BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah
rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik
secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang
diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan
sebagai “pemelihara” (khalifah) pada semesta (Tafsir, 1994). Dengan
demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik (generasi
penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar
memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan),
sebagai tujuan akhir dari pendidikan.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam, sebagai
proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya
(al-Attas, 1984). Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap
elemen dalam dunia pendidikan - terutama peserta didik -- untuk mengembangkan
diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam,
pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta
didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun
turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari
paradigma aktif-progresif menjadi pasid-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam
mengalami proses 'isolasi diri' dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia
berada.
Berjalannya waktu pendidikan Islam tidak lagi
sejaya sejarahnya, pendidikan Islam sekarang mengalami banyak kemunduran karena
beberapa faktor.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang di maksud hakikat pendidikan islam dan globalisasi?
2.
Apa yang di maksud Makna Problem dan Masalah Pendidikan Islam?
3.
Apa saja Pokok-Pokok Permasalahan Pendidikan Islam?
4.
Apa kompleksitas Pendidikan Islam?
5.
Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya masalah Pendidikan di Era Global?
6.
Problematika Pendidikan Islam
di Era Global?
7.
Apa solusi problematika Islam
di Era Global?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui apa itu hakikat Pendidikan Islam di Era
global.
2.
Untuk mengetahui apa makna Problem dan Masalah Pendidikan
Islam.
3.
Untuk mengetahui Pokok-pokok Permasalahan Pendidikan
Islam.
4.
Untuk mengetahui Kompleksitas Pendidikan Islam.
5.
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi timbulnya
masalah pendidikan di Era Globalisasi.
6.
Untuk mengetahui Problematika Pendidikan Islam.
7.
Untuk mengetahui Solusi Problematika Islam di Era Global.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Pendidikan Islam dan Globalisasi
1. Pengertian
Pendidikan Islam
Pendidikan adalah
proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara
efektif dan efisien. Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh ialah
sebagai berikut :
Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah
segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan
norma Islam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai
pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya
dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang
membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dalam definisi
diatas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam
perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya
kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada
hukum-hukum islam.
2. Dasar-dasar
Pendidikan Islam
Menurut Samsul
Nizar membagi dasar pendidikan islam menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut
:
a. Al
Qur’an
Al Qur’an adalah
kalam Allah swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab
guna menjalankan jalan hidup yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia
(rahmatan lil ‘alamin), baik di dunia maupun di akhirat.
Al Qur’an sebagai petunjuk ( Hudan ) ditunjukkan
dalam firmanNya :
ان هذا القرأن يهدى للتى هي
أقوم ويبشر المؤمنين الذين يعملون الصلحت أن لهم أجرا كبيرا
Artinya :
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min
yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (Al Israa’ ayat 9)
Pelaksanaan
pendidikan islam harus senantiasa mengacu pada sumber yang termuat dalam Al
Qur’an. Dengan berpegang pada nilai-nilai tertentu dalam Al Qur’an – teruatama
dalam pelaksanaan pendidikan islam – umat islam akan mampu mengarahkan dan
mengantarkan umat manusia menjadi kreatif dan dinamis serta mampu mencapai
esensi nilai-nilai ubudiyah kepada khaliknya.
b. sunnah
Keberadaan Sunnah
Nabi tidak lain adalah sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum yang ada
didalam Al Qur’an, sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia
dalam semua aspeknya. Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan
yang berisikan keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan illahiyah yang
tidak terdapat didalam Al Qur’an, maupun yang terdapat didalam Al Qur’an tetapi
masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.
c. Ijtihad
Pentingnya Ijtihad
tidak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu sisi dituntut agar
senantiasa sesuai dengan dinamika zaman dan IPTEK yang berkembang dengan cepat.
Sementara disisi lain, dituntut agar tetap mempertahankan kekhasannya sebagai
sebuah sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai agama. Ini merupakan
masalah yang senantiasa menuntut Mujtahid Muslim di bidang pendidikan untuk
selalu berijtihad sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan dengan
tuntutan zaman dan kemajuan IPTEK.
3. Tujuan
Pendidikan Islam
Menurut Muhammad
Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan islam menurut Al Qur’an meliputi (1)
menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya
dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai
makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3)
menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah
penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya
dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.
4. Hakikat
Globalisasi
Globalisasi secara
harfiah berasal dari kata global yang berarti sedunia atau sejagat.
Menurut A. Qodry Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya
pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang
memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi yang merupakan hasil
modernisasi di bidang teknologi.
Proses global ini
pada hakikatnya bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek
yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya
hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.
B. Makna Problem dan Masalah Pendidikan Islam
Barangkali secara
umum orang memahami masalah (problem) sebagai kesenjangan antara
kenyataan dan harapan. Namun dalam matematika, istilah “problem”
memiliki makna yang lebih khusus. Kata “Problem” terkait erat dengan
suatu pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan problem solving. Dalam
hal ini tidak setiap soal dapat disebut problem atau masalah. Ciri-ciri
suatu soal disebut “problem” dalam perspektif ini paling tidak memuat 2
hal yaitu:
1. Soal
tersebut menantang pikiran (challenging),
2. Soal
tersebut tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya (nonroutine).
Masalah mendasar dalam
pendidikan Islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai Adab (etika) dalam
arti luas.
Hal ini terjadi disebabkan
kerancuan dalam memahami konsep. Ada tiga konsep;
1.
Ta'lim
2.
Tarbiyah
3.
Ta'dib.
JIka konsep pendidikan Islam hanya terbatas
pada Tarbiyah atau Ta'lim, maka pandangan hidup barat yang melandaskan
nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme akan merasuk. Dengan
begitu, nilai-nilai adab semakin kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai Hikmah
Ilahiyah. Hal ini menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Jika cenderung lebih memakai Ta'dib dari pada
Tarbiyah dan Ta'lim, alasan mendasar memakai istilah Ta'dib adalah, karena adab
berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada
anak didik kecuali orang tersebut memiliki Adab yang tepat terhadap ilmu
pengetahuan dalam pelbagai bidang. (dalam keyakinan agama bahwa Islam tidak
mengenal dikotomi ilmu, karena ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada
nash-nash dasarnya, yakni ; Alquran dan Hadis). Bagaimana penggabungan antara
ilmu umum dan agama. Sebab, masing-masing memiliki epistema (asal pengetahuan)
yang berbeda.
C. Pokok-Pokok
Permasalahan Pendidikan Islam
1.
Kualitas,
2.
Relevansi,
3.
Elitisme, dan
4.
Manajemen
Keempat
masalah di atas merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional,
sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya (Tilaar, 1991). Permasalahan
ini terjadi pada pendidikan secara umum di Indonesia, termasuk pendidikan Islam
yang dinilai justru lebih besar problematikanya.
D. Kompleksitas Problem Pendidikan
Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada
persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan
Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan
kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan
masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja,
pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu
persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan
bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi
kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur
banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan
(Soeroyo, 1991: 77). Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada
posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia. Dalam Undang- Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan
pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan
nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya,
bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang
yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan
bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun”
dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya
beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok
tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada
lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau
mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat
banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang
salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam.
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah Pendidikan Islam
Masalah pendidikan Islam timbul karena dua faktor yaitu
faktor internal dan eksternal.
1. Faktor internal
a. Meliputi
manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan
pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini
tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah
pembinaan Departemen Pendidikan Nasional [Diknas] yang umumnya dikelola secara
modern.
b. Faktor
kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan
unsur terpenting dalam kegiatan belajarmengajar, umumnya lemah dalam penguasaan
materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan
mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena sistem
pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru.
c. Adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah
yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan
dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam
kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga
pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam.
Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam
membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam
komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk
kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial
profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional,
melainkan pendekatan like and dislike (Mahfudh Djunaidi, 2005),
dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
2. Faktor eksternal
a. Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap
pendidikan Islam. Pemerintah selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan
pendidikan Islam sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain.
Katakan saja, alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya
dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas (Mahfudh Djunaidi, 2005).
Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya
alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, toh
pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi
yang diemban oleh pendidikan umum.
b. Dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang
pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan
pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor
pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Beberapa indikator
yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat ketersediaan tenaga
guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan (unit cost) siswa,
hingga tidak adanya standardisasi mutu pendidikan Islam, karena urusan
pendidikan Islam tidak berada di bawah Depdiknas (Abdul Aziz, Kompas, 2005),
dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan
pendidikan Islam.
c. Adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan
Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama ini cenderung acuh
terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolah-sekolah Islam. Rata-rata
memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor dua dan biasanya bila
menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir
setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas (M
Dahriman, 2005).
F. PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Pendidikan Islam
diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama,
Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan
Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran
diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan
pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam
sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem
pendidikan.
Walaupun demikian,
pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini.
Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal.
1. Faktor
Internal
a. Relasi
Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan
pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat
dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka
bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara
lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat
ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana
dengan baik.
Orientasi
pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam
konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi
mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia.
Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek
positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan
kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan.
Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar
lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya,
moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
b. Masalah
Kurikulum
Sistem sentralistik
terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan
pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi
dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini
juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang
terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah
menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang
sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan
berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu
kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak
terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.
Dalam
realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap
dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan
dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran
agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur
tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai
tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir
tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan
kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai
islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan
islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga
menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum
pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan
menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari
para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan
Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.
c. Pendekatan/Metode
Pembelajaran
Peran guru atau
dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa.
Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi,
memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran
yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang
memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah
yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan
zaman.
Siswa atau
mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya,
berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu,
dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap
mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga
sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang
konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada
tantangan untuk berfikir.
d. Profesionalitas
dan Kualitas SDM
Salah satu masalah
besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah
profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara
kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup
memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi
harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified,
dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan
menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.
e. Biaya
Pendidikan
Faktor biaya
pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang
seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan
ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil
amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN
dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi.
Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun
2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2. Faktor
Eksternal
a. Dichotomic
Masalah besar yang
dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek
yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara
antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala
perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai
tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu
pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang
tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan
sebagai mahkota semua ilmu.
b. To
General Knowledge
Kelemahan dunia
pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu
general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem
solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang
selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan
bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan,
menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut
merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia
menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah
tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu untuk melihat
konsekuensinya.
c. Lack
of Spirit of Inquiry
Persoalan besar
lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya
semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk
kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani,
Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual)
menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur
Tengah.
d. Memorisasi
Rahman
menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis
yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa,
karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu
yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang
aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.
Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini
menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing)
daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad
pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar
dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e. Certificate
Oriented
Pola yang
dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah
memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan
perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari
guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa
karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge
oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir
tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic,
karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola
yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya
pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata.
Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau
ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas
berikutnya.
G. SOLUSI
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL
Pendidikan memiliki
keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses
globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era
globalisasi, indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan,
dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel,
sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat
global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang
memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara
alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung
jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami
masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun
penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu
alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan
global.
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan singkat diatas, maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Hakikat pendidikan Islam ialah untuk
membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani
menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang
didasarkan pada hukum-hukum islam. Sedangkan hakikat dari Globalisasi bukan
sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai
dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk
pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.
2. Problematika Pendidikan Islam di era global ini dapat
dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal yang didalmnya ada : Relasi Kekuasaan
dan Orientasi Pendidikan Islam, Masalah Kurikulum, Pendekatan/Metode
Pembelajaran, Profesionalitas dan Kualitas SDM, dan Biaya Pendidikan. Dan faktor eksternal yang meliputi Dichotomic, To
General Knowledge, Lack of Spirit of Inquiry, Memorisasi, dan
Certificate Oriented.
3. Solusi
dari problematika tesebut ialah pendidikan Islam harus dikembalikan kepada
fitrahnya dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang
harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun
nonformal. Serta pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan
para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif
dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab.
4. Pendidikan
Islam di Era Global ini diorientasikan bahwa Pendidikan Islam sebagai Proses
Penyadaran, sebagai Proses Humanisasi, dan sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Daftar Pustaka
Ali, Hasmiyati Gani, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta
: Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008
Daulay, Haidar Putra, Dinamika Pendidikan Islam di
Asia Tenggara, Jakarta : Rineka Cipta, 2009
…., Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2004
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai
benang kusut dunia pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006
...., Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Nizar, Samsul, Filsafat
Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta :
Ciputat Pers, 2002
Rembangy, Musthofa, Pendidikan
Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus
Globalisasi, Yogyakarta : Teras, 2010
SM, Isma’il, Strategi
Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan, Semarang : Rasail, 2008
Tantowi, Ahmad, Pendidikan Islam
di Era Transformasi Global, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009
Wahid, Abdul, Isu-isu Kontemporer
Pendidikan Islam, Semarang : Need’s Press, 2008
Zamroni, Paradigma Pendidikan
Masa Depan, Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000
No comments:
Post a Comment