagai benteng yang menjaga kebersihan dan keselamatan fitrah manusia tersebut.
5.      Memberikan wawasan nilai dan moral, serta peradaban manusia yang membawa khazanah pemikiran anak didik menjadi berkembang. Pemberian itu dapat dilakukan dengan cara menyajikan sejarah peradaban umat terdahulu, baik mengenai pikiran, kebudayaan, maupun perilakunya. Nilai-nilai tersebut dapat dipertahankan atau dimodifikasi karena bertentangan dengan akidah Islam atau tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
6.      Menciptakan suasana kesatuan dan kesamaan antar anak didik. Tugas ini tampaknya sulit dilakukan karena ank didik masuk lembaga madrasah dengan membawa status sosial dan status ekonomi yang berbeda. Tugas ini berdampak langsung dari eksistensi dan interaksi para peserta didik dalam naungan satu system madrasah yang inputnya berasal dari berbagai lingkungan hidup. Di dalam madrasah ini, peserta didik ditempa dan dipadukan dalam satu kondisi dan iklim yang sama, yang mampu menyatukan/qalb dan jiwa mereka. Iklim madrasah hayati itu mempersatukan keanekaragaman corak individu dan berbagai lapisan dan lingkungan masyarakat, menghapus atau mengurangi berbagai diskriminasi dan stratifikasi diantara mereka walaupun tempat tinggal, pandangan, tradisi mereka berbeda-beda.
7.      Tugas mengordinasi dan membenahi kegiatan pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan keluarga, masjid dan pesantren mempunyai saham tersendiri dalam merealisasikan tujuan pendidikan, tetapi pemberian saham itu belum cukup. Oleh karena itu, madrasah hadir untuk melengkapi dan membenahi kegiatan pendidikan yang berlangsung.
8.      Menyempurnakan tugas-tugas lembaga pendidikan keluarga, masjid dan pesantren.
Tugas-tugas lembaga pendidikan madrasah tersebut membutuhkan administrasi yang memadai, yang mencakup berbagai komponen, misalnya perencanaan, pengawasan, organisasi, koordinasi, evaluasi dan sebagainya, sehingga dalam lembaga madrasah itu terdapat tertib administrasi yang pada dasarnya bertujuan melancarkan pelaksanaan pendidikan yang dilaksanakan.
Pengembangan Kurikulum Madrasah
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah telah digulirkan, begitu juga usaha menuju kesatuan sistem pendidikan nasionaldalam rangka pembinaan semakin ditingkatkan. Usaha tersebut bukan hanya merupakan tugas dan wewenang Department Agama, tetapi merupakan tugas bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, yang dimaksud dengan madrasah ialah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Madrasah dalam hal ini memiliki 3 jenjang atau tingkatan, yaitu Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang masing-masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA.
Untuk merealisasikan SKB 3 Menteri itu, maka pada tahun1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum sebagai standard untuk dijadikan acuan oleh madrasah. Kurikulum yang yang dikeluarkan, juga dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
a.       Pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada madrasah, sesuai dengan aturan yang berlaku pada sekolah-sekolah umum.
b.      Deskripsi sebagai kegiatan dan metode penyampaian progam untuk setiap bidang studi, baik untuk bidang studi agama maupun bidang studi pengetahuan umum.
Dengan adanya SKB 3 menteri tersebut, buka berarti beban yang dipikul madrasah tambah ringan akan tetapi justru sebaliknya, akan semakin berat. Hal ini dikarenakan disatu pihak ia dituntut untuk mampu memperbaiki kualitas pendidikan umum sehingga setaraf dengan standard yang berlaku di sekolah umum, di pihak lain ia harus menjaga agar mutu pendidikan agama tetap baik sebagai ciri khasnya. Maka untuk mencapai kedua tujuan yang dimaksud, sudah tentu harus diadakan peninjauan kembali terhadap kurikulum yang berlaku, materi pelajaran, sistem evaluasi dan peningkatan mutu tenaga pengajarnya melalui penataran-penataran.
Esensi dari pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah ini memuat antara lain:
a.       Kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah terdiri dari progam intidan progam khusus.
b.      Progam inti dalam rangka memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama.
c.       Progam khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi bagi sekolah atau madrasah tingkat menengah atas.
d.      Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah umum dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan belajar dan sistem penilaian adalah sama.
e.       Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum, akan diatur bersama oleh kedua Depatemen yang bersangkutan.
Diantara rumusan kurikulum 1984 memuat hal strategis sebagai berikut :
a.       Progam kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTs, MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kulikuler , ko kulikuler dan ekstra kulikuler, baik dalam progam inti maupun rogam pilihan.
b.      Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang dipelajari.
c.       Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan meningkatkan proses dan hasil belajar serta pengolahan progam.
Dengan diberlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian diikuti beberapa peraturan pemerintah sebagai pedoman pelaksanaannya, maka kurikulum berbagai jenjang dan jenis pendidikan yang berlaku perlu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini apalagi bila dilihat pada awal 37 UU Nomor 2 Tahun 1989 tersebut dinyatakan bahwa:
“kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.”
Diantara bagian dari isi pokok ketentuan diatas ialah mengenai progam pengajaran, dimana ditentukan bahwa setiap madrasah pada tingkat masing-masing wajib melaksanakan kurikulum mata pelajaran yang disusun secara nasional.Berajak dari sinilah sehingga lahir kurikulum 1994.
Kurikulum 1994 memang cukup berbeda dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum 1994 dirancang dan dikembangkan tentu dengan cermat dan penuh pertimbangan, dengan menekan sekecil mungkin kelemahan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya terutama pada syaratnya beban pelajaran yang ditanggung siswa dan orientasinya yang menekankan pada target hasil belajar, bukan pada proses pembelajarannya.
Pada kurikulum 1994, guru diberi wewenang untuk berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun. Guru leluasa mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap pokok bahasan sesuai dengan kebutuhan. Guru pun diberi wewenang dalam menentukan metode, penilaian dan sarana pembelajaran sesuai dengan kebutuhan sehingga siswa aktif dalam pembelajaran, baik secara fisik, mental (intelektual dan emosional), maupun social.
Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum 1984 memiliki sejumlah perbedaan, terlebih-lebih bagi madrasah, diantaranya:
a.       Kalau pada kurikukum 1984, pelaksanaan pengajaran adalah persemester, sebaliknya pada kurikulum 1994 memakai catur wulan.
b.      Istilah bidang studi diganti mata pelajaran.
c.       Pendidikan agama yang semula (pada kurikulum 1984) lebih kurang 30%, pada kurikulum 1994 hanya lebih kurang 10%.

2.      Profesionalisme dalam Pendidikan Islam
Pada saat karangan ini di tulis (1991),sekolah-sekolah Islam di Indonesia masih rendah mutunya. Kata ‘rendah’ ditemukan dengan cara membandingkan mutu sekolah-sekolah Islam (seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah dan matul Ulama) denagn mutu sekolah negeri dan sekolah yang diasuh oleh umat Katolik. Rendahnya mutu sekolah Islam tersebut tentu saja banyak penyebabnya. Diantara penyebab-penyebab itu ialah tidak atau kurang diterapkannya profesionalisme dalam pengelolaan sekolah-sekolah tersebut. Dalam bab ini dibicarakan (1) definisi profesionalisme,  (2) pandangan Islam tentang profesialisme, (3) cara menerapkan profesionalisme dalam pengelolaan sekolah-sekolah Islam.
DefinisiProfesionalisme
Profesialisme ialah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesinal. Orang yang profesional iyalah orang yang memiliki profesi. Apa profesi itu?
Menurut Muchtar Luthfi dari Universitas Riau (lihat mimbar, 3, 1984 : 44), seseorang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi kriteria berikut ini. (1) profesi harus mengandung keahlian. Artinya, suatu profesi itu mesti ditandai oleh suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. (2) profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban; sepenuh waktu maksudnya bukan part-time. (3) profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka. Secara universal pegangannya itu diakuai. (4) profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri. (5) profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi itu diperlikan untuk menyakinkan peran profesi itu terhadap kliennya. (6) pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat diuji atau dinilai oleh rekan-rekannya seprofesi. (7) profesi mempunyai kode etik, disebut etik profesi. (8) profesi harus mempunyai klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan.
      Selanjutnya Finn(1953) menambahkan bahwa suatu profesi memerlukanorganisasi profesi yang kuat; gunanya uantuk memperkuat dan mempertajam profesi itu (lihat Miarso, 1986 : 28). Finn menyatakan pula bahwa suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi lain (Miarso, 1986 : 29). Pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari satu profesi.
 10 kriteria “profesi” sebagai berikut :
Pertama, profesi harus memiliki suatu keahlianyang khusus. Keahlian itu tidak dimiliki oleh Profesi lain. Misalnya, keahlian kimia tidak dikenal oleh ahli hukum. Ada juga bidang keahlian yang sedikit-sedikit diketahui oleh orang yang tidak memegang keahlian itu. Keahlian ekonomi misalnya, dapat juga diketahui sedikit-sedikit oleh ahli hukum, ahli politik, dan sebagainya.
Keahlian diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus. Keahlian kedokteran diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus di fakultas kedokteran; seorang ahli tambal ban tentu pernah belajar menambal ban secara khusus, dan demikian selanjutnya.
Kedua, profesi harus diambil sebagai pemenuhan panggilan hidup. Oleh karna itu, profesi dikerjakan sepenuh waktu. Profesi itu dipilihnya bukan karena panggilan uang, kedudukan, dan bukan pula karena terbawa oleh orang lain. Jadi, ada suatu kesungguhan dalam memilih profesi.
Dilakukan sepenuh waktu maksudnya profesi itu dijalani dalam jangka yang panjang bahkan seumur hidup. Jadi, bukan dilakukan secara part-time, melainkan  full-time; bukandijadikanpekerjaansambilanataupekerjaansementara yang akanditinggalkanbiladitemukanpekerjaanlainyangdirasakanlebihmenguntungkan.
Biasanya pemilihan suatu bidang prrofesi dipengaruhi oleh banyak hal, yang terpenting adalah pandangan hidup. Contoh yang jelas iyalah pemilihan profesi kependetaan; profesi ini jelas dipilih karena pandangan hidup.
Ketiga, profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi itu dijalani menurut teori-teorinya. Teoti itu harus baku, maksudnya teori itu bukan teori sementara. Jika teori itu teori dalam filsafat, maka iya harus lolos dalam berbagai uji logis. Teori itu harus dikenal secara umum, artinya dikenal oleh semua pemegang profesi dimana pun ia berada. Inilah yang dimaksud dengan universal itu.
Agar pemegang profesi segera dapat mengetahui adanya teori-teori baru, diperlukan adanya organisasi profesi. Organisasi ini menyelenggarakan media (majalah,buletin) profesi. Dengan memuat temuan dalam media itu, teori baru dapat segera diketahui dan diuji oleh rekan seprofesi.
Keempat, profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri. Maksudnya iyalah profesi itu merupakan alat dalam mengabdikan diri kepada masyarakat, bukan untuk kepentingan diri sendiri untuk mengumpulkan uang atau mengejar kedudukan. Ini berhubungan dengan profesi sebagai panggilan hidup.
Apakah pemegang profesi tidak boleh menerima uang atau dilarang menduduki jabatan?? Kiranya tidaklah demikian. Pemegang profesi boleh menerima uang, kedudukan, tetapi hal itu hanya sebagai penghargaan masyarakat atau negara terhadap profesinya. Penghargaan itu layak diterimanya dan masyarakata memang wajar memberinya.
Kelima, profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Kecakapan diagnostik sudah jelas kelihatan pada profesi keedokteran. Akan tetapi,  ada profesi yang kuarang jelas kecakapan diagnostiknya; ini disebabkan belum berkembangnya teori dalam profesi itu. Kompetensi aplikatif adlah kewenangan menggunakan teori-teori yang ada didalam keahliannya. Penggunaan itu harus didahului oleh diagnosis. Jadi, kecakapan diagnostik memang tidak dapat dipisahkan dari kewenangan aplikatif; seseorang yang tidak mampu mendiagnosis tentu tidak berwenang melakukan apa-apa terhadap kliennya.
Kewenanan aplikatif biasanya berdasarkan surat keterangan, itu berupa surat pengangkatan  atau berupa ijazah atau sertifikat. Akan tetapi, ini semua dilihat dari aspek hukum, artinya aspek formalitas. Yang tidak kalah pentingnya dari itu adalah aspek kebenaran kewenangan itu.
Keenam, pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan profesinya. Otonomi itu hanya boleh diuji oleh rekan-rekan seprofesinya. Pemegang profesi memiliki otonomi dalam menjalankan profesinya. Maksud ialah ia bebas dalam melakukaan sesuatu. Kebebasan itu sebenarnya bukan kebebasan mutlak. Ia bebas melakukan profesinya sesuai teori-teorinya yang sudah baku. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh kekuatan lain. Misalnya, seorang penguji mahasiswa, ia tdk boleh dipengaruhi agar ia meluluskan atau memberi nilai tinggi, padahal mahasiswa tersebut tidak lulus atau memperoleh nilai rendah. Jadi, otonomi yang ada pada peegang profesi dibatasi oleh aturan-aturan (teoro-teori) yang ada dalam profesinya.
Ketujuh, profesi hendaknya mempunyai kode etik; ini disebut kode etik profesi. Gunanya ialah untuk dijadiakan pedonaman dalam melakukan tugas profesinya. Kode etik itu tidak akan bermanfaat apabila tidak diakui oleh pemegang profesi atau masyarakat.
Kode artinya aturan, eti artinya kesopanan. Akan tetapi dalam penerapannya, kode etik tidak hanya berfungsi sebagai aturan kesopanan. Pelanggaran kode etik dapat dituntut ke pengadilan. Misalnya seorang dokter mengadakan pengobatan menurut teori yang belum baku dan belum dikenal secara umum, lantas pasyen tewas atau cacat. Ia dapat di tuntut ke pengadilan. Pertama karna iya melanggar kode etik, yaitu menggunakan teori pengobatan yang belum baku; kedua mungkin karena ia melakukan kesalahan praktek. Membuka atau menyebar luaskan penyakit seorang pasien dan pasien itu dirugikan namanya bila penyakitnya diketahui orang banyak. Apakah salah memberitahukan kebenaran kepada orang banyak?? Tidak salah, tapi itu tidak sopan, merugikan nama seseorang.
Kedelapan, profesi harus mempunyai klien yang jelas. Klein disini maksudnya ialah pemakaian jasa profesi. Pemakaian profesi kedokteran adalah orang sakit. Klien guru adalah murid. Klien tukag las adalah pemilik barang yang perlu dilas. Demikian selanjutnya.
Dalam kenyataannya ada “profesi” yang kliennya kurang jelas, atau sangat luas, atau sangat umum; misalnya “profesi” dakwah. Profesi ini kurang jelas, sangat umum, dan sangat luas kliennya.
Kesembilan, profesi memerlukan organisasi profesi. Gunanya adalah untuk meningkatkan mutu profesi itu sendiri. Organisasi itu perlu menjalin kerjasama, umpamanya dalam bentuk pertemuan profesi secara periodik, menerbitkan media komunikasi seperti jurnsl, msjslsh, buletin, dan sebagainya.
Kesepuluh, mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain. Sebenarnya tidak ada aspek kehidupan yang hanya ditangani oleh satu profesi. Misalnya, Profesi pengobatan bersangkutan erat dengan masalah-masalah kemasyarakatan, ekonomi, agama, bahkan dengan politik. Oleh karena itu, dokter juga haru mengetahui sangkutan profesinya dengan profesi lain tersebut.
Pandangan Islam tentang Profesionalisme
Bila kita perhatikan kriteria profesi seperti diuraikan di atas, ada dua kriteria yang pokok, yaitu (1) merupakan panggilan hidup dan (2)keahlian. Kriteria “panggilan hidup” sebenarnya mencakup kepada pengabdian; sekarang orang lebih senang menyebutnya “dedikasi”. Kriteria “keahlian” mencakup kepada mutu layanan, ya, mutu dedikasi tersebut. Jika demikian, “dedikasi” dan “keahlian” itulah ciri utama suatu bidang disebut profesi; dan jika demikian, maka jelas Islam mementingkan profesinya.
      Pekerjaan (profesi adalah pekerjaan) menurut islam harus dilakukan karna Allah swt. “karna Allah” maksudnya karna di perintahkan Allah. Jadi, profesi dalam Islam harus dijalani karena merasa bahwa itu adalah perintah Allah. Dari sini kita mengetahui bahwa pekerjaan profesi didalam Islam  dilakukan untuk atau sebagai pengabdian kepada dua objek; pertama pengabdian kepada Allah, dan kedua sebagai pengabdian atau dedikasi kepada manusia atau kepada yang lain sebagai objek pekerjaan itu. Jelas pula bahwa kriteria “pengabdian” dalam Islam lebih kuat dan lebih mendalam dibandingkan dengan pengabdian dalam kriteria yang di ajarkan diatas tadi.
      Dalam Islam setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus dilakukan secara benar dan dilakukan oleh orang yang ahli. Rosul Allah saw. Mengatakan bahwa “bila suatu urusan dipekerjakan oleh orang yang tidak ahli, maka tunggulah kehancuran”.
“kehancuran” dalam hadis itu dapat di artikan secara terbatas dan dapat juga diartikan secara luas. Bila seorang guru mengajar dengan tidak keahlian, maka yang “hancur: adalah murid. Ini dalam pengertian yang terbatas. Murid-murid itu kelak mempunyai murid lagi; murid-murid itu kelak berkarya; kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar (karena telah dididik dengan tidak benar) Maka akan timbullah “kehancuran”. Kehancuran apa?? Ya, kehancuran orang-orang, murid-murid itu, dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka mengajarkan pengetahuan yang tidak benar. Ini kehancuran dalam arti luas.
      Bagemana penerapan profesionalisme ini dalam masyarakat Islam, khususnya dalam bidang penelolaan sekolah?? Berikut saya salinkan bagian dari makalah yang pernah saya ajukan dalam “seminar pendidikan dan profesionalisme dalam Muhammadiyah” yang diselenggarakan di IKIP Muhammadiyah Jakarta, 19-20 November 1990.
      Di Muhammadiyah dianut pendapat bahwa pendidikan adalah setiap orang yang merasa bertanggung jawab atas perkembangan anak didik. Di dalam buku Pedoman Guru Muhammadiyah dikatakan bahwa seorang guru Muhammadiyah pada hakikatnya tidak dapat melepaskan diri dari fungsinya: (a) sebagai makhluk Allah dan sebagai manusia muslim yang memiliki tanggung jawab penuh menunaikan amanat Allah; (b) sebagai warga negara yang memiliki tanggung jawab penuh untuk menunaikan prinsip-prinsip Garis-garis Besar Hukum Negara (GBHN) dalam menjalankan tugas profesinya; (c) sebagai pegawai instansi dan persyarikatan yang bertanggung jawab atas prinsip sumpah dan janji jabatannya; (d) sebagi guru mata pelajaran yang dipercayakan kepadanya yang memiliki fungsi sebagai penanggung jawab kurikuler.
Dianutnya profesionalisme dalam organisasi Muhammadiyah, khususnya dalam pengelolaan sekolah, kelihatan lebih jelas dalam syarat-syarat guru yang di tetapkan oleh Muhammadiyah. Di dalam buku Petunjuk Pelaksanaan Qaidah Perguruan Dasar dan Menengah Muhammadiyah, misalnya, disebutkan bahwa guru Muhammadiah harus memenuhi syarat-syarat berikut (lihat Persyarikatan Muhammadiyah Badan Hukum, 1980 ; 57) :
1.      Muslim ;
2.      Mempunyai kemampuan dan kecakapan yang diperlukan;
3.      Anggota / calon anggota / simpatisan Muhammadiyah atau Aisyiyah;
4.      Loyal terhadap persyarikatan dan perguruan; dan
5.      Berjanji untuk memenuhi persyaratan khusus yang di mufakati bersama antara yang bersangkuatan dengan Majilis / bagian pendidikan dan pengajaran.
 Di antara kelima syarat yang tertulis itu, syarat kemampuanlah yang memperoleh perhatian yang istimewa dalam Muhammadiyah. Di dalam buku Kurikulum Sekolah Dasar Muhammadiyah Bidang Study Agama Islam dan Kemuhammadiyahan (1982) syarat “kemampuan” itu dirinci sebagai berikut:
1.      Menguasai bahan, (a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah, (b) menguasai bahan pendalaman / aplikasi bidang stusi.
2.      Menguasai program belajar, (a) merumuskan tujuan instruksional,
(b) mengenal dan dapat menggunakan metodeh mengajar, (c) memilih dan menyusun prosedur instruksional yang tepat, (d) melaksanakan program mengajar dan belajar, (e) mengenal kemampuan anak didik,
(f) merencanakan dan melaksanakan pengajaran remedial.
3.      Mengelola kelas, (a) mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran,              (b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4.      Menggunakan media / sumber, (a) mengenal dan memilih serta menggunakan sumber, (b) membuat alat-alat bantu pelajaran yang sederhana, (c) menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka proses belajar-mengajar, (d) mengembakan laboratorium,
(e) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar.
5.      Menguasai landasan-landasan kependidikan.
6.      Mengelola interaksi belajar-mengajar.
7.      Menilai prestasi siswa untuk kependidikan dan pengajaran.
8.      Menguasai fungsi dan program pelayannan dan bimbingan di sekolah,
(a)  Menguasai fungsi dan program layanan dan bimbingan di sekolah,
(b) Menyelenggarakan program layanan dan bimbingan di sekolah
9.      Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, (a) mengenal adminitrasi sekolah, (b) menyelenggarakan adminitrasi sekolah.
10.   Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Dalam  Pedoman Guru Muhammadiyah di jelaskan bahwa guru sekolah Muhammadiyah tidak sekedar memiliki ilmu, melainkan kemampuan dan ketrampilan serasi dengan penguasaan didaktik dan metodik, memiliki kemampuan dalam ilmu jiwa. Selain itu guruy Muhammadiyah harus pula memiliki akhlak teladan di dalam kelasnya, bahkan dalam kehidupannya sehari-hari. Penilaian positif oleh para murid terhadap akhlak gurunya merupakan faktor penting dalam keberhasilan mendidik anak-anak tersebut. Akhlak teladan tersebut harus dilandasi oleh sikap mental (1) sikap menjalankan perintah tuhan, (2) jiwa pengabdian, (3) ikhlas beramal, (4) memusatkan segala sesuatunya hanya kepada Allah, (5) bersembahyang secara aktif, (6) keyakinan dan kelurusan / kebenaran agama islam.
      Selain itu, Muhammadiyah mensyaratkan juga agar guru memiliki sifat “senantiasa meningkatkan diri”, agar memiliki “hati yang bening, suci, dan indah”. Sifat ini menurut Muhammadiyah, akan melahirkan sifat “cinta pada profesi” dan “kasih sayang kepada anak didik”. Ini merupakan penajaman ciri profesi yang umum di kenal. Menurut Muhammadiyah, sifat itu kelak yang akan menumbuhkan sifat mawaddah dan rahman, dan hubungan itu juga akan memunculkan sifat adil pada anak didik.
Cara Menerapkan Profesionalisme di Sekolah-sekolah Islam
Untuk menerapkan profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan dapat diikuti – sekurang-kurangnya dipertimbangkan – pikiran berikut ini.
      Pertama, adanya profesionalisme pada tingkat yayasan. Yayasan tidak selalu hanya mengurus sekolah, kadang-kadang yayasan juga membuat kegiatan lain. Mungkin saja sebuah yayasan mengurus rumah sakit, rumah yatim, koperasi, sekolah, dan lain-lain. Dalam hal seperti ini, pengurus yayasan tidak harus profesionalisme dalam semua bidang garapan itu. Di sini pengurus yayasan cukup memenuhi syarat satu saja, yaitu; rasa pengabdian yang besar kepada masyarakat. Oleh karna itu, ia senang berbuat untuk masyarakat.
      Kedua, menerapkan profesionalisme pada tingkat pimpinan sekolah. Dalam hal ini yang benar-benar harus di perhatiakan oleh pengurus yayasan ialah memilih kepala sekolah yang benar-benar profesional, dengan keahliannya itu ia dapat meningkatkan mutu tenaga guru. Akan tetapi bila – katakanlah – guru-guru profesional, tetapi kepala sekolah tidak profesional, yang akan terjadi adalah bentrokan kebijakan. Apa yang dilakukan atau akan dilakukan oleh guru kadang-kadang di veto oleh kepala sekolah. Veto diberikan oleh kepala sekolah karena iya kurang ahli pada khususnya dan kurang profesional oada umumnya. Bila ini terjadi maka sekolah itu akan kacau.
      Ketiga, penerapan profesionalisme pada tingkat tenaga pengajar. Ini harus dimulai dalm penerimaaan tenaga guru dan hati-hati dalam mengangkat guru. Karena kenyataannya memecat guru itu tidak mudah.
      Memang, dapat saja kita menerima guru pada permulaan membuka sekolah secara mudah; artinya, siapa saja yang melamar, bersedia di gaji ala kadarnya, kita angkat. Bila ini ditempuh, maka yayasan dan kepala sekolah harus menetapkan dengan tegas (1) bila tidak meningkat tingkat profesinya, (2) bila sekolah perlu mengurangi dan mengganti guru, maka guru harus berjanji bersedia diberhentikan tanpa syarat apa-apa. Biasanya “sukarelawan” pertama  ini adalah kader-kader organisasi. Keadaan itu tidak boleh berlangsung lama. Lulusan pertama tidak boleh di rugikan. Tidak boleh ada lulusan “sukarelawan”. Tidak boleh ada kebijakan – umpamanya – lulusan pertama ini sekedar untuk memancing calon murid baru.
      Keempat, profesionalisasi tenaga tata usaha sekolah. Perencanaan ketatausahaan sekolah seluruhnya adalah tugas kepala sekolah, mencakup jumlahnya dan bidang tugasnya. Tidak dapat di buat teori baku tentang jumlah dan tugas tata usaha sekolah, karena disebabkan kondisi dan program sekolah yang tidak sama. Yang dapat di teorikan ialah bahwa tata usaha sekolah harus mampu memberi pelayanan selengkap-lengkapnya terhadap (1) kepala sekolah, (2) guru, (3) murid, (4) orang tua murid. Jika di singkat maka tugas tata usaha sekolah ialah melakukan semua tugas yang di perintahkan oleh kepala sekolah. Kembali di sini; kepala sekolah yang harus profesional.
3.      Peningkatan Mutu Madrasah Melalui Profesionalisme
Istilah profesionalisme berasal dari profession. Profession mengandung arti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Dengan kata lain, profesi dapat diartikan sebagai suatu bidang keahlian yang khusus untuk menangani lapangan kerja tertentu yang membutuhkannya.
Profesionalisme berarti suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.
Terdapat peryaratan yang harus dipenuhi dalam tugas professional sebagai mana dikemukakan oleh Houton sebagai berikut:
1.      Profesi harus dapat memenuhi kebutuhan sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterima oleh masyarakat dan prinsip-prinsip itu telah benar-benar well-establised.
2.      Harus diperoleh melalui latihan kultural dan professional yang cukup memadai.
3.      Menguasai perangkat ilmu pengetahuan yang sistematis dan kekhususan (spesialisasi).
4.      Harus dapat membuktikan skill yang diperlukan masyarakat dimana kebanyakan orang tidak memiliki skill tersebut yaitu skill sebagian merupakan pembawaan dan sebagian merupakan hasil belajar.
5.      Memenuhi syarat-syarat penilaian terhadap penampilan dalam pelaksanaan tugas dilihat dari segi waktu dan cara kerja.
6.      Harus dapat mengembangkan teknik-teknik ilmiah dari hasil pengalaman yang teruji.
7.      Merupakan tipe pekerjaan yang memberikan keuntungan yang hasil-hasilnya tidak dibakukan berdasarkan penampilan dan elemen waktu.
8.      Merupakan kesadaran kelompok yang dipolakan untuk memperluas pengetahuan yang ilmiah menurut bahasa teknisnya.
9.      Harus mempunyai kemampuan sendiri untuk tetap berada dalam profesinya selama hidupnya, dan tidak menjadikan profesinya sebagai batu loncatan ke profesi lainnya.
10.  Harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa anggota-anggota profesionalnya menjunjung tinggi dan menerima kode etik profesionalnya.
Jadi prefesionalisme dalam pendidikan tidak lain adalah seperangkat fungsi dan tugas dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah disamping mampu menekuni bidang profesinya selama hidupnya. Mereka itu adalah para guru yang professional yang memiliki kompetensi keguruan berkat pendidikan atau latihan di lembaga pendidikan guru dalam jangka waktu tertentu.
Disamping tugas professional keguruan, merekapun mampu bertugas dalam menejemen kelas dalam rangka proses belajar mengajar yang efektif dan efisien.
Perangkat tenaga kerja lainnya ialah kepala sekolah/madrasah yang dibantu tenaga staf yang harus professional juga dibidang administrasi atau menejemen sekolah. Sebagaimana Kepala Sekolah, selain professional memiliki kompetensi keguruan, iapun juga harus memiliki leadership (kepemimpinan) yang sesuai dengan tuntutan sekolah dan masyarakat sekitar.
Jadi Kepala Sekolah/madrasah seharusnya menyandang dua macam profesi yaitu profesi kehuruan dan profesi administratif (sebagai administrator). Kedua macam profesi tersebut diperoleh melalui pendidikan atau latihan (berijazah sekolah guru atau diploma guru) plus latihan dibidang administrasi pendidikan dalam jangka waktu tertentu sesuai program DIKLAT yang telah ditetapkan.
Adalah janggal jika seorang kepala sekolah yang harus bertugas memimpin sekolah tidak mempunyai pengalaman menjadi guru atau tidak mempunyai ijazah keguruan serta sekaligus keterampilan pengelolaan administrative sekolahnya.
Pekerjaan staf administrasi juga memerlukan profesionalisme dibidangnya masing-masing, seperti ahli perencanaan program pendidikan, ahli dalam bidang menejemen keuangan, ahli dalam bidang kepustakaan, ahli dalam bidang peralatan kependidikan dan sebagainya.
Oleh karena madrasah adalah merupakan lembaga kependidikan Islam yang menjadi cermin sebagian umat Islam, maka fugsi dan tugasnya adalah merealisasikan cita-cita umat Islam yang menginginkan agr anak-anaknya dididik menjadi manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan dalam rangka upaya meraih hidup sejahtera duniawi dan kebehagiaan hidup di akhirat. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan profesionalisme.
Oleh karena itu dilingkungan tugas kependidikan madrasah diperlukan juga profesionalisme kependidikan yang lebih berkualitas tinggi daripada yang berada di sekolah-sekolah umum, mengingat guru di madrasah mengandung konotasi moralitas dan nilai-nilai Islami di tengah masyarakat luas, walaupun guru yang bersangkutan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan duniawi. Guru madrasah tidak hanya menjadi pengajar ilmu pengetahuan agama dan umum di kelas, akan tetapi ia juga sebagai norma-drager (pembawa norma) agamanya di tengah masyarakat.
Itulah sebabnya guru madrasah sebagai pemegang jabatan professional membawa misi ganda dalam waktu bersamaan yaitu misi agama dan misi ilmu pengetahuan, sehingga firman Allah dalam surat Mujadalah 11, dapat direalisasikan secara harmonis.
Kondisi Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Formal
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia.Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari bawah dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada geneasi penerus.Oleh karena itu madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.
Madrasah dalam bentuk tersebut tercatat dalam sejarah bahwa keberadaannya telah berperan serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.Setelah kemerdekaan RI, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mengadakan penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah sejalan dengan laju perkembangan dan aspirasi masyarakat. Penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah itu meliputi: penataan kelembagaan, peningkatan sarana dan prasarana, kurikulum dan tenaga guru.
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah jumlahnya cukup banyak tetapi yang terbesar adalah berstatus swasta yakni lebih kurang 96,4%, sedangkan yang berstatus negeri hanya + 3,6%.
Posisi dan Strategi Pengelolaan Madrasah SKB 3 Menteri.
Di Indonesia madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dalam proses perkembangannya telah mengalami strategi pengelolaan dengan tujuannya yang berubah disesuaikan dengan tuntutan zaman.Pada zaman sebelum proklamasi kemerdekaan, madrasah dikelola untuk tujuan idealism ukhrawi semata yang mengabaikan tujuan hidup duniawi, sehingga posisinya jauh berbeda dengan system sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengarahkan program-programnya kepada intelektualisasi anak didiknya guna memenuhi tuntutan hidup sekuler.
Produk atau output system sekolah itu semakin memperlebar jurang pemisah dari output atau produk pendidikan madrasah. Akibatnya dalam kehidupan kewarganegaraan, timbul lah perbedaan kualitas hidup di kalangan warga Negara Indonesia. Sikap dan cara berpikir dan orientasinya mengalami perbedaan yang mencolok; di satu pihak produk pendidikan di sekolah umu ala pemerintah kolonial bercorak sekuler dan intelektualistik dalam sikap dan pola pikirnya, di lain pihak produk dari pendidikan madrasah berorientasi kepada kehidupan ukhrawi yang mengabaikan kepentingan duniawi dimana factor intelektualitas dalam berilmu pengetahuan dan bermasyarakat amat berperan.
Strategi pengelolaan madrasah demikian itu mendorong ke posisi yang kurang menguntungkan bagi masa depan perkembangannya.
Oleh karena itu seiring dengan tuntutan kemajuan masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan 1945, madrasah yang eksistensinya tetap dipertahankan dalam masyarakat bangsa, diusahakan agar strategi pengelolaannya semakin mendekati sistem pengelolaan sekolah umum; bahkan secara programatis semakin terintegrasi dengan program kependidikan di sekolah umum.Sebaliknya, sekolah umum harus semakin dekat kepada pendidikan agama.
Strategi pengelolaan madrasah sejak tahun 1976 berdasarkan SKB 3 Menteri (Agama, P dan K, Dalam Negeri) tahun 1975, mengalami perbahan total, yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bidang studi agama Islam 30% dan bidang studi non agama 70%. Secara kurikuler, kualitas pendidikan non agamis di madrasahsama mutunya dengan yang ada di sekolah umum menurut jenjang-jenjangnya. Dengan strategi demikian diharapkan antara madrasah di semua jenjang dengan sekolah umum dapat terjadi intermobilitas enrollment dengan mudah dan kualitas kekuasaannya sama.
Idealitas SKB 3 Menteri tersebut telah berkembang dalam masyarakat Indonesia, sehingga kelompok masyarakat yang semula menolak kehadiran madrasah menjadi berubah yakni menerimanya, bahkan sementara lapisan masyarakat kita memandang dengan strategi pengelolaan madrasah model SKB 3Menteri itu, masa depan kehidupan anaknya lebih terjamin dalam segi mental spiritual dan akhlaknya dibanding dengan pendidikan di sekolah umum yang ada.
Meskipun demikian idealnya madrasah model SKB 3 Menteri itu, namun masih banyak kelemahan yang perlu dihilangkan. Antara lain kurangnya efektif pendidikan agama dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan input IAIN, disamping kekurangan kualitas lulusan untuk input universitas umum. Juga termasuk kelemahannya adalah yang berkaitan dengan masalah tenaga pengelola dan pemroses program pendidikan di lembaga pendidikan madrasah di semua jenjang yang kurang berorientasi kepada profesionalisme tersebut di atas, meskipuntidak bisa dikatakan para guru dan tenaga administratif madrasah negeri saat ini hanyalah kaum amatir, yang menangani madrasah hanya sambil lalu atau sebagai hobi saja.
Memang baik jika pengelola teknis dan administratif madrasah kita didasari dengan niat ibadah dan keikhlasan, namun sikap demikian jangan menghilangkan mutu profesionalisme yang makin menuntut kompetensi.Dengan semakin pesatnya kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, masyarakat kita makin terpengaruh oleh hasil-hasil IPTEK yang pada prinsipnya memberikan kenikmatan hidup dalam segala bidang termasuk kehidupan beragama.
Dampak positif dari kemajuan IPTEK tersebut telah dapat kita rasakan bersama, sedang dampak negatifnya belum sepenuhnya kita kendalikan.Dengan IPTEK yang semakin canggih, masyarakat menjadi semakin modern, maka strategi pokok untuk memodernisasikan kehidupan masyarakat (terutama di imposed oleh Negara industrialis/adikuasa) adalah melalui IPTEK modern itu.
Modernisasi tanpa teknologi dan ilmu pengetahuan, hanya utopi saja sedang IPTEK tanpa modernisasi akan using ditelan zaman, sehingga menjadi barang loakan. Martabat dan derajat bangsa di dunia ini ditentukan oleh tingkat kemajuan IPTEK-nya. Negara yang masih hidup dalam cengkraman tradisionalisme kultural, akan tetapi menjadi wilayah penjajahan ekonomi Negara maju (IPTEKnya). Strategi politik ekonomi Negara industrialis adalah sejauh mungkin diusahakan agar Negara-negara underdeveloped di Asia, Afrika, dan Amerika latin itu tetap terbelakang dalam bidang IPTEK, sehingga dalam jangka panjang tetap menjadi wilayah pemasaran hasil-hasil IPTEK mereka yang makin sulit untuk dikejar oleh Negara-negara yang underdeveloped itu.
Semakin masyarakat kita dipengaruhi oleh dampak kemajuan IPTEK semakin modern pula sikap dan pola pikirnya yang cenderung kea rah sekularisme dan materialism, maka semakin kompleks jiwa mereka, dan semakin menuntut tersedianya lapangan kerja yang ditangani secara professional dan spesialisasi.
Segala lapangan hidup manusia semakin dibagi-bagi menjadi sector-sektor yang berdiri sendiri terpisah atau sama lain. Masing-masing sector lapangan hidup memerlukan penanganan /pengelolaan yang professional, tidak amatiran. Demikian pula sector pendidikan, khususnya di madrasah-madrasah kita dimana strategi dasarnya adalah GBHN yang lima tahun sekali ditetapkan oleh MPR. Madrasah adalah sub-sistem dalam sistem pendidikan nasional; karena jumlah pendaftaran di Madrasah Ibtidaiyah dari usia sekolah dasar (7-12 tahun) berada pada posisi 10% dari pendaftaran nasional pada akhir REPELITA IV (yang berjumlah 24 juta anak).
Sampai saat ini jumlah madrasah terjamin eksistensinya di bawah pengelolaan tiga buah depertemen (Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dalam Negeri).
Dengan ditetapkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasioanal (UU No.2/1989) madrasah tetap diberi nafas untuk hidup berkembang, justru secara historis lembaga ini beserta pondok pesantrennya telah berjasa ikut mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Pengelolaan berdasarkan Profesionalisme dan Kompetensi
Di atas telah disinggung masalah profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan madrasah atau sekolah.
Profesionalisme hakikatnya adalah orientasi kerja yang bertumpu pada kompetensi.Dalam Kongres Guru se dunia ke-27, masalah profesi guru diseluruh Negara non komunis menjadi topik utama yang dibahas secara luas dan mendalam demi kepentingan profesi guru untuk menyonsong hari esok. Seluruh Negara peserta dari 57 negara itu sepakat bahwa pendidikan harus dikelola oleh guru yang professional, karena masyarakat semakin modern yang menuntut profesionalisasi dalam bidang-bidang tugas kekaryaan kependidikan pada khususnya, dan bidang-bidang lain pada umumnya.
Dalam penegembangan profesionalisme kependidikan tersebut diperlukan pemantapan kompetensi keguruan.Menurut beberapa ahli administrasi pendidikan, Robert Houton, mengertikan kompetensi sebagai berikut: Competence is adequacy for a task or as possession of required knowledge, skill and abilities. Kompetensi adalah kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugas atau memiliki pengetahuan, keterampilan dan kecakapan yang dipersyaratkan untuk itu.
Kompetensi itu tergambar di dalam pelaksanaan tugas guru sehari-hari yang bercirikan pada tiga kemampuan professional yang disebut The Teaching Triad.
a.       Kepribadian guru yang unik dapat mempengaruhi murid yang dikembangkan terus menerus sehingga ia benar-benar terampil dalam tugasnya:
-          Memahami dan menghargai tiap potensi dari tiap murid
-          Membina situasi sosial yang meliputi interaksi belajar mengajar yang mendorong murid dalam meningkatkan kemampuan memahami pentingnya kebersamaan dan kesepahaman arah pemikiran dan perbuatan dikalangan murid.
-          Membina perasaan saling mengerti, saling menghormati dan saling bertanggung jawab dan percaya mempercayai antara guru dan murid.
b.      Penguasaan ilmu pengetahuan yang mengarah kepada spesialisasi ilmu yang diajarkan kepada murid.
c.       Keerampilan dalam mengajarkan bahan pelajaran, terutama menyangkut perencanaan program satuan pelajaran dan menyusun keseluruhan kegiatan untuk satuan pelajaran menurut waktu (catur wulan, semester, tahun pelajaran).
Disamping itu, ia terampil mempergunakan dan mengembangkan alat-alat bantu bagi murid dalam proses belajar mengajar yang diperlukan.
Juga terampil dalam mempergunakan semua metode mengajar sehingga terjadilah kombinasi dan variasi metodologis yang lebih efektif. Dengan demikian jelaslah bahwa antara profesi dan kompetensi terjadi perkaitan yang erat sehingga dapat dikatakan bahwa profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna , dan kompetensi tanpa profesi akan kehilangan guna.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa profesi berbeda dengan pekerjaan yang lain karena profesi mengemban fungsi sosial yaitu:
1.      Mengabdi kepada masyarakat yang menuntut adanya kompetensi agar profesi berfungsi dengan baik.
2.      Pengetahuan dan skill khusus untuk melaksanakan fungsi tersebut serta diperlukan.
3.      Alat-alat atau metode untuk melakukan verifikasi terhadap tuntutan pengetahuan dan keterampilan khusus itu.
Untuk memelihara profesionalisme agar berkembang dinamis dan konsisten, diperlukan suatu kode etik yang mengikat jabatan fungsional sebagai guru.Di Indonesia telah ditetapkan kode etik guru oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).Di setiap Negara mempunyai kode etik guru, misalnya di Amerika Serikat ada kode etik guru yang dirumuskan oleh NEA (National Education Association). Khusus untuk guru-guru madrasah belum disusun kode etik tersendiri , dan guru-guru madrasah tidak perlu menetapkan kode etik tersendiri, cukup menggunakan kode etik dari PGRI tersebut.
Secara Internasional profesionalisme di bidang pendidikan atau keguruan itu telah diakui keberadaannya, oleh karena:
1.      Bidang tugas keguruan atau kependidikan bukan tugas rutin yang dapat dikerjakan karena pengulang-ulangan atau pembiasaan, atau secara amatir, atau dengan caratrial dan error.
2.      Bidang pekerjaan ini memerlukan dukungan ilmu teoritis pendidikan yang melandasi pelaksanaan operasional pendidikan.
3.      Bidang pekerjaan ini memerlukan waktu lama dalam pendidikan dan latihan sejak pendidikan dasar (basic education) sampai kepada pendidikan professional keguruan.
Oleh karena itu di lingkungan tugas kependidikan madrasah diperlukan juga profesionalisme kependidikan yang lebih berkualitas tinggi daripada yang berada si sekolah-sekolah umum, mengingat guru di madrasah mengandung konotasi moralitas dan nilai-nilai Islami ditengah masyarakat luas walaupun guru yang bersangkutan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan duniawi. Guru madrasah tidak hanya menjadi pengajar ilmu pengetahuan agama dan umum di kelas, akan tetapi ia juga sebagai norma-drager (pembawa norma) agama di tengah masyarakat.
Itulah sebabnya guru madrasah sebagai pemegang jabatan professional membawa misi ganda dalam waktu bersamaan yaitu misi agama dan misi ilmu pengetahuan, sehingga firman Allah dalam surat Al-Mujadalah 11 tersebut di atas dapat direalisasikan secara harmonis.



















BAB III
PENUTUP

Marilah kita pahami makna profesionalisme dalam pelaksanaan tugas pelaksanaan kependidikan dan administratif di madrasah-madrasah kita, yang tidak terbatas pada madrasah-madrasah negeri saja, melainkan juga madrasah swasta yang justru berjumlah lebih dari 23.000 buah dalam semua jenjang.Kita upayakan agar segala tugas pekerjaan yang berkaitan dengan pengelolaan madrasah kita semakin efektif berkat penanganan yang professional itu.
Di masa depan, sekolah-sekolah kita semakin memerlukan profesionalisme karena semakin banyak permasalahan psikologis dan pedagogis yang harus diselesaikan dalam rangka memperlancar  proses belajar mengajar yang konsisten menuju tujuannya. Ide-ide baru dari luar yang bermanfaat harus kita terima sebagai bahan yang menetapkan stratei pembinaan dan pengembangan madrasah-madrasah kita di masa depan. Bilamana masyarakat kita sedang bergerak kea rah modernisasi berkat dampak IPTEK, maka madrasah kita pun harus dapat mengakomodasikan aspirasi kemajuan tersebut dalam bentuk formulasi yang seirama dengan tuntutan kemajuan masyarakat tersebut. Bila tidak demikian maka tunggulah kematiannya. Profesionalisme yang berdasarkan keterbukan dan kebijakan terhadap ide-ide pembaharuan itulah yang akan mampu melestarikan eksistensi madrasah atau sekolah kita, sebagaimana telah disinyalir oleh Nabi Muhammad Saw dengan sabdanya:
“Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan profesinya maka tunggulah kehancurannya”
Juga firman Allah yang mengingatkan kita semua seperti tercantum dalam surat Al-An’am 135 sebagai berikut:


ö@è%ÉQöqs)»tƒ(#qè=yJôã$#4n?tãöNà6ÏGtR%s3tBÎoTÎ)×@ÏB$tã(t$öq|¡sùšcqßJn=÷ès?

 Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, Sesungguhnya akupun berbuat (pula)…























DAFTAR PUSTAKA

Arifin.1991.Kapita Selekta Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara
Suyanto. 2006. Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kencana Prenada Media
Hasbullah.1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

No comments:

Post a Comment