Thursday, September 17, 2015

ZAKAT DAN PUASA


ZAKAT DAN PUASA



Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh I
Dosen Pembimbing : Dr. H. Farid Hasyim, MA





Oleh :
moh. kamilus zaman



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG, 2011
KATA PENGANTAR

      Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat-Nya berupa kesempatan, sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis ini. Adapun karya tulis kami berjudul “ZAKAT DAN PUASA”. Untuk menyelesaikan karya tulis ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.    Bapak Drs. H Imam Suprayogo, selaku rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2.    Bapak  Dr. H. Farid Hasyim, MA , selaku pembimbing mata kuliah Fiqh I
3.    Orang tua kami yang telah memberikan dorongan moral dan material serta doa yang tulus
4.    Teman-teman kelas C Jurusan Pendidikan Agama Islam semester V.
Kami menyadari bahwa penyusunan karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan pada penulisan selanjutnya. Semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien.

                                                                                                              








Malang,  November 2011

          Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
      Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah. Sebagai muslim sekaligus mukmin, merupakan suatu kewajiban untuk menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Perintah Allah termuat dalam lima rukun islam.
      Ibadah zakat mendapat tempat khusus, seperti ibadah ibadah sholat, puasa, dan haji. Ini berarti keempat jenis ibadah tersebut, termasuk zakat, bukan sekedar kewajiban biasa. Siapa yang meninggalkan zakat, atau merasa keberatan untuk menunaikan puasa, maka gugurlah keislamannya. Begitu jelas bahwa demikian penting kedudukan zakat dan puasa dalam kerangka kesempurnaan keislaman seseorang. Dengan adanya hal yang demikian, maka penulis membuat karya tulis yang berjudul “ZAKAT DAN PUASA”.
B.       Rumusan masalah
1.         Bagaimana kaifiyah zakat?
2.         Bagaimana kaifiyah puasa?
C.      Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan kaifiyah zakat.
2.      Menjelaskan kaifiyah puasa.










BAB II
PEMBAHASAN

A.      Zakat
1.    Pengertian Zakat
      Zakat berasal dari bahasa arab زكاة,  tazkiyah yang berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan. Menurut istilah, zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam.
  1. Sejarah Zakat
      Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
     

      Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan. Kejatuhan para khalifah dan negara-negara Islam menyebabkan zakat tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi.
  1. Syarat Wajib Zakat
a.       Beragama Islam
b.      Merdeka (bukan budak/hamba sahaya)
c.       Harus yang dimilikinya tersebut merupakan milik yang sah dan sempurna
d.      Telah mencapai nisab
e.       Telah dimiliki selam setahun atau setiap kali panen bagi zakat hasil tanaman (pertanian).
  1. Zakat Maal
a.      Pengertian
      Zakat Maal adalah zakat yang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki oleh individu atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara hukum (syara). Maal berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti 'harta'.
b.      Syarat-Syarat Harta
Harta yang akan dikeluarkan sebagai zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Milik Penuh, yakni harta tersebut merupakan milik penuh individu yang akan mengeluarkan zakat.
2)      Berkembang, yakni harta tersebut memiliki potensi untuk berkembang bila diusahakan.
3)      Mencapai nisab, yakni harta tersebut telah mencapai ukuran/jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan, harta yang tidak mencapai nishab tidak wajib dizakatkan dan dianjurkan untuk berinfaq atau bersedekah.
4)      Lebih Dari Kebutuhan Pokok, orang yang berzakat hendaklah kebutuhan minimal/pokok untuk hidupnya terpenuhi terlebih dahulu
5)      Bebas dari Hutang, bila individu memiliki hutang yang bila dikonversikan ke harta yang dizakatkan mengakibatkan tidak terpenuhinya nishab, dan akan dibayar pada waktu yang sama maka harta tersebut bebas dari kewajiban zakat.
6)      Berlalu Satu Tahun (Al-Haul), kepemilikan harta tersebut telah mencapai satu tahun khusus untuk ternak, harta simpanan dan harta perniagaan. Hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz(barang temuan) tidak memiliki syarat haul.
c.       Zakat Uang Simpanan
      Banyak urusan bisnis yang menggunakan mata uang sebagai alat pertukarannya, Setiap negara mempunyai nilai mata uangnya sendiri yang disandarkan kepada nilai tukar emas. Dalil wajib zakat uang simpanan  "Saiidina Ali telah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: Apabila kamu mempunyai (uang simpanan) 200 dirham dan telah cukup haul (genap setahun) diwajbkan zakatnya 5 dirham, dan tidak diwajibkan mengeluarkan zakat (emas) kecuali kamu mempunyai 20 dinar dan telah cukup haulnya diwajibkan zakatnya setengah dinar. Demikian juga kadarnya jika nilainya bertambah dan tidak diwajibkan zakat dalam sesuatu harta kecuali genap setahun". (HR Abu Daud). Syarat wajib zakat uang simpanan :
1)        Islam
2)        Merdeka
3)        Milik sendiri
4)        Cukup haul
5)        Cukup nisab
      Seluruh harta baik gaji/penghasilan/keuntungan maupun harta simpanan yang sudah dimiliki selama satu tahun (haul) dan cukup nishabnya setara dengan emas 85 gram maka wajib zakat. Jadi sekali lagi, kalau harta simpanan dimiliki sudah setahun atau lebih  maka wajib juga dizakati. Oleh karenanya maka kita harus menghitung secara total pendapatan gaji dan harta simpanan yang dimiliki atau diakumulasikan pendapatan selama setahun. Dengan kata lain apabila telah berlalu satu haul dan telah sempurna, bersama pemilikan, serta mencapai nisabnya, maka diwajibkan padanya zakat, baik itu gaji bulanan, atau harta yang disimpan selain dari gaji bulanannya, atau selainnya, maka wajib zakat senilai 2,5% pada harta yang ada.
d.      Zakat Pendapatan/Profesi
      Dalam fiqih kontemporer, zakat pendapatan lebih dikenal dengan zakat profesi. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fiqhu az Zakat, zakat profesi adalah pendapatan berupa gaji/upah yang diperoleh berdasar profesi masing-masing, baik itu dokter, pegawai negeri, konsultan, notaris, kontraktor, sekretaris, manajer, direktur, mandor, guru, karyawan, dan lain sebagainya. Zakat pada hakikatnya adalah pungutan harta yang diambil dari orang-orang yang  hartanya sudah mencapai nishob untuk dibagikan kepada para mustahik zakat.
      Zakat profesi memang belum dikenal terutama dalam khasanah ulama klasik. Sedangkan ulama kontemporer berdasarkan hasil Muktamar Internasional Pertama tentang zakat bersepakat bahwa zakat profesi hukumnya wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nisab berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Adz-Dzariyat (51) : 19 yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (keluarkan zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.

      Zakat profesi sejalan dengan tujuan disyariatkannya zakat, seperti untuk membersihkan harta serta menolong para mustahik. Zakat profesi ini oleh para ulama kontemporer diatur mengenai nisab, besar, dan waktu pembayarannya. Ada 2 model pendekatan, yaitu
1)      Setelah diperhitungkan selama satu tahun (dianalogikan pada zakat harta simpanan)
Model harta yang diterima ini berupa uang. Nisabnya adalah jika pendapatan satu tahun lebih dari senilai 85gr emas, zakatnya dikeluarkan setahun sekali sebesar 2,5% setelah dikurangi kebutuhan pokok.
2)      Dikeluarkan langsung saat menerima pendapatan (dianalogikan pada zakat tanaman)
Model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip dengan panen. Jika ini yang diikuti, maka besar nisabnya adalah senilai 653 kg gabah kering giling setara dengan 522 kg beras dan dikeluarkan setiap menerima penghasilan gaji sebesar 2,5%  tanpa terlebih dahulu dipotong kebutuhan pokok (seperti petani ketika mengeluarkan zakat hasil panennya)
      Berdasarkan penjelasan di atas, zakat profesi itu bisa dilaksanakan setahun sekali aatau sebulan sekali. Atau beberapa bulan sekali, terserah. Yang jelas, jika ditotal setahun besar zakat yang dikeluarkan harus sama. Namun seseorang wajib mengeluarkan zakat jika telah mencapai nisab.     
e.       Zakat Saham dan Obligasi
      Bila simpanan itu telah genap setahun dan jumlahnya melebihi batas nisab (nilai 85 gram emas) maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak 2.5 % dari jumlah simpanan tersebut. Contoh: Simpanan/deposito sebanyak Rp 4.000.000 telah disimpan selama setahun tanpa dikeluarkan. (semisal nisabnya Rp. 3.570.000; atau sama dengan nilai 85 gram emas dikalikan harga emas per-gram seharga Rp. 42.000,-). Zakat yang wajib dikeluarkan sebanyak Rp. 4.000.000,- X 2.5 % = Rp. 100.000,-
Simpanan Biasa/Tabanas/Tahapan
Cara menghitungnya dengan melihat saldo terendah dari jumlah simpanan dalam tempo setahun.. Hendaknya dihitung juga perkiraan jatuh haulnya kapan mulai dan berakhirnya haul simpanan tersebut. Harus dipastikan juga bahwa di dalam uang simpanan tersebut tidak terdapat bunga bank (yang mengamalkan sistem riba'), jika terdapat bunga bank, maka hendaknya bunga bank tersebut dikeluarkan dulu dari jumlah simpanan yang dimiliki.
Langkah-Langkah Menghitung Zakat :  
1)      Tentukan tanggal permulaan memulai memasukkan uang simpanan yang telah mencukupi nilai nisabnya.
2)      Pastikan jumlah simpanan tidak kurang dari nisab, selama uang tersebut berada dalam simpanan sepanjang tahun (haul).
3)      Jika uang itu di simpan dalam simpanan biasa/tabanas, hitung jumlah saldo terendah dalam masa penyimpanan selama setahun (haul).
4)      Keluarkan bunga bank yang ada dalam simpanan.
5)      Bandingkan jumlah simpanan dengan nisab di akhir haul. Jika jumlah simpanan menyamai atau melebihi nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5 % dari jumlah saldo terendah yang telah sampai nisabnya.
f.        Zakat An’am
      Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.
“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)
Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:
1)      Onta
Nishab onta adalah 5 ekor. Dengan pertimbangan di negara kita   tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci.
2)      Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Sapi
Jumlah yang dikeluarkan
30-39 ekor
1 ekor tabi’ atau tabi’ah
40-59 ekor
1 ekor musinah
60 ekor
2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor
1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
80 ekor
2 ekor musinnah
90 ekor
3 ekor tabi’
100 ekor
2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah
Keterangan:
a)      Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
b)      Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
c)      Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.
3)      Kambing
Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Kambing
Jumlah yang dikeluarkan
40 ekor
1 ekor kambing
120 ekor
2 ekor kambing
201 – 300 ekor
3 ekor kambing
> 300 ekor
setiap 100, 1 ekor kambing
g.      Zakat Zuru' (biji-bijian seperti beras, gandum, jagung, dsb)
Syaratnya adalah dimiliki penuh, sengaja ditanam dan telah mencapai nisabnya, serta mengenyangkan dan tahan lama disimpan. Apabila tanaman itu hidup dari air hujan/sungai (tanpa biaya pengairan), maka zakatnya 10% dari hasil panen. Jika pengairannya dari membeli, maka zakatnya 5% dari hasil panen.
h.      Harta Peniagaan
Nisabnya yaitu sama (senilai) dengan satu nisab emas. Demikian juga dengan besarnya zakat yang harus dikeluarkan, juga sebanyak 2,5%.
i.        Harta Rikaz
Yakni harta yang terpendam yang merupakan peninggalan harta zaman dahulu. Apabila ada orang yang menemukan barang terpendam, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya seketika itu, tanpa memperhitungkan banyak sedikitnya harta yang ditemukan. Adapun besarnya zakat yang harus dikeluarkan sebanyak 20%, sedangkan jika mencari harta terpendam memang merupakan mata pencahariannya, maka zakatnya 2,5%.
j.        Mustahik Zakat
Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, yakni:
1)      Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
2)      Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
3)      Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
4)      Mu'allaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
5)      Hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
6)      Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
7)      Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
8)      Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.
B.   Puasa
1. Syariat Puasa
           Saum atau puasa dalam islam (Arab: صوم) secara bahasa artinya menahan atau mencegah. Menurut syariat agama Islam artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu, agar kamu bertakwa."
Berpuasa merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Terdapat puasa wajib dan puasa sunnah, namun tata caranya tetap sama.
2.  Syarat-Syarat Puasa
Syarat wajib puasa yaitu:
a.    Beragama Islam
b.    Berakal sehat
c.    Baligh (sudah cukup umur)
d.   Mampu melaksanakannya
Syarat sah puasa yaitu:
a.    Islam (tidak murtad)
b.    Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
c.    Suci dari haid dan nifas (khusus bagi wanita)
d.   Mengetahui waktu diterimanya puasa
3. Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Puasa akan batal jika:
a.    Masuknya benda (seperti nasi, air, asap rokok dan sebagainya) ke dalam rongga badan dengan disengaja.
b.    Muntah dengan disengaja.
c.    Bersetubuh.
d.   Keluar mani (Istimna' ) dengan disengaja.
e.    Haid (datang bulan) dan Nifas (melahirkan anak)
f.     Hilang akal (gila atau pingsan).
g.    Murtad (keluar dari agama Islam
  1. Waktu Haram Berpuasa
Umat Islam diharamkan berpuasa pada waktu-waktu berikut ini:
a.     Hari raya Idul Fitri, yaitu pada (1 Syawal)
b.     Hari raya Idul Adha, yaitu pada (10 Zulhijjah)
c.     Hari-hari Tasyrik, yaitu pada (11, 12, dan 13 Zulhijjah)
d.     Hari syak, yaitu pada (30 Syaban)
e.     Puasa selamanya
  1. Penentuan Awal Ramadhan
Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari tiga cara berikut:
a.    Melihat hilal ramadhan.
b.    Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
a.    Melihat Hilal Ramadhan
      Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.”
      Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”
      Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.
      Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan  bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahualaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
      Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama  salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini  kecuali sedikit”.
b.   Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
      Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”
c.    Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
      Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
      Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
      Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
      Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya. Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di  langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.” Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)
      Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha
      Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak, sesuai dengan salah satu firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 110.
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ
110.  Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Sedangkan puasa menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ
183.  Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.


DAFTAR PUSTAKA
Zahaili, Wahba, 1997, Al Qura’an Perlaksanaan Hukum dan PeradabanMnusia, Malasya: Al Baz Publishing & Distribution SND BHD.
Bil Qisthi, Aqis, 2009, Kunci Ibadah, Surabaya: Mulya Jaya.
Ayat & Hadits Tentang Puasa Ramadhan, www.jiwasedekah.blogspot.com, diakses tanggal 30 Oktober 2011.
Ayat Qur’an & Hadits Tentang Bulan Ramadhan Puasa, http://syiarislam.wordpress.com, diakses tanggal 30 Oktober 2011.
Ayat-Ayat Al Quran dan Hadist Tentang Zakat, Infaq dan Sodaqoh. http://vennezmo.blogspot.com, diakses tanggal 30 Oktober 2011.
Cara Menentukan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal, http://qurandansunnah.wordpress.com, diakses tanggal 30 Oktober 2011.

No comments:

Post a Comment