ZAKAT DAN PUASA
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Fiqh I
Dosen Pembimbing : Dr.
H. Farid Hasyim, MA
Oleh :
moh. kamilus zaman
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG, 2011
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan nikmat-Nya berupa kesempatan, sehingga kami dapat
menyelesaikan karya tulis ini. Adapun karya tulis kami berjudul “ZAKAT DAN
PUASA”. Untuk menyelesaikan karya tulis ini, penulis mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. H Imam Suprayogo, selaku
rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2. Bapak Dr. H. Farid Hasyim, MA , selaku pembimbing
mata kuliah Fiqh I
3. Orang tua kami yang telah memberikan
dorongan moral dan material serta doa yang tulus
4. Teman-teman kelas C Jurusan Pendidikan
Agama Islam semester V.
Kami menyadari
bahwa penyusunan karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi perbaikan pada penulisan selanjutnya.
Semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien.
Malang, November 2011
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam
adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah. Sebagai muslim sekaligus
mukmin, merupakan suatu kewajiban untuk menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi
laranganNya. Perintah Allah termuat dalam lima rukun islam.
Ibadah zakat mendapat tempat khusus,
seperti ibadah ibadah sholat, puasa, dan haji. Ini berarti keempat jenis ibadah
tersebut, termasuk zakat, bukan sekedar kewajiban biasa. Siapa yang
meninggalkan zakat, atau merasa keberatan untuk menunaikan puasa, maka gugurlah
keislamannya. Begitu jelas bahwa demikian penting kedudukan zakat dan puasa
dalam kerangka kesempurnaan keislaman seseorang. Dengan
adanya hal yang demikian, maka penulis membuat karya tulis yang berjudul “ZAKAT
DAN PUASA”.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana kaifiyah zakat?
2.
Bagaimana kaifiyah puasa?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan kaifiyah zakat.
2.
Menjelaskan kaifiyah puasa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Zakat
1. Pengertian Zakat
Zakat berasal dari bahasa arab زكاة, tazkiyah yang berarti "tumbuh",
"berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan".
Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian
kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu
sebagaimana ditentukan. Menurut istilah, zakat adalah jumlah harta tertentu
yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada
golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam.
- Sejarah Zakat
Setiap
muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah.
Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk
memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada
kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi
wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad
melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka
yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini,
zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada
kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat
tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan
didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah
orang miskin, janda, budak
yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu
membayar. Syari'ah
mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus
dibayarkan. Kejatuhan para khalifah dan negara-negara Islam menyebabkan zakat
tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi.
- Syarat Wajib Zakat
a. Beragama
Islam
b. Merdeka
(bukan budak/hamba sahaya)
c. Harus
yang dimilikinya tersebut merupakan milik yang sah dan sempurna
d. Telah
mencapai nisab
e. Telah
dimiliki selam setahun atau setiap kali panen bagi zakat hasil tanaman
(pertanian).
- Zakat Maal
a.
Pengertian
Zakat Maal adalah zakat yang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki oleh individu atau
lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
secara hukum (syara). Maal berasal dari bahasa Arab yang secara
harfiah berarti 'harta'.
b.
Syarat-Syarat
Harta
Harta yang akan dikeluarkan sebagai zakat harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Milik Penuh, yakni harta
tersebut merupakan milik penuh individu yang akan mengeluarkan zakat.
2)
Berkembang, yakni harta
tersebut memiliki potensi untuk berkembang bila diusahakan.
3)
Mencapai nisab, yakni harta tersebut
telah mencapai ukuran/jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan, harta yang tidak
mencapai nishab tidak wajib dizakatkan dan dianjurkan untuk berinfaq atau bersedekah.
4)
Lebih Dari Kebutuhan Pokok, orang
yang berzakat hendaklah kebutuhan minimal/pokok untuk hidupnya terpenuhi
terlebih dahulu
5)
Bebas dari Hutang, bila individu
memiliki hutang yang bila dikonversikan ke harta yang dizakatkan mengakibatkan
tidak terpenuhinya nishab, dan akan dibayar pada waktu yang sama maka harta
tersebut bebas dari kewajiban zakat.
6)
Berlalu Satu Tahun (Al-Haul),
kepemilikan harta tersebut telah mencapai satu tahun khusus untuk ternak, harta
simpanan dan harta perniagaan. Hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz(barang
temuan) tidak memiliki syarat haul.
c.
Zakat
Uang Simpanan
Banyak urusan bisnis yang menggunakan mata uang sebagai
alat pertukarannya, Setiap negara mempunyai nilai mata uangnya sendiri yang
disandarkan kepada nilai tukar emas. Dalil wajib zakat uang simpanan "Saiidina Ali telah meriwayatkan bahwa
Nabi saw bersabda: Apabila kamu mempunyai (uang simpanan) 200 dirham dan telah
cukup haul (genap setahun) diwajbkan zakatnya 5 dirham, dan tidak diwajibkan
mengeluarkan zakat (emas) kecuali kamu mempunyai 20 dinar dan telah cukup
haulnya diwajibkan zakatnya setengah dinar. Demikian
juga kadarnya jika nilainya bertambah dan tidak diwajibkan zakat dalam sesuatu
harta kecuali genap setahun". (HR Abu Daud). Syarat wajib zakat uang
simpanan :
1)
Islam
2)
Merdeka
3)
Milik
sendiri
4)
Cukup
haul
5)
Cukup
nisab
Seluruh
harta baik gaji/penghasilan/keuntungan maupun harta simpanan yang sudah
dimiliki selama satu tahun (haul) dan cukup nishabnya setara dengan emas 85
gram maka wajib zakat. Jadi sekali lagi, kalau harta simpanan dimiliki sudah
setahun atau lebih maka wajib juga dizakati. Oleh
karenanya maka kita harus menghitung secara total pendapatan gaji dan harta
simpanan yang dimiliki atau diakumulasikan pendapatan selama setahun. Dengan
kata lain apabila telah berlalu satu haul dan telah sempurna, bersama
pemilikan, serta mencapai nisabnya, maka diwajibkan padanya zakat, baik itu
gaji bulanan, atau harta yang disimpan selain dari gaji bulanannya, atau
selainnya, maka wajib zakat senilai 2,5% pada harta yang ada.
d.
Zakat
Pendapatan/Profesi
Dalam fiqih kontemporer, zakat pendapatan
lebih dikenal dengan zakat profesi. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fiqhu az
Zakat, zakat profesi adalah pendapatan berupa gaji/upah yang diperoleh berdasar
profesi masing-masing, baik itu dokter, pegawai negeri, konsultan, notaris,
kontraktor, sekretaris, manajer, direktur, mandor, guru, karyawan, dan lain
sebagainya. Zakat pada hakikatnya adalah pungutan harta yang diambil dari
orang-orang yang hartanya sudah mencapai
nishob untuk dibagikan kepada para mustahik zakat.
Zakat profesi memang belum dikenal
terutama dalam khasanah ulama klasik. Sedangkan ulama kontemporer berdasarkan
hasil Muktamar Internasional Pertama tentang zakat bersepakat bahwa zakat
profesi hukumnya wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nisab berdasarkan
firman Allah SWT dalam QS. Adz-Dzariyat (51) : 19 yang artinya “ Hai
orang-orang yang beriman nafkahkanlah (keluarkan zakat) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu”.
Zakat profesi sejalan dengan tujuan
disyariatkannya zakat, seperti untuk membersihkan harta serta menolong para
mustahik. Zakat profesi ini oleh para ulama kontemporer diatur mengenai nisab,
besar, dan waktu pembayarannya. Ada 2 model pendekatan, yaitu
1)
Setelah diperhitungkan selama
satu tahun (dianalogikan pada zakat harta simpanan)
Model harta yang diterima ini
berupa uang. Nisabnya adalah jika pendapatan satu tahun lebih dari senilai 85gr
emas, zakatnya dikeluarkan setahun sekali sebesar 2,5% setelah dikurangi
kebutuhan pokok.
2)
Dikeluarkan langsung saat
menerima pendapatan (dianalogikan pada zakat tanaman)
Model memperoleh harta
penghasilan (profesi) mirip dengan panen. Jika ini yang diikuti, maka besar
nisabnya adalah senilai 653 kg gabah kering giling setara dengan 522 kg beras
dan dikeluarkan setiap menerima penghasilan gaji sebesar 2,5% tanpa terlebih dahulu dipotong kebutuhan
pokok (seperti petani ketika mengeluarkan zakat hasil panennya)
Berdasarkan penjelasan di atas, zakat
profesi itu bisa dilaksanakan setahun sekali aatau sebulan sekali. Atau
beberapa bulan sekali, terserah. Yang jelas, jika ditotal setahun besar zakat
yang dikeluarkan harus sama. Namun seseorang wajib mengeluarkan zakat jika
telah mencapai nisab.
e.
Zakat
Saham dan Obligasi
Bila simpanan
itu telah genap setahun dan jumlahnya melebihi batas nisab (nilai 85 gram emas)
maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak 2.5 % dari jumlah simpanan tersebut.
Contoh: Simpanan/deposito sebanyak Rp 4.000.000 telah disimpan selama setahun
tanpa dikeluarkan. (semisal nisabnya Rp. 3.570.000; atau sama dengan nilai 85
gram emas dikalikan harga emas per-gram seharga Rp. 42.000,-). Zakat yang wajib
dikeluarkan sebanyak Rp. 4.000.000,- X 2.5 % = Rp. 100.000,-
Simpanan
Biasa/Tabanas/Tahapan
Cara
menghitungnya dengan melihat saldo terendah dari jumlah simpanan dalam tempo
setahun.. Hendaknya dihitung juga perkiraan jatuh haulnya kapan mulai dan
berakhirnya haul simpanan tersebut. Harus dipastikan juga bahwa di dalam uang
simpanan tersebut tidak terdapat bunga bank (yang mengamalkan sistem riba'),
jika terdapat bunga bank, maka hendaknya bunga bank tersebut dikeluarkan dulu
dari jumlah simpanan yang dimiliki.
Langkah-Langkah
Menghitung Zakat :
1) Tentukan tanggal permulaan memulai
memasukkan uang simpanan yang telah mencukupi nilai nisabnya.
2) Pastikan jumlah simpanan tidak kurang
dari nisab, selama uang tersebut berada dalam simpanan sepanjang tahun (haul).
3) Jika uang itu di simpan dalam simpanan
biasa/tabanas, hitung jumlah saldo terendah dalam masa penyimpanan selama
setahun (haul).
4) Keluarkan bunga bank yang ada dalam
simpanan.
5) Bandingkan jumlah simpanan dengan nisab
di akhir haul. Jika jumlah simpanan menyamai atau melebihi nisab, maka wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5 % dari jumlah saldo terendah yang telah sampai
nisabnya.
f.
Zakat An’am
Syarat wajib zakat binatang ternak sama
dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering
digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.
“Dan dalam zakat kambing yang
digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)
Sedangkan ukuran nishab dan yang
dikeluarkan zakatnya adalah sebagai berikut:
1)
Onta
Nishab onta adalah 5 ekor. Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci.
Nishab onta adalah 5 ekor. Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci.
2)
Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Cara perhitungannya adalah sebagai
berikut:
Jumlah
Sapi
|
Jumlah yang dikeluarkan
|
30-39
ekor
|
1 ekor tabi’ atau tabi’ah
|
40-59
ekor
|
1 ekor musinah
|
60 ekor
|
2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
|
70 ekor
|
1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
|
80 ekor
|
2 ekor musinnah
|
90 ekor
|
3 ekor tabi’
|
100 ekor
|
2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah
|
Keterangan:
a) Tabi’
dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
b) Musinnah
adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
c) Setiap
30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya
adalah 1 ekor musinnah.
3) Kambing
Nishab kambing adalah 40 ekor.
Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Kambing
|
Jumlah yang dikeluarkan
|
40 ekor
|
1 ekor kambing
|
120 ekor
|
2 ekor kambing
|
201 – 300 ekor
|
3 ekor kambing
|
> 300 ekor
|
setiap 100, 1 ekor kambing
|
g.
Zakat Zuru' (biji-bijian seperti
beras, gandum, jagung, dsb)
Syaratnya adalah dimiliki penuh,
sengaja ditanam dan telah mencapai nisabnya, serta mengenyangkan dan tahan lama
disimpan. Apabila tanaman itu hidup dari air hujan/sungai (tanpa biaya
pengairan), maka zakatnya 10% dari hasil panen. Jika pengairannya dari membeli,
maka zakatnya 5% dari hasil panen.
h. Harta
Peniagaan
Nisabnya yaitu sama (senilai) dengan
satu nisab emas. Demikian juga dengan besarnya zakat yang harus dikeluarkan,
juga sebanyak 2,5%.
i.
Harta Rikaz
Yakni harta yang terpendam yang
merupakan peninggalan harta zaman dahulu. Apabila ada orang yang menemukan
barang terpendam, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya seketika itu, tanpa
memperhitungkan banyak sedikitnya harta yang ditemukan. Adapun besarnya zakat
yang harus dikeluarkan sebanyak 20%, sedangkan jika mencari harta terpendam
memang merupakan mata pencahariannya, maka zakatnya 2,5%.
j.
Mustahik Zakat
Ada delapan pihak yang berhak
menerima zakat, yakni:
1) Fakir - Mereka yang hampir
tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
2) Miskin - Mereka
yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk
hidup.
3) Amil - Mereka yang
mengumpulkan dan membagikan zakat.
4) Mu'allaf
- Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan barunya
5) Hamba sahaya
yang ingin memerdekakan dirinya
6) Gharimin
- Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk
memenuhinya
7) Fisabilillah
- Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
8) Ibnus Sabil
- Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.
B. Puasa
1. Syariat Puasa
Saum atau puasa dalam islam (Arab:
صوم) secara bahasa artinya menahan atau mencegah. Menurut syariat
agama Islam artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan
yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari,
dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah
puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum
kamu, agar kamu bertakwa."
Berpuasa merupakan salah satu dari
lima Rukun Islam.
Terdapat puasa wajib dan puasa sunnah, namun tata caranya tetap sama.
2. Syarat-Syarat
Puasa
Syarat wajib puasa yaitu:
a. Beragama
Islam
b. Berakal
sehat
c. Baligh
(sudah cukup umur)
d. Mampu
melaksanakannya
Syarat sah puasa yaitu:
a. Islam
(tidak murtad)
b. Mummayiz
(dapat membedakan yang baik dan yang buruk)
c. Suci
dari haid dan nifas (khusus bagi wanita)
d. Mengetahui
waktu diterimanya puasa
3. Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Puasa akan batal jika:
a. Masuknya
benda (seperti nasi, air, asap rokok dan sebagainya) ke dalam rongga badan
dengan disengaja.
b. Muntah
dengan disengaja.
c. Bersetubuh.
d. Keluar
mani (Istimna' ) dengan disengaja.
e. Haid
(datang bulan) dan Nifas (melahirkan anak)
f. Hilang
akal (gila atau pingsan).
g. Murtad
(keluar dari agama Islam
- Waktu Haram Berpuasa
Umat Islam diharamkan berpuasa pada
waktu-waktu berikut ini:
a.
Hari raya Idul Fitri,
yaitu pada (1 Syawal)
d. Hari
syak, yaitu pada (30 Syaban)
e. Puasa
selamanya
- Penentuan Awal Ramadhan
Menentukan
awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari tiga cara berikut:
a.
Melihat hilal ramadhan.
b.
Menggenapkan bulan Sya’ban
menjadi 30 hari.
a.
Melihat Hilal Ramadhan
Dasar dari hal ini
adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ
وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari
bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan
apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”
Menurut mayoritas ulama,
jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan,
beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ
الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ
فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya.
Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah
pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا
وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena
melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu
tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika
ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”
Dalam hadits ini
dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun
untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan
dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.
Perlu diketahui bersama
bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih
tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan
mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ،
لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal
kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini
(beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat
dengan bilangan 30).”
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap.
Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan
ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan
ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu
dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat
hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang
dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak
dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam
hadits,
…فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka
sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”.
Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan
di tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang
ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab
yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan
mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama
salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan
untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab
(yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam
elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya
sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan
sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh
akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali
sedikit”.
b. Apabila
pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam
ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau
mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Salah seorang ulama
Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala
memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan.
Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi
dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi
pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala
menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari
29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka
berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh
keraguan yang ada.”
c. Puasa
dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau
satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak
oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka?
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat
menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal
Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di
negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu
pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya
menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa
berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama
masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik
dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Sedangkan pendapat yang terakhir
menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus
berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari
pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ
تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits
tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama
menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya
dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas
manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat inilah
pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa
hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal
adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang
mengetahuinya. Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya
bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout
(meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar
dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di
langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang
banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara
lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia.
Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua
orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang
lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai
orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita
keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti
mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.” Beliau rahimahullah
mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan
sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar
nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak
demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal
bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala
mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan
istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)
Ibnu Taimiyah kembali
menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila
benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya
saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal
ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak
memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya.
Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan
(Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka
begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya.
Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ
تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah
satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ
الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin
lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah
atau mendung.”
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zakat
adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama
Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan
sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak, sesuai dengan
salah satu firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 110.
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9öyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ×ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ
110. Dan Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi
dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah
Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Sedangkan
puasa menahan
diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa,
mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari,
dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah
puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183.
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
183. Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.
DAFTAR
PUSTAKA
Zahaili, Wahba, 1997, Al Qura’an Perlaksanaan
Hukum dan PeradabanMnusia, Malasya: Al Baz Publishing & Distribution
SND BHD.
Bil Qisthi, Aqis, 2009, Kunci Ibadah,
Surabaya: Mulya Jaya.
Ayat & Hadits Tentang Puasa
Ramadhan, www.jiwasedekah.blogspot.com,
diakses tanggal 30 Oktober 2011.
Ayat Qur’an & Hadits Tentang
Bulan Ramadhan Puasa, http://syiarislam.wordpress.com,
diakses tanggal 30 Oktober 2011.
Ayat-Ayat Al Quran dan Hadist
Tentang Zakat, Infaq dan Sodaqoh. http://vennezmo.blogspot.com,
diakses tanggal 30 Oktober 2011.
Cara Menentukan Awal Bulan Ramadhan
dan Syawal, http://qurandansunnah.wordpress.com,
diakses tanggal 30 Oktober 2011.
No comments:
Post a Comment